BAB 1 PENDAHULUAN. yang harus dijalaninya. Dalam memenuhi kodratnya untuk menikah, manusia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini sedang memasuki era baru yaitu era globalisasi dimana hampir

BAB I PENDAHULUAN. perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. heran bila kesadaran masyarakat awam tentang pentingnya pendidikan berangsurangsur

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pemasyarakatan ini merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah

BAB I PENDAHULUAN. meliputi berbagai aspek kehidupan (Pervasive Developmental Disorder) yang sudah

BAB I PENDAHULUAN. pengangguran di Indonesia. Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Kusta atau Leprae merupakan salah satu penyakit tertua di dunia. Catatancatatan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini akan membuat siswa mampu memilih,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pada umumnya dalam menyokong pembangunan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis adalah penyakit peradangan hati yang merusak sel-sel hati (liver)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam tahap perkembangan tersebut, manusia mengalami perubahan fisik dan

BAB I PENDAHULUAN. yang berkompetensi dalam berbagai bidang, salah satu indikator kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. selalu sehat, dan dijauhkan dari berbagai penyakit, tetapi pada kenyataannya yang

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia terdapat beberapa jenjang pendidikan, mulai dari Play Group

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan anak yang sehat secara fisik dan mental. Pada kenyataannya tidak

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan fenomena sosial yang saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 15% dari seluruh kanker pada wanita. Di beberapa negara menjadi

BAB I PENDAHULUAN diprediksikan mencapai jiwa atau 11,34%. Pada tahun terjadi peningkatan mencapai kurang lebih 19 juta jiwa.

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus mendebarkan hati. Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan

BAB I PENDAHULUAN. Memiliki anak merupakan hal yang diharapkan oleh orang tua, terlebih

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan ibu berperan di dapur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

Angket Optimisme. Bayangkan anda mengalami situasi yang tergambar dalam setiap. persoalan, walaupun untuk beberapa situasi mungkin anda belum pernah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit degeneratif semakin sering terdengar dan dialami oleh masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara. Pada tahun 2003, di Australia terdapat 14% keluarga dari

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Tri Fina Cahyani,2013

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap wanita mempunyai kecenderungan untuk mencari dan menemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

LETTER OF CONSENT. Dengan ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. pasangan (suami) dan menjalankan tanggungjawabnya seperti untuk melindungi,

juga kelebihan yang dimiliki

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hal yang penting bagi manusia, namun tidak semua

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk berbagai macam transaksi keuangan. Kartu kredit diberikan kepada

BAB I PENDAHULUAN. netra), cacat rungu wicara, cacat rungu (tunarungu), cacat wicara, cacat mental

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Memiliki keluarga yang utuh dan harmonis merupakan dambaan setiap

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan tugas pemerintah untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

BAB I PENDAHULUAN. sistem imun atau sistem pertahanan tubuh. Sistem imun ini berupa antibodi, yang

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena orangtua tunggal beberapa dekade terakhir ini marak terjadi di

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Meningkatkan optimisme siswa menguasai materi pelajaran matematika di Kelas

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dianggap penting. Melalui pendidikan, individu dapat belajar. pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam Undang-Undang

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. memiliki berbagai keinginan yang diharapkan dapat diwujudkan bersama-sama,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

BAB I PENDAHULUAN. keluarga juga tempat dimana anak diajarkan paling awal untuk bergaul dengan orang lain.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan pada Remaja yang dibesarkan oleh OrangTua Tunggal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. otak atau ke bagian otak tertentu. Stroke dapat menyebabkan kerusakan permanen

BAB I PEDAHULUAN. Banyak orang rela mengeluarkan dana yang jumlahnya tidak sedikit untuk

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih besar, sebab seiring dengan bertambahnya usia seseorang maka

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa era globalisasi ini, kesadaran masyarakat akan pentingnya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Memiliki kondisi fisik yang cacat bukanlah hal yang diinginkan oleh setiap

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Ayah dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan (Papalia, et. la., 2007). Setelah menikah laki-laki dan perempuan akan

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. merupakan perjanjian yang sakral (mitsaqan ghalidha) antara suami dan istri.

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. faktor yang secara sengaja atau tidak sengaja penghambat keharmonisan

BAB I PENDAHULUAN. Pada rentang kehidupan manusia akan selalu terjadi proses perkembangan.

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Dalam menjalani kehidupan, seorang manusia memiliki kodrat- kodrat yang harus dijalaninya. Dalam memenuhi kodratnya untuk menikah, manusia diberi dorongan untuk menarik perhatian lawan jenisnya guna mencari pasangannya. Dimulai dengan tahap pengenalan, pacaran hingga akhirnya memutuskan untuk menikah. Setiap pasangan yang menikah ingin membentuk kehidupan yang berbahagia setelah memasuki jenjang pernikahannya. Pada umumnya pasangan akan berbagi tugas dalam kehidupan berumah tangga yang baru dibina. Tugas suami adalah sebagai kepala keluarga selaku pencari nafkah agar kebutuhan keluarga terpenuhi, sedangkan istri bertugas sebagai pengurus rumah tangga. Tugas tersebut akan bertambah setelah pasangan dikaruniai buah hati. Mereka diharapkan untuk dapat membagi tugas bersama dalam hal pengasuhan anak, mendidik anak, memenuhi semua kebutuhannya dan juga menjaga kesejahteraan dari anaknya. Oleh karenanya secara tidak langsung kebutuhan materi dalam keluarga menjadi lebihbesar.(http://sabdaningtyas.com/site/index.php?option=com_content&task=c ategory&sectionid=7&id=21&itemid=74) Kenyataannya pada beberapa pasangan tidak berakhir sampai disitu, karena kenyataannya banyak sekali pasangan suami istri yang tidak lagi dapat 1

2 memertahankan rumah tangganya. Banyak dari pasangan yang memutuskan untuk mengakhiri perkawinanya dengan perceraian, menjauhi pasangan bahkan yang secara terpaksa harus merelakan pasangannya tidak lagi ada disampingnya karena dipanggil Sang Pencipta. Begitu banyak alasan yang mendasari keputusan pasangan dalam mengakhiri penikahannya. Baik dari segi ekonomi, psikis dan psikologisnya yang terkait dengan masalah pengasuhan anak bagi pasangan yang telah dikaruniai buah hati. Jika demikian, maka salah satu pasangan akan menjadi seorang single parent. (http://hariawan-acc.blogspot.com/2009/07/single-parentdan-masalahnya.html) Single parent adalah orang yang melakukan tugas sebagai orang tua (ayah dan ibu) seorang diri, karena kehilangan/ terpisah dengan pasangannya. Dapat diartikan juga sebagai keadaaan ketika pasangan suami istri yang sudah memiliki anak berpisah dan merawat buah hatinya tersebut secara individual tanpa melibatkan pasangannya. Kewajiban sebagai wanita single parent dalam menjalankan peran ganda bukan merupakan hal yang mudah bagi seorang wanita, terutama dalam hal membesarkan anak. Seorang wanita single parent membutuhkan perjuangan berat untuk membesarkan si buah hati, terkait dengan masalah ekonomi, pemenuhan kebutuhan psikis (kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lain yang berkaitan dengan materi) juga memenuhi kebutuhan psikologis anak-anaknya (pemberian kasih sayang, perhatian, rasa aman). Bukan hal yang mudah menjalankan dua peran tersebut sekaligus dalam membentuk anak yang berprestasi di sekolah, juga dalam aspek kehidupan yang lainya. Namun hal tersebut diatas hanya sebagian kecil dari

3 dampak- dampak yang dirasakan oleh para wanita single parent. (http://okvina.wordpress.com/2008/01/05/ wanita-sebagai-single-parent-dalam- membentuk-anak-yang-berkualitas/) Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor Pengadilan Agama Kota X selama tahun 2010 sekitar 59,8% faktor penyebab perceraian berupa meninggalkan kewajiban sebagai pasangan suami istri baik dalam hal ekonomi maupun tidak adanya tanggung jawab. Sementara itu, sebanyak 39,5% dipengaruhi oleh faktor terus-menerus berselisih mencakup gangguan orang ketiga dan juga tidak adanya keharmonisan. Adapun, sebanyak 0,7% diantaranya terjadi karena adanya faktor moral berupa poligami yang tidak sehat. Dari permasalahan- permasalahan yang terjadi pada wanita single parent, masalah pemenuhan tanggung jawab mencakup pengasuhan anak dan juga keuanganlah yang paling sering muncul. Hal itu disebabkan karena pada awalnya, kehidupan keluarga digantungkan pada suami sebagai pencari nafkah utama sehingga istri menjadi bergantung dan bersandar kepada suaminya. Setelah kepergian suaminya, istri harus memenuhi sendiri kebutuhan finansialnya agar dapat memenuhi kebutuhannya dan keluarga (http://hariawanacc.blogspot.com/2009/07/single-parent-dan-masalahnya.html). Seorang wanita single parent merasa putus asa karena statusnya yang tidak lagi menikah dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan fisik, psikis serta ekonomi dari pasangannya. Bagi yang bercerai, istri dan suami masih harus duduk bersama untuk mengatasi masalah pengasuhan serta pendidikan anaknya.

4 Sementara bagi yang ditinggal karena kematian, cenderung akan tergantung pada harta peninggalan yang ada, dan istri sama sekali tidak mendapatkan bantuan pengawasan, pendidikan serta santunan dana bagi kehidupan dan perkembangan anaknya. (http://psikologi-online.com/keluarga-single-parent) Dalam kehidupan bermasyarakat di negara ini, status wanita single parent atau janda ini menjadi bahan pembicaraan dan image negatif di lingkungan khususnya bagi wanita single parent yang bercerai. Bagi yang bercerai akan mendapat anggapan masyarakat bahwa dirinya tidak mampu memertahankan rumah tangganya dengan baik, sehingga mereka dianggap gagal dan akan diragukan kemampuanya dalam urusan tumah tangga, namun ada juga wanita single parent yang mendapatkan simpati akan statusnya tersebut karena dianggap baru mendapatkan musibah dalam kehidupanya. (http://psikologionline.com/keluarga-single-parent) Adanya tuntutan dari orang lain baik itu anak, keluarga besar, tempat ia bekerja, kritikan lingkungan, sampai pada tuntutan dan keyakinan diri sendiri untuk menembus dan juga untuk berjuang menghadapi permasalahan yang datang, maka pada kondisi seperti inilah wanita single parent membutuhkan rasa optimisme. Optimisme itu merupakan cara pandang dalam menghadapi berbagai situasi atau dikenal dengan optimism (Selligman, 1990). Orang yang optimis akan bertahan dari ketidakberdayaan, tidak mudah mengalami depresi ketika menghadapi kegagalan, dan akan lebih sedikit mengalami ketidakberdayaan yang berkepanjangan daripada orang yang pesimis.

5 Optimisme seseorang berhubungan dengan bagaimana individu menjelaskan kepada dirinya sendiri mengapa suatu peristiwa terjadi. Seseorang menjelaskan mengenai keadaan baik atau buruk yang dialaminya mencerminkan bagaimana harapan seseorang atau seberapa besar energi yang dimiliki orang tersebut untuk menghadapi situasi tersebut. Individu yang berpikir bahwa keadaan baik merupakan hasil dari usaha yang dilakukannya merupakan karakteristik indivdu yang optimis, sedangkan individu yang pesimis berpikir bahwa keadaan yang baik dan menganggap bahwa lingkungan luar dirinya yang dapat memberikan keadaan yang baik (Martin E.P Seligman,1990). Secara umum kebanyakan wanita single parent akan menganggap bahwa kejadian yang menimpanya ini adalah suatu keadaan yang buruk namun wanita single parent yang optimis, cenderung akan menganggap bahwa kejadian buru k tersebut hanya berlangsung sementara saja, oleh karena itu mereka akan mencari cara untuk dapat kembali memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Sedangkan wanita single parent yang pesimis, cenderung akan menganggap dan menyalahkan orang lain atas kondisi yang menimpanya sehingga cenderung untuk tidak berkembang dan memilih untuk menerima nasibnya, walaupun dapat untuk bangkit, berkembang dan menjalani hidupnya secara normal kembali namun hal tersebut akan membutuhkan waktu yang lama. Wanita single parent seringkali mengalami kondisi emosional yang menjadi masalah dikarenakan terjadi perubahan kemampuan dan kuantitas dalam aktivitasnya sehari-hari. Khususnya bagi wanita single parent yang berada dalam tahap dewasa awal karena sedang berada dalam usia produktif yang memiliki

6 tugas perkembangan berupa mandiri dalam hal ekonomi, mampu mengambil suatu keputusan penting. Peran dari orang-orang terdekat dalam mendukung mereka dapat membantu mereka untuk memandang hidup dan tujuan kedepannya dengan lebih baik lagi sehingga derajat optimisme mereka dapat menjadi tinggi. Karena dengan memiliki rasa optimisme yang tinggi akan mempengaruhi perilaku wanita single parent dalam menjalankan kehidupannya seperti misalnya dapat membagi waktu secara adil dalam mendidik dan mengasuh anak dengan bekerja untuk memenuhi kebutuhan anak tersebut tanpa merasa terbebani dan meninggalkan kewajibannya yang lain sebagai pengurus keluarga. Optimisme akan membantu seseorang memandang berbagai masalah bukan sebagai kesulitan melainkan sebagai tantangan. Selain itu, optimisme akan mengarahkan seseorang pada perilaku dan sikap bermanfaat dalam mencari solusi bagi berbagai masalah dan tujuan hidup dengan cara sebaik mungkin. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana seseorang memandang setiap kejadian apakah setiap kejadian yang baik atau buruk akan terus berlangsung atau sementara dalam kehidupannya (oleh Seligman (1990) disebut dengan permanence), mempengaruhi semua aspek atau aspek tertentu saja dalam kehidupannya (oleh Seligman (1990) disebut dengan pervasiveness), dan menilai dirinya atau lingkungan sebagai penyebab dari setiap kejadian (oleh Seligman (1990) disebut dengan personalization). Data yang akurat mengenai pendataan jumah wanita single parent di Indonesia di Badan Pusat Statistik (BPS) hanya sampai tahun 2007 dari 100 juta wanita usia 15-49 tahun di Indonesia berdasarkan status perkawinan dan umur

7 tercatat 2,4 juta diantaranya memiliki status perkawinan cerai hidup. Sementara 2,2 juta lainnya tercatat sebagai cerai mati dan sisanya tercatat sebagai belum menikah dan menikah. Sementara tingkat pertumbuhan wanita single parent akan terus meningkat sejalan pertambahan usia. Data wanita single parent dianggap penting untuk dapat menjaring dan memfasilitasi para wanita single parent tersebut untuk dapat berkembang setelah keterpisahan dengan pasangannya. Namun, masih banyak yang enggan untuk melaporkan status pernikahannya kepada instansi pemerintah khususnya pada RT/ RW setempat. Berdasarkan data yang didapat dari Pengadilan Agama Kota X, selama tahun 2010, terdapat 3199 kasus perceraian yang terjadi di Kota X. Rata-rata angka perceraian tiap bulannya adalah sekitar 266 kasus. Dari semua kasus tersebut sekitar 8-10% saja yang bercerai tanpa memiliki anak, sisanya tercatat memiliki anak. Hal itu akan berdampak pada hak pengasuhan anak dan juga tanggung jawab pasangan dalam pengasuhan anak tersebut yang cenderung untuk diserahkan kepada sang Ibu. Survey awal dilakukan secara acak kepada 20 responden wanita single parent. Dari hasil survey awal tersebut didapatkan bahwa 45% dari masingmasing kriteria senang dan yakin akan dapat menjalankan perannya sebagai wanita single parent. Sementara 25% diantaranya menjadi tertantang untuk membuktikan mereka dapat sukses dengan statusnya tesebut, 15% diantaranya membutuhkan dorongan besar dari lingkungan dalam menjalankan perannya, 10% merasa terbebani oleh peran gandanya itu, 5% masih sangat tergantung pada suami dan lingkungan sekitar dalam menjalankan perannya. Saat pertama kali

8 mendapatkan status sebagai wanita single parent, 60% merasa sedih dan serta berpikir tidak ada lagi yang dapat dilakukannya nanti, 40% menganggap biasa saja dan berusaha untuk tetap menjalani kehidupan seperti pada umumnya (permanence). Hasil survey juga menunjukkan bahwa 65% dari mereka tidak membatasi pergaulannya dengan lingkungan sosial, 20% merasa ada keterbatasan untuk membina relasi yang akrab dengan lawan jenis, serta 15% yang lainnya memilih untuk terus bertahan dengan status single nya sekarang ini. Sebanyak 100% berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara rajin berdoa dan menjalankan ibadah agar mampu menjalani perannya sebagai kepala keluarga yang harus bekerja dan memperhatikan tumbuh kembang anaknya. (pervasiveness) Dari hasil wawancara pada wanita single parent 50% merasa tidak terganggu dengan status single parentnya dan tidak menghambat kegiatan sehariharinya dalam bekerja ataupun dalam bergaul, 30% merasa bahwa dengan statusnya tersebut kegiatan sehari- harinya menjadi terbatasi, 20% merasa terganggu dengan statusnya karena merasa diperlakukan berbeda oleh lingkungan (personalization) Wanita berinisial A merupakan seorang wanita single parent dimana ia harus bercerai dengan suaminya ketika ia memiliki anak berusia 4 tahun. Sebelum bercerai, A memiliki rencana untuk menjadi full time working mom. Hal itu pun dapat terlaksana sebelum jatuhnya putusan cerai oleh pengadilan agama kota X.

9 Kini A menjadi disibukkan oleh pekerjaan dan kewajiban mengurus anak. Namun A menikmati dan mensyukuri keadaannya sekarang ini walaupun A merasa hal tersebut sangat menyita waktunya. Kata wanita single parent ataupun janda kembang memang banyak didapat A dari orang-orang sekitar. Namun A tidak perduli akan pendapat orang tersebut. Bagi A hidupnya saat ini terasa lebih baik daripada A menjadi istri orang yang dianggapnya hanya menambah beban hidupnya saja karena perlakuan suami A yang kasar dan sering mengkambing hitamkan A atas kegagalannya sendiri. Hidup yang dijalani A kini dirasa A memang berat namun inilah pilihan hidup untuk A dan juga anaknya. A merasa bahwa keadaan yang seperti ini memang tidak ideal bagi A, terutama bagi anaknya. Walau begitu A berusaha untuk tetap berkomunikasi, menghabiskan waktu bersama yang berkualitas, juga banyak berdoa bersama dengan anaknya. Lingkungan pun cenderung untuk menilai negatif tentang statusnya tersebut, sehingga A dituntut untuk dapat menjaga nama baik keluarga dan dirinya pasca perceraian. Harapan A dalam menjalani hidupnya sebagai wanita single parent saat ini adalah semoga A dan anaknya dapat menjalankan hidup dengan baik. B menjadi wanita single parent setelah ditinggal pergi suami untuk selama-lamanya akibat mengalami kecelakaan empat bulan yang lalu. Dunia serasa runtuh, apalagi dua anak B masih balita. B yang biasa menyandarkan diri kepada suami, sejak itu harus melakukan apa-apa sendiri. Hidup menjadi begitu berat, B sering menangis karena sedih, kesepian dan merasa tak berdaya. Meski B bekerja dan karir B cukup baik, namun tanggung jawab membesarkan dua anak seorang diri terasa sangat menakutkan. B takut tidak sanggup menjalaninya, tak

10 bisa membahagiakan anak dan menjadikan mereka terlantar. B juga sering tak tahan mendengar perbincangan teman-teman yang kurang bisa ikut merasakan penderitaan B yang ditinggal mati suami. Belakangan ini di kantor mulai muncul komentar-komentar bernada miring, menyinggung status B sebagai wanita single parent muda yang kesepian. Namun, justru dari situlah B mendapatkan perhatian dan dukungan yang tinggi dari lingkungan sekitarnya khususnya dari keluarga B untuk dapat tegar pasca kematian pasangannya itu. Hasil wawancara yang didapat tersebut merupakan gambaran dari kesulitan yang dirasakan oleh wanita single parent. Penyebab mereka menjadi wanita single parent tersebut ada yang membuat subjek mengambil hikmah dibalik semua kejadian dan percaya bahwa peristiwa buruk yang terjadi bukan merupakan kesalahannya semata dan berusaha untuk menghadapinya, namun ada juga yang menilai bahwa keadaan buruk itu akan dialami menetap dan cenderung untuk menyalahkan diri sendiri. Dari hasil survey terlihat bahwa wanita single parent memiliki derajat optimisme yang berbeda-beda dalam segi dimensinya (permanence, pervasiveness, dan personalization). Berdasarkan fakta yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui derajat optimisme pada wanita single parent yang bekerja di Kota X. 1.2 IDENTIFIKASI MASALAH Dari penelitian ini ingin diketahui seperti apakah gambaran derajat optimisme pada wanita Single Parent di yang bekerja Kota X.

11 1.3 MAKSUD dan TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai derajat optimisme pada wanita Single Parent yang bekerja di Kota X. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran lebih lanjut mengenai derajat optimisme pada wanita Single Parent yang bekerja di Kota X melalui dimensi-dimensinya, yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization. 1.4 KEGUNAAN PENELITIAN 1.4.1 Kegunaan Teoretits Memberikan sumbangan informasi bagi ilmu psikologi, khususnya Psikologi Klinis mengenai optimisme. Diharapkan dapat mendorong peneliti lain untuk mengembangkan dan mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai optimisme pada wanita single parent.

12 1.4.2 Kegunaan Praktis 1.) Memberikan informasi kepada wanita single parent mengenai derajat optimisme dirinya yang diharapkan dapat mempertahankan atau meningkatkan derajat optimisme dalam menjalani hidup sebagai single parent. 2.) Memberikan informasi kepada keluarga dan teman wanita single parent, mengenai derajat optimisme yang dimiliki wanita single parent sehingga keluarga dan teman dapat membantu memertahankan atau meningkatkan derajat optimisme dalam menjalani hidup sebagai wanita single parent. 1.5 KERANGKA PIKIR Bagi wanita pada tahap dewasa awal (20-40 tahun), masa tersebut wanita single parent mampu melepaskan ketergantunganya dari oramg tua dan juga teman- temannya hingga mencapai taraf kemandirian baik secara ekonomi maupun pengambilan keputusan. Dalam kemandirian ekonomi, dapat terlihat dalam kemampuannya untuk mendapatkan pekerjaan penuh waktu yang kurang lebih menetap sehingga mampu memenuhi kebutuhannya sendiri secara ekonomi. Sedagkan dalam membuat keputusan, berhubungan dengan karir, nila- nila, keluarga, dan hubungan dekat, serta gaya hidup. Pada masa ini seseorang akan menjalani peran baru dalam kehidupanya terkait denan penyesuaian diri sebagai istri, orang tua dan juga pencari nafkah (Santrock, 2002).

13 Keterpisahan antara suami dan istri dalam suatu hubungan rumah tangga dapat menjadi suatu masalah bagi masing-masing pasangan yang ditinggalkan. Kesulitan-kesulitan yang dialami dalam menjalani status sebagai wanita single parent membuat para wanita single parent ini mengalami tekanan yang berat. Kesulitan yang sangat dirasakannya adalah ketika mereka menerima kenyataan bahwa pasangannya tidak lagi ada disampingnya. Wanita single parent tersebut menjadi sedih ketika mulai mengalami penurunan penghasilan sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan diri dan anak-anaknya. Disaat seperti ini, wanita single parent dituntut untuk dapat mengambil keputusan terkait dengan pemenuhan kebutuhan diri dan anak ke depannya mencakup merancang masa depan bagi kehidupan keluarga kecilnya. Kesulitan selanjutnya dialami ketika mereka harus seorang diri menjadi pengurus rumah tangga dan pengurus buah hatinya. Karena di satu sisi mereka dituntut untuk menjadi tulang punggung keluarga agar dapat menghidupi keluarganya, namun disisi lain ia pun harus dapat berperan sebagai pendidik yang baik bagi anaknya. Ia harus dapat tegas namun terlihat tulus dan menyayangi, terlihat meyakinkan namun penuh kelembutan. Waktu untuk diri sendiri terkadang menjadi tersisihkan oleh kebutuhan keluarga. Perceraian dan kematian pasangan merupakan suatu stressor yang dapat membuat wanita yang single parent menjadi tertekan dan merasa sedih, cemas, bahkan banyak hal yang dapat mengganggunya secara psikis. Bagi wanita/ istri yang terpisah dari pasangan karena kematian pasangan, hal ini akan terasa berat karena pada dasaranya istri menjadi terlepas dari suami baik itu perhatian,

14 dukungan fisik dan moral, keuangan sampai masalah pengurusan anak dan rumah tangganya harus dilakukan sendiri tanpa adanya sosok yang ada dibelakangnya. Bagi yang ditinggalkan karena kematian pasangan itu sendiri dapat membuat istri menjadi harus siap dengan segala resiko tanpa adanya campur tangan sedikit pun dari suami. Sedangkan perceraian sendiri merupakan proses kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila diantara suami- istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak (Elizabeth B. Hurlock, 1994). Perceraian ini memunculkan berbagai permasalahan bagi kedua belah pihak, khususnya dalam hal ini bagi seorang wanita single parent. Hal yang dikhawatirkan dari perceraian itu sendiri lebih merujuk pada label janda atau wanita single parent yang akan melekat di dalam diri wanita yang single parent akibat perceraian yang bersangkutan. Kurangnya dukungan terutama dari keluarga dan lingkungan sosialnya akan menjadi faktor yang dapat membuat wanita yang single parent akibat perceraian semakin tertekan, jika wanita yang single parent akibat perceraian tidak mendapat dukungan maka akan merasa lebih berat lagi dalam dalam menjalani hidupnya tersebut sebagai seorang single parent. Terlebih lagi dengan keadaan budaya Indonesia ini yang masih cenderung tabu bila membahas perceraian atau kegagalan berumah tangga. Rasa malu akan status wanita single parent itu membuat wanita bekerja yang single parent akibat perceraian kurang dapat berfungsi secara optimal dalam lingkungannya. Rasa tertekan tersebut dapat membuat konsentrasi dan semangat mereka terhadap aktivitas lainnya terganggu, terlihat bagi wanita single parent

15 dapat membuat produktivitasnya menjadi menurun. Mereka menjadi kurang dapat konsentrasi karena pikirannya terbagi. Jika keadaan tersebut berkelanjutan akhirnya akan berdampak pada produktivitas mereka dalam bekerja juga dalam penanganan anak mereka, mereka akan menjadi merasa ketakutan tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya tersebut. Jika demikian adanya mereka akan menjadi mudah untuk menyerah pada situasi yang terjadi padanya. Untuk itu dibutuhkan adanya optimisme pada wanita single parent. Karena optimisme itu berarti cara pandang individu dalam menghadapi suatu keadaan, baik keadaan yang baik (good situation) maupun keadaan yang buruk (bad situation). (Martin E P Seligman,1990). Optimisme dapat membuat wanita single parent menjadi dapat memandang dirinya sendiri lebih positif. Dengan adanya optimisme dalam diri wanita single parent diharapkan dapat membantu untuk bertahan saat menghadapi masa- masa sulit dalam menjalani sisa hidupnya dengan tetap memiliki keyakinan untuk hal yang lebih baik. Selain itu juga diperlukan adanya harapan ketika mengalami ketidakberuntungan, dengan keyakinan dan adanya harapan wanita single parent dapat kembali bangkit dari penolakan- penolakan yang didapat dari masyarakat yang mereka rasakan dan melanjutkan hidup mereka. Menurut Martin E.P Seligman (1990), optimisme bukanlah suatu obat namun dapat melindungi dari depresi, bisa meningkatkan tingkat perolehan, memperbaiki kesehatan fisik sehingga dapat membuat suatu keadaan lebih menyenangkan. Sehingga bagi wanita single parent yang memiliki optimisme yang tinggi, mereka akan percaya bahwa peristiwa buruk yang dialaminya hanya

16 bersifat sementara dan mereka percaya bahwa peristiwa buruk itu bukanlah kesalahannya sehingga mereka tidak menyalahkan diri sendiri dan menganggap peristiwa buruk tersebut bersifat sementara dan berasal dari faktor diluar dirinya. Seorang wanita single parent membutuhkan optimisme yang tinggi karena dalam menjalani hidupnya sebagai yang bereperan ganda dalam kehidupannya, seorang wanita single parent perlu merasa yakin terhadap aktivitas yang dijalani dan percaya bahwa kesulitan yang dialami hanya sementara, pada peristiwa tertentu saja, dan yang menyebabkan kesulitan tersebut adalah keadaan di luar dirinya, serta menjadikan situasi yang sulit itu sebagai suatu tantangan yang harus diselesaikannya. Jika mereka tidak yakin, maka kemungkinan untuk menjalankan aktivitasnya mengalami kemunduran, serta akan menganggap kondisi sekarang akan berlangsung lama dan menyalahkan dirinya sendiri sehingga merasa ragu akan aktivitasnya tersebut. Optimisme akan mempengaruhi sikap individu dalam memandang perisitwa, kejadian yang baik maupun buruk, menjadi lebih yakin bahwa seluruh peristiwa pasti memliki jalan keluar dan dirinya mampu menyelesaikannya. Optimisme memiliki tiga dimensi yang menunjukan cara individu memandang suatu peristiwa. Tiga dimensi tersebut adalah permanence, pervasiveness, dan personalization. Ketiga dimensi ini dilihat dalam dua keadaan, yaitu keadaan yang baik (good situation) dan keadaan yang buruk (bad situation). Pada dimensi permanence, yang menjadi titik berat adalah kurun waktu, apakah suatu keadaan yang dialami akan menetap atau hanya sementara. Seorang wanita single parent yang menghadapi keadaan baik seperti menganggap dengan bekerja

17 dia menjadi mampu mengasah bakat lamanya dan memperluas lingkungan sosialnya. Hal baik seperti itu akan menetap (PmG-permanence), dan menganggap bahwa kemunduran hanya akan terjadi sementara (PmB-temporary) berarti wanita single parent tersebut memiliki optimisme tinggi pada dimensi permanence. Tetapi sebaliknya jika wanita single parent menghadapi keadaan buruk dan dianggap sebagai keadaan yang menetap (PmB-permanence), serta bila menganggap kemajuan hanya bersifat sementara (PmG-temporary) berarti wanita single parent tersebut memiliki optimisme rendah pada dimensi permanence. Pada dimensi Pervasiveness, titik tolaknya adalah penjelasan yang universal dan spesifik. Wanita single parent yang menganggap adanya kemajuan dari segi ekonomi dan kehidupan anak-anaknya dan menganggap kemajuaan akan menyebar keseluruh keadaan (PvG-universal), serta menganggap kemunduran hanya terjadi pada keadaan tertentu saja (PvG-specific) berarti memliki optimisme tinggi pada dimensi pervasiveness. Sementara jika wanita single parent menganggap kemunduran dalam pemenuhan finansial dan kehidupan anakanaknya dan menganggap hal itu terjadi secara menyeluruh (PvB-universal), serta menganggap kemajuan hanya terjadi di bagian tertentu saja (PvB-specific) berarti wanita single parent memiliki derajat optimisme randah dalam dimensi pervasiveness. Pada dimensi ketiga yaitu personalization, yang ditekankan adalah mengenai penyebab suatu keadaan, apakah internal ataukah eksternal. Disini dijelaskan, yang dapat menyebabkan hal buruk atau tidaknya adalah berasal dari diri sendiri atau berasal dari hal lain yang ada diluar dirinya. Jika wanita single

18 parent merasa bahwa seluruh keadaan yang dia alami sekarang baik itu pekerjaan ataupun dalam pengawasan dan pengurusan anak dan keluarga kecilnya itu dapat berjalan lebih baik setelah lepas dari pasangannya tersebut. (PsG-internal) dan jika mereka menganggap bahwa dengan kejadian perpisahan dengan pasangannya tersebut membuat karir dan juga kehidupan keluarga kecilnya khususnya anak menjadi mengalami kemunduran yang diakbitkan oleh faktor-faktor di luar dirinya seperti tuntutan lingkungan (PsB-eksternal). Sedangkan bila wanita single parent itu mengalami kemajuan dan mengangap hal itu terjadi karena adanya faktor di luar dirinya atau lingkungan (PsG-eksternal) dan untuk kemunduran keluarga dan anak-anak serta karirnya dari diri sendiri (PsB-internal) yang dapat berarti wanita single parent tersebut memiliki derajat optimisme yang rendah. Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi seseorang apakah memilki derajat optiisme tinggi atau rendah. Tiga hal yang mempengaruhi pembentukan explanatory style dalam diri seseorang, yaitu explanatory style ibu (singnificant person), kritik orang dewasa, dan krisis yang dialami pada masa lalu (Seligman, 1990). Faktor pertama yang berpengaruh ialah explanatory style dari figur signifikan. Explanatory style dari figur siginifikan itu bukan diturunkan tapi dipelajari dari lingkungan. Pembelajaran tersebut didapat melalui komunikasi antara individu dengn figur yang dianggap signifikan seperti ibu, ayah, kakak, keluarga dekat, dan teman. Misalnya ibunya yang juga seorang wanita single parent berhasil menghadapi segala keadaan dan kesulitan selama menjadi wanita

19 single parent, maka dirinya juga dapat demikian. Hal ini akan menambah keyakinan wanita single parent dalam menjalankan kehidupannya. Faktor kedua yang berpengaruh ialah kritik dari orang dewasa, baik itu kiritikan, saran, nasehat bahkan pujian bagi individu. Hal tersebut akan dijadikan sebagai bahan masukan dalam menghadapi keadaanya sebagai wanita single parent. Misalnya nasehat dari orangtua seperti jangan terlalu memikirkan pendapat orang mengenai statusnya sekarang ini karena akan berdampak pula pada kondisi anaknya. Lebih baik memfokuskan diri dalam hal pengasuhan anak agar anak tetap menjadi prioritas. Hal tersebut bisa dijadikan sebagai bahan masukan bagi wanita single parent. Jika wanita single parent tersebut terbuka dalam menerima pandangan dan harapan yang tinggi dan bersifat positif dari orang lain akan kehidupannya setelah terpisah dari pasangannya, maka mereka akan memiliki optimisme yang tinggi. Sementara jika yang mereka dapatkan adalah berupa harapan dan tuntutan yang berat dan tidak dapat ia lakukan, maka mereka akan memiliki optimisme yang rendah. Selain tentang kehidupannya sendiri, harapan dan tuntutan dari anaknya yang membutuhkan perhatian lebih pun menjadi faktor yang dapat mempengaruhi derajat optimisme wanita single parent. Tuntutan pekerjaan, pandangan lingkungan mengenai statusnya, perkembangan anak-anaknya, hal tersebut diatas akan berimbas pada derajat optimisme mereka sesuai dengan kadar tuntutannya masing-masing. Tuntutan dan kritik dari lingkungan sekitar dapat membuat wanita single parent merasa

20 tertantang untuk maju dan menunjukan ia mampu ataupun sebaliknya. Mereka menjadi mudah menyerah terhadap tuntutan dan kritkan yang datang padanya. Faktor ketiga yang berpengaruh ialah masa krisis di masa lalu. Hal ini akan dijadikan sebagai bahan masukan dalam menghadapi keadaanya. Pengalaman sebelumnya ketika dihadapkan suatu masalah yang dianggap berat dan dirasa berhasil maka akan dikembangkan kembali untuk menghadapi masalahnya sebagai seorang wanita single parent sekarang ini. Faktor yang mempengaruhi: Kritik orang dewasa Explanatory Style Ibu (Significant Person) Krisis masa lalu Wanita Single Parent yang bekerja di kota X Optimisme Dimensi Optimisme: Permanence Pervasiveness Personalization Tinggi Rendah Bagan 1.5 Kerangka Pemikiran

21 1.6 ASUMSI PENELITIAN 1) Wanita Single Parent memiliki derajat optimisme yang berbeda-beda. 2) Optimisme merupakan hasil belajar dari lingkungan melalui pengalaman hidup. 3) Derajat optimisme pada wanita single parent dapat diukur melalui tiga dimensi, yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization. 4) Faktor yang mempengaruhi optimisme wanita single parent adalah explanatory style significant person, kritik orang dewasa, dan krisis masa kanak-kanak. 5) Karakteristik wanita single parent yang memiliki derajat optimisme tinggi yaitu cenderung memandang peristiwa baik (good situation) yang dialaminya sebagai sesuatu yang bersifat permanent (PmG), universal (PvG), internal (PsG) dan cenderung memandang peristiwa buruk (bad situation) yang dialaminya sebagai sesuatu yang bersifat temporary (PmB), specific (PvB), external (PsB). 6) Karakteristik wanita single parent yang memiliki derajat optimisme rendah yaitu cenderung memandang peristiwa baik (good situation) yang dialaminya sebagai sesuatu yang bersifat temporary (PmB), specific (PvB), external (PsB) dan cenderung memandang peristiwa buruk (bad situation) yang dialaminya sebagai sesuatu yang bersifat permanent (PmG), universal (PvG), internal (PsG).