BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN ANTARA JARAK KEHAMILAN DENGAN ANEMIA DEFISIENSI BESI DI RSUD Dr. MOEWARDI SKRIPSI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. sel darah merah lebih rendah dari nilai normal, sebagai akibat dari defisiensi salah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Satuan Acara Penyuluhan (SAP) Anemia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kehamilan. Anemia fisiologis merupakan istilah yang sering. walaupun massa eritrosit sendiri meningkat sekitar 25%, ini tetap

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

Metabolisme Besi dan Pembentukan Hemoglobin

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.

BAB I PENDAHULUAN. sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan (Manuabaet al., 2012).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena. cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Dalam periode kehamilan ini ibu membutuhkan asupan makanan sumber energi

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.

ABSTRAK. Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat dilakukan. pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi kesehatan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk.

TINJAUAN PUSTAKA. a. Kehamilan adalah pertumbuhan dan perkembangan janin intra uterine mulai

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

MAKALAH GIZI ZAT BESI

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi fungsinya untuk membawa O 2 dalam jumlah yang cukup ke

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Keywords : Long Bean Leaves, Haemoglobin, Pregnancy Second Trimester

BAB 1 PENDAHULUAN. partus lama karena inertia uteri, perdarahan post partum karena atonia. uteri, syok, infeksi (baik intrapartum atau post partum).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu

Curriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. (Suharno, 1993). Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian. Anemia defisiensi besi (ADB) masih menjadi. permasalahan kesehatan saat ini dan merupakan jenis

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Periode Kehamilan merupakan masa dimulainya konsepsi

HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN KADAR FERRITIN PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 24 BULAN DI PUSKESMAS KRATONAN SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. defisiensi besi, etiologi anemia defisiensi besi pada kehamilan yaitu hemodilusi. 1

BAB I PENDAHULUAN. Masa kehamilan merupakan masa yang dihitung sejak Hari Pertama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fisik maupun mental, sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan. perkembangan janin dalam kandungannya (Pinem, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. lahir dalam waktu yang cukup (Andriana, 2007). fisiologi, anatomi dan hormonal yang berbeda-beda. Salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Ketidak cukupan asupan makanan, misalnya karena mual dan muntah atau kurang

2. Sebagai bahan masukan kepada pihak rumah sakit sehingga dapat melakukan. 3. Sebagai bahan masukan atau sebagai sumber informasi yang berguna bagi

Indek Eritrosit (MCV, MCH, & MCHC)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan Afrika. Menurut World Health Organization (dalam Briawan, 2013), anemia

BAB I PENDAHULUAN. mengalami pubertas yang ditandai dengan terjadinya menstruasi. (Hani, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Viskositas darah didefinisikan sebagai kontribusi faktor reologik darah terhadap

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terutama diperlukan dalam hematopoiesis (pembentukan darah) yaitu dalam

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian Anemia Defisiensi Besi (ADB)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Paru merupakan port d entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman

BAB I. sel darah normal pada kehamilan. (Varney,2007,p.623) sampai 89% dengan menetapkan kadar Hb 11gr% sebagai dasarnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan juga didapatkan dari tradisi (Prasetyo, 2007).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. batas normal untuk kelompok orang yang bersangkutan. Penyebab anemia bisa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kesehatan ibu merupakan salah satu tujuan Millenium Development

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana jumlah sel darah merah atau

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Transferrin receptor merupakan transmembran homodimer yang

BAB I PENDAHULUAN. defisiensi vitamin A, dan defisiensi yodium (Depkes RI, 2003).

BAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1)

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada

BAB I PENDAHULUAN. negara maju maupun negara berkembang adalah anemia defisiensi besi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kehamilan memicu perubahan- perubahan fisiologis yang sering

TINJAUAN PUSTAKA Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil Pengertian Anemia Klasifikasi anemia

ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA WANITA HAMIL DI BEBERAPA PRAKTEK BIDAN SWASTA DALAM KOTA MADYA MEDAN MUHAMMAD RISWAN

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan dan merupakan masalah gizi utama di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang relatif sangat bebas, termasuk untuk memilih jenis-jenis makanan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar terhadap kualitas sumber daya manusia. Menurut Manuaba (2010),

Universitas Riau Telp. (0761) 31162, Fax (859258)

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Anemia Defisiensi Besi a. Definisi Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang (Bakta, 2007). Anemia defisiensi besi disebabkan oleh kurangnya mineral Fe (besi) sebagai bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit (FK UI, 2007). Di Indonesia sebagian besar anemia ini disebabkan karena kekurangan zat besi (Fe) sehingga disebut anemia defisiensi besi (Kemenkes RI, 2010). Anemia defisiensi besi menjadi masalah gizi utama bagi semua kelompok umur dengan prevalensi paling tinggi pada kelompok ibu hamil (Supariasa, 2002). Penyebab utama anemia pada wanita adalah kurang memadainya asupan makanan sumber zat besi, meningkatnya kebutuhan zat besi saat hamil dan menyusui (perubahan fisiologis), dan kehilangan banyak darah. Anemia yang disebabkan oleh ketiga faktor itu terjadi secara cepat ketika cadangan zat besi tidak mampu mencukupi peningkatan kebutuhan zat besi (FKM UI, 2007). Proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu: 4

5 1) Fase Luminal Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam makanan diolah di lambung (dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain) karena pengaruh asam lambung. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum (Bakta, 2009). 2) Fase Mukosal Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan terkendali. Besi heme dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush border dari sel absorptif (terletak pada puncak vili usus, disebut sebagai apical cell), besi feri direduksi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh Divalent Metal Transporter (DMT 1). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui basolateral transporter ke dalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi konversi dari feri ke fero oleh enzim

6 ferooksidase (antara lain oleh hephaestin). Kemudian besi bentuk feri diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus (Bakta, 2009). Sementara besi non-heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa dibantu oleh DMT 1. Besi non-heme akan dilepaskan dan apotransferin akan kembali ke dalam lumen usus (Bakta, 2009). Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral diatur oleh set point yang sudah diatur saat enterosit berada pada dasar kripta. Kemudian pada saat pematangan, enterosit bermigrasi ke arah puncak vili dan siap menjadi sel absorptif. Adapun mekanisme regulasi set-point dari absorbsi besi ada tiga yaitu, regulator dietetik, regulator simpanan, dan regulator eritropoetik (Bakta, 2009). 3) Fase Korporeal Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus. Kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Satu molekul transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe2-Tf) akan berikatan dengan reseptor transferin (transferin receptor = Tfr) yang terdapat pada permukaan sel, terutama sel normoblas (Bakta, 2009).

7 Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh klatrin (clathrin-coated pit). Cekungan ini mengalami invaginasi sehingga membentuk endosom. Suatu pompa proton menurunkan ph dalam endosom sehingga terjadi pelepasan besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan DMT 1, sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali (Bakta, 2009). Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk feritin dan sebagian masuk ke mitokondria dan bersama-sama dengan protoporfirin untuk pembentukan heme. Protoporfirin adalah suatu tetrapirol dimana keempat cincin pirol ini diikat oleh 4 gugusan metan hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin. Empat dari enam posisi ordinal fero menjadi chelating kepada protoporfirin oleh enzim heme sintetase ferrocelatase. Sehingga terbentuk heme, yaitu suatu kompleks persenyawaan protoporfirin yang mengandung satu atom besi fero ditengahnya (Murray, 2009). Anemia dalam kehamilan adalah suatu kondisi ibu dengan kadar nilai hemoglobin di bawah 11 gr% pada trimester satu dan tiga, atau kadar nilai hemoglobin kurang dari 10,5 gr% pada trimester dua. Anemia adalah salah satu dari empat masalah gizi utama di Indonesia yang dialami oleh sekitar 51 % ibu hamil. Sebagian besar anemia pada ibu

8 hamil adalah anemia defisiensi besi. WHO dalam Abel melaporkan bahwa prevalensi ibu-ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35-75% serta semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan. Perbedaan nilai batas di atas dihubungkan dengan kejadian hemodilusi (Cunningham, 2007). b. Gejala Pada dasarnya gejala anemia timbul karena terjadinya anoksia organ target karena berkurangnya jumlah oksigen yang dapat dibawa oleh darah ke jaringan, mekanisme kompensasi oleh darah ke jaringan. Kombinasi kedua penyebab ini akan menimbulkan gejala yang disebut sebagai sindrom anemia (Handayani, 2008). 1) Gejala Umum Anemia Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku (Bakta, 2009) 2) Gejala Khas Defisiensi Besi Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah :

9 a) Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok. b) Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang. c) Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya peradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring (Bakta, 2009). c. Pemeriksaan Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain: 1) Pemeriksaan Laboratorium a) Hemoglobin (Hb) Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli, yang dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu trimester I dan III (Bakta, 2009). b) Penentuan Indeks Eritrosit

10 Menurut Bakta (2009) penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau menggunakan rumus: (1) Mean Corpusculer Volume (MCV) MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesifik setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 80-100 fl, mikrositik < 80 fl dan makrositik > 100 fl. (2) Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH) MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg. (3) Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC) MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 31%. c) Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan

11 memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada kolom morfology flag (Bakta, 2009). d) Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW) Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. Nilai normal 15 % (Bakta, 2009). e) Eritrosit Protoporfirin (EP) EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang (Bakta, 2009). f) Besi Serum (Serum Iron = SI) commit to user

12 Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik (Bakta, 2009). g) Serum Transferin (Tf) Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersamasama dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan (Bakta, 2009). h) Transferrin Saturation (Jenuh Transferin) Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang (Bakta, 2009). Penurunan jenuh transferin di bawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi (Bakta, 2009).

13 Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma (Bakta, 2009). i) Serum Feritin Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi (Bakta, 2009). Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria, yang menunjukkan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis di bawah 20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi (Bakta, 2009). Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai Essay immunoradiometris

14 (IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa) (Bakta, 2009). 2) Pemeriksaan Sumsum Tulang Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler (Bakta, 2009). Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum (Bakta, 2009). 2. Anemia Defisiensi Besi pada Kehamilan a. Konsentrasi Hemoglobin pada kehamilan Konsentrasi hemoglobin normal pada wanita hamil berbeda dengan wanita yang tidak hamil. Hal ini disebabkan karena pada kehamilan terjadi proses hemodilusi atau pengenceran darah, yaitu terjadi peningkatan volume plasma dalam proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit. Ekspansi volume plasma di mulai pada minggu ke-6 kehamilan dan mencapai maksimum pada minggu ke-24 kehamilan, tetapi

15 dapat terus meningkat sampai minggu ke-37. Hemodilusi berfungsi agar suplai darah untuk pembesaran uterus terpenuhi, melindungi ibu dan janin dari efek negatif penurunan venous return saat posisi terlentang (supine), dan melindungi ibu dari efek negatif kehilangan darah saat proses melahirkan (Cunningham, 2007). b. Kebutuhan Zat besi pada Ibu Hamil Zat besi (Fe) adalah bagian penting dari hemoglobin, mioglobin dan enzim, namun zat gizi ini tergolong esensial sehingga harus disuplai dari makanan. Sumber utama zat besi adalah pangan hewani terutama yang berwarna merah, yaitu hati dan daging, sedangkan sumber lain adalah sayuran berwarna hijau. Pangan hewani relatif lebih tinggi absorpsinya yaitu 20-30% dibandingkan dengan pangan nabati hanya 1-7%. Hal tersebut karena zat besi dalam nabati yaitu ferri ketika akan diabsorpsi harus direduksi dahulu menjadi bentuk ferro (FKM UI, 2007). Banyaknya absorpsi zat besi tergantung pada jumlah kandungan besi dalam makanan, jenis besi dalam makanan, adanya bahan penghambat atau pemacu absorpsi dalam makanan, jumlah cadangan besi dalam tubuh, dan kecepatan eritropoesis (Bakta, 2009). Kebutuhan akan zat besi selama kehamilan meningkat. Peningkatan ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan janin untuk bertumbuh (pertumbuhan janin memerlukan banyak sekali zat besi), pertumbuhan plasenta, dan peningkatan volume darah ibu. Jumlahnya sekitar 1.000 mg

16 selama hamil. Kebutuhan akan zat besi selama trimester I relatif sedikit, yaitu 0,8 mg sehari, yang kemudian meningkat tajam selama trimester II dan III yaitu 6,3 mg sehari (Arisman, 2007). Pemenuhan kebutuhan nutrisi yang adekuat mutlak dibutuhkan oleh ibu hamil agar dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bagi pertumbuhan dan perkembangan janin yang dikandungnya dan persiapan fisik ibu untuk menghadapi persalinan dengan aman (Sulityawati, 2009). Selama proses kehamilan, janin sangat membutuhkan zat-zat penting yang hanya dapat dipenuhi dari ibu. Bidan harus memberikan informasi ini kepada ibu karena terkadang pasien kurang memperhatikan kualitas makanan yang dikonsumsinya (Sulistyawati, 2009). c. Peningkatan kebutuhan zat besi saat kehamilan Kebutuhan zat besi meningkat selama kehamilan untuk memenuhi kebutuhan zat besi akibat peningkatan volume darah, menyediakan zat besi bagi janin dan plasenta, dan untuk menggantikan kehilangan darah pada saat persalinan. Peningkatan absorpsi zat besi selama trimester II kehamilan membantu peningkatan kebutuhan. Beberapa studi menggambarkan hubungan antara suplementasi zat besi salama kehamilan dan peningkatan konsentrasi Hb pada trimester III kehamilan dapat meningkatkan berat lahir bayi (FKM UI, 2007). Jumlah zat besi yang dibutuhkan seorang wanita pada saat hamil yaitu sekitar 1000 mg. Kebutuhan zat besi pada kehamilan trimester I relatif

17 sedikit, yaitu 0,8 mg sehari yang kemudian meningkat tajam selama kehamilan trimester II dan III, yaitu 6,8 mg sehari (Arisman, 2007). d. Patofisiologi Anemia dalam kehamilan disebabkan karena dalam kehamilan kebutuhan akan zat-zat makanan bertambah dan terjadi pula perubahanperubahan pada darah dan sumsum tulang. Volume darah bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut hidremia atau hipervolemia. Akan tetapi bertambahnya sel-sel darah kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma, sehingga terjadi pengenceran darah. Pertambahan tersebut berbanding sebagai berikut : plasma 30%, sel darah 18%, dan hemoglobin 19% (Prawirohardjo, 2007). Pengenceran darah dianggap sebagai penyesuaian diri secara fisiologi dalam kehamilan dan bermanfaat bagi wanita. Pertama-tama pengenceran itu meringankan beban jantung yang harus bekerja lebih berat dalam masa hamil sebagai akibat hidremia cardiac output meningkat. Kerja jantung menjadi lebih ringan apabila viskositas darah rendah. Resistensi perifer berkurang pula, sehingga tekanan darah tidak naik. Kedua, ketika perdarahan pada saat persalinan, banyaknya unsur besi yang hilang lebih sedikit dibandingkan dengan apabila darah itu tetap kental (Prawirohardjo, 2007).

18 e. Dampak Anemia Defisiensi Besi pada Ibu Hamil Seorang wanita hamil yang menderita anemia defisiensi besi kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang mempunyai persediaan zat besi sedikit atau tidak mempunyai persediaan zat besi sama sekali di dalam tubuhnya walaupun tidak menderita anemia. Jika setelah lahir bayi tersebut tidak mendapatkan asupan zat besi yang mencukupi, bayi akan berisiko menderita anemia defisiensi besi (FKM UI, 2007). Anemia berat yang tidak diobati dalam kehamilan muda dapat menyebabkan abortus, dan dalam kehamilan tua dapat menyebabkan partus lama, perdarahan postpartum (Sadikin, 2001). Selain itu, anemia pada ibu hamil juga dapat mengakibatkan daya tahan ibu menjadi rendah terhadap infeksi dan kurang mampu mentolerir perdarahan saat melahirkan (Aritonang, 2010). Anemia gizi besi pada wanita hamil mengakibatkan peningkatan angka kesakitan dan kematian ibu, peningkatan angka kesakitan dan kematian janin dan peningkatan risiko bayi dengan berat badan lahir rendah (Demaeyer, 2010). f. Diagnosis Anemia Defisiensi Besi dalam Kehamilan Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi diperlukan metode pemeriksaan yang akurat dan kriteria diagnosis yang tegas. Para peneliti telah menyetujui bahwa diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan

19 darah dan sumsum tulang. Nasution dalam Riswan (2003) mengutip kriteria WHO untuk memudahkan dan keseragaman diagnosis anemia defisiensi besi. Tabel 1. Diagnosis anemia defisiensi besi Pemeriksaan Anemia Normal Defisiensi Besi Hemoglobin Laki-laki dewasa < 13 gr/dl 15 gr/dl Wanita dewasa (tidak hamil) < 12 gr/dl 13 14 gr/dl Wanita dewasa (hamil) < 11 gr/dl 12 gr/dl MCHC < 31 % 32 35 % Serum Iron (SI) < 50 ugr% 80 160 ugr% TIBC > 400 ugr% 250 400 ugr% Jenuh Transferin < 15 % 30 35 % Serum Feritin < 12 ugr/l 12 200 ugr/l Sumber: (Riswan M, 2003) NHANES II dan III (National Health And Nutrition Examination Survey) membuat definisi defisiensi zat besi adalah bila didapati 2 dari 3 pemeriksaan laboratorium tidak normal, meliputi (U.S. Centers for Disease Control and Prevention, 2011): 1) Eritrosit Protoporfirin. 2) Jenuh Transferin. 3) Serum Feritin.

20 Anemia defisiensi besi disebut bila ditemukan adanya defisiensi besi disertai dengan penurunan kadar haemoglobin darah (anemia). 3. Hubungan Jarak Kehamilan dengan Anemia Defiensi Besi Sejumlah sumber mengatakan bahwa jarak ideal kehamilan sekurang kurangnya 2 tahun. Proporsi kematian terbanyak terjadi pada ibu dengan prioritas 1 3 anak dan jika dilihat menurut jarak kehamilan ternyata jarak kurang dari 2 tahun menunjukan proporsi kematian maternal lebih banyak (Yulianto, 2004). Jarak kehamilan yang terlalu dekat menyebabkan ibu mempunyai waktu singkat untuk memulihkan kondisi rahimnya agar bisa kembali ke kondisi sebelumnya. Kematian maternal menjadi risiko tinggi jika terlalu rapat jarak kelahiran. Jarak kehamilan kurang dari 2 tahun dan anemia berisiko tinggi terhadap kematian meternal karena seorang ibu setelah melahirkan memerlukan 2 3 tahun untuk dapat memulihkan kondisi tubuhnya dan mempersiapkan diri untuk persalinan berikutnya (Yulianto, 2004). Jarak kehamilan sangat berpengaruh terhadap kejadian anemia pada saat kehamilan yang berulang dalam waktu singkat akan menguras cadangan zat besi ibu (Amiruddin, 2004). Pengetahuan jarak kehamilan yang baik 2 tahun minimal menjadi penting untuk diperhatikan sehingga badan ibu siap

21 menerima janin kembali tanpa harus menghasilkan cadangan zat besi. Setelah masa nifas (masa setelah melahirkan), yang rata rata berdurasi 40 hari dan juga secara fisiologis kondisi alat reproduksi wanita sudah pulih dapat memungkinkan terjadinya kehamilan. Tiga bulan setelah melahirkan, wanita sudah bisa hamil lagi tapi risiko anemia defisiensi besi menjadi tinggi karena cadangan zat besi yang belum pulih sempurna. Jadi perencanaan kehamilan sangat diperlukan untuk ibu maupun anak (Yulianto, 2004). B. Kerangka Pemikiran = variabel yang diteliti = faktor yang berhubungan

C. Hipotesis Terdapat hubungan antara jarak kehamilan < 24 bulan dan kejadian anemia defisiensi besi.