AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

dokumen-dokumen yang mirip
KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB YURIDIS PENAHANAN OLEH PENYIDIK KEPADA PENUNTUT UMUM 1 Oleh : Melky R. Pinontoan 2

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015. INDEPENDENSI HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PRAPERADILAN MENURUT KUHAP 1 Oleh: Alviano Maarial 2

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Bagian Kedua Penyidikan

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. material. Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan

C. Penggeledahan Definisi Penggeledahan rumah penggeledahan badan Tujuan Pejabat yang berwenang melakukan penggeledahan Tata cara penggeledahan

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

BARESKRIM POLRI STANDARD OPERASIONAL PROSEDUR PENYITAAN MARKAS BESAR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN RESERSE KRIMINAL

Pelaksanaan pengelolaan benda sitaan negara dalam perkara pidana di wilayah hukum Pengadilan Negeri Surakarta. Yossie Ariestiana E.

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

PEMERIKSAAN DAN PENYIDIKAN TERHADAP PELANGGARAN PAJAK 1 Oleh: Junisa Angelia Taroreh 2

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. adalah adanya kekuasaan berupa hak dan tugas yang dimiliki oleh seseorang

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

AKIBAT HUKUM SURAT DAKWAAN BATAL DAN SURAT DAKWAAN DINYATAKAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PERKARA PIDANA 1 Oleh : Wilhelmus Taliak 2

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

ALUR PERADILAN PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB I PENDAHULUAN. cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Transkripsi:

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 ABSTRAK Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif, di mana penelitian yang dilakukan adalah dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan yang ada (library research) yang berhubungan dengan judul yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa benda-benda apa saja yang dapat disita untuk dijadikan barang bukti, bagaimana bentuk dan tatacara penyitaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum serta bagaimana tanggung jawab penyidik atas benda sitaan. Pertama, benda yang dapat disita. Penyitaan merupakan tindakan pengambilalihan benda untuk disimpan dan ditaruh di bawah penguasaan penyidik. Terhadap benda apa saja penyitaan dapat diletakkan, atau terhadap jenis benda yang bagaimana sita dapat dilakukan, apabila benda yang bersangkutan ada keterlibatannya dengan tindak pidana guna untuk kepentingan pembuktian pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan sidang peradilan. Kedua, bentuk dan tatacara penyitaan. Penyitaan dengan bentuk dan prosedur biasa merupakan aturan umum penyitaan. Sebagai pengecualian penyitaan biasa berdasar aturan umum yang diuraikan terdahulu, KUHAP Pasal 38 ayat (2) memberi kemungkinan melakukan penyitaan tanpa melalui tata cara yang ditentukan KUHAP Pasal 38 ayat (1). Ketiga, peralihan tanggung jawab penyidik atas benda sitaan.terhadap benda sitaan terjadi peralihan status, kewenangan dan pertanggungjawaban yuridis sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara. Peralihan atas benda sitaan, sama prinsipnya dengan 1 Artikel Skripsi 2 NIM 090711404 peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas penahanan.tanggung jawab yuridis atas benda sitaan menjadi kewenangan dan beban hukum bagi setiap aparat penegak hukum sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan telah diatur secara rinci dalam pasal 39 KUHAP. KUHAP mengatur dan memberikan kewenangan kepada Penyidik untuk melakukan tindakan penyitaan terhadap benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud.mengenai peralihan tanggung jawab yuridis benda sitaan dapat dikatakan sama dengan peralihan tanggung jawab yuridis terhadap tahanan. Kata kunci: Penyidik, Benda Sitaan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengertian penyitaan, dirumuskan dalam Pasal 1 butir ke-16, yang berbunyi Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Tujuan penyitaan agak berbeda dengan penggeledahan. Seperti yang sudah dijelaskan, tujuan penggeledahan dimaksudkan untuk kepentingan penyelidikan atau untuk kepentingan pemeriksaan penyidikan. Lain halnya dengan penyitaan. Tujuan penyitaan, untuk kepentingan pembuktian, terutama ditujukan sebagai barang bukti di muka sidang peradilan. Kemungkinan besar tanpa barang bukti, perkara tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan. Oleh karena itu agar perkara tadi lengkap dengan barang bukti, penyidik melakukan penyitaan untuk dipergunakan sebagai bukti dalam penyidikan, dalam penuntutan dan 59

pemeriksaan persidangan pengadilan. Kadang-kadang barang yang disita, bukan milik tersangka. Adakalanya barang orang lain yang dikuasainya secara melawan hukum, seperti dalam perkara pidana pencurian. Atau memang barang tersangka tapi yang diperolehnya dengan jalan melanggar ketentuan undang-undang atau diperoleh tanpa izin yang sah menurut perundang-undangan, seperti dalam tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi. Dalam KUHAP pasal 41 diatur tentang penyitaan surat/surat kawat/surat teleks dan surat yang sejenis dalam keadaan tertangkaptangan, dan pasal 42 mengatur tentang penyitaan surat/tulisan dari orang yang menguasai surat yang berasal/ditujukan/diperuntukan bagi tersangka/terdakwa atau merupakan alat untuk melakukan tindak pidana. Sedangkan yang diatur dalam pasal 43 adalah mengenai penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka/orang tertentu yang menguasai/menyimpan, yang menurut undang-undang berkewajiban untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, misalnya surat/tulisan yang disimpan Notaris. Ketentuan yang diatur dalam pasal 43 tersebut tidak berlaku untuk surat/tulisan yang menyangkut rahasia negara. Penyitaan surat/tulisan sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 KUHAP hanya dapat dilakukan oleh Penyidik dengan persetujuan dari orang/pejabat yang menyimpannya menurut undang-undang. B. PERUMUSAN MASALAH 1. Benda-benda apa saja yang dapat disita untuk dijadikan barang bukti? 2. Bagaimana bentuk dan tatacara penyitaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum? 3. Bagaimana akibat hukum dan peralihan tanggung jawab penyidik atas benda sitaan? C. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif, 3 di mana penelitian yang dilakukan adalah dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan yang ada (library research) yang berhubungan dengan judul yang diteliti. Adapun bahan-bahan pustaka sebagai data sekunder antara lain teori hukum pidana, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP khususnya yang berkaitan dengan penyitaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, ditambah dengan bahan-bahan literatur lain yang ada hubungannya dengan judul karya tulis ini. PEMBAHASAN A. Benda Yang Dapat Disita Apakah penyitaan dapat dilakukan atau diletakkan terhadap semua benda tanpa mempersoalkan status hukum benda itu? Atau benda yang bagaimana sifat dan keadaannya yang dapat dilakukan atau diletakkan sita? Tentu ada batasan agar dapat ditegakkan kepastian hukum. Kalau tidak ada batasan, berarti terhadap semua benda yang bagaimanapun keadaan dan statusnya, dapat diletakkan sita oleh penyidik. Pasal-pasal penyitaan, terutama Pasal 39 dihubungkan dengan Pasal 1 butir 16. Dari semua isi ketentuan pasal dimaksud, telah digariskan prinsip hukum dalam penyitaan benda, yang memberi batasan terming benda yang bagaimana yang dapat diletakkan penyitaan. Prinsip itu menegaskan; benda yang dapat disita menurut undang-undang (KUHAP) hanya benda-benda yang adahubungannya dengan tindak pidana. Jika suatu benda tidak ada kaitan atau keterlibatan dengan tindak pidana, terhadap benda-benda tersebut tidak dapat diletakkan sita. Oleh 3 SoerjonoSoekanto& Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 13-14. 60

karena itu, penyitaan benda yang tidak ada sangkut-pautnya dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dianggap merupakan penyitaan yang bertentangan dengan hukum, dan dengan sendirinya penyitaan tidak sah. Konsekuensinya, orang yang bersangkutan dapat meminta tuntutan ganti rugi baik kepada Praperadilan apabila masih dalam tingkat penyidikan dan kepada Pengadilan Negeri apabila perkaranya sudah diperiksa di persidangan. Terhadap benda apa saja penyitaan dapat diletakkan, atau terhadap jenis benda yang bagaimana sita dapat dilakukan, apabila benda yang bersangkutan ada keterlibatannya dengan tindak pidana guna untuk kepentingan pembuktian pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan sidang peradilan, ditentukan dalam Pasal 39. Ayat (1) : Yang dapat dikenakan penyitaan adalah: i. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana, ii. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana, iii. benda yang dipergunakan menghalanghalangi penyidikan tindak pidana. iv. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana, v. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Ayat (2) : Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1). Artinya sepanjang benda sitaan perkara perdata mempunyai kaitan dengan suatu tindak pidana yang sedang diperiksa baik benda itu merupakan hasil atau diperoleh dari tindak pidana atau benda sitaan perdata tadi dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana ataupun benda sitaan perdata tersebut diperuntukkan melakukan tindak pidana. Menurut Pasal 39 ayat (2) KUHAP, penyitaan dalam proses perkara pidana, menjangkau: 1) penyitaan barang yang telah di ConsevatoirBeslag (disita) dalam sitaan perkara perdata, 2) penyitaan barang yang berada dalam sita pailit atau budel pailit. 4 Jadi menurut Pasal 39 ayat (2) KUHAP, untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana, barang yang disita dalam perkara perdata dan pailit, dapat disita dalam perkara pidana. Agar penyitaan dalam konteks yang seperti itu betul-betul objektif, pengadilan harus benar-benar mempertimbangkan faktor relevansi dan urgensi yang digariskan Pasal 39 secara utuh. - Segi relevansi, menunjuk kepada persyaratan barang yang boleh disita menurut Pasal 39 ayat (1) KUHAP, hanya terbatas: a) benda atau tagihan tersangka/terdakwa (seluruh atau sebagian), diduga : - diperoleh dari tindak pidana, atau - sebagai hasil dari tindak pidana, b) benda yang digunakan baik secara langsung: - melakukan tindak pidana, atau - mempersiapkan tindak pidana, c) benda yang digunakan menghalangi penyidikan, d) benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana. e) benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Tahun 1981. 61

Segi urgensi, telah ditegaskan dalam Pasal 39 ayat (2): penyitaan untuk kepentingan pemeriksaan. B. Bentuk dan Tatacara Penyitaan Memperhatikan ketentuan yang mengatur penyitaan, undang-undang membedakan beberapa bentuk tata cara penyitaan. Ada yang berbentuk biasa dengan tata cara pelaksanaan biasa. Bentuk yang biasa dengan tata cara yang biasa merupakan landasan aturan umum penyitaan. Akan tetapi, pembuat undangundang telah memperkirakan kemungkinan yang timbul dalam konkreto. Berdasar perkiraan kemungkinan itu mendorong pembuat undang-undang mengatur berbagai bentuk dan tata cara penyitaan, agar penyitaan bisa terlaksana efektif dalam segala kejadian. 1. Penyitaan Biasa dan Tata Caranya Penyitaan dengan bentuk dan prosedur biasa merupakan aturan umum penyitaan. Selama masih mungkin dan tidak ada halhal yang luar biasa atau keadaan yang memerlukan penyimpangan, aturan bentuk dan prosedur biasa yang ditempuh dan diterapkan penyidik. Penyimpangan dari aturan bentuk dan tata cara biasa, hanya dapat dilakukan apabila terdapat keadaankeadaan yang mengharuskan untuk mempergunakan aturan bentuk dan prosedur lain, sesuai dengan keadaan yang mengikuti peristiwa itu dalam kenyataan. Adapun tata cara pelaksanaan penyitaan bentuk biasa atau yang umum dapat diuraikan sebagai berikut. a. Harus Ada Surat Izin Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri Sebelum penyidik melakukan penyitaan, lebih dulu meminta izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Dalam permintaan tersebut, penyidik memberi penjelasan dan alasan-alasan pentingnya dilakukan penyitaan, guna dapat memperoleh barang bukti baik sebagai barang bukti untuk penyidikan, penuntutan, dan untuk barang bukti dalam persidangan pengadilan. 5 b. Memperlihatkan atau Menunjukkan Tanda Pengenal Syarat kedua yang harus dipenuhi penyidik, menunjukkan tanda pengenal jabatan kepada orang dari mana benda itu akan disita. Hal ini perlu agar ada kepastian bagi orang yang bersangkutan bahwa dia benar-benar berhadapan dengan petugas penyidik (Pasal 128). Dengan adanya ketentuan ini, tanpa menunjukkan lebih dulu tanda pengenal, orang yang hendak disita berhak menolak tindakan dan pelaksanaan penyitaan. c. Memperlihatkan Benda yang AkanDisita (Pasal 129) Penyidik harus memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dan mana benda itu akan disita, atau kalau tidak kepada orang bersangkutan, dapat juga dilakukan terhadap keluarganya. Hal ini untuk menjamin adanya kejelasan atas benda yang disita. Dan pada saat penyidik memperlihatkan benda dimaksud kepada orang tersebut atau keluarganya, penyidik dapat meminta keterangan kepada mereka tentang asal usul benda yang akan disita. d. Penyitaan dan Memperlihatkan Benda Sitaan Harus Disaksikan oleh Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dengan Dua Orang Saksi Syarat atau tata cara selanjutnya, ada kesaksian dalam penyitaan dan memperlihatkan barang yang akan disita. Dengan ketentuan ini, pada saat penyidik akan melakukan penyitaan, harus membawa saksi ke tempat pelaksanaan sita, sekurang-kurangnya tiga orang. Saksi 5 Andi Hamzah, Pengaturan Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 28. 62

pertama dan utama ialah kepala desa atau ketua lingkungan (Ketua RT, RW), ditambah dua orang saksi lainnya (Pasal 129 ayat (1)). e. Membuat Berita Acara Penyitaan Pembuatan berita acara diatur dalam Pasal 129 ayat (2) yang menjelaskan: - setelah berita acara selesai dibuat, penyidik membacakan di hadapan atau kepada orang dari mana benda itu disita atau kepada keluarganya dan kepada ketiga orang saksi, - jika mereka telah dapat menerima dan menyetujui isi berita acara, penyidik memberi tanggal pada berita acara, - kemudian sebagai tindakan akhir dari pembuatan berita acara, masing-masing mereka membubuhkan tanda tangan pada berita acara penyitaan (penyidik, orang yang bersangkutan atau keluarganya dan ketiga orang saksi masing-masing membubuhkan tanda tangan pada berita acara). 6 f. Menyampaikan Turunan Berita Acara Penyitaan Kalau diperhatikan kewajiban penyidik dalam penyampaian turunan berita acara penyitaan, pembuat undang-undang sangat cenderung agar tindakan penyidik dalam melaksanakan wewenang melakukan penyitaan, benar-benar diawasi dan terkendali. Pengawasan dan pengendalian itu dibuat sedemikian rupa, sehingga dapat meliputi kalangan lingkungan yang agak luas. g. Membungkus Benda Sitaan Demi untuk menjaga keselamatan benda sitaan, Pasal 130 telah menentukan caracara pembungkusan benda sitaan: - dicatat beratnya atau jumlahnya menurut jenis masing-masing benda sitaan, Kalau jenisnya sulit ditentukan, 6 Martiman Prodjohamidjojo, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hal. 101 sekurang-kurangnya dicatat ciri maupun sifat khasnya, - dicatat hari tanggal penyitaan, - tempat dilakukan penyitaan, - identitas orang duri mana benda itu disita, - kemudian diberi lak dan cap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik. Seandainya benda sitaan tidak mungkin dibungkus sesuai dengan ketentuan Pasal 130 ayat (1) di atas, ayat (2) pasal tersebut menentukan: - membuat catatan selengkapnya seperti apa yang disebut pada ayat 1 di atas. - catatan itu ditulis di atas label yang ditempelkan atau dikaitkan pada benda sitaan. 2. Penyitaan dalam Keadaan Perlu dan Mendesak Sebagai pengecualian penyitaan biasa berdasar aturan umum yang diuraikan terdahulu, Pasal 38 ayat (2) memberi kemungkinan melakukan penyitaan tanpa melalui tata cara yang ditentukan Pasal 38 ayat (1). Hal ini diperlukan untuk memberi kelonggaran kepada penyidik bertindak cepat sesuai dengan keadaan yang diperlukan. Seandainya pada setiap kasus penyidik diharuskan menempuh prosedur penyitaan seperti yang diatur pada Pasal 38 ayat (1), kemungkinan besar penyidik mengalami hambatan dalam pencarian dan penemuan bukti tindak pidana. Untuk menjaga kemungkinan kemacetan dan hambatan pada kasus tertentu yang mengharuskan penyidik segera bertindak dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, dapat menempuh tata cara penyitaan yang ditentukan Pasal 41. Landasan alasan penyimpangan ini, didasarkan kepada kriteria: dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak. 3. Penyitaan dalam Keadaan Tertangkap Tangan Penyitaan benda dalam keadaan 63

tertangkap tangan merupakan pengecualian penyitaan biasa. Dalam keadaan tertangkap tangan, penyidik dapat langsung menyita sesuatu benda dan alat: yang ternyata digunakan untuk melakukan tindak pidana, atau benda dan alat yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana, atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. C. Akibat Hukum Peralihan Tanggung Jawab Penyidik atas Benda Sitaan Pada taraf pemeriksaan penyidikan status penahanan tersangka adalah sebagai tahanan penyidik yang tunduk kepada instansi penyidik. Apabila pemeriksaan meningkat kepada taraf penuntutan, beralih status penahanan menjadi tahanan penuntut umum, dan tunduk kepada kewenangan dan tanggung jawab yuridis instansi penuntut umum, Selanjutnya, dan penuntut umum beralih kepada Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Negeri beralih pula kepada Pengadilan Tinggi pada tingkat banding dan dari tingkat banding kepada Mahkamah Agung pada tingkat kasasi. Apakah peralihan status, kewenangan, dan pertanggungjawaban atas penahanan berlaku dan dijumpai dalam benda sitaan? Memang benar demikian. Terhadap benda sitaan terjadi peralihan status, kewenangan dan pertanggungjawaban yuridis sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 44 ayat (2) KUHAP dan Pasal 30 ayat (2)PP No. 27/1983. Akan tetapi, sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai peralihan status, atas benda sitaan, ada baiknya dibicarakan lebih dulu pemisahan tanggung jawab atas benda sitaan. Pemisahan tanggung jawab atas benda sitaan didasarkan atas ketentuan Pasal 30 ayat (1) dan (2) PP No. 27/1983. Berdasar ketentuan ini, tanggung jawab atas benda sitaandipisah antara tanggung jawab secara yuridis dan secara fisik. - tanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan berada di tangan pejabat sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara, - tanggung jawab secara fisik atas benda sitaan berada di tangan Kepala Rupbasan. 7 Demikianlah pembagian tanggung jawab benda sitaan. Cuma dalam uraian akan kita pusatkan membicarakan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan. 1. Kewenangan dan Peralihan Tanggung Jawab Penyidik Atas Benda Sitaan Seperti yang ditegaskan Pasal 38, penyitaan merupakan tindakan yang diberikanundang-undang kepada penyidik sesuai dengan asas spesialisasi dan diferensiasi fungsional. Pada lazimnya, penyitaan dilakukan penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan. Namun hal itu tidak mengurangi kemungkinan untuk melakukan penyitaan pada tingkat penuntutan atau pemeriksaan pengadilan dengan jalan mengeluarkan surat perintah atau penetapan, yang pelaksanaannya di lapangan dilakukan aparat penyidik. Apa yang disebut di atas termasuk bidang fungsi aparat penyidik, yakni salah satufungsi aparat penyidik, berwenang melakukan tindakan penyitaan. Akan tetapi fungsi penyitaan berbeda dengan atas benda sitaan. Pada kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan, bukan tindakan pelaksanaan dan tata cara penyitaan atas benda sitaan yang dipermasalahkan. Yang jadi pokok utama pada kewenangan dan tanggung jawab 7 Amiruddin Hamzah, Kebutuhan Surat dalam Praktek Proses Pidana (Proses Beracara), Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 74. 64

yuridis atas benda sitaan ialah mengenai hubungan hukum dan peralihan hukum antara penyidik dengan benda sitaan. Serupa halnya dalam kewenangan dan tanggung jawab yuridis penahanan. Bukan tindakan penahanannya yang dipersoalkan, tetapi hubungan hukum dan tanggung jawab hukum antara instansi yang menahan dengan orang yang ditahan. Berbicara mengenai kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan, kurang mendapat perhatian dalam undangundang. Malahan undang-undang tidak menyinggung masalah peralihan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan. Namun demikian, dari bunyi Pasal 45 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (2) PP No. 27/1983, kita dapat menarik kesimpulan tentang: - adanya kewenangan dan tanggung jawab penyidik atas benda sitaan, dan - adanya peralihan tanggung jawab yuridis instansi penyidik atas benda sitaan. a. Saat Mulainya Timbul Kewenangan dalam Taraf Penyidikan Kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan pada instansi penyidik, sejak saat benda itu disita dan ditempatkan di Rupbasan. Sejak penyidik menyita suatu benda dalam pemeriksaan penyidikan, kemudian menyimpan benda sitaan dalam Rupbasan, sejak itu terjalin kewenangan dan tanggung jawab yuridis aparat penyidik atas benda sitaan, dan hal itu berlangsung selama pemeriksaan perkara berada dalam tingkat penyidikan. Selama pemeriksaan perkara masih dalam taraf penyidikan, kewenangan dan tanggung jawab sepenuhnya atas benda sitaan mutlak berada di tangan aparat penyidik. Instansi penuntut umum atau pengadilan tidak dapat mencampuri kewenangan dan tanggung jawab tersebut. Kewenangan dan tanggung jawab yuridis aparat penyidik atas benda sitaanassessor dengan tingkat pemeriksaan yang diberikan undang-undang kepadanya. Itu sebabnya status benda sitaan yang kewenangan dan tanggung jawab yuridisnya berada di tangan aparat penyidik, lazim disebut benda sitaan penyidikan. Ini berarti, selama benda sitaan berada dalam status penyidikan, penyidik berwenang dan bertanggung jawab melakukan tindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 dan Pasal 46. b. Pengembalian Benda Sitaan oleh Penyidik Menurut ketentuan Pasal 46 maupun penjelasan pasal tersebut, selama berlangsung pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, aparat penyidik berwenang mengembalikan benda sitaan: - kepada orang dari siapa benda sitaan itu disita, atau - kepada orang yang paling berhak. Kewenangan pengembalian benda sitaan, oleh undang-undang digantungkan kepada beberapa syarat. Tidak dipenuhi syarat tersebut, pengembalian itu kurang dapat dipertanggungjawabkan dari segi hukum. Oleh karena itu, agar pengembalian barang sitaan yang dilakukan penyidik benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dan tidak menyalahi maksud yang terkandung dalam tindak penyitaan: 1) Benda sitaan tidak diperlukan untuk kepentingan pembuktian. 2) Pemeriksaan perkara dihentikan dalam penyidikan. 3) Meminjam benda sitaan. c. Kewenangan Penyidik Mengubah Status Benda Sitaan Kewenangan lain yang dimiliki penyidik alas benda sitaan adalah: - mengubah status benda sitaan Status benda sitaan penyidikan, diubah dengan penjualan lelang, pengamanan atau dikembalikan kepada orang dari siapa benda itu disita. 65

- meminjamkan benda sitaan Di sini status benda masih tetap benda sitaan. Cuma dipinjamkan kepada orang dari siapa benda itu disita. Peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan, sama prinsipnya dengan peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas penahanan. Oleh karena itu, peralihan atas benda sitaanassessor dengan tingkat pemeriksaan perkara. Tanggung jawab yuridis atas benda sitaan menjadi kewenangan dan beban hukum bagi setiap aparat penegak hukum sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Tanggung jawab yuridis atas benda sitaan pada aparat penyidik, selama pemeriksaan penyidikan masih berlangsung. Beralihnya tingkat pemeriksaan kepada taraf penuntutan, dengan sendirinya mengalihkan atas benda itu ke tangan penuntut umum. Dengan berlangsungnya pengalihan pemeriksaan dari tingkat penyidikan ke tingkat penuntutan, berakhir kewenangan dan tanggung jawab penyidik atas benda sitaan, dan sekaligus beralih kewenangan dan tanggung jawab yuridisnya kepada penuntut umum. Mengenai patokan tanggal peralihan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan dari tingkat penyidikan ke tingkat penuntutan, sama dengan peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas penahanan dari tingkat penyidikan ke tingkat penuntutan. Oleh karena itu, pada saat tanggal terjadi peralihan kewenangan dan tanggung jawab penahanan dan penyidik kepada penuntut umum, dengan sendirinya peralihan itu diikuti bersamaan oleh atas benda sitaan. Bagaimana jika penyitaan benda tidak dibarengi dengan penahanan atas tersangka? Patokan tanggal mana yang dijadikan tanggal peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan dari tingkat penyidikan ke tingkat penuntutan? Patokan tanggalnya tetap sama, yakni patokan tanggal peralihan dihitung sejak saat diserahkan berkas perkara oleh penyidik kepada penuntut umum dalam tingkat penuntutan. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Adapun mengenai benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan telah diatur secara rinci dalam pasal 39 KUHAP, yaitu sebagai berikut: a. Benda atau tagihan tersangka/terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperolehdari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan (Pasal 39 ayat (2) KUHAP). Benda yang berada dalam status penyitaan perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan, sepanjang benda tersebut ada hubungannya dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat (1) KUHAP. 2. KUHAP mengatur dan memberikan kewenangan kepada Penyidik untuk melakukan tindakan penyitaan terhadap benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud. Akan 66

tetapi benda yang dapat disita terbatas pada benda-benda yang ada hubungannya dengan terjadinya tindak pidana. Jadi tindakan penyitaan yang dilakukan oleh Penyidik tersebut adalah semata-mata untuk kepentingan pembuktian dalam pemeriksaan penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Oleh karena itu tindakan penyitaan yang tidak ada hubungannya dengan tindak pidana dapat dianggap/dinilai sebagai tindakan penyitaan yang tidak sah (bertentangan dengan hukum). Dan terhadap pejabat yang melakukan penyitaan yang tidak sah tersebut dapat dituntut untuk membayar ganti kerugian melalui Praperadilan (pasal 95 KUHAP). 3. Mengenai peralihan tanggung jawab yuridis benda sitaan dapat dikatakan sama dengan peralihan tanggung jawab yuridis terhadap tahanan. Oleh karena itu untuk mengetahui terhitung sejak kapan/tanggal berapa telah terjadi peralihan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan dan Penyidik kepada Penuntut Umum, dari Penuntut Umum kepada Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi dan dari Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung dapat berpatokan kepada ketentuanketentuan yang berlaku bagi peralihan tanggung jawab yuridis mengenai tahanan atau wewenang untuk melakukan penahanan. Bagaimana kalau dalam perkara yang bersangkutan tersangka/terdakwanya tidak ditahan? Dalam hal suatu perkara tersangka/terdakwa tidak ditahan, maka peralihan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan untuk tingkat penyidikan ke tingkat penuntutan dan dari tingkat penuntutan kepada Pengadilan Negeri dapat berpatokan kepada peralihan tanggung jawab yuridis atas berkas perkara. Sedangkan dari Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi dapat berpedoman pada Pasal 238 ayat (2) KUHAP dan dari Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung dapat berpedoman pada Pasal 253 ayat (4) KUHAP. B. Saran 1. Diharapkan bagi aparat penegak hukum terutama aparat penyidik dalam hal penyitaan harus memperhatikan pasal 1 butir 6 KUHAP, pasal 8 ayat (3) huruf b, pasal 40, 45 ayat (2), pasal 46 ayat (2), pasal 181 ayat (1), pasal 194, pasal 197 ayat (1) huruf I guna kepentingan barang bukti dalam proses peradilan. 2. Memperhatikan pasal 184 KUHAP, dapat diketahui dengan jelas bahwa benda sitaan/barang bukti tidak termasuk sebagai alat bukti yang sah. Kalau demikian, apa gunanya barang bukti tersebut diajukan di depan pengadilan, apa mempunyai fungsi atau nilai dalam upaya hukum pembuktian? 3. Untuk dapat meyakinkan hakim dalam hal benda sitaan harus memperhatikan apakah benda sitaan itu dapat bermanfaat/kegunaannya, fungsi dalam upaya pembuktian sarana pendukung untuk memperkuat keyakinan hakim? (pasal 181 KUHAP). DAFTAR PUSTAKA Garuda NusautaraAddul Hakim, Luhut MP Pangaribuan, Mas Achmad Santosa, KUHAP dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, Jambatan, Jakarta, 1992. Hamzah A. &IrdanDahlan, Perbandingan KUHAP, HIR dan Komentar, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984. 67

Hamzah Amiruddin, Kebutuhan Surat dalam Praktek Proses Pidana (Proses Beracara), Mandar Maju, Bandung, 2003. Hamzah Andi, Pengaturan Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985. Harahap M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidik dan Penuntut, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Kuffal H.M.A., Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum, Universitas Muhamadiah, Malang (UMM), 2004. Makarao Mohamad Taufik &Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004. PangaribuanLuhut M.P., Hukum Acara Pidana Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advokad, PraperadilanEksepsi, Pledoi, Duplik, Memori Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Djambatan, Jakarta, 2005. ProdjohamidjojoMartiman, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990 Sasangka Hari, Penyidikan Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2007. SoekantoSoerjono& Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001. Soesilo R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, KUHP, Politeia, 1979. TahirHadariDjenawi, Pokok-pokok Pikiran Dalam KUHAP, Alumni, Bandung, 198. Waluyo Bambang, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 1992. Sumber-sumber Lain : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Tahun 1981. 68