BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif merupakan cara paling optimal memberikan makan pada bayi dan banyak manfaat yang diterima bagi ibu maupun bayinya. Pada tahun 1990-an untuk pertama kalinya Indonesia mencanangkan program ASI eksklusif (0-4 bulan). Beberapa tahun kemudian diterbitkan Keputusan Menkes RI No. 237/MENKES/SK/IV/1997 meliputi 11 Bab dan 23 Pasal tentang pemasaran pengganti air susu ibu (PASI) beserta pernyataan penggunaan ASI agar perlu dilindungi dan ditingkatkan. Pada tahun 2004 pemerintah menetapkan kembali Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.450/Menkes/SK/IV/2004 tentang pemberian ASI secara eksklusif pada bayi sampai umur 6 bulan, tenaga kesehatan harus memberikan informasi kepada semua ibu melahirkan untuk memberikan ASI eksklusif dengan mengacu 10 langkah menuju keberhasilan menyusui (LMKM) (Depkes RI, 2009a). Program ASI eksklusif sudah dilaksanakan selama 20 tahun, namun hingga saat ini target 80% sangat sulit untuk dicapai. Berdasarkan data Riskesdas cakupan ASI eksklusif di Indonesia tahun 2007 sebesar 15,3%, dan 27,2% di tahun 2010 (Yekti, 2011). Cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia pada bayi sampai umur 6 bulan tahun 2007 sebesar 28,6%, tahun 2008 menurun menjadi 24,3%, dan meningkat 34,3% tahun 2009 (Depkes RI, 2009b). Menurut The United Nations Children's Fund (UNICEF) pemberian ASI eksklusif dapat mencegah penyakit diare yang menjadi penyebab kematian balita di Indonesia. Perlu adanya kebijakan nasional yang kuat untuk mendorong para ibu menyusui dan meningkatkan gizi keluarga. ASI eksklusif dapat mencegah kematian sekitar 20.000 anak balita di Indonesia setiap tahun (UNICEF, 2012). Rendahnya pemberian ASI secara eksklusif dapat memberikan kontribusi besar terhadap kejadian gizi buruk dan kematian bayi serta anak balita. Organisasi Kesehatan Dunia mengemukakan sekitar 60% dari semua kematian, terjadi pada anak usia < 5 tahun (balita), dan hampir 50,6 juta anak balita kekurangan 1
2 gizi, serta 90% berasal dari negara berkembang. Hasil penelitian survei dasar National Nutrition Program (NNP) menunjukkan penyebab utama kekurangan gizi bayi dan anak balita disebabkan dari hasil praktek menyusui yang tidak benar (Faruque et al., 2008). Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan penyebab sulitnya menerapkan ASI eksklusif. Hasil review penelitian (Fenglian et al., 2009) di China menunjukkan alasan umum berhenti menyusui, atau memperkenalkan air atau makanan bayi lainnya sebelum 6 bulan adalah: 1) ibu merasa pasokan ASI tidak mencukupi; 2) ibu kembali bekerja waktu cuti tidak cukup mempraktekan ASI eksklusif; 3) masalah kesehatan anak atau penyakit ibu; dan 4) salah persepsi berkaitan dengan tradisi. Sebuah laporan akademik menyatakan 30 hari setelah anak lahir, mereka harus diberikan makan, dan kemungkinan bayi akan diberi minuman beras setelah 7 hari kelahiran. Hasil penelitian lain menyebutkan kurangnya dukungan menyusui dari ibu bekerja dan penyedia layanan kesehatan, stres emosional dan persepsi ibu tidak memiliki ASI cukup, tekanan dari keluarga memberi makanan selain ASI, dan rumah sakit tidak mendukung praktek inisiasi menyusui dini (IMD) (Aamer et al., 2011). Hasil penelitian di Kamboja menunjukkan bahwa penting untuk mendidik ibu hamil melalui bidan terlatih dan media, agar mereka mengenali pentingnya ASI eksklusif sehingga dapat menumbuhkan niat dan rencana praktek pemberian ASI secara eksklusif. Disamping itu keterlibatan ayah dapat meningkatkan kesadaran ibu dan memberikan pengaruh positif melengkapi praktek menyusui secara eksklusif (Sasaki et al., 2009). Kementerian Kesehatan RI merilis, rendahnya pemberian ASI eksklusif disebabkan belum semua rumah sakit menerapkan 10 LMKM dan bayi memperoleh IMD. Untuk mendorong suksesnya program ASI eksklusif tersebut maka pemerintah mengeluarkan PP No.33 tahun 2012 meliputi 10 Bab dan 43 Pasal tentang pemberian ASI eksklusif. Peraturan ini menjamin pemenuhan hak bayi mendapatkan ASI eksklusif mulai 0-6 bulan, memberikan perlindungan ibu dalam memberikan ASI eksklusif, meningkatkan peran dan dukungan keluarga, masyarakat, dan pemerintah, serta memberikan sanksi administrasi setiap tenaga
3 kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan peraturan tersebut (Presiden RI, 2012). Adanya perubahan pola menyusui selain menyebabkan rendahnya pemberian ASI secara eksklusif juga berdampak pada lamanya amenorrhea selama laktasi, sehingga kembalinya ovulasi pasca melahirkan diduga semakin cepat (Kapp et al., 2010). Manfaat menyusui secara eksklusif sebagai metode KB alami paling aman untuk menunda haid dan kehamilan yang dikenal dengan metode amenorea laktasi (MAL) tidak bisa diandalkan lagi (Roesli, 2008). Penggunaan kontrasepsi pasca persalinan masih relatif rendah karena kurangnya kesadaran dan informasi yang diterima masyarakat terutama bagi ibu postpartum. Mereka takut ber-kb karena berbagai rumor yang diterima, dan beranggapan penggunaan kontrasepsi bukan merupakan tindakan aman bagi kesehatan tubuh. Kontrasepsi hormonal seperti KB suntik dan pil akan mengakibatkan kegemukan, wajah berjerawat, timbul flek hitam di wajah, dan mengakibatkan keringnya rahim. Sementara pandangan masyarakat terhadap kontrasepsi non hormonal seperti IUD menyebabkan keputihan, infeksi rahim yang dapat menyebabkan terjadinya kanker rahim. Di sisi lain pilihan teknologi kontrasepsi pasca melahirkan belum disosialisasikan dengan baik, sehingga setiap tahun lebih dari 4 juta wanita melahirkan anak, hanya sekitar 14% menggunakan kontrasepsi dalam kurun waktu 6 bulan pasca melahirkan (BPS et al., 2005, Central Bureau Statistics et al., 2008). Setiap metode kontrasepsi yang akan diterima oleh ibu pasca melahirkan harus memiliki beberapa komponen: a) tidak ada efek samping perawatan; b) tidak ada efek merugikan pada laktasi; dan c) kenyamanan dan keamanan bagi ibu. Oleh karena itu, manfaat dari setiap metode keluarga berencana harus bijaksana terhadap risiko perawatan pasangan ibu-bayi (Khaghani et al., 2004). Berdasarkan hasil penelitian kontrasepsi hormonal yang paling ideal digunakan selama menyusui adalah pil kontrasepsi yang mengandung progesteron saja (progestogen only pill atau disingkat POP). Pil KB mengandung hormon progestin saja dengan dosis rendah ( minipill ) menjadi pilihan tepat bagi wanita sedang menyusui (Kapp et al., 2010). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa
4 POP tidak menekan sumbu hipotalamus-hipofisis gonad selama menyusui. Sehingga POP adalah pilihan baik dan aman untuk kontasepsi hormonal selama menyusui (Perheentupaa et al., 2003). Sedangkan pil KB mengandung estrogen dikhawatirkan akan mengganggu bayi dan proses menyusui seorang ibu. Tercemarnya air susu ibu (ASI) dengan estrogen diduga akan meningkatkan risiko kanker vagina bagi bayinya, meskipun belum didukung bukti-bukti yang kuat (Kapp and Curtis, 2010). Selain kontrasepsi POP alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) sering direkomendasikan kepada wanita menyusui sebagai metode kontrasepsi karena lebih efektif dibandingkan metode lain dalam hal pengaruh terhadap laktasi atau efektivitas dalam mencegah kehamilan. Banyak studi menunjukkan bahwa AKDR tidak memiliki efek terhadap durasi menyusui dan kualitas serta kuantitas ASI (Shah and Rashmi, 1998). Di seluruh dunia AKDR yang dipakai umumnya adalah CuT-380, hasil penelitian melaporkan bahwa tingkat kehamilan kumulatif pemakaian CuT-380A adalah 2.2 per 100 wanita setelah 12 tahun penggunaan. Tingkat kegagalan yang terjadi tahun pertama < 1% sedangkan tingkat kehamilan hampir sama dengan metode sterilisasi (Soledad and Olav, 2003). Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, peneliti akan mengkaji lebih dalam tentang perilaku ibu menyusui dalam memberikan ASI secara eksklusif pada pengguna kontrasepsi hormonal dan non hormonal dengan menggunakan teknik observation, yaitu mengikuti asumsi-asumsi kultural yang berlaku di area penelitian. Cara pengamatan mengikuti proses yang terjadi dengan wawancara mendalam (in-depth interview) tidak terstruktur untuk memperoleh jawabanjawaban kompleks dari partisipan (Murti, 2010). Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kualitatif etnografi terfokus yang bersifat deskriptif. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang maka perumusan masalah yang diambil adalah apakah faktor penentu pemberian ASI eksklusif pada pengguna kontrasepsi hormonal dan non hormonal?
5 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum: Memahami perilaku dan faktor faktor apa saja yang menentukan pemberian ASI eksklusif pada ibu postpartum pengguna kontrasepsi hormonal dan non hormonal. 2. Tujuan khusus: Tujuan khusus dari penelitian ini, adalah agar dapat: a. Menjelaskan faktor pendukung/penguat pemberian ASI eksklusif pengguna kontrasepsi hormonal dan non hormonal. b. Menjelaskan faktor penghambat pemberian ASI eksklusif pengguna kontrasepsi hormonal dan non hormonal c. Menganalisa faktor penentu pemberian ASI eksklusif pengguna kontrasepsi hormonal dan non hormonal. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Penulis Dapat menambah wawasan pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan dan manuliskan hasil penelitian dalam bentuk tulisan ilmiah. 2. Masyarakat Dapat menambah pengetahuan dan kesadaran pentingnya mempraktekkan pemberian ASI secara eksklusif dan menggunakan alat kontrasepsi pasca melahirkan. 3. Pelayanan kesehatan Sebagai masukan bagi pengambil kebijakan dalam memantau dan mengevaluasi penggunaan kontrasepsi pil maupun IUD terhadap kelangsungan pemberian ASI eksklusif pada bayi umur 0-6 bulan. 4. Ilmu pengetahuan Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan sebagai bahan referensi untuk peneliti selanjutnya.
6 E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian serupa telah dilakukan untuk mengkaji kelangsungan menyusui bayi secara eksklusif terhadap pengguna kontrasepsi hormonal dan non hormonal pada periode 6 bulan pertama (0-6 bulan) adalah: 1. Kapp et al. (2010) dalam penelitiannya berjudul Progestogen-only contraceptive use among breastfeeding women: a systematic review. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah penggunaan kontrasepsi progestogen terhadap perempuan menyusui menyebabkan efek merugikan pada laktasi, pertumbuhan bayi atau kesehatan dibandingkan dengan tidak ada perlakuan. Hasil penelitian dengan mengidentifikasi 43 artikel secara keseluruhan, lima percobaan acak dan 38 studi observasi menunjukkan tidak merugikan. Efek dari berbagai metode kontrasepsi progestogen only Pill (POP) terhadap kelangsungan menyusui pada wanita periode postpartum sampai dengan 12 bulan. Bukti menunjukkan bahwa metode kontrasepsi POP tidak mempengaruhi kinerja menyusui saat digunakan selama menyusui. Persamaan penelitian pada tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui apakah penggunaan kontrasepsi progestogen only pada perempuan menyusui menyebabkan efek merugikan pada laktasi, sedangkan perbedaannya adalah lama penelitian, tempat, metode penelitian. 2. Khaghani et al. (2004) melakukan penelitiannya berjudul Effect of progestogen-only contraceptives on human milk composition. Tujuan penelitian ini membandingkan komposisi ASI pada ibu pengguna kontrasepsi hormonal POP dengan pengguna metode kontrasepsi non hormonal mulai dari 6 minggu setelah melahirkan. Hasil statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok, dalam hal protein, natrium, kalsium, fosfor, dan kalium konsentrasi susu, namun ada perbedaan trigliserida pada kelompok hormonal dan magnesium dalam non hormonal. Tampaknya metode POP tidak memiliki efek buruk pada komposisi ASI, dan merupakan kontrasepsi yang aman selama menyusui. Persamaan dengan penelitian ini membandingkan ibu postpartum 6 minggu yang sedang menyusui menggunakan kontrasepsi hormonal POP dan kontrasepsi non
7 hormonal, dan lamanya periode follow-up, sedangkan perbedaan penelitiannya ada pada waktu, tempat, metode, dan penekanan penelitian ada pada kandungan zat gizi pada ASI sedangkan penekanan peneliti pada perilaku pemberian ASI eksklusif.` 3. Perheentupaa et al. (2003) dalam penelitiannya berjudul Effect of progestinonly pill on pituitary ovarian axis activity during lactation. Tujuan penelitian ini memantau efek POP terhadap perempuan 6 minggu postpartum pada aktivitas ovarium selama menyusui yang ditindaklanjuti sampai 18 minggu postpartum. Hasil ini menunjukkan bahwa POP tidak menekan sumbu hipotalamus-hipofisis-gonad selama menyusui. Keunggulan POP sebagai kontrasepsi hampir pasti selama menyusui karena tindakan lokal yang sama dari progestin rahim endometrium dan serviks, serta independen dari penekanan alam fungsi ovarium yang disebabkan oleh menyusui itu sendiri. POP adalah pilihan kontrasepsi hormonal yang baik dan aman selama menyusui. Persamaan penelitian ini ada pada tujuan penelitian dan subjek penelitian yang berumur 6 minggu paska melahirkan, sedangkan perbedaannya ada pada metode yang digunakan, lama pengamatan, efek yang diobservasi, waktu dan tempat penelitian. 4. Chena et al. (2011) melaksanakan penelitian tentang Postplacental or delayed levonorgestrel intrauterine device insertion and breast-feeding duration. Tujuan penelitian ini untuk menilai efek dari waktu pemasangan levonorgestrel-releasing intrauterine device (IUD) postpartum pada kelanjutan menyusui. Penelitian ini dilakukan pada wanita yang tertarik menggunakan IUD levonorgestrel postpartum dipasang secara postplacental langsung (Postplacental group) dan pemasangan pada 6-8 minggu setelah melahirkan (kelompok tertunda). Durasi menyusui eksklusif dinilai pada 6-8 minggu, 3 bulan, dan 6 bulan setelah melahirkan. Penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan menyusui yang menunda pemasangan LNG- IUD sampai 6-8 minggu postpartum lebih cenderung untuk terus menyusui selama 6 bulan dan mungkin lebih cenderung untuk melanjutkan menyusui secara eksklusif. Persamaan penelitian ini pada waktu mulai diberikan
8 kontrasepsi hormonal pada ibu postpartum 6-8 minggu dan sama sama menilai kelanjutan menyusui secara eksklusif pada bayi. Perbedaan penelitian ini ada pada umur subjek mulai diberikanan kontrasepsi, lamanya waktu observasi dan frekuensi pelaksanaan follow-up. 5. Shaamash et al. (2005) dalam penelitiannya yang berjudul A comparative study of the levonorgestrel-releasing intrauterine system mirenar versus the copper t380a intrauterine device during lactation: breast-feeding performance, infant growth and infant development. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kemungkinan efek dari menggunakan LNG 20 Ag IU pada kelangsungan menyusui bayi, kinerja pertumbuhan dan perkembangan bayi selama tahun pertama setelah melahirkan dibandingkan dengan perangkat Copper T380A intrauterine (IUD Cu T380A). Hasil penelitiannya bahwa penggunaan kontrasepsi LNG 20 Ag IU dan Copper T380A dipasang pada ibu postpartum 6-8 minggu ditindaklanjuti hingga 1 tahun tidak terjadi kehamilan kedua kelompok tersebut. Memiliki tingkat sebanding dalam kelanjutan menyusui, penyapihan lengkap, menyusui penuh dan menyusui parsial. Uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok berkaitan dengan semua parameter pertumbuhan bayi fisik dan tes bayi berbagai pembangunan. Persamaan penelitian ini pada tujuan penelitian dan waktu mulai diberikan kontrasepsi pada ibu postpartum 6-8 minggu, sedangkan perbedaannya ada pada metode, tempat, dan lamanya tindak lanjut yang diberikan, pada penelitian ini waktu yang diperlukan selama 1 tahun sementara waktu yang diperlukan oleh peneliti selama 6 bulan kedepan.