TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MODEL PENGELOLAAN SAMPAH DOMESTIK PERMUKIMAN PENDUDUK DI PINGGIR SUNGAI MUSI KOTA PALEMBANG DENGAN PENDEKATAN REDUCE, REUSE, RECYCLE DAN PARTISIPASI

I. PENDAHULUAN. Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGOLAHAN SAMPAH DENGAN SISTEM 3R (REDUCE, REUSE, RECYCLE)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam semua aspek kehidupan manusia selalu menghasilkan manusia

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Temuan Utama

BAB I PENDAHULUAN. dari semua pihak, karena setiap manusia pasti memproduksi sampah, disisi lain. masyarakat tidak ingin berdekatan dengan sampah.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA.

KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2012 SERI E.3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

BAB I PENDAHULUAN. PPK Sampoerna merupakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan terpadu yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. manusia yang beragam jenisnya maupun proses alam yang belum memiliki nilai

BUPATI POLEWALI MANDAR

BAB I PENDAHULUAN. ditanggung alam karena keberadaan sampah. Sampah merupakan masalah yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pembangunaan kesehatan menuju Indonesia sehat ditetapkan enam

Timbulan sampah menunjukkan kecenderungan kenaikan dalam beberapa dekade ini. Kenaikan timbulan sampah ini disebabkan oleh dua faktor dasar, yaitu 1)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SAMPAH SEBAGAI SUMBER DAYA

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP Sampah rumah tangga. Raperda. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG,

PERATURAN DESA SEGOBANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA SEGOBANG,

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG,

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari

POTENSI PENERAPAN PRINSIP 3R DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI DESA NGENEP KECAMATAN KARANGPLOSO KABUPATEN MALANG

KUESIONER PENELITIAN

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERSAMPAHAN DAN KEBERSIHAN

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERAN GENDER DALAM MENANGANI PERMASALAHAN SAMPAH. Oleh : Tri Harningsih, M.Si

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

DAMPAK KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) TERHADAP KONDISI LINGKUNGAN DI DESA SUKOSARI KECAMATAN JUMANTONO KABUPATEN KARANGANYAR

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN

VII. PEMBAHASAN UMUM 7.1. Visi Pengelolaan Kebersihan Lingkungan Berkelanjutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang

BAB 1 PENDAHULUAN. semakin banyak di Indonesia. Kini sangat mudah ditemukan sebuah industri

Kajian Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Secara Terpadu Di Kampung Menoreh Kota Semarang. Tugas Akhir

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dan memberikan pengaruh satu sama lain, mulai dari keturunan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sampah merupakan suatu sisa-sisa benda yang tidak diinginkan setelah berakhirnya

PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN ( Pertemuan ke-7 ) Disampaikan Oleh : Bhian Rangga Program Studi Pendidikan Geografi FKIP -UNS 2013

BAB II TINJAUAN UMUM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT. Lingkungan hidup manusia adalah jumlah semua benda dan kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. penduduk dan meningkatnya kegiatan pembangunan (Thrihadiningrum, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. yang dianggapnya sudah tidak berguna lagi, sehingga diperlakukan sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung yang dikategorikan sebagai kota yang sedang berkembang,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN. 1. Tersedianya dokumen perencanaan pengelolaan air limbah

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN LAMONGAN

1. Pendahuluan ABSTRAK:

KONSEPSI PENANGANAN SAMPAH PERKOTAAN SECARA TERPADU BERKELANJUTAN *)

2015 STUDI TENTANG PEMBERDAYAAN PARTISIPATIF DALAM MEMBANGUN KEMANDIRIAN EKONOMI DAN PERILAKU WARGA MASYARAKAT

PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Volume sampah setiap harinya terus bertambah banyak sampah begitu saja di

BAB I PENDAHULUAN. Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992

BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN 6% 1% Gambar 1.1 Sumber Perolehan Sampah di Kota Bandung

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH SPESIFIK

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia akhir-akhir ini mengalami tingkat

KUISIONER FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI KAMPUNG APUNG RT10/01 KELURAHAN KAPUK JAKARTA BARAT

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4.1 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan Promosi Hygiene

BUPATI POLEWALI MANDAR

INVENTARISASI SARANA PENGELOLAAN SAMPAH KOTA PURWOKERTO. Oleh: Chrisna Pudyawardhana. Abstraksi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI. Kabupaten Balangan. 2.1 Visi Misi Sanitasi

PROFIL DINAS LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN WONOGIRI

PERINGATAN HARI LINGKUNGAN HIDUP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

B P L H D P R O V I N S I J A W A B A R A T PENGELOLAAN SAMPAH DI PERKANTORAN

BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 12 TAHUN 2005 SERI E NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN KEBERSIHAN

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH MENUJU INDONESIA BERSIH SAMPAH 2020 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP L/O/G/O

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. simulasi komputer yang diawali dengan membuat model operasional sistem sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Limbah padat atau sampah padat merupakan salah satu bentuk limbah

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

MAKALAH PROGRAM PPM. Pemilahan Sampah sebagai Upaya Pengelolaan Sampah Yang Baik

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model Pemodelan merupakan suatu aktivitas pembuatan model. Secara umum model memiliki pengertian sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual. Model memperhatikan hubungan langsung ataupun tidak langsung serta kaitan timbal balik yang dikenal dalam istilah sebab-akibat. Model merupakan gambaran dari realita sehingga perwujudannya menjadi kurang komplek dibandingkan realita itu sendiri. Model dianggap baik apabila dapat mewakili segenap aspek dari pada realitas yang sedang dikaji (Eriyatno 2003). Menurut Manetsch and Park (1977) model merupakan penggambaran dari sistem dunia nyata(riil), yang bertindak seperti dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu. Model dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu model kuantitatif, kualitatif, dan ikonik (Muhammadi et al. 2001). Model yang baik akan memberikan gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan. Menurut Pusat Penelitian Energi Lembaga Penelitian Institut Teknologi Bandung (1996), pengenalan terhadap model dilakukan melalui penyelidikan perilaku historis (historical behavior) dan penetapan skenario referensi, sebagai titik tolak usaha simulasi selanjutnya. Bila kesesuaian perilaku antara model mental, model eksplisit dan kenyataan empiris telah didapat, model dapat digunakan untuk melakukan analisis kebijakan. Langkah pertama dalam menyusun model adalah menentukan struktur model. Struktur model akan memberikan bentuk kepada sistem dan sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal kausal (causal loop) yang menyusun struktur model. Semua perilaku model, bagaimanapun rumitnya dapat disederhanakan menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari masukan, proses, keluaran, dan umpan balik. Menurut Muhammadi et al. (2001) mekanisme tersebut akan bekerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis yang dapat diamati perilakunya dalam bentuk unjuk kerja (level) dari suatu model dinamis. Menurut Muhammadi et al. (2001) untuk memahami struktur dan perilaku sistem yang akan membantu dalam pembentukan model dinamika kuantitatif formal digunakan diagram simpal kausal (causal loop) dan diagram alir

7 (flow chart). Diagram simpal kausal dibuat dengan cara menentukan variabel penyebab yang signifikan dalam sistem dan menghubungkannya dengan menggunakan garis panah ke variabel akibat, dan garis panah tersebut dapat berlaku dua arah jika kedua variabel saling mempengaruhi. Pada sistem dinamis, diagram simpal kausal ini akan dipergunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir yang akan disimulasikan dengan menggunakan program model sistem dinamis, misalnya program powersim. Program powersim dapat memberikan gambaran tentang perilaku sistem dan dengan simulasi dapat ditentukan alternatif terbaik dari sistem yang kita bangun, setelah itu dilakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan, dan kebijakan apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi/mengubah perilaku sistem yang terjadi. Perilaku model sistem dinamis ditentukan oleh keunikan dari struktur model, yang dapat dipahami dari hasil simulasi model. Dengan simulasi akan didapat perilaku dari suatu gejala atau proses yang terjadi dalam sistem, sehingga dapat dilakukan analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Menurut Muhammadi et al. (2001) tahapan-tahapan untuk melakukan simulasi model adalah sebagai berikut: 1. Penyusunan konsep. Pada tahap ini dilakukan identifikasi variabel-variabel yang berperan dalam menimbulkan gejala atau proses. Variabel-variabel tersebut saling berinteraksi, saling berhubungan, dan saling berketergantungan. Kondisi ini dijadikan dasar untuk menyusun gagasan atau konsep mengenai gejala atau proses yang akan disimulasikan. 2. Pembuatan model. Gagasan atau konsep yang dihasilkan pada tahap pertama selanjutnya dirumuskan sebagai model berbentuk uraian, gambar, atau rumus. 3. Simulasi. Simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Pada model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, sedang pada model kualitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan melakukan analisis hubungan sebab akibat antar variabel dengan mamasukkan data atau informasi yang dikumpulkan untuk memahami perilaku gejala atau proses model. 4. Validasi hasil simulasi. Validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala

8 atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi tersebut digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta kecenderungan di masa depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengambil keputusan untuk merumuskan kebijakan di masa mendatang. Pengertian Sampah Pengertian sampah yang umum adalah limbah padat atau setengah padat yang berasal dari kegiatan manusia dalam suatu lingkungan, terdiri atas bahan organik dan anorganik dapat dibakar dan tidak dapat dibakar yang tidak termasuk kotoran manusia (Dirjen Cipta Karya 1991). Menurut Azwar (1996) sampah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak terpakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan manusia dan bersifat padat. Menurut Sa id (1987) sampah adalah limbah padat atau bahan buangan yang dapat terdiri dari tiga bentuk keadaan, yakni limbah padat, limbah cair, dan limbah gas. Definisi lain dikemukakan oleh Hadiwiyoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan baik yang telah diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak bermanfaat, dari segi ekonomis sudah tidak ada harganya serta dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian alam. Pengertian sampah dalam ilmu kesehatan lingkungan adalah sebagian dari benda atau halhal yang dipandang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau harus dibuang sedemikian rupa sehingga tidak sampai mengganggu kelangsungan hidup (Azwar 1996). Kategori sumber penghasil sampah yang sering digunakan: (1) sampah domestik, yaitu sampah yang berasal dari permukiman, (2) sampah komersial, yaitu sampah yang berasal dari lingkungan perdagangan atau jasa komersial berupa toko, pasar, rumah makan, dan kantor, (3) sampah industri, yaitu sampah yang berasal dari suatu proses produksi, dan (4) sampah yang berasal selain dari yang telah disebutkan di atas misalnya sampah dari pepohonan, sapuan jalan, dan bencana alam (Hadiwiyoto 1983). Pengelolaan Sampah Hadiwiyoto (1983) mengemukakan bahwa pengelolaan sampah adalah perlakuan terhadap sampah untuk memperkecil atau menghilangkan masalah-

9 masalah yang berkaitan dengan lingkungan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan sampah antara lain: (1) pengumpulan sampah, (2) tahap pemisahan, (3) tahap pembakaran, dan (4) tahap penimbunan sampah. Hal ini sangat memerlukan penanganan karena masalah sampah berkaitan dengan masalah lingkungan hidup dalam wujud nyata dan mengganggu kehidupan manusia. Pengelolaan sampah adalah pengendalian dan pemanfaatan semua faktor dan sumberdaya, yang menurut suatu perencanaan diperlukan untuk mencapai atau menyelesaikan suatu tujuan kerja tertentu. Dengan demikian pengelolaan merupakan suatu masalah yang besar setelah faktor dan sumberdaya yang sukar untuk dikendalikan dan didayagunakan masuk ke dalam suatu sistem, yaitu manusia (Prajudi 1980). Azwar (1996) menyatakan bahwa ditinjau dari ilmu kesehatan lingkungan, suatu pengelolaan sampah dianggap baik jika sampah tersebut tidak menjadi tempat berkembang biak bibit penyakit serta sampah tersebut tidak menjadi medium perantara penyebarluasan suatu penyakit. Syarat lainnya yang harus terpenuhi dalam pengelolaan sampah ialah tidak mencemari udara, air, atau tanah serta tidak menimbulkan bau dan kebakaran. Haeruman (1979) menyatakan bahwa perencanaan pengelolaan sampah yang komprehensif perlu memperhatikan sumber sampah, lokasi, pergerakan atau peredaran, dan interaksi dari peredaran sampah dalam suatu lingkungan urban. Untuk mencapai hal diatas perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) penyimpanan sampah, (2) pengumpulan sampah, (3) pembuangan sampah, dan (4) pemusnahan sampah. Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Pengumpulan sampah merupakan kegiatan operasi pengumpul sampah dari sumber sampah, sebelum sampah tersebut diangkut ke tempat pengolahan atau pembuangan akhir. Dalam teknis operasional pewadahan memegang peranan yang sangat penting, oleh sebab itu tempat sampah menjadi tanggung jawab individu yang menghasilkan sampah (sumber sampah) tersebut, sedangkan volume tempat penampungan sampah tergantung dari jumlah sampah yang dihasilkan per hari oleh setiap sumber tergantung dari frekuensi dan pola pengumpulan. Tempat sampah perlu didesain sedemikian rupa dan ditempatkan pada tempat yang mudah dijangkau oleh petugas, sehingga akan

10 memudahkan petugas kebersihan untuk mengambil atau memindahkan sampahnya ke dalam peralatan pengumpulan (Dirjen Cipta Karya 1991). Teknis operasional pengelolaan sampah dipengaruhi oleh karakteristik wilayah pelayanan, besarnya timbunan sampah, keserasian pola operasi antara sub-sistem penanganan sampah, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat. Secara umum teknis operasional pengelolaan sampah meliputi pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengolahan, pengangkutan, pembuangan akhir, serta operasi dan pemeliharaan (Rahmadi 1995). Pengelolaan Sampah dengan Pendekatan Reduce, Reuse, dan Recycle. Konsep pengelolaan sampah yang mengintegrasikan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) adalah pengelolaan sampah dimulai dari sumbernya (Bebassari 2000). Reduce adalah mengurangi timbulan sampah pada sumbernya. Reuse adalah sampah yang ada dimanfaatkan sesuai fungsi awal, baik dengan merubah bentuknya atau tetap seperti semula, sedang recycle adalah proses pengolahan sampah yang dapat menghasilkan produk yang bermanfaat kembali. Pendekatan reduce, reuse, recycle memiliki tiga manfaat, yaitu: (1) mengurangi ketergantungan terhadap TPA sampah yang semakin sulit didapatkan, (2) meningkatkan efisiensi pengolahan sampah perkotaan, dan (3) menciptakan peluang usaha bagi masyarakat. Penerapan reduce, reuse, recycle pada pengelolaan sampah akan berhasil dengan baik bila dilakukan dengan melibatkan seluruh aktor (stake holders) terkait, seperti pemerintah, pengusaha, LSM, dan masyarakat. Penerapan reduce, reuse, recycle dilakukan dengan mendirikan tempat pembuatan kompos dan industri kecil daur ulang (recycle) sampah di daerah (kawasan) sumber sampah atau di TPA dengan memberdayakan masyarakat untuk berperan aktif. Konsep dasar pengelolaan sampah dengan reduce, reuse, recycle ini adalah oleh masyarakat, dari masyarakat, dan untuk masyarakat, dengan menerapkan beberapa jenis pengelolaan secara simultan untuk menghasilkan produk dari hasil daur ulang. Pemerintah dalam konsep ini dapat berperan sebagai fasilitator dan penyedia prasarana dan sarana. Daur ulang sampah termasuk pengomposan sampah rumah tangga menjadi tujuan utama kebijakan lingkungan di berbagai negara. Pembangunan fasilitas daur ulang dan pengomposan tersebut diarahkan untuk dapat diakses oleh rumah tangga (Tucker et al. 1998).

11 Pengelolaan sampah secara terpadu yang melibatkan pengomposan, proses daur ulangan, dan pembakaran (Inceneration) dapat mereduksi sampah sampai 96%. Sisa pembakaran berupa residu hanya tinggal 4%, dan residu yang berbentuk abu ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan (Bebassari 2000). Keberhasilan pengelolaan sampah secara terpadu ini tergantung dari partisipasi masyarakat, sebagai penghasil utama sampah. Partisipasi masyarakat ini dapat berupa pemilahan antara sampah organik dan sampah anorganik dalam proses pewadahan, atau melalui pembuatan kompos dalam skala keluarga dan mengurangi penggunaan barang yang tidak mudah terurai. Partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat pada hakekatnya adalah keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah dan strategi kebijaksanaan kegiatan, memikul beban dalam pelaksanaan kegiatan, dan ikut memanfaatkan hasil-hasilnya secara adil. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan dikelompokkan menjadi 4 tahap, yaitu: (1) partisipasi dalam tahap perencanaan, (2) partisipasi dalam tahap pelaksanaan, (3) partisipasi dalam tahap pemanfaatan hasil pembangunan, dan (4) partisipasi dalam tahap pengawasan. Ada tiga faktor utama yang mendorong masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan: (1) kemauan (2) kemampuan, dan (3) kesempatan. Kemauan berpartisipasi bersumber pada faktor psikologis individu yang menyangkut emosional dan perasaan. Tingkat kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dipenguruhi oleh latar belakang pendidikan, keterampilan, pengalaman, ketersediaan permodalan. Proses pendidikan (formal dan informal) dapat mempengaruhi sikap mental dan perilaku. Sedangkan kesempatan berpartisipasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi, seperti ketersediaan prasarana dan sarana, kelembagaan, regulasi dan birokrasi. Chan (1998) menyatakan bahwa tingkah laku merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap intensitas perilaku, diikuti oleh kontrol perilaku dan norma sosial. Akar masalah lingkungan adalah perilaku manusia, maka melalui kampanye pendidikan dan komunikasi massa untuk perilaku lingkungan yang bertanggungjawab dapat menjadi solusi. Dalam teknik pengambilan sampel, menurut Marimin (2004), dalam pemilihan ahli atau pakar diperlukan kriteria-kriteria tentang ahli, yaitu:

12 (1) praktisi, orang yang bekerja dan berpengalaman dalam bidang tertentu secara otodidak maupun terdidik secara akademis, (2) ilmuan, orang yang mempelajari dan mendalami pengetahuan bidang tertentu lewat jalur formal melalui pendidikan tinggi dan memperdalam karirnya di bidang akademis (perguruan tinggi/lembaga penelitian). Menurut Udin dan Desianti (1994), pakar dipilih diantara praktisi dan memiliki latar belakang pendidikan formal dari Perguruan Tinggi. Akuisisi pengetahuan pakar adalah penyerapan pengetahuan sebanyak mungkin, baik berupa informasi, fakta, ataupun data-data akurat yang luas dan mendalam di bidang tersebut yang dilakukan terhadap pakar.