BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM (ONRECHTMATIGE DAAD) A. Sejarah dan Perkembangan Perbuatan Melawan Hukum

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM PADA UMUMNYA, DEPOSITO, DAN LEMBAGA KEUANGAN BANK

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM. KUHPerdata, termasuk ke dalam perikatan yang timbul dari undang-undang.

BAB II KAJIAN TEORI MENGENAI PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN JUAL BELI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

BAB IV PENUTUP. 1. Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit/Actio Popularis) adalah suatu gugatan

BAB III KERUGIAN DAN UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PIHAK KETIGA TERHADAP KERUGIAN AKIBAT KELALAIAN

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM. Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses

BAB V PENUTUP. pembatalan perjanjian distribusi makanan melalui pengadilan, sebagaimana

Andria Luhur Prakoso Universitas Muhammadiyah Surakarta

KETENTUAN-KETENTUAN PENTING TENTANG WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH) OLEH: Drs. H. MASRUM, M.H. (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten)

PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PENGUASA

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, mereka harus

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP HEWAN PELIHARAAN YANG MENYEBABKAN KERUGIAN TERHADAP HEWAN PELIHARAAN LAIN SEBAGAI PERBUATAN YANG MELAWAN HUKUM

PERBUATAN MELAWAN HUKUM. Abdul Salam Tim Pengajar Kapita Selekta Hukum dan Masalah Aktuil Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia

(Suyadi & Susilo Wardani, 2001: 47).

BAB I PENDAHULUAN. Hukum merupakan rangkaian peraturan mengenai tingkah laku manusia

BAB II KAJIAN HUKUM PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL DALAM HUKUM PIDANA. Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia

BAB 2 PERBUATAN MELAWAN HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 2 KAJIAN TEORI MENGENAI PERBUATAN MELAWAN HUKUM

TINJAUAN PUSTAKA. hukum antara orang yang satu dan orang yang lain. Perikatan atau hubungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB, KERUGIAN DAN PENGGUNA JALAN. tanggung jawab dapat dikelompokkan menjadi tiga dalam arti accountability,

I. PENDAHULUAN. Dengan adanya hukum, hak-hak serta kewajiban-kewajiban anggota masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian

BAB VI PERIKATAN (VERBINTENISSEN RECHT)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang

BAB 2 PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN KONSEP GANTI RUGI Sebab-sebab ganti rugi dalam konsep Perdata

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB OPERATOR SELULER TERHADAP PELANGGAN SELULER TERKAIT SPAM SMS DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8

Ahmad Amiruddin, Rosa Agustina, Ahmad Budi Cahyono. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 16424, Indonesia. Abstrak

Perbuatan Melanggar Hukum Oleh: Parwoto Wingjosumarto, SH*

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 PEMBATALAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK

KAJIAN MENGENAI GUGATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP SENGKETA WANPRESTASI

RESUME TESIS KEABSAHAN BADAN HUKUM YAYASAN YANG AKTANYA DIBUAT BERDASARKAN KETERANGAN PALSU

PERIKATAN YANG LAHIR DARI UNDANG-UNDANG. A. Perbuatan Manusia yang tidak melawan hukum (rechtmatige)

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

Lex Privatum Vol. V/No. 3/Mei/2017

[FIKA ASHARINA KARKHAM,SH]

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kerugian Yang Diderita Perseroan

PENERAPAN UNSUR-UNSUR PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP KREDITUR YANG TIDAK MENDAFTARKAN JAMINAN FIDUCIA

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab

BAB II KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM SERTA GANTI KERUGIAN

BAB III ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM JUAL BELI PASAL 1493 KUH PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB II KARAKTERISTIK PINJAM PAKAI PADA PERJANJIAN JUAL BELI TENAGA LISTRIK

PEMBELAAN TERHADAP TUDUHAN MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM MENURUT KUH PERDATA. Oleh : Fatmah Paparang 1

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dengan kodratnya, manusia diciptakan sebagai makhluk sosial.

ARTIKEL PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DARI PERUSAHAAN YANG MENGHILANGKAN IJAZAH MANTAN PEKERJA

SKRIPSI. Disusun Oleh : SEPTIAN DWI SAPUTRA C

BAB 1 PENDAHULUAN. Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 34, Edisi Revisi (Jakarta: Pradnya Paramita,1995), pasal 1233.

Putu Krisna Yutatama dan Abdul Salam. Program Kekhususan Hukum Tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus. AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI KELALAIAN DEBITUR DALAM JUAL BELI TANAH 1 Oleh : Rael Wongkar 2

Lex Privatum, Vol. IV/No. 5/Juni/2016

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di bidang hukum adalah yang menyangkut tentang perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari digerakan dengan tenaga manusia ataupun alam. mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan No. 15 Tahun 1985 tentang

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

SOAL DAN JAWABAN TENTIR UTS ASAS-ASAS HUKUM PIDANA 2016 BY PERSEKUTUAN OIKUMENE (PO)

Theresia Olivia, Rosa Agustina. Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jalan Lingkar Kampus Raya, Kampus FHUI, 16424, Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan

GANTI RUGI KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS AKIBAT PERBUATAN MELANGGAR HUKUM PENGEMUDI

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH PENGUASA 1 H. UJANG ABDULLAH, SH. M.Si 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

PROPOSAL TESIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG PELAYANAN MEDIS (SUATU TINJAUAN DARI SUDUT HUKUM PERDATA)

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017. TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN SEWA-BELI KENDARAAN BERMOTOR 1 Oleh : Febrian Valentino Musak 2

Transkripsi:

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM (ONRECHTMATIGE DAAD) A. Sejarah dan Perkembangan Perbuatan Melawan Hukum Perkembangan sejarah hukum tentang perbuatan melawan hukum di negeri Belanda sangat berpengaruh terhadap perkembangan di Indonesia, karena berdasarkan asas korkondansi, kaidah hukum yang berlaku di negeri Belanda akan berlaku juga di negeri jajahannya, termaksud di Indonesia. Di negeri Belanda perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum dapat dibagi menjadi 3 (tiga) periode sebagai berikut: 11 1) Periode sebelum tahun 1838 Kodifikasi pada tahun 1983 membawa perubahan besar mengenai pendapat tentang makna dan ruang lingkup dari pengertian onrechtmatige daad. Pada waktu itu dianut pendirian bahwa onwetmatig, yang berarti bahwa suatu perbuatan baru dianggap melawan hukum bilamana perbuatan itu adalah bertentangan dengan ketentuan undang undang. 12 Sampai dengan kodifikasi Burgerlijk Wetboek (BW) di negeri Belanda pada tahun 1838, maka ketentuan seperti Pasal 1365 KUH Perdata di Indonesia saat ini belum tentu ada di Belanda. Karenanya kala itu, tentang perbuatan melawan hukum ini, pelaksanaannya belum jelas dan belum terarah. 11 Ibid, Hal. 30 12 M.A Moegni Djojodirdjo, 1979, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta Pusat, hal. 28 14

2) Periode antara tahun 1838 1919 Setelah BW Belanda dikodifikasi, maka mulailah berlaku ketentuan dalam Pasal 1401 (yang sama dengan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia) tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Meskipun kala itu sudah di tafsirkan bahwa yang merupakan perbuatan melawan hukum, baik perbuatan suatu (aktif berbuat) maupun tidak berbuat sesuatu (pasif) yang merugikan orang lain, baik yang disengaja maupun yang merupakan kelalaian sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 1366 KUH Perdata Indonesia, tetapi sebelum tahun 1919 dianggap tidak termaksud ke dalam perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut hanya merupakan tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan putusan masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain. 3) Periode setelah tahun 1919 Dalam tahun 1919 terjadi suatu perkembangan yang luar biasa dalam bidang hukum tentang perbuatan melawan hukum khususnya di negeri Belanda, sehingga demikian juga di Indonesia. Perkembangan tersebut adalah dengan bergesernya makna perbuatan melawan hukum, dari semula yang cukup kaku, kepada perkembangan yang luwes. Perkembangan tersebut terjadi dengan diterimanya penafsiran luas terhadap perbuatan melawan hukum oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung) negeri Belanda, yakni penafsiran terhadap Pasal 1401 BW Belanda, yang sama dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia. Putusan Hoge Raad adalah terhadap kasus Lindenbaum versus Cohen.

Kasus Lindenbaum versus Cohen tersebut pada pokoknya berkisar tentang persoalan persaingan tidak sehat dalam bisnis. Baik Lindenbaum maupun Cohen adalah sama sama perusahaan yang bergerak di bidang percetakan yang saling bersaing satu sama lain. Dalam kasus ini, dengan maksud untuk menarik pelanggan pelanggan dari Lindenbaum, seorang pegawai dari Lindebaum di bujuk oleh perusahaan Cohen dengan berbagai macam hadiah agar pegawai Lindenbaum tersebut mau memberitahukan kepada Cohen salinan dari penawaran penawaran yang dilakukan oleh Lindenbaum kepada masyarakat, dan memberi tahu nama nama dari orang orang yang mengajukan order kepada Lindenbaum. Tindakan Cohen itu akhirnya tercium oleh Lindenbaum. Akhirnya Lindenbaum menggugat Cohen ke pengadilan Amsterdam dengan alasan bahwa Cohen telah melakukan perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige daad) sehingga melanggar Pasal 1401 BW Belanda, yang sama dengan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia. Ternyata langkah Lindenbaum untuk mencari keadilan tidak berjalan mulus. Memang di tingkat pengadilan pertama Lindenbaum dimenangkan, tetapi di tingkat banding justru Cohen yang di menangkan, dengan alasan bahwa Cohen tidak pernah melanggar suatu pasal apapun dari perundang undangan yang berlaku. Dan pada tingkat kasasi turunlah putusan yang memenangkan Lindenbaum, suatu putusan yang terkenal dalam sejarah hukum, dan merupakan tonggak sejarah tentang perkembangan yang revolusioner tentang perbuatan melawan hukum tersebut.

Dalam putusan tingkat kasasi tersebut, Hoge Raad menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum bukan hanya melanggar undang undang yang tertulis seperti yang ditafsirkan saat itu, melainkan juga termasuk kedalam pengertian perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan: a. Yang melanggar hak orang lain b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden),atau d. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain. 13 Dengan demikian dengan terbitnya putusan Hoge Raad dalam kasus Lindenbaum versus Cohen tersebut, maka perbuatan melawan hukum tidak hanya dimaksudkan sebagai yang perbuatan yang bertentangan dengan pasal pasal dalam perundang undangan yang berlaku, tetapi juga termasuk perbuatan yang melanggar kepatutan dalam masyarakat. Dengan demikian sejak tahun tersebut, perbuatan melawan hukum tidak hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang undang saja, tetapi berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat sampai sekian perumusan hukum, dalam arti sempit atau pun bertentangan dengan 13 Ibid, hal. 32

kesusilaan maupun berhati hati sebagaimana sepatutnya di dalam lau lintas masyarakat atau barang orang lain. 14 Perkembangan yang revolusioner dari pengertian perbuatan melawan hukum di negeri Belanda sejak tahun 1919 tersebut, kemudian juga masuk ke Indonesia (dahulu Hindia Belanda) berdasarkan asas konkordansi, yakni asas yang memberlakukan setiap hukum di negeri Belanda ke negeri jajahannya, termasuk Indonesia. Secara klasik, yang dimaksud dengan perbuatan dalam istilah perbuatan melawan hukum adalah : 1) Nonfeasance, yakni merupakan tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hukum. 2) Misfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan secara salah, perbuatan mana merupakan kewajibannya atau merupakan perbuatan yang dia mempunyai hak untuk melakukannya. 3) Malfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan, padahal pelakunya tidak berhak untuk melakukannya. Dahulu, pengadilan menafsirkan melawan hukum sebagai hanya pelanggaran dari pasal pasal hukum tertulis semata mata (pelanggaran perundang undangan yang berlaku), tetapi sejak tahun 1919 terjadi perkembangan di negeri Belanda, dengan mengartikan perkataan melawan hukum bukan hanya untuk pelanggaran perundang undangan tertulis 14 Ibid, hal. 221

semata mata, melainkan juga melingkupi atas setiap pelanggaran terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan hidup masyarakat. (lihat putusan Hoge Raad Belanda tanggal 31 Januari 1919 dalam kasus Lindenbaum versus Cohen). Dengan demikian sejak tahun 1919 tindakan onrechtmatige daad tidak lagi dimaksudkan hanya sebagai onwetmatige daad saja. 15 Sejak tahun 1919 tersebut, di negeri Belanda, dan demikian juga di Indonesia, perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas, yakni mencakup salah satu dari perbuatan perbuatan sebagai berikut : 1) Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain. 2) Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri. 3) Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. 4) Perbuatan yang bertentangan dengan kehati hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik. Berikut penjelasan untuk masing masing kategori tersebut, yaitu sebagai berikut: 1. Perbuatan yang Bertentangan dengan Hak Orang Lain Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain (inbreuk op eens anders recht) termasuk salah satu perbuatan yang dilarang oleh Pasal 1365 KUH Perdata. Hak hak yang dilanggar tersebut adalah hak hak seseorang yang diakui oleh hukum, termasuk tetapi tidak terbatas pada hak hak sebagai berikut : 15 Ibid, hal. 6

a) Hak hak pribadi (persoonlijkheidscrechten). b) Hak hak kekayaan (vermogensrecht). c) Hak hak kebebasan. d) Hak atas kehormatan dan nama baik. Berikut ini beberapa putusan Mahkamah Agung Negeri Belanda (Hoge Raad) tentang perbuatan melawan hukum yang menyangkut tentang perbuatan yang melanggar hak orang lain, antara lain adalah putusan Hoge Raad tanggal 10 Maret 1972. Putusan ini mempertimbangkan apakah akibat negatif dari tindakan seseorang sedemikian besar sehingga dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum. 2. Perbuatan yang Bertentangan dengan Kewajiban Hukumnya Sendiri Juga termasuk ke dalam kategori perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum (rechtsplicht) dari pelakunya. Dengan istilah kewajiban hukum, yang dimaksudkan adalah bahwa suatu kewajiban yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Jadi, bukan hanya bertentangan dengan hukum tertulis (wettelijk plicht), melainkan juga bertentangan dengan hak orang lain menurut undang undang ( wettelijk recht). Karena itu pula, istilah yang dipakai untuk perbuatan melawan hukum adalah onrechtmatige daad, bukan onwetmatige daad.

3. Perbuatan yang Bertentangan dengan Kesusilaan Tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Karena itu, manakala dengan tindakan melanggar kesusilaan itu telah terjadi kerugian bagi pihak lain, maka pihak yang menderita kerugian tersebut dapat menuntut ganti rugi berdasarkan atas perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata). Dalam putusan terkenal Lindenbaum v. Cohen (1919), Hoge Raad menganggap tindakan Cohen untuk membocorkan rahasia perusahaan dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan, sehingga dapat digolongkan sebagai suatu perbuatan hukum. 4. Perbuatan yang Bertentangan dengan Kehati hatian atau Keharusan dalam Pergaulan Masyarakat yang Baik Perbuatan yang bertentangan dengan kehati hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik ini atau disebut dengan istilah zorgvuldigheid juga dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Jadi jika seseorang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, tidak secara melanggar pasal pasal dari hukum tertulis, mungkin masih dapat dijerat dengan perbuatan melawan hukum, karena tindakannya tersebut bertentangan dengan prinsip prinsip kehati hatian atau keharusan dalan pergaulan masyarakat. Keharusan dalam masyarakat tersebut tentunya tidak tertulis, tetapi diakui oleh masyarakat yang bersangkutan.

B. Unsur Unsur dari Perbuatan Melawan Hukum Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 KUH Perdata, maka suatu perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur unsur sebagai berikut: 1) Adanya suatu perbuatan 2) Perbuatan tersebut melawan hukum 3) Adanya kesalahan dari pihak pelaku 4) Adanya kerugian bagi korban 5) Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian Berikut ini penjelasan bagi masing masing unsur dari perbuatan melawan hukum tersebut, yaitu sebagai berikut : a. Adanya Suatu Perbuatan Kata perbuatan meliputi perbuatan positif, yang bahasa aslinya daad (Pasal 1365 KUH Perdata) dan perbuatan negatif, yang dalam bahasa aslinya bahasa Belanda nalatigheid (kelalaian) atau onvoorzigtigheid (kurang hati hati) seperti ditentukan dalam Pasal 1366 KUH Perdata. Dengan demikian, Pasal 1365 itu untuk orang orang yang betul betul berbuat, sedangkan Pasal 1366 itu untuk orang yang tidak berbuat. Pelanggaran dua pasal ini mempunyai akibat hukum yang sama, yaitu mengganti kerugian. 16 16 Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 4

Perbuatan adalah perbuatan yang nampak secara aktif, juga termasuk perbuatan yang nampak secara tidak aktif artinya tidak nampak adanya suatu perbuatan, tetapi sikap ini bersumber pada kesadaran dari yang bersangkutan akan tindakan yang harus dilakukan tetapi tidak dilakukan. 17 Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan disini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk membuatnya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku ( karena ada juga kewajiban yang timbul dari suatu kontrak). Karena itu, terhadap perbuatan melawan hukum, tidak ada unsur persetujuan atau kata sepakat dan tidak ada juga unsur causa yang diperbolehkan sebagaimana yang terdapat dalam kontrak. b. Perbuatan tersebut Melawan Hukum Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum tersebut diartikan dalam arti yang seluas luasnya, yakni meliputi hal hal sebagai berikut: a. Perbuatan yang melanggar undang undang yang berlaku, b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atau c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zedeen), atau 17 Achmad Ichsan, 1969, Hukum Perdata, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, hal. 250

e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschap-pelijk verkeer betaamt ten aanzien van anders persoon of goed). Jadi, perbuatan itu harus melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang diberikan oleh undang undang. Dengan demikian, melanggar hukum (Onrechtmatig) sama dengan melanggar undang undang (Onwetmatig). 18 c. Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku Kesalahan dalam Pasal 1365 KUH Perdata mengandung semua gradasi dari kesalahan dalam arti sengaja sampai pada kesalahan dalam arti tidak sengaja (lalai). Menurut hukum perdata, seorang itu dikatakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa ia telah melakukan / tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan. Perbuatan yang seharusnya dilakukan / tidak dilakukan itu tidak terlepas dari dapat tidaknya hal itu dikira kirakan. Dapat dikira kirakan itu harus diukur secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira ngirakan dalam keadaan tertentu itu perbuatan seharusnya dilakukan / tidak dilakukan. Dapat dikira kirakan itu harus juga diukur secara subjektif, artinya apa yang justru orang itu dalam kedudukannya dapat mengira ngirakan bahwa perbuatan itu seharusnya dilakukan / tidak dilakukan. 19 18 Ibid, hal. 253 19 Ibid, hal. 256

Untuk itu kesalahan dalam arti objektif adalah seseorang dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena berbuat kesalahan, apabila ia bertindak dari pada seharusnya dilakukan oleh orang orang dalam keadaan itu dalam pergaulan masyarakat. Kesalahan dalam arti subektif adalah melihat pada orangnya yang melakukan perbuatan itu, apakah menurut hukum dapat dipertanggungjawabkan artinya fisik orang itu normal atau masih kanak kanak. 20 Agar dapat dikenakan Pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum tersebut, undang undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar para pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan (schuldelement) dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Karena itu, tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggung jawab berdasarkan kepada Pasal 1365 KUH Perdata. Jikapun dalam hal tertentu diberlakukan tanggung jawab tanpa kesalahan tersebut (strict liability), hal tersebut tidak didasari atas Pasal 1365 KUH Perdata, tetapi didasarkan kepada undang undang lain. 21 Karena Pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan adanya unsur kesalahan (schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum, maka perlu diketahui bagaimana cakupan dari unsur kesalahan tersebut. Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur unsur sebagai berikut: 20 Ibid, hal. 255 21 Ibid, hal. 11

a) Ada unsur kesengajaan, atau b) Ada unsur kelalaian (negligence, culpa), dan c) Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain lain. d. Adanya Kerugian Bagi Korban Dalam perbuatan melawan hukum, unsur unsur kerugian dan ukuran penilaiannya dengan uang dapat diterapkan secara analogis. Dengan demikian, penghitungan ganti kerugian dalam perbuatan melawan hukum didasarkan pada kemungkinan adanya tiga unsur yaitu biaya, kerugian yang sesungguhnya, dan keuntungan yang diharapkan (bunga). Dan kerugian itu dihitung dengan sejumlah uang. 22 Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum disamping kerugian materil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immaterial, yang juga akan dinilai dengan uang. 23 22 Ibid, hal. 256 23 Ibid, hal. 13

e. Adanya Hubungan Kausal antara Perbuatan dengan Kerugian Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan adalah sebab dari suatu kerugian, maka perlu diikuti teori adequate veroorzaking dari Von Kries. Menurut ini yang dianggap sebagai sebab adalah perbuatan yang menurut pengalaman manusia normal sepatutnya dapat diharapkan menimbulkan akibat, dalam hal ini kerugian. Jadi antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan langsung. Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi juga merupakan syarat dari perbuatan melawan hukum.untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira kira. Hubungan sebab akibat secara faktual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau apa yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai but for atau sine qua non. Von Buri adalah salah satu ahli hukum Eropa Kontinental yang sangat mendukung ajaran akibat faktual ini. 24 Selanjutnya agar lebih praktis dan agar tercapainya elemen kepastian hukum dan hukum yang lebih adil, maka diciptakanlah konsep sebab kira kira (proximate cause). Proximate cause merupakan bagian yang paling 24 Ibid, hal. 14

membingungkan dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum. C. Teori dalam Perbuatan Melawan Hukum Ada 2 teori yang berkembang dalam perbuatan melawan hukum yaitu: 1. Teori Schutznorm dalam perbuatan melawan hukum Teori schutznorm atau disebut juga dengan ajaran relativitas ini berasal dari hukum Jerman, yang dibawa ke negeri Belanda oleh Gelein Vitringa. Kata schutz secara harafiah berarti perlindungan. Sehingga dengan istilah schutznorm secara harafiah berarti norma perlindungan. Teori schutznorm ini mengajarkan bahwa agar seseorang dapat dimintakan tanggung jawabnya karena telah melakukan perbuatan melawan hukum vide Pasal 1365 KUH Perdata, maka tidak cukup hanya menunjukkan adanya hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul. Akan tetapi perlu juga ditunjukkan bahwa norma atau peraturan yang dilanggar tersebut dibuat memang untuk melindungi (schutz) terhadap kepentingan korban yang dilanggar. Teori schutz disebut juga dengan istilah teori relativitas karena penerapan dari teori ini akan membeda bedakan perlakuan terhadap korban dari perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini jika seseorang melakukan suatu perbuatan, bisa melakukan perbuatan melawan hukum bagi korban X, tetapi mungkin bukan merupakan perbuatan melawan hukum bagi korban Y.

Sungguhpun begitu, pro dan kontra terhadap teori schultznorm ini sangat kental. Di negeri Belanda, para ahli hukum yang mendukung diterapkannya teori schultznorm ini antara lain adalah Telders, Van der Grinten, dan Molengraaf. Bahkan putusan Hoge Raad lebih banyak yang mendukung teori schultznorm ini. Sebaliknya, para ahli hukum Belanda yang menentang penerapan teori schultznorm ini, antara lain adalah Scholten,Ribius,dan Wetheim. Bahkan ada yang berpendapat (misalnya Meyers di negeri Belanda) bahkan schultznorm ini hanya tepat diberlakukan terhadap perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Namun demikian, penerapan teori ini sebenarnya dalam kasus kasus tertentu sangat bermanfaat karena alasan alasan sebagai berikut: 1. Agar tanggung gugat berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata tidak diperluas secara tidak wajar 2. Untuk menghindari pemberian ganti rugi terhadap kasus dimana hubungan antara perbuatan dan ganti rugi hanya bersifat normatif dan kebetulan saja 3. Untuk memperkuat berlakunya unsur dapat dibayangkan (forseeability) terhadap hubungan sebab akibat yang bersifat kira kira (proximate causation). 2. Teori Aanprakelijkheid dalam perbuatan melawan hukum Teori aanprakelijkheid atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan teori ganggu gugat adalah teori untuk menentukan siapakah yang harus

menerima gugatan (siapa yang harus digugat) karena adanya suatu perbuatan melawan hukum. Pada umumnya, tetapi tidak selamanya, yang harus digugat/menerima tanggung gugat jika terjadi suatu perbuatan melawan hukum adalah pihak pelaku perbuatan melawan hukum itu sendiri. Artinya dialah yang harus digugat ke pengadilan dan dia pulalah yang harus membayar ganti rugi sesuai putusan pengadilan. Dalam beberapa situasi, seseorang boleh bertanggung jawab untuk kesalahan perdata yang dilakukan orang lain, walaupun perbuatan melawan hukum itu bukanlah kesalahannya. Hal semacam ini dikenal sebagai pertanggungjawaban yang dilakukan orang lain atau vicarious liability. 25 Ada kalanya si A yang melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi si B yang harus digugat dan mempertanggungjawabkan atas perbuatan tersebut. Terhadap tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain ini dalam ilmu hukum dikenal dengan teori tanggung jawab pengganti (vicarious lability). Teori tanggung gugat ini atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain, dapat dibagi kepada 2 (dua) kategori sebagai berikut: 1. Teori tanggung jawab atasan (Respondeat Superior, a superior risk bearing theory), dan 2. Teori tanggung jawab pengganti yang bukan dari atasan atas orang orang dalam tanggungannya. 25 S.B. Marsh and J. Soulsby (Abdulkadir Muhammad), 2006, Hukum Perjanjian), PT. Alumni, Bandung, hal. 203

3. Teori tanggung jawab pengganti dari barang barang yang berada di bawah tanggungannya. KUH Perdata memperinci beberapa pihak yang harus menerima tanggung gugat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak lain, yaitu sebagai berikut: 1. Orang tua atau wali bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan oleh anak anak dibawah tanggungannya atau dibawah perwaliannya (Pasal 1367 KUH Perdata). 2. Majikan bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan oleh pekerjanya (Pasal 1367 KUH Perdata). 3. Guru guru sekolah bertanggung gugat atas tindakan murid muridnya (Pasal 1367 KUH Perdata). 4. Kepala kepala tukang bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan tukang tukangnya (Pasal 1367 KUH Perdata). 5. Pemilik binatang bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan oleh binatang piaraannya itu (Pasal 1368 KUH Perdata). 6. Pemakai binatang bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan oleh binatang yang dipakainya (Pasal 1368 KUH Perdata). 7. Pemilik sebuah gedung bertanggung gugat atas ambruknya gedung karena kelalaian dalam pemeliharaan atau karena

cacat dalam pembangunan maupun tataannya (Pasal 1369 KUH Perdata) D. Hubungan Sebab Akibat dalam Perbuatan Melawan Hukum 1) Hubungan sebab akibat (the darling of academic mind). Ilmu tentang sebab akibat ini disebut dengan causaliteitsleer. Banyak kalangan ahli mencoba menstrukturalkan masalah, tetapi kelihatannya tidak pernah kelihatan hasil yang memuaskan, sementara dalam praktek peradilan, hubungan sebab akibat bergerak sangat cepat kearah yang sangat luas, hampir hampir tanpa suatu pedoman karena rumitnya teori yuridis dan aplikasi dari masalah hubungan sebab akibat ini, maka doktrin tentang hubungan sebab akibat ini menjadi menarik untuk ditelaah secara akdemik, sehingga doktrin ini dijuluki sebagai the darling of academic mind. Masalah hubungan sebab akibat ini menjadi isu sentral dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum karena fungsinya adalah untuk menentukan apakah seorang tergugat harus bertanggung jawab secara hukum atas tindakannya yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain. Hubungan sebab akibat merupakan faktor yang mengaitkan antara kerugian seseorang dengan perbuatan dari orang lain. Masalah utama dalam hubungan sebab akibat ini adalah seberapa jauh kita masih menganggap hubungan sebab akibat sebagai hal yang masih dapat diterima oleh hukum. Dengan perkataan lain, kapankah dapat dikatakan bahwa suatu kerugian adalah fakta (the fact) atau kemungkinan (proximate), dan kapan pula dianggap terlalu jauh (too remote).

Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa konsep penyebab kira kira (proximate cause), yang merupakan bagian yang sangat krusial dari masalah hubungan sebab akibat ini, bahkan barangkali yang paling krusial diantara seluruh bagian dari hukum tentang perbuatan melawan hukum, banyak mendapat penolakan dari pendekatan secara logika. Itulah sebabnya bagian dari perbuatan melawan hukum ini disebut the darling of the academic mind. Menurut HLA Hart, tahap pertama dalam dispute mengenai kasus kasus perbuatan melawan hukum, adalah untuk menginterpretasi hukum tentang fakta apakah yang masih diketengahkan untuk menunjukkan bahwa fakta tersebut mempunyai kaitannya dengan kerugian. Metode yang disarankan untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah sebagai berikut: a. Jika perbuatan yang melawan hukum tersebut mempunyai hubungan sebab akibat dengan kerugian yang terjadi. b. Jika perbuatan yang melawan hukum tersebut tidak perlu mempunyai hubungan sebab akibat dengan kerugian yang terjadi. c. Jika perbuatan tergugat tidak perlu ada kesalahan, tetapi mesti mempunyai hubungan sebab akibat dengan kerugian yang terjadi. 2) Hubungan sebab akibat yang faktual

Hubungan sebab akibat secara faktual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau apa yang secara faktual terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai but for atau sine qua non. Von Buri adalah salah satu ahli hukum Eropa Kontinental yang sangat mendukung ajaran akibat faktual ini. Selanjutnya agar lebih praktis dan agar tercapainya elemen kepastian hukum dan hukum yang lebih adil, maka diciptakanlah konsep sebab kira kira (proximate cause). Proximate cause merupakan bagian yang paling membingungkan dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum. Kadang kadang untuk penyebab jenis ini sering disebut dengan legal cause, atau dengan pengertiannya sedikit bervariasi sering juga disebut dengan: a. Direct cause b. Natural and probable consequence cause c. Natural, direct and immediate cause d. Natural and unbroken cause e. Natural and continuosus cause f. Unbroken chain of cirmumstance g. Responsible cause

Di negeri Belanda, untuk proximate cause ini sering disebut dengan istilah adequate veroorzaking. Sering didefenisikan bahwa proximate cause merupakan sesuatu yang dalam sekuensi alamiah tidak dicampuri oleh penyebab independent, menghasilkan akibat yang merugikan tersebut. Kadang kadang proximate cause diartikan juga sebagai konsekuensi yang mengikuti sekuensi yang tidak terputus tanpa suatu penyebab lain yang mengintervensi (intervening) terhadap perbuatan ketidakhati hatian yang asli. 3) Hubungan sebab akibat yang dikira kira (proximate cause) Selain dari doktrin penyebab secara faktual, digunakan juga doktrin penyebab kira kira (proximate cause) dalam menetapkan sejauh mana perilaku perbuatan melawan hukum mesti bertanggung jawab atas tindakannya itu. Karena adalah layak dan adil jika seseorang diberikan tanggung jawab hanya terdapat akibat yang dapat diramalkan akan terjadi (foreseen), maka konsep proximate cause menempatkan elemen sepatutnya dapat diduga (forseeability) sebagai faktor utama. Jadi A bertanggungjawab atas tindakannya kepada B jika dia sepatutnya dapat menduga bahwa karena perbuatannya itu, B akan mendapat kerugian. Konsep forseeability dalam proximate cause ternyata tidak ada hubungannya dengan kedekatan ruang dan waktu. Akan tetapi bagian terbesarnya, konsep proximate cause berhubungan dengan kepentingan umum (public policy), yakni seberapa jauh public policy tersebut menghendaki agar tanggung jawab tersebut diletakkan atas si pelaku perbuatan melawan hukum.

Jadi, para pihak pertama konsep proximate cause memperluas tanggungjawab tergugat dari hanya sekedar tanggung jawab secara faktual, tetapi di lain pihak konsep proximate cause membatasi tanggung jawab pelakunya, dengan jalan tidak mempertimbangkan segala akibat yang dikategorikan sebagai akibat yang terlalu jauh (too remote). Meskipun kadang kala terdapat kasus dimana seorang pelaku perbuatan melawan hukum tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya secara proximate cause (karena tidak memenuhi unsur forseeability), tetapi dapat dimintakan tanggung jawabnya secara penyebab faktual. E. Beberapa Putusan Pengadilan tentang Perbuatan Melawan Hukum Berikut beberapa putusan pengadilan tentang perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut: a. Putusan Hooge Raad (Negeri Belanda) Tanggal 21 Januari 1919 Putusan yang merupakan tonggak sejarah perkembangan hukum tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) ini menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1401 BW Belanda (sama dengan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia) adalah bukan hanya melanggar undang undang yang tertulis (wet), melainkan termasuk juga perbuatan yang melanggar kepatutan dalam masyarakat.

b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 212K/SIP/1958 Tanggal 22 November 1958. Bahwa apabila seorang ahli waris menjual harta dalam boedel warisan yang belum dibagi tanpa pengetahuan dan tanpa persetujuan dari ahli waris lainnya, padahal dia (penjual) tahu bahwa disamping dia, masih ada ahli waris lainnya, maka perbuatan menjual tersebut termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum. c. Putusan Mahkamah Agung Nomor 558K/SIP/1971 Tanggal 4 Juni 1973. Bahwa seorang pegawai dari perusahaan (perusahaan bus) yang mengetahui atau patut akan bahaya (kebakaran) dari suatu perbuatan (mengisi bensin dengan ember diluar pompa bensin), tetapi tetap saja melakukannya, maka dia dianggap bersalah karena perbuatan melawan hukum, sehingga majikannya haruslah bertanggung jawab untuk mengganti kerugian. d. Putusan Mahkamah Agung Nomor 610K/1968 Tanggal 23 Mei 1970. Bahwa jika penggugat meminta ganti rugi yang besarnya tidak layak, maka hakim dengan kekuasaannya sendiri dapat menghitung sendiri besarnya ganti rugi yang layak, dan hal ini tidak bertentangan dengan pasal 178 ayat (3) HIR (ex aequo et bono). Dalam hal ini cara perhitungan ganti rugi dilakukan dengan membagi 2 (dua) selisih jika

dikalkulasi dengan harga emas pada waktu kejadian dengan harga emas pada waktu digugat. e. Putusan Mahkamah Agung Nomor 104K/SIP/1968 Tanggal 1 Maret 1969. Bahwa tindakan tergugat yang sekonyong konyong masuk (menyerobot) kepekarangan dan memasang patok dengan maksud untuk mendirikan bangunan padahal tempat tersebut disewa oleh penggugat tanpa seizin penggugat selaku penyewa, maka tindakan penyerobotan oleh tergugat tersebut dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.