AKTIVITAS SEKSUAL SETELAH BERANAK DARI KAMBING PERAH PERANAKAN ETAWAH DENGAN TINGKAT PRODUKSI SUSU YANG BERBEDA

dokumen-dokumen yang mirip
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKSUAL ANAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH DARI INDUK DENGAN TINGKAT PRODUKSI SUSU YANG BERBEDA

PEMBERIAN KONSENTRAT DENGAN LEVEL PROTEIN YANG BERBEDA PADA INDUK KAMBING PE SELAMA BUNTING TUA DAN LAKTASI

PERTUMBUHAN PRA-SAPIH KAMBING PERANAKAN ETAWAH ANAK YANG DIBERI SUSU PENGGANTI

KARAKTERISTIK PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETAWAH

PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE) YANG DIBERI PAKAN JERAMI PADI FERMENTASI: PERKEMBANGAN BOBOT HIDUP ANAK SAMPAI PRASAPIH

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

EFISIENSI REPRODUKSI INDUK KAMBING PERANAKAN ETAWAH YANG DIPELIHARA DI PEDESAAN

SINKRONISASI BIRAHI SECARA BIOLOGIS DADA KAMBING PERA'NAKAN ETAWAH

REPRODUKSI AWAL KAMBING KACANG DAN BOERKA-1 DI LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG

FLUKTUASI BOBOT HIDUP KAMBING KACANG INDUK YANG DIKAWINKAN DENGAN PEJANTAN BOER DARI KAWIN SAMPAI ANAK LEPAS SAPIH

KORELASI BOBOT BADAN INDUK DENGAN LAMA BUNTING, LITTER SIZE, DAN BOBOT LAHIR ANAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH

PRODUKTIVITAS DAN NILAI EKONOMI USAHA TERNAK KAMBING PERAH PADA SKALA KECIL

LAJU PERTUMBUHAN PRASAPIH DAN SAPIH KAMBING BOER, KACANG DAN BOERKA-1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

DASAR-DASAR PROGRAM PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA EKOR TIPIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING INDUK: BOER, KACANG DAN KACANG YANG DISILANGKAN DENGAN PEJANTAN BOER

KID CROP KAMBING KACANG (Capra Hircus) di KABUPATEN KONAWE UTARA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Usaha diversifikasi pangan dengan memanfaatkan daging kambing

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

BOBOT LAHIR DAN PERTUMBUHAN ANAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH SAMPAI LEPAS SAPIH BERDASARKAN LITTER ZISE DAN JENIS KELAMIN

PERTUMBUHAN ANAK KAMBING KOSTA SELAMA PERIODE PRASAPIH PADA INDUK YANG BERUMUR LEBIH DARI 4 TAHUN

PENYERENTAKAN'BIRARI DADA DOMBA BETINA - St. CROIX

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

Usman Budi * Staf Pengajar Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PERFORMAN EKONOMI KAMBING KABOER DAN KAMBING KACANG PADA KONDISI STASIUN PENELITIAN CILEBUT

PRODUKTIVITAS TERNAK DOMBA GARUT PADA STASIUN PERCOBAAN CILEBUT BOGOR

PENGARUH UMUR TERHADAP KINERJA S-EKSUAL PADA KAMBING JANTAN PERANAKAN ETAWAH

PRODUKTIVITAS KAMBING HASIL PERSILANGAN KACANG DENGAN PEJANTAN BOER (BOBOT LAHIR,BOBOT SAPIH DAN MORTALITAS)

Laju Pertumbuhan Kambing Anak Hasil Persilangan antara Kambing Boer dengan Peranakan Etawah pada Periode Pra-sapih

DAFTAR PUSTAKA. Blakely, J dan D. H. Bade Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

I. PENDAHULUAN. Kambing merupakan salah satu ternak yang banyak dipelihara dan dikembang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

KARAKTERISTIK MORFOLOGI KAMBING PE DI DUA LOKASI SUMBER BIBIT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nutfah (Batubara dkk., 2014). Sebagian dari peternak menjadikan kambing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

LAMA BUNTING, BOBOT LAHIR DAN DAYA HIDUP PRASAPIH KAMBING BOERKA-1 (50B;50K) BERDASARKAN: JENIS KELAMIN, TIPE LAHIR DAN PARITAS

DINAMIKA POPULASI DAN PRODUKTIVITAS KERBAU DI JAWA : STUDI KASUS DI KABUPATEN SERANG

DOE PRODUCTIVITY AND KID CROP OF ETAWAH GRADE DOES KEPT UNDER INDIVIDUAL AND GROUP HOUSING IN TURI SUB DISTRICT, SLEMAN DISTRICT - DIY PROVINCE

PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE) PADA AGROEKOSISTEM YANG BERBEDA

Performan reproduksi pada persilangan Kambing Boer dan Peranakan Etawah (PE)

AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN

PENGANTAR. Latar Belakang. khususnya masyarakat pedesaan. Kambing mampu berkembang dan bertahan

PRODUKTIVITAS KAMBING KACANG PADA KONDISI DI KANDANGKAN: 1. BOBOT LAHIR, BOBOT SAPIH, JUMLAH ANAK SEKELAHIRAN DAN DAYA HIDUP ANAK PRASAPIH

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

PENERAPAN SINKRONISASI BIRAHI KAMBING BOERKA DENGAN LOKAL DI AREAL PERKEBUNAN BERBASIS TANAMAN JERUK PADA LAHAN KERING

KAJIAN EKONOMI PADA USAHA TERNAK KAMBING PERAH

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sistem pemeliharaan ternak kambing dikecamatan Bangun Purba kabupaten Deli Serdang propinsi Sumatera

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari

Pengaruh Musim Kawin Terhadap Produktifitas Induk Kambing PE Pada Kondisi Pedesaan

MORTALITAS PRASAPIH KAMBING KACANG DAN BOERKA DI STASIUN PERCOBAAN LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG SEI PUTIH

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

RESPON PRODUKSI KAMBING PE INDUK SEBAGAI AKIBAT PERBAIKAN PEMBERIAN PAKAN PADA FASE BUNTING TUA DAN LAKTASI

PENGARUH JENIS SINKRONISASI DAN WAKTU PENYUNTIKAN PMSG TERHADAP KINERJA BERAHI PADA TERNAK KAMBING ERANAKAN ETAWAH DAN SAPERA

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

MATERI DAN METODE. Materi

PEMANFAATAN EFISIENSI REPRODUKSI MELALUI PROGRAM PEMULIAAN DOMBA : STRATEGI PADA PUSAT PEMBIBITAN DAN PEMANFAATANNYA PADA KELOMPOK PETANI PETERNAK

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boerawa merupakan hasil persilangan antara kambing Boer jantan

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

PENGARUH EFEK TETAP TERHADAP BOBOT BADAN PRASAPIH DOMBA PRIANGAN

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

KAJIAN PRODUKTIVITAS TERNAK KAMBING PADA SISTEM PEMELIHARAAN YANG BERBEDA DI KECAMATAN ANDOOLO BARAT KABUPATEN KONAWE SELATAN

Reny Debora Tambunan, Reli Hevrizen dan Akhmad Prabowo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung ABSTRAK

PENYEREMPAKAN BERAHI DENGAN MENGGUNAKAN CIDR PADA DOMBA RAKYAT DI KECAMATAN NAGRAG

ANALISIS POLA USAHA PEMBIBITAN SAPI BALI YANG DIPELIHARA SECARA EKSTENSIF DAN SEMI INTENSIF

PRODUKTIVITAS KAMBING HASIL PERSILANGAN ANTARA PEJANTAN BOER DENGAN INDUK LOKAL (PE) PERIODE PRASAPIH

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. penting di berbagai agri-ekosistem. Hal ini dikarenakan kambing memiliki

Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil 2011

UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN PAKAN PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH MENGGUNAKAN SUPLEMEN KATALITIK

MANAJEMEN PEMELIHARAAN DOMBA PETERNAK DOMBA DI KAWASAN PERKEBUNAN TEBU PG JATITUJUH MAJALENGKA

HIJAUAN GLIRICIDIA SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA

ANALISIS POTENSI REPRODUKSI KAMBING KACANG DI WILAYAH PESISIR KEPULAUAN WANGI-WANGI, KABUPATEN WAKATOBI

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan

PRODUKTIVITAS INDUK DALAM USAHA TERNAK KAMBING PADA KONDISI PEDESAAN

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

Seminar Nosional Peternakan dan lieteriner 199- TATIT S., E. WrNA, B. TANGENIAYA dall I. W. MATHIUS

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

Teem, Teknis Fungsional»n Peneliti ,5 %. Angka ini sebanding dengan laporan Setiadi dan Sitorus (1984), tingkat kematian anak kambing Peranakan

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

Pengaruh Pemberian Probiotik dalam Pakan terhadap Pertambahan Bobot Badan Kambing Kacang

KEJADIAN DAN POLA BERANAK KAMBING KACANG DAN BOER PADA STASIUN PERCOBAAN LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

SeminarNosional Peternakan dan Feienner 1997

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

PERTUMBUHAN KAMBING LEPAS SAPIH YANG DIBERI KONSENTRAT TERBATAS

Analisis litter size, bobot lahir dan bobot sapih hasil perkawinan kawin alami dan inseminasi buatan kambing Boer dan Peranakan Etawah (PE)

UMUR SAPIH OPTIMAL PADA SAPI POTONG

KOMERSIALISASI KAMBING PERANAKAN ETAWAH SEBAGAI PENGHASIL SUSU

ANALISIS EKONOMI USAHA TERNAK KAMBING PE SEBAGAI TERNAK PENGHASIL SUSU DAN DAGING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Domba. karena pakan utamanya adalah tanaman atau tumbuhan. Meski demikian domba

ANALISIS EKONOMI PENGGEMUKAN KAMBING KACANG BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL. Oleh : M. Jakfar dan Irwan* ABSTRAK

Lama Kebuntingan, Litter Size, dan Bobot Lahir Kambing Boerawa pada Pemeliharaan Perdesaan di Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus

Lokakarya Fungsional Non Peneiti 1997 Sistem Perkandangan 1. Dari umur sehari sampai dengan umur 2 mingggu digunakan kandang triplek + kawat ukuran 1

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

Transkripsi:

SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1997 AKTIVITAS SEKSUAL SETELAH BERANAK DARI KAMBING PERAH PERANAKAN ETAWAH DENGAN TINGKAT PRODUKSI SUSU YANG BERBEDA I-KETUTSuTAmA, B. SETIADI, IGM. BUDIARSANA dan Umi ADIATI Balai Peneftian Ternak, P.O. Box 221, CiawiBogor 16002 Kata kunci : Kambing PE, reproduksi, beranak ABSTRAK Suatu penelitian telah dilakukan di stasion perubahan Balai Penelitian Ternak, Ciawi untuk mengamati aktivitas reproduksi (birahi, ovulasi, kadar hormon progesteron dan konsepsi) setelah beranak dari kambing Peranakan Etawah (PE) yang mempunyai tingkat produksi susu rendah (Kelompok L), medium (Kelompok M) dan tinggi (Kelompok H), berdasarkan produksi susu pada laktasi pertama. Semua ternak mendapat pakan dan manajemen pemeliharaan yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan berat badan terendah terdapat pada Kelompok L dan tertinggi pada Kelompok H. Perbedaan berat badan seperti ini terus berlangsung dari awal hingga akhir penelitian. Akan tetapi birahi pertama setelah beranak terjadi sekitar 7-12 hari (P>0,05) lebih awal pada Kelompok L dibandingkan pada Kelompok M dan H. Beberapa ekor ternak menunjukkan birahi sangat dini sekitar 32 hari setelah beranak, dan beberapa ekor lagi sangat lambat yaitu sampai 103 hari setelah beranak. Birahi pertama setelah beranak pada semua ternak selalu diikuti dengan ovulasi dengan rataan- 1,2, 1,1 dan 1,1 masing-masing pada Kelompok L, M dan H. Pada birahi berikutnya, rataan tingkat ovulasi meningkat pada semua kelompok. Dilihat dari profil hormon progesteron selama siklus birahi pertama, terdapat indikasi adanya perkembangan corpus luteum yang kurang sempurna. Rataan kadar hormon progesteron maksimum (1,2 ng/ml) relatif rendah dan terjadi sekitar pertengahan siklus. Kadar hormon ini meningkat pada siklus birahi berikutnya. Interval siklus birahi beragam 17-35 hari, dan tidak ada perbedaan antara ketiga kelompok. Persentase kebuntingan setelah dikawinkan pads biralli ketiga adalah cukup tinggi masing-masing 85,7, 71,4 dan 78,6% pada Kelompok L, M dan H. Pada perkawinan berikutnya semua ternak jadi bunting. Dari basil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ternak dengan produksi susu lebih rendah cenderung menunjukkan aktivitas seksual setelah beranak lebih awal dengan kinerja yang relatif lebih baik dibandingkan dengan ternak pada kelompok dengan produksi susu lebih tinggi. Hal ini mungkin berhubungan dengan perbedaan genotipe dari ternak tersebut mengingat kambing PE yang dipakai dalam penelitian ini adalah kambing PE yang dibeli darn berbagai lokasi di Jawa Tengah dan tidak diketahui tingkat kemurniannya. Nanuln hal ini perlu pengamatan yang lebih rinci. PENDAHULUAN Aktivitas reproduksi ternak kambing lokal (Kacang dan Peranakan Etawah = PE) di Indonesia terjadi sepanjang tahun. Keragaman kinerja reproduksi yang terjadi pada kambing disamping karena variasi genetik diantara individu ternak, jugs akibat perubahan jumlah dan kualitas pakan yang tersedia karena pengaruh musim. Demikian pula, tatalaksana pemeliharaan, 401

Seminar Nasional Peternakan dan Yeteriner 1997:'. terutama tatalaksana perkawinan sangat besar pengaruhnya terhadap performan reproduksi kambing Secara biologis kambing PE adalah cukup prolifik (OBST et al., 1980 ; BASUKI et al., 1982 ; SOESILo et al., 1989) dan mempunyai potensi tinggi untuk mengliasilkan susu walaupun tingkat produksinva masih sangat beragam sekitar 0,45-2,2 1/hari pada kambing PE dewasa (OBST dan NAPITUPULU, 1984) dan 0,3-0,8 kg1hari pada kambing PE muda (SUrAMA et al., 1995). Keragaman tingkat produksi susu ini memberi peluang yang cukup tinggi untuk meningkatkan produksi susu kambing PE melalui seleksi yang tepat dan terarah. Rataan ovulasi kambing PE (1,5) lebih rendah dibandingkan pada kambing Kacang (1,68) dan jumlah anak yang lahir masing-masing adalah 1,43 dan 1,56. Laju ovulasi meningkat dengan bertambahnva umur dan laju ovnfasi- menipakan faktor pembatas utama dari jumlah anak yang dilahirkan. Setiap peningkatan satu unit ovulasi meningkatkan jumlah anak yang dilahirkan sebanvak 0,76 (SUBANDRIYo et al., 1986). Namun proliftkasi ini erat kaitannya dengan tingginya tingkat kematian pra-sapili, yang bisa mencapai 12-50% (NGADIYONO et al., 1984 ; LINGGODJIWO, 1994, ANGGRAENI et al., 1995). Perbaikan tatalaksana pemeliharaan anak pra-sapih seperti pemberian creep.needing terbukti dapat menekan tingkat kematian dan meningkatkan pertumbuhan pra-sapih (MARTAWIDJAYA et al., 1995). Birahi pertama setelah beranak menipakan faktor penting yang mempengaruhi efisiensi reproduksi pada kambing. Makin pendek selang birahi pertama setelah beranak, makin pendek selang beranak dan sebaliknya. Pada ternak domba tingkat kebuntingan pada birahi pertama setelah beranak lebili rendali dibandingkan pada waktu perkawinan berikutnya (SUTAMA, 1992). Hal ini kemungkinan disebabkan proses involusi utenis belum selesai sepenuhnya dan/atau karena laju ovulasi pada birahi pertama setelah beranak relatif rendah. Hal yang sama mungkin terjadi pada kambing. Selang beranak sangat besar dipengaruhi oleh tatalaksana perkawinan yang diberikan pada ternak. Akibatnva beberapa hasil penelitian di lapangan menunjukkan waktu selang beranak pada kambing bervariasi cukup besar yaitu 7-12 bulan (SANDHI et al., 1989 ; SARWONO et al., 1993 ; DJOHARJANI el al., 1993). Kambing PE beranak tiga mempunyai selang beranak lebih pendek (315 hari) dari induk dengan anak tunggal (347 hari) atau kembar dua (347 hari) (SANDHI et al., 1989). Pada penelitian ini diamati aktivitas seksual setelah beranak dari ternak kambing PE dengan tingkat produksi susu yang berbeda. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di stasiun perobaan Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor. Penelitian ini menggunakan 36 ekor kambing PE dewasa, masing-masing 12 ekor dengan tingkat produksi susu rendah {< 319,7 muhari (Rataan - SD = Kelompok L), sedang {391-533,6 ml/hari (Rataan ±0,5SD) = Kelompok M) dan tinggi {> 604,9 ml/hari (Rataan + SD = Kelompok H)} berdasarkan produksi susu laktasi pertama. Ternak ini dipilih dari 130 ekor induk kambing PE di Balitnak Ciawi, Bogor. Rataan produksi susu selama 13 minggu laktasi pertama adalah 462,3 +_ 142,6 muhari. Ternak diberi pakan nrmput Raja (Pennisetum purpureophoides) dan konsentrat 400-500 g/ekor/hari). Air tersedia ad libitum. Ternak ditimbang setiap dua minggu. Penyapihan anak dilakukan pada umur 4 bulan. Dua minggu setelah beranak, seekor pejantan vasektomi ditempatkan disetiap kelompok ternak untuk mendeteksi "onset" birahi. Pada birahi yang ketiga 402

Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997 setelah beranak, ternak dikawinkan dengan pejantan dewasa "fertil". Tingkat kebuntingan dan performan beranak diamati. Selama tiga kali siklus birahi, tingkat ovulasi dari masing-masing ternak birahi diamati dengan teknik laparoskopi yang dilakukan pada hari ke 3-5 setelah "onset" birahi. Sedangkan, sampel darah (10 ml) diambil setiap 5 hari dari 5 ekor ternak dari masingmasing kelompok yang dipilih secara random untuk analisis kadar hormon progesteron dengan metode radio immunoassay (RIA). Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, dan beds antar perlakuan diuji dengan uji wilayah berganda Duncan (STEEL dan TORRIE, 1981). Perubahan berat badan Perubahan best badan induk selama kebuntingan dan laktasi ditunjukkan pada Gambar l. Pada awal penelitian ternak pada Kelompok L mempunyai berat badan yang lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan Kelompok M dan H. Perbedaan ini terns berlanjut hingga akhir masa kebuntingan. Pada mass laktasi sermia ternak mengalami penurunan berat badan secara mencolok pada bulan pertama dan kedua mass laktasi, kemudian cenderung meningkat hingga penyapihan anak. Ternak pada Kelompok H terlihat mengalami penurunan berat badan paling tinggi, sedangkan Kelompok L mengalami penurunan berat badan paling kecil. Berat lahir anak kambing PE pada penelitian ini tidak berbeda nyata antar kelompok yaitu berkisar 3-4,5 kg/ekor dengan rataan 3,6 kg (Tabel 1). Ternak pada Kelompok L dan M cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan pada ternak dari Kelompok H. Rataan berat sapih pada Kelompok L, M dan H masing-masing adalah 13,1, 12,4 dan 12,9 kg/ekor. Anak kambing jantan dan betina tumbuh dengan kecepatan yang hampir sama (74,8 vs 72,7 g/hari). Kematian anak pra-sapih adalah tinggi 35,7-70,6%. 4s HASIL 40 Y 0 `~ c 35 1~9 n a 30 R 2s r- KOlomooK L K&IOmpOK M 20 '` K " IORPoIc N O 4 8 12 16 20 24 26 32 36 46 Waktu CmInpqu) Gambar 1. Perubahan best badan kambing Peranakan Etawah selama kebuntingan dan laktasi

SeminarNasional Peternakan den Veteriner1997 Tabel 1. Pertumbuhan pre-sapih anak kambing Peranakan Etawah (rataan+sd) Parameter Perinkuan L M H Jumlah anak 14 15 11 Berat lahir (kg) 3,67 ±0,80 3,48±0,78 3,71+0,52 Berat sapih (kg) 13,11+0,28 12,43 ± 0,96 12,87 + 3,09 Pertambahan beret Wan harian (g) 85,76+ 13,89 72,57 + 18,92 63,74+ 35,98 - Jantan 91,48 + 15,71 72,29 + 18,92 60,56 + 49,47 - Betina 78,60+ 5,80 73,58 + 13,09 66,39 + 17,89 Kematian pra-sapih ('/o) 35,71 40,0 70,59 Siklus birahi Birahi pertama terjadi antara 32-103 hari setelah beranak, den tidak ada perbedaan antara kelompok, walaupun terlihat kecenderungan temak pada Kelompok L menunjukkan birahi lebih awal dari Kelompok M den H (Tabel 2). Rataan panjangnya siklus birahi hampir sama (19-24 hari) pada ketiga kelompok temak tersebut. Tabel 2. Kinerja reproduksi setelah beranak kambing Peranakan Etawah dengan tingkat produksi susu yang berbeda (n=12, rataan + SD) Parameter Perankuan M Interval (hari) : - Beranak - birahi 1 47,2+8,6 54,3+20,3 59,2+18,6 - Birahi 1-2 22,0+4,3 20,7+ 3,8 22,7+5,5 - Birahi 2-3 19,2+1,3 19,8+ 1,7 20,1+1,7 Tingkat ovulasi pada: - Birahi pertama 1,2+0,4 1,1+0,3 1,1+0,3 - Birahi kedua 1,2+0,4 1,3+0,5 1,3+0,4 - Birahi ketiga 1,5+0,5 1,3+0,3 1,4+0,5 Fertilitas (%) 85,7 71,4 78,6 Tingkat ovulasi Rataan tingkat ovulasi pads birahi pertama setelah beranak pada Kelompok L, M den H masing.masing 1,2, 1,1 den 1,1. Tingkat ovulasi ini cenderung meningkat sedikit pada birahi kedua den ketiga pads ketiga kelompok temak. Akan tetapi perbedaan tingkat ovulasi antar kelompok secara statistik tidak nyata (Tabel 2). 404

Seminar Nasional Peternakan dan Yeteriner 1997 - L '4 M.W. H walctu eeteiam Giran1 CnariD Gambar 2. Perubahan hormon progesteron pada siklus birahi setelah beranak Fertilitas Setelah dikawinkan pads birahi yang ketiga setelah beranak, 71-8G% ternak menjadi bunting, namun pada perkawinan berikutnya semua ternak bunting (Tabel 2). Profil hormon progesteron Dari Gambar 2 terlihat bahwa ketiga kelompok ternak menunjukkan kadar dan pola perubahan kadar hormon progesteron yang hampir sama selama pengamatan. Kadar homon progesteron pada siklus pertama setelah beranak sedikit lebih rendah dibandingkan pada siklus berikutnya. PEMBAHASAN Hasil pengamatan menunjukkan adanya kecenderungan ternak kambing PE dengan produksi susu rendah (Kelompok L) juga mempunyai berat badan yang rendah dan sebaliknya. Sedangkan ternak dengan produksi susu sedang (Kelompk M) mempunyai berat badan diantara ternak dengan produksi susu rendah (Kelompok L) dan tinggi (Kelompok H). Hal ini dapat dimengerti mengingat kambing PE ini adalah merupakan keturunan kawin silang antara kambing Etawah yang mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar dengan kambing Kacang yang relatif kecil (UTovo, 1979). Perbedaan berat badan ini akan berhubungan dengan perbedaan konsumsi pakan dan akhirnya berpengaruh terhadap produksi susu. Konsumsi pakan ternak pada penelitian ini tidak diukur. Namun secara umum semua ternak mendapat jumlah pakan yang lama dalam kandang kelompok. Persaingan antar individu ternak

SeminarNasional Peternakan don Veteriner 1997 dalam memperoleh pakan mungkin saja terjadi, terutama pakan konsentrat yang diberikan dalam jumlah yang terbatas (400-500 g/ekor/hari). Ternak dengan hirarki yang lebih tinggi (lebih dominan) dalam satu kelompok akan selalu berusaha mengalahkan ternak lainnya. Keadaan seperti ini akan berpengaruh terhadap kinerja ternak tersebut terutama pada kondisi luas kandang yang relatif sempit. Perbedaan berat badan dari awal penelitian terus berlangsung hingga akhir kebuntingan (Gambar 1). Selama kebuntingan semua ternak masih menunjukkan penambahan berat badan (diluar berat fetus) masing-masing 5,2, 4,6 clan 5,5 kg untuk Kelompok L, M clan H. Hal ini membuktikan bahwa pakan yang diberikan dapat memenuhi kebutuhan hidup untuk produksi clan reproduksi. Akan tetapi selama 6-8 minggu pertama masa laktasi semua ternak pada ketiga kelompok mengalami penurunan berat badan, sebelum akhirnya mengalami peningkatan hingga penyapihan anak pads umur 16 minggu. Hal ini menunjukkan adanya keseimbangan energi yang negatif pada ternak, sebagaimana dijelaskan oleh EGAN (1984). Kebutuhan nutrisi pada ternak laktasi meningkat sangat tajam. Kambing dengan produksi susu 1, liter/hari dengan kandungan lemak 4% memerlukan energi 2,6 kali clan protein 2,4 kali lebih banyak dari kebutuhan hidup pokok (TILLMAN et al., 1986), clan ternak akan menggunakan cadangan energi clan protein tubuh untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Penurunan berat badan selama beberapa minggu sekitar bulan ketiga masa laktasi pada penelitian disebabkan karena terjadinya kelcurangan suplai pakan hijauan. Penurunan berat badan selama laktasi lebih tinggi terjadi pada kelompok H (3,7 kg) dibandingkan pads kelompok L (2,2 kg) clan M (2,9 kg). Hal.ini dapat dimengerti mengingat ternak dengan tingkat produksi susu yang lebih tinggi akan memerlukan nutrisi yang lebih tinggi pula, sedang jumlah pakan yang diberikan hampir sama pada semua ternak, sehingga ternak pada kelompok dengan produksi susu tinggi akan menggunakan simpanan energi tubuhnya lebih banyak jumlahnya untuk produksi susu. Hasil penelitian ini menunjukkan perlu adanya perbedaan pemberian pakan (kuantitas clan kualitas) pads ternak yang laktasi sesuai dengan tingkat produksinya. Kondisi ternak sebelum clan sesudah beranak berpengaruh terhadap aktivitas seksual setelah beranak (SUTAMA et al., 1993). Nampaknya mempertahankan berat baclan atau paling tidak memperkecil penurunan berat baclan selama laktasi adalah sangat penting untuk mempercepat tedadinya proses reproduksi setelah beranak. Pada penelitian ini, ternak pada kelompok L yang mengalami penurunan berat badan paling sedikit (2,2 kg) menunjukkan aktivitas seksual 7-12 hari lebih awal dari kelompok M clan H (47,2 vs 54,3 vs 59,2 hari), walaupun perbedaannya tidak nyata. Beberapa ternak menunjukkan "onset" birahi yang relatif cepat (32 had setelah beranak) clan beberapa ekor lagi agak lambat (99-103 hari). Kecepatan munculnya aktivitas seksual setelah beranak bervariasi diantara bangsa kambing, clan dipengaruhi oleh panjang laktasi clan kondisi pakan yang dikonsumsi. RIERA (1982, 1984) melaporkan bahwa terdapat variasi yang cukup besar terhadap birahi pertama setelah beranak yaitu 5-27 minggu pada kambing di daerah sub-tropis. Interval yang begitu extrem seperti hasil temuan tersebut tidak terjadi pada kambing PE pada penelitian ini, kecuali pada beberapa ekor ternak yang menunjukkan birahi pertama sekitar 3 bulan setelah beranak. Hal ini masih dalam katagori normal mengingat jika kambing tersebut dikawinkan kemungkinan beranak setiap 8 bulan atau 3 kali beranak dalam dua tahun masih clapat terjadi, clan ini umum terjadi pada ternak yang kambing/domba yang aktivitas reproduksinya tidak dipengaruhi oleh musim. Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kambing PE mempunyai kemampuan untuk bereproduksi kembali dalam keadaan laktasi atau sebelum anaknya disapih, clan birahi 406

Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 1997 tersebut diikuti dengan ovulasi. Akan tetapi rataan tingkat ovulasi pada birahi pertama-setelak beranak adalah rendah (1,1) pada ketiga kelompok. Tingkat ovulasi tersebut meningkat pada birahi berikutnya hingga 1,4-1,5, namun tetap tidak ada perubahan antar kelompok. Laju ovulasi kambing PE pada penelitian ini sebanding dengan hasil (1,5) yang dilaporkan oleh SUBANDRIYO et al. (1986) dan SETIADi et al. (1987). Makin besar proporsi darah kambing Kacang kemungkinan kambing tersebut makin prolifik, mengingat kambing Kacang adalah lebih prolifik dari kambing Etawah (SUBANDRIYo et al., 1986). Hal ini tercermin pada penelitian ini dimana tingkat ovulasi pada kelompok ternak dengan produksi susu rendah (Kelompok L) lebih tinggi dari pada kelompok M dan H. Rendahnya tingkat ovulasi pada birahi pertama terkait dengan rendahnya kadar hormon progesteron pada plasma darah (Gambar 2). Pada kambing corpus luteum merupakan satu-satunya sumber hormon progesteron untuk mempertahankan kebuntingan MERA, 1984). Dari profil hormon progesteron pads siklus pertama setelah beranak tersebut terlihat adanya indikasi pada beberapa ekor ternak yang mempunyai perkembangan corpus luteum tidak sempurna. Walaupun demikian, adanya birahi dan ovulasi pads waktu birahi pertama menunjukkan adanya potensi untuk terjadinya fertilisasi/kebuntingan. lika hal ini terjadi, interval beranak 7-8 bulan pada kambing PE ini bisa dicapai atau paling tidak 3 kali kelahiran dalam 2 tahun. Kadar hormon progesteron ini meningkat pada birahi berikutnya dan ini jugs karena terjadi ovulasi yang lebih tinggi. SUTAMA et al. (1988) melaporkan bahwa ternak domba dengan ovulasi tunggal mempunyai kadar hormon progesteron yang lebih rendah dari ternak dengan ovulasi ganda. Salah satu sumber kerugian yang cukup besar terjadi pada kambing PE ini adalah tingginya kematian anak pra-sapih (36-71%). Kematian yang lebih tinggi (71%) justru terjadi pada ternak Kelompok H, dan ini berhubungan dengan lebih banyaknya ternak dengan anak kembar pada kelompok tersebut. Upaya untuk mengurangi tingkat kematian anak sangat diperlukan. Manajemen pemeliharaan sekitar waktu beranak adalah sangat penting mengingat sebagian besar kematian anak terjadi segera setelah lahir. Keterlambatan anak mendapat susu kolostrum sangat berpengaruh terhadap kemampuan hidup anak selanjutnya (LEBLANc, 1992). Tingkat kematian anak pra-sapih pada penelitian ini jauh lebih tinggi dari hasil (12%) yang dilaporkan pada kondisi pedesaan (ANGGRAENI et al., 1995). Nampaknya ternak kambing memang lebih sulit dipelihara dalam kondisi pemeliharaan intensif dalam kelompok besar. Kambing sangat rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan, balk perubahan pakan dan pemeliharaan lainnya. Walaupun demikian usaha perbaikan kearah peningkatan kinerja produksi kambing dalam kondisi pemeliharaan intensif dengan sistem cut and carry sangat dibutuhkan mengingat semakin berkurangnya lahan penggembalaan terutama di daerah yang padat penduduk dimana populasi kambing yang tinggi umumnya terdapat. Seleksi terhadap ternak yang lebih toleran terhadap perubahan lingkungan atau stress merupakan bidang penelitian yang perlu dilakukan, yang dalam hal ini tingkah laku ternak (animal behaviour) akan menjadi sangat penting. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa aktivitas seksual setelah beranak pada kambing PE terjadi relatif cepat (semasa ternak masih menyusu anaknya), sehingga interval beranak 7-8 bulan bisa tegadi. Kambing PE dengan produksi susu rendah cenderung

Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997 menunjukkan aktivitas seksual lebih awal dari pada kambing PE dengan produksi susu sedang dan tinggi. Tingginya kematian anak pra-sapih pada ketiga kelompok ternak pada penelitian ini merupakan sumber kegagalan reproduksi yang perlu diatasi. SARAN Evaluasi kinerja produksi dan reproduksi ketiga kelompok kambing PE berdasarkan potensi produksi susu perlu dilanjutkan lebih mendalam, sebelum mengambil kesimpulan ke arah mana kambing PE ini dikembangkan (daging, susu atau dwiguna), termasuk kajian ekonomi dari usaha pemeliharaan kambing PE secara komersial. Disamping itu penelitian kearah pemahaman tingkah laku ternak kambing, kaitannya dengan perubahan kondisi lingkungan yang diberikan dan tingkat produksi yang diharapkan akan sangat membantu dalam program pengembangan ternak kambing di Indonesia. UCAPAN TERMAKASM Penelitian ini dibiayai dari Anggaran Pembangunan Belanja Nasional Tahun Anggaran 1995/1996 dengan Nomer Protokol : B/B/2/2/APBN9596. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada semua staf teknisi Ruminansia Kecil Balitnak Ciawi, Bogor atas bantuan pelaksanaan penelitian ini, serta kepada staf RIA dalam analisa hormon. DAFTAR PUSTAKA ANGGRAENI, D., R.S.G. SIANTURI, E. HANDIwnzAwAN dan B. SETIADI. 1995. Dampak perbaikan tatalaksana pemeliharaan terhadap produktivitas induk kambing dan domba di pedesaan. Pros. Seminar Nasional Sains dan Telrnologi Peternakan, Ciawi-Bogor pp. : 374-379. BASUKI, P, W. HARDIOSUBROTO, KUSTONO dan N. NGADIYONO. 1982. Performans produksi dan reproduksl kambing Peranakan Etawah (PE) dan Bligon. Pros. Seminar Penelitian Peternakan, Cisarua 8-11 Februari 1982, pp. : 104-108. D10HARjAm, T., NURYADI, B. HARTONo, M. NASICH dan HERMANTO. 1993. Potensi dan sistem produksi ternak kambing : Studi kasus integrasi kambing dan kebun kopi di Jawa Timur. Pros. Lokakarya Potensi don Pengembangan Ternak Kambing di Wilayah Indonesia Bagian Timur. Surabaya 28-29 Juli 1992, pp. : 85-93. EGAN, A.R. 1984. Nutrition for reproduction. In Reproduction in Sheep. Eds. D.R. Lindsay and D.T. Pearce. Aust. Academ y of Science, Canberra, pp. : 262-268. LEBLANC. 1992. Passive transfer of immunity in kids. Proc. 15 th Florida Dairy Goat Prod. Conf., Univ. of Florida, pp. : 31-53. LINGGODIIWO, A.L.TOLENG and EFFENDI. 1994. Goat production in South Sulawesi Indonesia.Proc. 7th AAAP Anim. Sci. Congr., Bali, Indonesia, pp. : 263-264. MARTAWmJAYA, M., S.S. SITORUs, B. SETIADI dan A. SUPARYANTO. 1995. Penelitian anak kambing pra-sapih. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak 1995. 408

SeminarNasionalPeternakan dan Vetenner 1997 NGADIYoNo, N., P. BAsuKI dan G. MuRDJrro. 1984. Beberapa data performans Tenak kambing yang dipelihara secara tradisional di pedesaan sejak lahir sampai dengan umur disapih. Pros. Domba dan Kambing di Indonesia, Puslitbangnak, Badan Litbang, Departemen Pertanian, Bogor pp. : 122-125. OBST, J. M., T. BoyEs and T.D. CHANIAGo. 1980. Reproductive performance of Indonesian sheep and goats. Proc. Aust Soc. Anim. Prod. 13 : 321-324. OBST, J.M. and Z. NAPrnipuLU. 1984. Milk yields of Indonesian goats. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. 15 : 501-504. R ERA, G.S. 1982. Reproductive efficiency and management in goats. Proc. 3rd Int. Conf. on Goat Production anddesease. Tuscon, Arizona. RIERA, G.S. 1984. Some similarities dan differences in female sheep and goat reproduction. Proc. 10th Itn. Congr. Anim. Reprod. Urbana, Champaign. SANDin, G.N, G.G. MAYuN, dan D. DARmADJA. 1989. Beberapa performans reproduksi dan produksi kambing PE. Laporan HasilPenelition. Fakultas Peternakan Universitas Udayana. SARWONO, B.D., I.B.G. Dw1PA, IG. L. MEDIA, and H. POERWOTO. 1993. Goat production in rice-based farming systems in Lombok. In Advances in Small Ruminant Research in Indonesia. Eds. SUBANDRIYO and R.M.GATENBY. SR-CRSP, Univ. California Davis, USA, pp. : 65-79. SETiAD1, B., P. SIToRus, dan SuBANDRIYo. 1987. Produktivitas Ternak kambing pada staslun percobaan Cilebut, Bogor. Ilmu dan Peternakan 3 : 5. SoEsmo, F.X., H. PRABOWO, S. CHOTiAH dan S. ASTuTI. 1989. Penyidikan penyakit dan cara pemeliharaan kambing Peranakan Etawali di Kabupaten Lampung Selatan. Proc. Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Cisarua, Bogor 2 : 129-134. STEEL, R.G.D. and J.H. ToRRIE. 1981. Principles and Procedures ofstatistics, McGraw-Hill, New York. Sui3ANDRJYo, B. SETIADI and P. SITORUS. 1986. Ovulation rate and litter size of Indonesian goats. Proc. 5th Int. Conf. Livestock Production anddeseases in The Tropic. Kuala Lumpur, Malaysia pp. : 53-54 SuTAMA, I-K. 1992. Post-partum reproductive performance of Javanese Fat-tailed ewes. Proc. Int. Seminar on Livestock and Feed Development in The Tropics. Univ. Brawijaya, Malang, pp. : 269-272. SuTAMA, I-K., I.G. PuTu and M. WODzicKA-TomAszEwsKA. 1993. Improvement in small ruminant productivity through more efficient reproduction. In Small Ruminant Production in The Humid Tropics. Eds. M. Wodzicka-Tomaszewska, S. Gardiner, A. Djajanegara, I.M. Mastika and T.R. Wiradarya. Sebelas Maret University Press, pp. 191-266. SuTAMA, I-K., IGM. BUDIARSANA, H. SETIANTO and A. PRiYANTI. 1995. Productive and reproductive performances ofyoung Peranakan Etawah does. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1 : 81-85. TIILmAN, A.D.,H.E. RIDENOuR and W.R. GETz. 1986. A Guide to the Feeding and Nutrition ofruminants in the Tropics. Winrock International Institute for Agricultural Development. UToro, R.P. 1979. Domba dan Kambing. Proyek Sumberdaya Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indionesia. Diteijemahkan dari Merkens, J. dan A. Syarif (1932). Bijdgrade to the kennis van de geitenfokkerij in Nederlandsch Oost Indie (Sumbangan Pengetahuan Tentang Peternakan Kambing di Indonesia). Ned. Ind. Bladen v. Diergeneesk 44 : 436-466.