29 BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Tindak Pidana 2.1.1 Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana pada dasarnya berasal dari terjemahan Bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit. Strafbaar dalam Bahasa Belanda berarti dapat dihukum, sedangkan feit berarti sebagian dari suatu kenyataan. Secara harafiah, strafbaarfeit dapat diterjemahkan sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan barang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undan-gundang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. 25 Mengenai pengertian tindak pidana, Pompe mengemukakan bahwa tindak pidana adalah suatu tindakan yang menurut rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 26 Menurut Simons strafbaarfeit merupakan kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana,yang bersifat 25 P.A.F. Lamintang,op.cit,h.7. 26 Ibid, h.172
30 melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. 27 Perbuatan yang diancam dengan hukum pidana adalah perbuatan yang secara mutlak harus memenuhi syarat formal, yaitu dengan berdasarkan rumusan undang-undang yang ditetapkan oleh KUHP dan peraturan-peraturan lain yang berdimensi pidana dan memiliki unsur material yaitu bertentangan dengan citacita mengenai pergaulan masyarakat atau dengan kata pendek suatu sifat melawan hukum atau tindak pidana. 28 Istilah tindak dari tindak pidana adalah merupakan singkatan dari tindakan atau petindak, artinya ada orang yang melakukan suatu Tindakan, sedangkan orang yang melakukan itu dinamakan petindak. Sesuatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja tetapi dalam banyak hal sesuatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari yang bekerja pada negara atau pemerintah, 29 atau orang yang mempunyai suatu keahlian tertentu. Pengertian tindak pidana menurut Wirjono Prodjodikoro adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. 30. Berarti tindak pidana dapat dirumuskan sebagai suatu tindakan pada temat, waktu, dan keadaan tertentu, yang dilarang atau dihapuskan dan diancam dengan pidana oleh undnagundnag bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab. 27 Moeljatno I,op.cit, h56 28 Moeljatno II, op.cit, h.24-25. 29 S.R Sianturi,1996, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Cet. 4, Jakarta, Percetakan BPK Gunung Mulia, h.203 30 Adam Chazawi I,op.cit, h.1
31 1.1.2 Unsur-unsur Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUHP itu pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsurunsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah: a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa); b) Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP; c) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; d) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; e) Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP 31 Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah: a) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid; b) Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan 31 P.A.F.Lamintang, op.cit,h.193
32 sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; c) Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. 32 Untuk menentukan unsur-unsur tindak pidana maka akan muncul dua aliran, yaitu aliran monoistis dan aliran dualistis. Aliran monoistis ini melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Jadi tidak ada pemisah antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sedangkan aliran dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam aliran monoistis adalah: a) Simons Unsur-unsur strafbaarfeit adalah: 1) Perbuatan manusia; 2) Diancam dengan pidana; 3) Melawan hukum; 4) Dilakukan dengan kesalahan; 5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaarfeit.yaitu : Unsur obyektif strafbaarfeit ialah: 1) Perbuatan orang; 2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu; 32 Ibid,h.93
33 3) Keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan itu. Unsur subyektif strafbaarfeit ialah: 1) Orang yang mampu bertanggung jawab; 2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan. b) Van Hamel Unsur-unsur strafbaarfeit adalah: 1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; 2) Bersifat melawan hukum; 3) Dilakukan dengan kesalahan; 4) Patut dipidana. c) E. Mezger Unsur-unsur strafbaarfeit adalah: 1) Perbuatan manusia dalam arti luas dari manusia (aktif atau membiarkan); 2) Sifat melawan hukum; 3) Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang; 4) Diancam dengan pidana. Sedangkan tokoh-tokoh yang termasuk dalam aliran dualistis adalah: a) H. B. Vos Menurut H. B. Vos strafbaarfeit hanya berunsurkan: 1) Kelakuan manusia; 2) Diancam pidana dalam Undang-undang. b) Moeljatno Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur:
34 1) Perbuatan manusia 2) Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang (syarat formil) 3) Bersifat melawan hukum (1, 2, 3 merupakan syarat materiil) 33 Dengan demikian, orang yang dikatakan melakukan tindak pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Adanya criminal act Suatu perbuatan dengan sanksi ancaman pidana. Menurut Moeljatno, untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: a) Ada Perbuatan Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, perbuatan manusia (actus reus) terdiri atas: 1. (commision/act) yang dapat diartikan sebagai melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh undang-undang atau sebagian pakar juga menyebutnya sebagai perbuatan (aktif/positif). 2. (ommision), yang dapat diartikan sebagai tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh undang-undang atau sebagian pakar juga menyebutnya perbuatan (pasif/negatif). b). Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang 33 Sudarto,1983, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 25
35 Ialah perbuatan konkret dari si pembuat harus mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri dari delik itu sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam undang-undang. Perbuatan itu harus masuk dalam rumusan delik. c). Ada Sifat Melawan Hukum Penyebutan sifat melawan hukum dalam pasal-pasal tertentu menimbulkan tiga pandapat tentang arti dari melawan hukum ini yaitu diartikan: - Ke-1 : bertentangan dengan hukum (objektif); - Ke-2 : bertentangan dengan hak (subjektif) orang lain; - Ke-3 : Tanpa hak. 34 Lamintang menjelaskan sifat melawan hukum sebagai berikut: menurut ajaran Wederrechtelijk dalam arti formil, suatu perbuatan hanya dapat dipandang sebagai bersifat Wederrechtelijk apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur delik yang terdapat dalam rumusan delik menurut undang-undang. Adapun menurut ajaran Wederrechtelijk dalam arti meteriil, apakah suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai Wederrechtelijk atau tidak, masalahnya buka harus 34 Wirjono Prodjodikoro,2010, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Indonesia, Cetakan Ketiga, Bandung, Refka Aditama, h.2
36 ditinjau dari ketentuan hukum yang tertulis melainkan harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum dari hukum tidak tertulis. 35 2.2 Pertanggungjawaban Pidana (criminal responsibility) Perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku bisa dipertanggungjawabkan. Pengertian kemampuan bertanggung jawab ialah suatu keadaan psychis sedemikian yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari unsur sudut umum maupun orangnya. Sehingga seseorang mampu bertanggungjawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatan bertentangan dengan hukum, ia dapat menentukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut. Selain itu untuk menentukan adanya pertanggungjawaban seseorang dalam melakukan suatu tindak pidana harus ada sifat melawan hukum dari tindak pidana, yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Mengenai sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis atau jiwa pembuat tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa kesengajaan atau karena kelalaian. Akan tetapi kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian. 2.3 Kejahatan terhadap Nyawa Suatu kejahatan yang termuat dalam buku II KUHP dengan macammacam bentuk, sifat, dan akibat hukumnya. Salah satu bab yang termaktub 35 P.A.F.Lamintang, op.cit, h.445.
37 didalamnya menjelaskan tentang kejahatan terhadap nyawa (Pasal 338-350). Kejahatan terhadap nyawa yang dapat disebut dengan atau merampas jiwa orang lain. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan atau merampas jiwa orang lain adalah pembunuhan. Jenisjenis pembunuhan yang dimaksud dalam pasal tersebut antara lain : 1) Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok. 2) Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului dengan tindak pidana lain. 3) Pembunuhan berencana. 4) Pembunuhan ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan. 5) Pembunuhan atas permintaan korban. 6) Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri. 7) Pengguguran dan pembunuhan terhadap kadungan. 36 Adanya perbedaan tindak pidana pembunuhan biasa dengan pembunuhan berencana yaitu : a. Pembunuhan biasa Pembununuhan biasa (doodslag) adalah salah satu jenis pembunuhan yang merupakan dalm bentuk pokok yang berarti pembunuhan tersebut tidak memuat unsur-unsur yang meringankan maupun memberatkan, dan di KUHP telah diatur dalam Pasal 338. 37 36 Adami Chazawi, op.cit, h.56. 37 PAF Lamintang dan Theo Lamintang, 2012, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, &Kesehatan, Sinar Grafika, h 27.
38 Pasal 338 KUHP menyatakan sebagai berikut: Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan penjara paling lama lima belas tahun. Berdasarkan pasal tersebut terdapat unsur-unsur dalam tindak pidana pembunuhan biasa yaitu perbuatan dengan sengaja dan perbuatan menghilangkan nyawa orang lain. Sengaja artinya bahwa perbuatan tersebut harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus) yang dimaksud dalam pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk tanpa direnacanakan terlebih dahulu. Bentuk atau tingkat kesengajaan dapat dijabarkan sebagai beirkut: 1. Kesengajaan sebagai maksud /tujuan (opzet als oogmerk) Bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana 2. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zakerheidsbewutzijn) 3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (vooreaardelijk opzet) Unsur menghilangkan nyawa orang lain juga diliputi oleh kesengajaan, artinya pelaku harus menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakna tersebut, dan ia pun harus mnegetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi masalah, meskipun pembunuhan tersebut itu
39 dilakukan oleh ayah/ibu kandung sendiri, perbuatan itu jua termasuk juga pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP. b. Pembunuhan Berencana Pembunuhan berencana atau yang sering disebut dengan moord adalah pembunuhan yang dilakukan dengan adanya rencana terlebih dahulu. 38 Pembunuhan berencana merupakan salah satu jenis pembunuhan dimana memuat unsur yang memberatkan (gequalifyceerde doodslag) yaitu yang berupa unsur perencanaan. Pembunuhan berencana terdiri dari pembunuhan dalam arti Pasal 338 ditambah dengan adanya unsur dengan rencana terlebih dahulu. Lebih berat ancaman pidana pada pembunuhan berencana, jika dibandingkan dengan pembunuhan dalam Pasal 338 maupun Pasal 339, diletakkan pada adanya unsur dengan sengaja terlebih dahulu. 39 Hal ini diatur oleh Pasal 340 KUHP yang bunyinya sebagai berikut: Barangsiapa dengan sengaja dan dengan diencanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Dari rumusan tersebut, unsur-unsur pembunuhan berencana adalah dengan sengaja yang direncanakan terlebih dahulu (unsur subyektif), dan 38 Leden Marpaung, 2000, Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Tubuh : Pemberantasan dan Prevensinya, Jakarta: Sinar Grafika, h. 4 (selanjutnya disingkat Leden Marpaung II) 39 Adam Chazawi I.op.cit, h. 80.
40 menghilangkan nyawaorang lain (unsur obyektif). Jika unsur-unsur tersebut terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan niatnya, maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP. Adanya unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya mengandung 3 syarat/unsur, yaitu : 40 a. Memutuskan dalam keadaan tenang Pada saat menentukan kehendak unruk membunuh itu dilakukan dalam suasana bathin yang tenang yaitu suasana yang tidak tergesa-gesa, tidak dalam keadaan terpaksa dan emosiaonal tinggi. Pelaku sudah memutuskan kehendak untuk membunuh dengan telah memikirkan dan mempertimbangkannya. b. Tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai pelaksanaan kehendak Terdapat waktu tenggang yang cukup, antara sejak timbulnya kehendak pelaku sampai pelaksanaan keputusan kehendaknya tersebut. Eaktu yang cukup ini tidak diukur dari lamanya waktu, melainkan bergantung pada keadaan atau kejadian konkret yang berlaku. Tidak terlalu singkay, karena jika singkat, tidak mempunyai kesempatan lagi 40 Jiwo Agung Pangestu,2011, Tindak Pidana Kasus Pembunuhan Berencana,(Cited 3013 Feb. 4), availab;e from URL : http://jiwoagung21.blogspot.com/2011/05/tindak-pidanakasus-pembunuhan.html
41 untuk berpikir, karena tergesa-gesa, waktu yang demikian sudah menggambarkan terlalu lama sudah tidak ada lagi menggambarkan ada hubungan antara pengambilan putusan kehendak dengan pelaksanaan pembunuhan. 41 c. Pelaksanaan kehendak dalam suasana tenang Pelaksanaan pembunuhan tersebut dilakukan dengan suasana bathin yang tenang, bahkan syarat yang ketiga ini diakui yang terpenting oleh banyak orang. Maksudnya suasana hati pada saat melaksanakan pembunuhan itu tidak dalam suasana yang tergesa-gesa, amarah yang tinggi, rasa takut yang berlebihan, dan lain sebagainya. Diterimanya unsur perencanaan terlebih dahulu dapat dilihat dari adanya tenggang waktu yang pendek atau panjang untuk dilakukan pemikiran dan pertimbangan yang matang. Dengan demikian, apabila pikiran-pikiran untuk melakukan pembunuhan tersebut dalam keadaan marah, waktu yang terlalu singkat yang berakibat akan berpikir secara tergesa-gesa, panic, dan tidak terencana, dan dalam suatu suasana kejiwaan ynag tidak memungkinkan untuk berpikir tenang, maka disitu tidak ada unsur perencanaan. 2.4 Dasar Pemberatan Pidana Undang-undang membedakan anatara dasar pemeberatan umum dan dasar pemberatan khusus. Pemberatan pidana umum adalah dasar pemberatan yang 41 ibid
42 berlaku untuk segala macam tindak pidana baik yang terdapat dalam KUHP maupun diluar KUHP. Pemberatan pidana khusus adalah dasar pemberatan yang berlaku pada tindak pidana tertentu saja. 42 Dasar pemberat terjadi ketika seseorang yang sudah melakukan semua unsur dari unsur tindak pidana, namun ada alasan untuk memperberat perbuatannya sehingga hukuman yang akan diterima akan lebih berat. Perbuatan yang menjadi dasar pemberat pidana yaitu: a. Recidive (Perbuatan Pengulangan) Dalam KUHP, recidive diatur dalam Pasal 486 sampai pasal 488 KUHP dan merupakan dasar pemberatan pidana. Recidive merupakan kelakuan seseorang yang mengulangi perbuatan pidana sesudah dijatuhi pidana dengan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena perbuatan yang telah dilakukannya terlebih dahulu. Recidive menunjuk kepada kelakuan mengulani perbuatan, dan recidivist menunjuk kepada orang yang melakukan pengulangan perbuatan pidana. 43 Pemberatan pidana karena pengulangan,. memiliki 3 (tiga) faktor yaitu: (1) Faktor lebih satu kali melakukan tindak pidana; (2) Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pelaku karena tindak pidana yang pertama; dan 42 Adam Chazawi I, op.cit, h.16 43 Aruan Sakidjo dan Bambang Purnomo, 1990, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta, Ghalia Indonesia, h.181
43 (3) Pidana poin (2) telah dijalankan oleh yang bersangkutan. Poin yang terpenting adalah poin (2) dan (3). Pidana yang diberikan berfungsi sebagai peringatan agar yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan yang tidak benar. Dalam hal pelaku melakukan tindak pidana yang kedua kalinya maka dianggap pelaku tidak mengindahkan peringatan tersebut. Pelaku dianggap memiliki sikap yang buruk sehingga harus kembali dipidana lebih berat untuk menyadarkan yang bersangkutan. Dasar alasan hakim memperberat penjatuhan pidana adalah karena orang itu membuktikanmempunyai tabiat yang jahat, dan oleh sebab itu dianggap merupakan bahaya bagi masyarakat atau ketertiban umum. 44 b. Concorsus Delicten (Perbarengan) Delik perbarengan merupakan perbuatan pidana yang berbentuk khusus, karena beberpa perbuatan pidana yang terjadi hakikatnya hanya dilakukan oleh satu orang. 45 Perbarengan adalah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatahi pidana, atau antara tindak pidana yang pertama dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi suatu putusan hakim. Pengertian perbarengan ini dibedakan dengan pengertian pengulangan. Dalam pengulangan tindak pidana yang dilakukan lebih awal telah diputus oleh hakim dengan memidana pelaku. 44 Ibid, h.182 45 Ibid, h.169
44 c. Abuse of power: melakukan tindak pidana yang melanggar perintah jabatan(pasal 52 KUHP) d. Samenloop (Penggabungan) Gabungan tindak pidana ataupun pengulangan tindak pidana yang belum mempunyai suatu putusan hakim yang berkekuatan tetap sehingga akan diadili sekaligus dengan tindakan yang diulanginya. Maksud dari pemberatan pidana tesebut yaitu pelaku kejahatan dapat dipidana melampaui ancaman maksimum. Ciri dari tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat harus memuat semua unsur yang ada pada bentuk pokoknya ditambah satu atau lebih dari unsur khususnya yang bersifat memberatkan. Unsur khusus ini ditambahkan pada unsur-unsur tindak pidana jenis yang bersangkutan dalm bentuk pokok, yang dirumuskan menjadi tindak pidana yang berdiri sendiri dengan ancaman pidana yang lebih berat dari bentuk pokoknya. Mengenai macam-macam dari pemberatan pidana yang khusus dibagi menjadi dua yaitu : 1. Segi objektif : terletak pada bermacam-macam sebab, antara lain - Akibat perbuatan, misalnya luka berat atau kematian (Pasal 170 ayat 2 dan 3 KUHP) - Cara melakukan perbuatan, misalnya dengan kekerasan atau ancaman (Pasal 332 ayat 2 KUHP) - Berulangnya perbuatan, misalnya kebiasaan (Pasal 299 ayat 2 KUHP).
45 - Obejek tindak pidana, misalnya keluarga atau pejabat (Pasal 356 KUHP poin ke-1 dan 2) - Subjek tindak pidana, misalnya bidan, dokter, atau juru obat (Pasal 349 KUHP). 2. Segi subjektif : Pasal 340 dan Pasal 353 ayat(1) KUHP yaitu unsur rencana terlebih dahulu. 2.5 Pengertian Mutilasi Menurut para sarjana istilah mutilasi diartikan dalam terminologi sebagai berikut: a. Zac Specter Mutilasi adalah aksi yang menyebabkan satu atau bebrapa bagian tubuh manusia tidak dapat berfungsi sebagaiman mestinya. 46 b. Ruth Winfred Mutilasi atau amputasi atau disebut juga dengan flagelasi adalah pembedahan dengan membuang bagian tubuh. 47 c. Definisi Black Law Dictionary Menurut Bryan Garner dalam bukunya Black s Law Dictionary mutilasi adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku pada korban pada waktu masih bernyawa atau pun pada mayat korban dengan cara memotong manusia secara hidup-hidup (sadis) ataupun mayat. Dari sisi ilmu kriminologi, secara definitif yang dimaksud dengan mutilasi adalah terpisahnya anggota tubuh yang satu dari anggota tubuh lainnya oleh sebab yang tidak wajar. Beberapa penyebab terjadinya mutilasi disebabkan oleh kecelakaan, bisa juga 46 Supardi Ramlan, 1998, Patofisiologi Umum, Rineka Cipta, Bandung, h.35 47 ibid
46 merupakan faktor kesengajaan atau motif untuk melakukan tindakan jahat (kriminal), dan bisa juga oleh faktor lain-lain seperti sunat. Sebagai suatu konteks tindak kejahatan biasanya pelaku melakukan tindakan mutilasi adalah dengan tujuan untuk membuat relasi antara dirinya dengan korban terputus dan agar jati diri korban tidak dikenali dengan alasan-alasan tertentu. 48 Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat dipahami bahwa mutilasi adalah suatu keadaan, kegiatan yang secara memisahkan, memotong, membedah, atau membuang satu atau beberapa bagian dari tubuh manusia yang menyebabkan berkurang atau tidak berfungsinya organ tubuh. Definisi terhadap mutilasi itu sendiri memiliki perbedaan kategori dengan pembunuhan yang disertai dengan mutilasi, selain karena kepentingan medis untuk keselamatan jiwa individu juga terdapat cairi atau karakterisitik mendasar yang membedakannya dengan tindak pidana mutilasi yaitu adanya indikasi bedah amputasi berupa : 49 1. Iskemia karena penyakit rekularisasi perifer, biasanya pada orang tua seperi orang yang terkena diabetes mellitus 2. Trauma amputasi, bias diakibatkan karena bencana alam, peperangan, kecelakaan, thermal injury seperti terbakar, tumor, infeksi, dan gangguan metabolisme. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat ditarik pemahaman mengenai deginisi mutilasi dalam kepentingan medis. Sedangkan mutilasi tanpa adanya 48 Ahmad Hasibuan, 2010, Peranan Satuan Reserse Kriminal Dalam Mengungkap Tindak Pidana Mutilasihttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37031/5/Chapter%20III-V.pdf 49 Supardi Ramlan, op.cit, h.41
47 indikasi medis hanya ditujukan untuk menyakiti korbannya maka perbuatan ini sudah termasuk tindak pidana. Jika diambil kesimpulan, pembunuhan mutilasi merupakan suatu rangkaian tindakan menghilangkan nyawa orang lain yang diikuti dengan terpotongpotongnya anggota tubuh korban menjadi beberapa bagian yang terpisah. Mutilasi dikategorikan sebagai tindak pidana jika memenuhi bebrapa persyaratan, yaitu tindakan tersebut telah diatur dalam ketentuan hukum sebagai tindakan terlarang baik secara formil maupun materiin. Sampai saat ini belum ada ketentuan hukum pidana yang mengatur pembunuhan disertai mutilasi ini secara tegas dan jelas baik umum maupun khusus. Sebuah tindakan dapat disebut sebagai kejahatan jika memang didapatkan unsur jahat dan tercela seperti yang di tentukan dalam undang-undang. Sampai saat ini belum ada satu pun ketentuan hukum pidana yang mengatur tindak pidana mutilasi ini secara jelas dan tegas. 2.6 Pengertian Anak Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak, anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun kecuali, berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak, kedewasaan dicapai lebih cepat. 50 50 Suwarnatha, I Nyoman Ngurah, 2012, Hukum Pidana Anak dan Perlindungan Anak. Denpasar: Universitas Pendidikan Nasional Denpasar,h.9.
48 Pengertian tentang perlindungan anak juga diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang- undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hakhaknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 51 Pengertian perlindungan anak menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, adalah sebagai berikut: a. Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan fisik, mental dan sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan hak asasinya. b. Segala daya upaya bersama yang dilakukan dengan sedar oleh perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0 (nol) sampai 21 (dua puluh satu) tahun tidak dan belum pernah menikah sesuai dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin. 51 Ibid, h.75