BAB I PENDAHULUAN. berkualitas. Hal tersebut dapat terlihat dari Undang-Undang Sistem Pendidikan

dokumen-dokumen yang mirip
2016 HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN PRESTASI BELAJAR

BAB I PENDAHULUAN. yaitu SD, SMP, SMA/SMK serta Perguruan Tinggi. Siswa SMP merupakan

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika. Oleh:

BAB I PENDAHULUAN. jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan di Indonesia juga sudah tercantum dalam pembukaan. kehidupan berbangsa dan bernegara adalah dengan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan potensi ilmiah yang ada pada diri manusia secara. terjadi. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu faktor yang menentukan kemajuan bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terus

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional pada Undang- Undang RI No. 20 tahun 2003, Triana, 2015:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu kunci utama dalam menentukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kedudukan guru mempunyai arti penting dalam pendidikan. Arti penting itu bertolak

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS dan PKn

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 9. tentang Perlindungan Anak mmenyatakan bahwa setiap anak berhak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan dasar dalam pengaruhnya kemajuan dan kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. output merupakan hasil dari proses yang dilaksanakan. Dari pelaksanaan. persaingan di era globalisasi dewasa ini.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk

I. PENDAHULUAN. Peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas, pendidikan memegang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan

BAB I PENDAHULUAN. tetap diatasi supaya tidak tertinggal oleh negara-negara lain. pemerintah telah merancang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan sebagaimana dirumuskan dalam

I. PENDAHULUAN. Sekolah menyelenggarakan proses pembelajaran untuk membimbing, mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era globalisasi saat ini, bangsa Indonesia dihadapkan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, serta orang tua. Menurut Dimyati dan Mujiono (2006: 7),

BAB I PENDAHULUAN. adanya perhatian pemerintah terhadap pendidikan, antara lain : disahkannya UU

I. PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang. Negara Republik Indonesia tahun 1945 berfungsi mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas dan bermoral. Untuk

I. PENDAHULUAN. tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 (2003:4): Bahwa Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. ini berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar lahiriah seperti

I. PENDAHULUAN. Tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang- Undang Sistem Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. daya pendidik dan peserta didik. Usaha peningkatan mutu pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Undang No.20 tahun 2003). Pendidikan memegang peranan penting dalam

Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Matematika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Konseptual. 1. Metakognitif. Menurut Flavell (1976) yang dikutip dari Yahaya (2005), menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. maupun warga di luar sekolah yaitu orang tua, akademisi, dan pihak pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pendidikan nasional yang ingin dicapai telah ditetapkan

Judul BAB I PENDAHULUAN

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN MAKE A MATCH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KERJASAMA SISWA SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN. mencapai suatu tujuan cita-cita luhur mencerdaskan kehidupan bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. yang menyenangkan dan mudah dipahami oleh siswa. Pendidikan berfungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan matematika dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat keberhasilan

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Salah satu tantangan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang diperolehnya seorang warga negara dapat mengabdikan diri

I. PENDAHULUAN. positif dan negatif pada suatu negara. Orang-orang dari berbagai negara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia Indonesia, yaitu manusia yang mampu berfikir tinggi dan kreatif,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2013 TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

BAB I PENDAHULUAN. tanah air, mempertebal semangat kebangsaan serta rasa kesetiakawanan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. keluarga maupun masyarakat dalam suatu bangsa. Pendidikan bisa. dikatakan gagal dan menuai kecaman jika manusia - manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan dari kebudayaan manusia

I. PENDAHULUAN. belajar yang baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi dasar

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas menentukan masa depan bangsa. Sekolah. sekolah itu sendiri sesuai dengan kerangka pendidikan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. dengan inovasi dalam bidang pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. hal tersebut, pembangunan nasional dalam bidang pendidikan merupakan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu proses untuk membantu manusia dalam mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Bab 2 pasal 3 UU Sisdiknas berisi pernyataan sebagaimana tercantum

BAB I PENDAHULUAN. merubah dirinya menjadi individu yang lebih baik. Pendidikan berperan

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dari pada manusia yang tidak berpendidikan. dan karsa. Hal itu tidak akan lepas selama manusia ini masih ingin untuk

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan potensi peserta didik melalui kegiatan belajar (dalam

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka menjadi. pemerintah, masyarakat, maupun keluarga. Namun demikian, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Kepribadiannya berlandaskan dengan nilai-nilai baik di dalam masyarakat maupun

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu hal yang penting untuk kemajuan

BAB 1 PENDAHULUAN. pembelajaran. Karena itu guru harus dapat membuat suatu pengajaran menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. setiap anak dalam periode tertentu. Prestasi belajar yang dicapai oleh siswa

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan dapat melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas yaitu yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian No.Daftar : 056/S/PPB/2012 Desi nur hidayati,2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan. kepribadian manusia melalui pemberian pengetahuan, pengajaran

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. meningkatkan martabat manusia yang memungkinkan potensi diri dapat

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan senantiasa menjadi sorotan bagi masyarakat khususnya di

BAB I PENDAHULUAN. di masa depan, karena dengan pendidikan manusia dididik, dibina dan dikembangkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang No. 20 pasal ke-3 (2003)

PENERAPAN CREATIVE APPROACH BERBASIS PICTORIAL RIDDLE APPROACH UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP BIOLOGI SISWA KELAS VIII SMP DI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

BAB I PENDAHULUAN. tingkat ASEAN sudah jauh tertinggal dari Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsa dan diperlukan guna meningkatkan mutu bangsa secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan sangat berperan dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Hal tersebut dapat terlihat dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 yang menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pemerintah berusaha melakukan pembenahan dan penyempurnaan sistemik terhadap seluruh komponen pendidikan di dalam upaya mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menurut Mulyasa (2011) pembenahan dan penyempurnaan tersebut diantaranya meliputi peningkatan kualitas dan pemerataan penyebaran guru, kurikulum yang disempurnakan, sumber belajar, sarana dan prasarana yang memadai, iklim pembelajaran yang kondusif, serta pembenahan dan penyempurnaan lainnya. Salah satu individu yang berperan dalam pembenahan dan penyempurnaan tersebut adalah siswa atau peserta didik. Akan tetapi, pembenahan dan penyempurnaan yang 1

2 dilakukan pemerintah tersebut tidak akan menghasilkan individu berkualitas jika mereka tidak memiliki keinginan dan usaha untuk mewujudkannya. Keinginan dan usaha yang tidak dimiliki oleh siswa atau peserta didik tersebut menimbulkan permasalahan dalam proses pendidikan. Salah satu masalah yang dikemukakan oleh Bloom (dalam Azwar, 2005) dalam proses pendidikan adalah persoalan prestasi akademik. Prestasi akademik menurut Bloom (dalam Azwar, 2005) merupakan prioritas utama dalam mengungkap keberhasilan seseorang dalam belajar. Setiap siswa yang melakukan proses belajar akan memperoleh hasil belajar berdasarkan penilaian sesuai dengan tujuan pengajaran dan diukur berdasarkan standar yang berlaku di sekolah. Salah satu prediktor dari prestasi akademik adalah self efficacy atau keyakinan diri. Bandura (1997) mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan diri individu tentang kemampuannya dan hasil yang akan diperolehnya dari kerja kerasnya yang mempengaruhi cara individu berperilaku. Siswa yang memiliki self efficacy yang tinggi akan memiliki prestasi akademik yang lebih baik daripada siswa yang memiliki self efficacy yang rendah. Menurut Bandura (1997), self efficacy memiliki tiga dimensi yaitu level, strength, dan generality. Dimensi level meliputi keyakinan individu atas kemampuannya terhadap tingkat kesulitan tugas dan pemilihan tingkah laku berdasarkan hambatan atau tingkat kesulitan suatu tugas atau aktivitas. Pada dimensi strength meliputi tingkat kekuatan keyakinan atau pengharapan individu terhadap

3 kemampuannya. Sementara itu, dimensi generality meliputi keyakinan individu akan kemampuannya melaksanakan tugas di berbagai aktivitas. Bandura (1997) juga menjelaskan karakteristik individu yang memiliki self efficacy yang tinggi, yaitu ketika individu memiliki keyakinan untuk menangani secara efektif peristiwa dan situasi yang dihadapinya, tekun dalam menyelesaikan tugas-tugas, percaya pada kemampuan diri yang dimiliki, memandang kesulitan sebagai tantangan bukan ancaman dan suka mencari situasi baru, menetapkan sendiri tujuan yang menantang dan meningkatkan komitmen yang kuat terhadap dirinya, menanamkan usaha yang kuat dan meningkatkan usaha saat menghadapi kegagalan, berfokus pada tugas dan memikirkan strategi dalam menghadapi kesulitan, cepat memulihkan rasa mampu setelah mengalami kegagalan, dan menghadapi stressor atau ancaman dengan keyakinan mampu mengontrolnya (Schunk dalam Santrock, 2009). Alwisol (2004) juga mengatakan bahwa orang yang meliliki self efficacy tinggi akan percaya bahwa dia dapat mengerjakan sesuai tuntutan situasi, dan harapan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya karena dia akan bekerja keras dan bertahan dalam mengerjakan tugas sampai selesai. Sementara itu, karakteristik individu yang memiliki self efficacy yang rendah adalah individu yang merasa tidak berdaya, cepat sedih, apatis, cemas, menjauhkan diri dari tugas-tugas yang sulit, cepat menyerah saat menghadapi rintangan, aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin dicapai, dalam situasi sulit cenderung akan memikirkan kekurangan mereka, beratnya tugas tersebut,

4 dan konsekuensi dari kegagalannya, serta lambat untuk memulihkan kembali perasaan mampu setelah mengalami kegagalan (Bandura, 1997). Peneliti mencoba melihat fenomena di SMP N 1 Sijunjung. SMP N 1 Sijunjung adalah sekolah menengah pertama yang tertua di Kabupaten Sijunjung dan merupakan salah satu SMP yang termasuk sebagai sekolah favorit. Sekolah tersebut sekarang memiliki akreditasi B. Visi dari sekolah ini adalah unggul dalam prestasi, berbudaya berdasarkan iman dan taqwa serta ilmu pengetahuan dan teknologi, dimana hal tersebut diwujudkan dengan salah satu misi sekolah yaitu mewujudkan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan. Namun beberapa tahun terakhir misi sekolah tersebut tidak terlihat pada siswa di SMP N 1 Sijunjung, mereka tidak menunjukkan keaktifan dalam proses belajar mengajar. Hal ini sama dengan yang diungkapkan oleh beberapa guru, termasuk guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah tersebut. Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan dengan guru BK SMP N 1 Sijunjung pada 4 Agustus 2015, peneliti memperoleh informasi bahwa ketika proses belajar mengajar berlangsung siswa terlihat lebih pasif. Keadaan ini membuat kelas hanya didominasi oleh guru dengan tidak adanya keaktifan dari siswa. Beberapa guru mata pelajaran juga mengeluhkan bahwa disaat guru mengajukan pertanyaan atau menanyakan apakah siswa mengerti dengan yang disampaikan guru, para siswa hanya diam saja dan terlihat tidak bersemangat untuk memperhatikan pelajaran yang sedang berlangsung. Akan tetapi, ketika siswa diberikan tugas, para siswa tersebut terlihat cenderung masih belum menguasai pelajaran terkait. Selain itu, mereka cenderung

5 lebih memilih untuk melakukan kegiatan yang tidak berhubungan dengan pelajaran bahkan berbicara dengan siswa lainnya. Peneliti juga melakukan wawancara dengan sepuluh orang siswa SMP N 1 Sijunjung. Berdasarkan wawancara tersebut, peneliti memperoleh informasi bahwa mereka tidak aktif dalam proses belajar di kelas. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak yakin bahkan merasa cemas atau takut salah jika mencoba menjawab pertanyaan yang diberikan guru. Sehingga mereka lebih memilih untuk menghindari pertanyaan guru dengan cara diam. Ketika mereka mencoba untuk aktif dalam proses belajar di kelas, seperti menjawab pertanyaan dari guru atau memberikan pendapat, mereka tidak akan aktif dalam waktu yang lama. Hal ini terjadi ketika pendapat mereka tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, mereka beranggapan telah melakukan kesalahan atau kegagalan di dalam proses belajar di kelas. Sehingga mereka tidak mau lagi untuk memberikan pendapat. Hal ini mengindikasikan beberapa karakteristik individu yang memiliki self efficacy rendah, seperti yang dikatakan oleh Bandura (1997), terlihat pada siswa SMP N 1 Sijunjung. Selain ketidakaktifan dalam proses belajar di kelas, rata-rata nilai Ujian Nasional (UN) dan Ujian Akhir Sekolah (UAS) SMP N 1 Sijunjung juga mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Pada tahun ajaran atau TA 2014/2015, nilai ratarata UN dan UAS SMP N 1 Sijunjung masing-masing sebesar 8,06 dan 6,07. Padahal pada empat tahun ajaran sebelumnya nilai rata-rata UN dan UAS SMP N 1 Sijunjung mengalami kenaikan seperti yang terlihat pada Tabel 1.1. Meskipun demikian, dalam

2014/ 2015 2013/ 2014 2012/ 2013 2011/ 2012 2010/ 2011 No Tahun Ajaran TT/TR/ RR PAI IPS PKN Ratarata B. IND B. ING MTK IPA Ratarata 6 hasil UN tahun ajaran 2014/2015, SMP N 1 menduduki peringkat kedua dari 52 sekolah menengah pertama yang ada di Kabupaten Sijunjung. Tabel 1.1 Tabel Rata- rata Nilai UN dan UAS SMP N 1 Sijunjung UAS UN TT 9.20 8.60 9.40 9.20 9.60 9.00 9.00 1. TR 6.00 6.20 6.60 7.3 4.60 2.60 2.50 3.00 RR 6.94 7.12 7.84 7.08 6.43 5.65 7.06 TT 9.43 8.72 9.40 9.80 8.60 9.75 9.50 2. TR 7.02 7.00 7.13 7.57 4.40 2.40 2.25 3.25 RR 7.62 7.44 7.66 7.79 4.60 5.84 6.55 TT 9.60 9.20 9.20 9.20 8.60 10.0 8.75 3. TR 8.00 8.00 8.00 8.16 4.40 2.20 2.25 2.00 RR 8.27 8.15 8.18 7.55 4.68 4.71 4.79 TT 9.00 9.20 9.00 9.60 9.20 9.75 8.75 4. TR 8.00 8.00 8.00 8.49 5.20 3.20 2.00 2.25 RR 8.58 8.55 8.34 7.82 5.67 5.19 5.71 TT 9.49 9.31 9.49 9.60 9.20 9.75 9.75 5. TR 7.48 6.82 7.27 8.06 4.40 3.20 2.25 3.00 RR 8.22 7.77 8.20 8.05 5.54 5.02 5.67 Sumber: data dari SMP N 1 Sijunjung 6.56 6.19 5.43 6.10 6.07 Self efficacy dipengaruhi oleh beberapa proses psikologis. Beberapa proses psikologis tersebut menurut Bandura (1997) adalah proses kognitif, proses motivasi, proses afektif, dan proses seleksi. Di antara keempat proses tersebut, proses kognitif merupakan proses utama yang dapat berperan juga dalam proses lainnya. Proses kognitif merupakan proses berpikir dimana di dalamnya termasuk pemerolehan, pengorganisasian, dan penggunaan informasi (Bandura, 1997). Proses kognitif seseorang di dalam aktivitas belajar dikontrol oleh metakognisi. Siswa yang mengetahui bagaimana kemampuan dirinya, akan dapat mengetahui dan

7 memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan, mengetahui waktu yang tepat untuk belajar, serta akan mengarahkan belajarnya menjadi lebih baik lagi. Proses yang terjadi pada siswa tersebut merupakan hal-hal yang diatur oleh metakognisi (Hoseinzadeh & Shoghi, 2013). Menurut Flavell, Schraw dan Dennison, metakognisi adalah pengetahuan individu dan proses kontrol tentang sistem proses kognitif itu sendiri (Hermita & Thamrin, 2014). Menurut Alexander, Carr dan Schwanenflugel (1995), metakognisi pada seseorang mengalami perkembangan selama masa hidupnya yang dapat berperan penting dalam belajar (dalam Veenman, Hout-Wolters, & Afflerbach, 2006). Selain itu, Weil, Fleming, Dumontheil, Kilford, Weil, Rees, Dolan dan Blakemore (2013) menemukan bahwa kemampuan metakognitif akan meningkat pada masa remaja dan akan stabil pada masa dewasa. Hal ini karena fase remaja merupakan fase awal perkembangan dan peningkatan mengingat, sehingga akan memperluas perubahan dan perkembangan kemampuan metakognitif selama masa kanak-kanak akhir. Schneider (dalam Paulus, Tsalas, Proust, & Sodian, 2014) juga menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa atau fase kritis dalam perkembangan kemampuan metakognitif. Metakognisi juga berperan dalam meningkatkan prestasi akademik siswa. Metcalfe dan Finn (dalam Weil, dkk., 2013) mengatakan bahwa metakognisi memainkan peran dalam peningkatan belajar dan memungkinkan siswa untuk lebih fokus secara efisien terhadap hal yang dibutuhkan dalam belajar. Hasil penelitian Hoseinzadeh dan Shoghi (2013) juga menunjukkan bahwa 56% metakognitif

8 berperan dalam meningkatkan prestasi akademik siswa. Ketika individu memiliki metakognisi yang baik, itu akan dapat membantu individu tersebut menjadi lebih mandiri dalam belajar (Karlimah, 2015) serta menjadikannya dapat berpikir logis, kritis dan kreatif (Fauzi & Firmansyah, 2011). Garner dan Alexander (1989) dan Pressley dan Ghatala (1990) menemukan bahwa siswa yang memiliki metakognisi akan merencanakan, mengurutkan, dan memonitor belajar mereka sehingga akan membuat prestasi akademik mereka meningkat (dalam Schraw & Dennison, 1994). Menyadari kemampuan metakognitif yang dimiliki akan membantu seseorang dalam mengembangkan metakognisi yang dimiliki. Metakognisi adalah kemampuan untuk merefleksikan sesuatu, memahami, dan mengontrol belajar seseorang (Schraw & Dennison, 1994). Metakognisi merupakan pemahaman seseorang atau kesadaran tentang proses metakognitif mereka, yang menunjukkan kesadaran seseorang dalam mengetahui kemampuan mereka sendiri. Mengontrol belajar akan mengakibatkan seseorang dapat mengendalikan apa yang mereka lakukan dalam kegiatan belajarnya. Ketika sesorang telah memiliki metakognisi maka orang tersebut akan dapat menerapkan dan mengasah metacognitive skill dan metacognitive strategies dalam proses belajar. Schraw dan Dennison (1994) menyatakan bahwa metakognisi memiliki dua komponen yaitu pengetahuan tentang kognitif dan regulasi kognitif. Pengetahuan tentang kognitif mencakup pengetahuan deklaratif (yaitu pengetahuan tentang diri dan strategi), pengetahuan prosedural (yaitu pengetahuan tentang bagaimana menggunakan strategi) dan pengetahuan kondisional (yaitu pengetahuan tentang

9 kapan atau waktu dan mengapa atau alasan menggunakan strategi). Sementara itu regulasi kognitif mencakup aspek yang mengontrol belajar itu sendiri dan terdiri dari planning (perencanaan), information management strategies (strategi manajemen informasi), comprehension monitoring (pemantauan pemahaman), debugging strategies (strategi untuk membetulkan kesalahan), dan evaluation (evaluasi). Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan terhadap 10 siswa SMP N 1 Sijunjung pada 4 Agustus 2015, diperoleh informasi bahwa mereka masih belum terlalu dapat merencanakan apa yang harus dilakukan dan cenderung belum mandiri dalam belajar. Contohnya ketika guru tidak masuk, mereka cenderung memilih bercengkerama atau mengobrol dengan teman. Walaupun mereka ditinggalkan tugas oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan. Selain itu, ketika mereka menemukan kesulitan dalam mengerjakan tugas, hanya tiga dari mereka yang mencoba mencari tahu penyelesaian tugas tersebut. Mereka juga mengatakan jarang menggunakan perpustakaan sebagai tempat untuk mencari referensi dari tugas mereka. Ini mengindikasikan bahwa belum semua dari mereka mengelola informasi untuk menyelesaikan tugas mereka. Hal di atas juga dibenarkan oleh guru BK SMP N 1 Sijunjung. Siswa yang peneliti wawancarai tersebut juga mengatakan bahwa ada beberapa materi pelajaran yang menurut mereka tidak akan ada manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari atau dalam dunia kerja yang sesuai dengan cita-cita mereka. Materi pelajaran tersebut seperti dalam pelajaran kesenian dan matematika. Ketika mereka mengetahui ada kesalahan dari tugas atau ujian yang telah mereka kerjakan, hanya

10 dua dari siswa tersebut yang mau melihat dimana kesalahan mereka dan bagaimana atau apa yang harus mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan tersebut serta apakah mereka perlu mengubah cara belajar atau membutuhkan bantuan orang lain dalam menyelesaikannya. Beberapa uraian di atas mengindikasikan bahwa siswa di SMP N 1 Sijunjung tersebut masih belum memiliki metakognisi yang tinggi di dalam diri mereka terutama pada regulasi kognitif. Seperti yang diungkapkan oleh Baykara (dalam Tosun & Senocak, 2013), seseorang yang memiliki metakognisi yang tinggi akan melakukan planning, information strategies management, comprehension monitoring, debugging strategies, evaluation dalam belajar dibandingkan dengan orang yang memiliki metakognisi yang rendah. Self efficacy dan metakognisi memiliki korelasi satu sama lain. Hal ini telah dibuktikan dari beberapa penelitian. Penelitian Hermita dan Thamrin (2014), menunjukkan antara metakognisi dan self efficacy memiliki korelasi positif yang signifikan sebesar 0,580 dengan signifikansi sebesar 0,00 (p<0,01). Ketika metakognisi siswa berkembang, maka self efficacy mereka akan terbentuk dengan baik juga. Hal ini juga selaras dengan penelitian Coutinho (dalam Hermita & Thamrin,2014) yang menunjukkan bahwa siswa yang metakognisinya baik atau tinggi juga memiliki self efficacy yang tinggi dalam kemampuan mereka, sehingga mengarahkan mereka untuk sukses dalam berprestasi. Selain itu, dalam penelitian Goudarzi dan Ghonsooly (2014) mengenai hubungan metakognisi dan self efficacy serta efeknya terhadap hasil tes pelajar EFL

11 Iran menunjukkan hasil bahwa korelasi antar variabel tersebut secara statistik signifikan sebesar 0,32 (p<0,05). Ini menunjukkan bahwa pelajar yang memikirkan kognisi mereka, mengatur dan dapat mengontrol belajar mereka, serta merencanakan langkah yang harus dilakukan dalam belajar, mereka dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka dalam belajar dan memberikan keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan dalam menyelesaikan tugas. Berdasarkan fenomena-fenomena dan data-data yang peneliti uraikan di atas, peneliti tertarik untuk membuktikan secara empirik apakah terdapat hubungan positif antara metakognisi dengan self efficacy siswa. Selain itu, belum pernah ada penelitian terkait metakognisi dan self efficacy yang dilakukan di SMP N 1 Sijunjung. Oleh karena itu, peneliti menganggap penting untuk dilakukan penelitian Metakognisi dan Self efficacy pada Siswa SMP N 1Sijunjung. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi permasalahan peneliti dalam penelitian ini adalah: Apakah terdapat hubungan positif antara metakognisi dengan self efficacy siswa SMP N 1 Sijunjung? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah dari penelitian yaitu untuk mengetahui apakah terdapat hubungan positif antara metakognisi dengan self efficacy siswa SMP N 1 Sijunjung.

12 1.4 Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi perkembangan ilmu psikologi. 1. Manfaat Teoritis 1) Diharapkan penelitian ini dapat melengkapi perbendaharaan hasil penelitian Program Studi Psikologi Universitas Andalas di bidang Psikologi Pendidikan tentang metakognisi dan self efficacy pada remaja. 2) Memberikan sumbangan ilmu yang dapat dijadikan sebagai bahan referensi teoritis dan empiris yang dapat menjadi penunjang untuk penelitian di masa yang akan datang. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para orang tua, guru, dan pihak sekolah mengenai metakognisi dengan self efficacy siswa, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan perbaikan pendidikan dan meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. 1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan Bab ini menjelaskan mengenai masalah dan fenomena self efficacy dan metakognisi pada siswa, data penelitian sebelumnya yang terkait, rumusan masalah, tujuan yang ingin

13 dicapai dari penelitian, serta manfaat yang diperoleh dari penelitian. BAB II : Landasan Teori Bab ini memaparkan mengenai konsep self efficacy dan konsep metakognisi yang menjadi landasan dalam menganalisis penelitian, kerangka pemikiran serta hipotesis penelitian. BAB III : Metode Penelitian Bab ini menjelaskan mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi konseptual dan definisi operasional variabel penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, instrumen/alat ukur yang digunakan, prosedur pelaksanaan penelitian,dan metode analisa data. BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan Bab ini menjelaskan mengenai uraian gambaran subjek penelitian, kategori data penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan hasil penelitian. BAB V : Penutup Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran dari peneliti untuk kesempurnaan penelitian selanjutnya.