BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Tanggung Jawab Tanggung jawab pelaku usaha atas produk barang yang merugikan konsumen merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan yang paling banyak mengalami kerugian yang disebabkan produk dari pelaku usaha itu sendiri. Untuk mengeteahui lebih jelas mengenai tanggung jawab pelaku usaha, sebaiknya kita memahami lebih dalam mengenai definisi tanggung jawab. 2.1.1 Pengertian Tanggung Jawab Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab adalah kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan dan diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya. 1 Menurut hukum perdata pertanggungjawaban dibagi menjadi dua macam, yaitu kesalahan dan risiko. Dengan demikian dikenal dengan pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (liability without based on fault) dan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault) yang dikenal dengan tanggung jawab risiko atau tanggung jawab mutlah (strick liability). Prinsip dasar tanggung jawab atas dasar kesalahan mengandung arti bahwa seseorang harus 1 Andi Hamzah, 2005, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hal 26
bertanggung jawab karena ia melakukan kesalahan yang merugikan orang lain. Sebaliknya prinsip tanggung jawab resiko adalah bahwa konsumen penggugat tidak diwajibkan lagi melainkan produsen tergugat langsung bertanggung jawab sebagai risiko usahanya. 2.1.2 Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Secara umum, tanggung jawab pelaku usaha atas produk yang merugikan konsumen mempunyai beberapa prinsip-prinsip hukum yang dibedakan sebagai berikut: 1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsuru kesalahan (liability based on fault) adalah prinsip yang cukup berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366 dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. 2 Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai Pasal tentang perbuatan melanggar hukum, mengharuskan terpeneuhi empat unsur pokok, yaitu adanya perbuatan, adanya unsur kesalahanm adanya kerugian yang diderita, dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dengan kerugian. 59. 2 Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, hal.
2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab Prinsip ini menyatakan tergugat dianggap selalu bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan ada pada si tergugat. 3 Saat ini beban pembuktian terbalik (omkering van bewjislast) masih dapat diterima dengan prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab. Dasar pemikiran dari teori pembalikan beban pembuktian adalah seseorang yang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentengan dengan asas hukum praduga tidak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada dipihak pelaku usaha yang digugat dan tergugat ini harus menghadirkan bukti-bukti, dirinya tidak bersalah. 3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. 4 Contoh dari 3 Ibid, hal. 61. 4 Ibid
penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. 4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Prinisp tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Dengan begitu ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas. 5 Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya dalam keadaan force majure. Sebalikanya absolute liability adalah prinisp tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Prinsip tanggung jawab mutlak dalam tanggung jawab pelaku usaha atas produk yang merugikan konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen barang yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Dalam hal ini, konsumen hanya perlu membuktikan adanya hubungan kasualitas antara perbuatan pelaku usaha dan kerugian yang dideritanya. Selebihnya dapat digunakan prinsip strict liability. 5 Ibid, hal. 63.
5. Tanggung Jawab Dengan Pembatsan Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film, misalnya ditentukan bila film yang ingin dicuci/dicetak itu hilang atau rusak, maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. 6 Secara umum prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen seharusnya tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas. Jika dilihat dari sudut pandang Hukum Perlindungan Konsumen, prinsip yang digunakan dalam tanggung jawab, di antaranya adalah sebagai berikut : 1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kelalaian atau Kealpaan Tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah prinsip tanggung jawab yang bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawab yang ditemukan oleh perilaku produsen. 7 2. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Wanprestasi 6 Ibid, hal. 65. 7 Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana, Jakarta, h.83
Prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi ini merupakan tanggung jawab yang didasarkan pada kontrak antara pelaku usaha dengan konsumen. Prinsip tanggung jawab ini tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukan pelaku usaha dalam memenuhi prestasinya. Artinya, meskipun pelaku usaha sudah berupaya memenuhi kewajiban dan janjinya, namun konsumen tetap mengalami kerugian, maka pelaku usaha tetap dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian yang dialami konsumen. 8 3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak dikenal dengan nama product liability. Menurut asas ini produsen wajibbertanggung jawab atas kerugian yang dialami konsumen atas penggunaan produk yang dipasaarkannya. 9 2.1.3 Bentuk Tanggung Jawab Pada umumnya pertanggungjawaban pelaku usaha yang diatur dalam UUPK telah mengakomodir prinsip-prinsip pertanggungjawaban modern yang lebih dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen. Bentuk-bentuk pertanggungjawaban pelaku usaha dalam UUPK dirumuskan sebagai berikut: a. Pasal 19 UUPK menetapkan tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan ganti kerugian kepada konsumen sebagai akibat kerusakan, 8 Ibid, h. 92 9 Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Grasindo, Jakarta, h. 78
pencemaran dan atau kerugian konsumen karena mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan (Pasal 19 ayat (1) UUPK) b. Ganti kerugian yang dapat diberikan dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan (Pasal 19 ayat (2) UUPK) c. Tenggang waktu pemberian ganti kerugian dilaksanakan dalam tujuh hari setelah tanggal transaksi (Pasal 19 ayat (3) UUPK) d. Pemberian ganti kerugian tersebut tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan (Pasal 19 ayat (4) UUPK) e. Ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabilapelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen (Pasal 19 ayat (5) UUPK). Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) diatas dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi: a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen
Pada Pasal 20 UUPK menegasakan tanggung jawab pelaku usaha periklanan atas iklan yang diproduksinya dan segala akibat ditimbulkan oleh iklan tersebut. 2.2 Perjanjian Jual Beli Suatu perjanjian biasanya berawal dari perbedaan kepentingan di antara para pihak. Perumusan hubungan ini pada umumnya diawali dengan proses negosisasi di antara para pihak. melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentukbentuk untuk saling mempertemukan susatu kepentingan yang diinginkan melalui proses tawar menawar. Pada umumnya kontrak bisnis justru berawal dari perbedaan kepentingan yang dicoba dipertemukan melalui kontrak. Melalui kontrak, perbedaan tersebut disatukan dan selanjutnya dibingkai dengan perangkat hukum sehingga mengikat para pihak. Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undangundang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara khusus terhadap perjanjian ini. Pengaturan perjanjian bernama dapat diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. 2.2.1 Pengertian Perjanjian Jual Beli Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 KUHPerdata. Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang / benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga.
Dari pengertian yang diberikan Pasal 1457 diatas, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban, yaitu : 10 1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli 2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual Menurut Salim H.S., S.H.,M.S., perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli. 11 Di dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut. Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang menjadi objek jual beli. 2.2.2 Syarat Sahnya Perjanjian Jual Beli Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian 3. Mengenai suatu hal tertentu 10 M. Yahya Harahap, 1968, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 181. 11 Salim H.S, 2003, Hukum Kontrak Toeri dan Teknik Penyusunan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 49.
4. Suatu sebab yang halal Untuk lebih jelasnya akan dibahas mengenai syarat sahnya perjanjian yang ada diatas: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu kesepakatan atau konsensus pada para pihak. yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara para pihak dalam perjanjian. Jadi dalam hal ini tidak ada unsur paksaan dari pihak yang terkait dalam perjanjian tersebut. 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian Cakap artinya adalah kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dalam hal ini adalah membuat suatu perjanjian. Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang sudah dewasa. 3. Mengenai suatu hal tertentu Suatu hal tertentu disebut juga dengan objek perjanjian. Objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak yang dapat berupa barang
maupun jasa namun juga dapat berupa tidak berbuat sesuatu. Objek perjanjian juga bisa disebut dengan prestasi. Prestasi terdiri atas: 12 a. Memberikan sesuatu, misalnya memebayar harga, menyerahkan barang b. Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu lukisan yang dipesan c. Tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu bangunan, perjanjian untuk tidak menggunakan merek dagang tetentu. 4. Suatu sebab yang halal Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak dijelaskan pengetian sebab yang halal. Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah bahawa si perjanjian tersebut tidak bertentengan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. 2.2.3 Kekuatan Mengikat Perjanjian Jual Beli Pasal 1315 KUHPerdata memberikan penjelasan tentang terhadap siapa sajakah perjanjian mempunyai pengaruh langsung. Bahwa perjanjian mengikat para pihak sendiri adalah logis, dalam arti bahwa hak dan kewajiban yang timbul dari adanya suatu perjanjian hanyalah untuk para pihak saja. Setiap orang bebas membuat perjanjian, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuknya perjanjian 12 Dr. Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT Raja Grafindo, Jakarta, hal. 69.
sebagaimana yang dijelasakan dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Dalam melakukan suatu perjanjian terdapat bebearapa asas, salah satunya asas kekutan mengikat. Asas kekuatan mengikat atau sering juga disebut asas Pacta Sun Servanda dapat disebutkan dari bunyi Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Konsukuensi dari asas ini bahwa sejak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian, maka sejak saat itu pula perjanjian mengikat bagi para pihak. mengikat sebagai Undang-Undang berarti pelanggaran terhadap perjanjian tersebut berakibat hukum sama dengan melanggar Undang-Undang. Maksud dari asas ini adalah memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut.