BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Hilangnya tradisi ladang berpindah Suku Dayak Bidayuh disebabkan karena adanya benturan kepentingan antara pemerintah, swasta, dan Suku Dayak Bidayuh sendiri. Pemerintah belum mampu menerapkan perundangan yang tegas dan berpihak pada masyarakat adat. Sementara, pihak swasta melalui beragam industri hutan terfasilitasi dengan adanya praktik KKN sehingga ekspansi lahan hutan di Kalimantan Barat tidak terkontrol. Lalu, muncullah reaksi dari Suku Dayak Bidayuh yang merasa tanah adatnya terancam akan ekspansi ini dengan beragam perubahan kondisi sosial-masyarakat yang ada. Wujud paling nyata dari perubahan ini adalah adanya kecenderungan Suku Dayak Bidayuh untuk meninggalkan ladang berpindah. Suku Dayak Bidayuh melihat bahwa ladang berpindah masa kini bertujuan untuk mempertahankan tanah adat melalui adanya tembawang. Kondisi ini yang membuat pemerintah terus merevisi undang-undang pertanahan, dikarenakan apabila terjadi konflik tanah adat, Suku Dayak keseluruhan akan menyelesaikannya melalui hukum adat. Dampak dari situasi tersebut, menyebabkan swasta tidak memperoleh harga tanah yang wajar karena status hukum adat yang tidak terdokumentasi, sehingga terdapat politik tarik ulur harga. Selanjutnya, banyak dijumpai kasus-kasus pengambil-alihan tanah adat oleh perusahaan swasta yang tidak transparan sehingga masyarakat kecil dan penduduk pribumi yang tidak tahu benar akar permasalahan yang terjadi serta-merta kehilangan tanahnya yang berstatus tanah adat. Rakyat kecil yang paling rugi karena problem sistemik ini, tak terkecuali Suku Dayak Bidayuh sebagaimana terjadi pada kasus PT. BJI. Buntutnya, sebagaimana telah dituliskan sebelumnya, muncul rekasi separatis dari statement Ketua Forum Adat Suku Dayak Bidayuh yakni ancaman keluarnya masyarakat desa Jagoi dari NKRI. Beragam kepentingan dalam pengelolaan hutan adat tersebut berdampak pula pada adanya perubahan tradisi Suku Dayak Bidayuh dalam ladang berpindah. Banyak ditemui nilainilai kearifan lokal perladangan yang hilang akibat ditinggalkannya ladang berpindah oleh penduduk. Nilai-nilai kearifan lokal pada ladang berpindah Suku Dayak Bidayuh meliputi nilai egaliter dan konservasi. Nilai egaliter didasarkan pada adanya semangat persatuan antar keluarga Suku Dayak Bidayuh yang tercermin dari adanya belalik (gotong-royong); miniak
atau menugal yang berarti menanam beras di ladang yang telah dibakar secara bersama-sama; semangat padi dalam keberadaan lumbung padi; pengangkutan hasil panen bersama-sama seluruh warga kampung; bilojag yang berarti pembagian hasil panen; dan yang terakhir adalah bisombah (pembagian beras kepada penduduk yang kurang mampu dalam Gawai). Sedangkan nilai konservasi dapat dijumpai dari tata cara pembukaan hingga pembakaran lahan yang ramah lingkungan; serta adanya reforestasi pada area lahan yang telah ditinggalkan (tembawang). Pada nilai kearifan lokal yang lebih tak kasat mata, terdapat pula makna spiritualitas dari beragam upacara adat yang dilakukan selama setahun masa perladangan. Upacara-upacara tersebut umumnya bersifat komunikasi antara manusia (peladang dan warga Suku Dayak Bidayuh) kepada alam semesta serta Tuhan Jubata mengenai izin menggunakan hutan untuk kepentingan penduduk. Nilai-nilai tersebut turut berubah seiring perkembangan zaman. Hutan-hutan adat yang semakin menyempit menyebabkan masa rotasi ladang yang dulunya bisa mencapai 7 hingga 10 tahun sekali kini rata-rata menjadi 3 tahun sekali saja. Dengan minimnya masa rotasi ladang membuat penduduk mau tidak mau menggunakan pupuk buatan untuk menjaga produktivitas panen. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan nilai konservasi pada pembakaran pohon di ladang berpindah zaman dahulu yang bertujuan untuk membuat pupuk alami pada tanaman. Selain itu, dengan adanya masa rotasi yang pendek menyebabkan pula pohon-pohon yang dibiarkan tumbuh di tembawang juga tidak mampu mencapai ukuran maksimalnya sehingga pada masa tebang-tebas berikutnya Suku Dayak Bidayuh tidak punya pilihan lain selain menebangi pohon yang masih kecil. Nilai kearifan lokal lain yang hilang adalah semangat belalik atau pingilih yang kini berganti dengan sistem kontrak kerja. Pada zaman dahulu, belalik merupakan sistem gotongroyong dengan semangat persaudaraan penduduk yang menjadi latar belakangnya. Belalik di masa kini disikapi sebagai sumber penghasilan karena pemilik ladang memberikan upah dalam praktiknya. Hal tersebut dikarenakan tanaman-tanaman yang ditanam di ladang berpindah kini kebanyakan merupakan tanaman produksi sehingga pemanfaatannya cenderung bersifat individual. Hilangnya semangat belalik juga berimbas pada ketiadaan miniak dan bilojag yang sejatinya merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari belalik gotong-royong. Ladang berpindah masa kini juga kehilangan semangat padi dalam keberadaan lumbung padi. Suku Dayak Bidayuh tradisional memaknai lumbung padi sebagai poros ketahanan pangan penduduk dalam satu tahun masa perladangan. Pada zaman dahulu semasa
Suku Dayak Bidayuh masih tinggal di rumah panjang, terdapat satu lumbung padi besar di dalam kampung. Lumbung ini diisi dengan hasil-hasil panen warga yang dipergunakan sebagai cadangan makanan bagi penduduk. Lumbung padi dengan ukuran lebih kecil dapat dijumpai di boli umoh yang dibangun di sekitar ladang berpindah. Kemudian seiring perkembangan zaman, lumbung padi kini jarang-jarang dijumpai di rumah-rumah penduduk. Sifatnya kini ialah sebagai tempat penyimpanan beras yang dibeli warga di pasar maupun warung kelontong. Hal tersebut tentu sangat berbeda dengan falsafah lumbung padi yang asli yakni cadangan makanan bagi penduduk, yang berarti terdapat nilai berbagi antar-penduduk dalam pemanfaatan lumbung. Falsafah lain yang hilang adalah semangat padi. Semangat padi adalah sikap untuk menghormati beras, sebagai sumber penghidupan Suku Dayak Bidayuh dengan cara tidak menjualnya atau menyia-nyiakannya. Suku Dayak Bidayuh kini justru jarang yang berladang untuk menanam beras. Beras bagi Suku Dayak Bidayuh selain untuk dimakan juga tak jarang digunakan untuk membuat tuak. Tuak adalah minuman tradisional khas Suku Dayak yang berupa fermentasi beras. Hampir sama dengan sake, tuak juga tergolong minuman beralkohol yang rasanya manis. Tuak banyak dihidangkan pada masa gawai yang merupakan perayaan syukuran panen Suku Dayak. Gawai pada Suku Dayak Bidayuh dinamakan Gawai Sowa. Gawai Sowa diadakan selama tiga hari dengan beragam upacara adat didalamnya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, terdapat bilojag dan bisombah dalam Gawai Sowa. Bilojag yang merupakan pembagian hasil panen untuk seluruh warga kampung. Hal itu dikarenakan pada tradisi ladang berpindah tradisional, hampir seluruh warga kampung membantu keluarga peladang dalam masa berladang hingga panen. Lain halnya dengan bisombah, kegiatan ini merupakan acara pembagian hasil panen yang dikhususkan kepada warga yang kurang mampu. Kedua tradisi tersebut kini berganti dengan makan-makan dalam jamuan di rumah-rumah warga, khususnya yang pada satu musim perladangan terakhir berladang. Pergeseran tradisi Gawai Sowa juga terlihat dari adanya cerita mengenai acara judi besar-besaran di sekitar Rumah Adat Suku Dayak Bidayuh. Acara judi ini diselenggarakan oleh warung-warung di sekitar rumah adat, yang dalam waktu bersamaan juga melipatgandakan stok minuman beralkohol di masing-masing warung. Minuman beralkohol ini banyak didatangkan dari Malaysia melalui jalan perbatasan yang sah maupun jalan tikus. Memang, Suku Dayak Bidayuh sejak zaman dahulu dikenal gemar minum minuman beralkohol. Terlebih adanya budaya pembuatan tuak yang mendukung fakta tersebut. Akan tetapi, makna gawai yang berarti kesatuan kampung Suku Dayak Bidayuh serta beragam ritual adat yang
mengejawantahkan visi Suku Dayak Bidayuh dalam penghormatan kepada alam semesta beserta Tuhan terasa semakin samar. Memang, berdasarkan cerita dari Bapak Ahau Kadoh bahwa masuknya Agama Kristen medio 70-an pada Suku Dayak Bidayuh sangat mempengaruhi keseluruhan adat-istiadat Dayak Bidayuh keseluruhan. Namun, ditinggalkannya ladang berpindah oleh penduduk juga turut merubah pandangan Suku Dayak Bidayuh terhadap gawainya. Inilah dampak negatif dari perubahan fungsi lahan di Jagoi Babang, sebagaimana tujuan penelitian yang melihat secara holistik perubahan perilaku Suku Dayak Bidayuh menyikapi kondisi hutan yang tidak lagi memungkinkan untuk digunakan sebagai ladang berpindah. Saran Kebijakan Suku Dayak Bidayuh terus-menerus terancam akan hilangnya tanah adat yang berganti dengan beragam kegiatan industri hutan yang secara tidak langsung dilindungi pemerintah melalui Undang-Undangnya. Hal ini semestinya menjadi perhatian pemerintah Indonesia, karena kondisi di lapangan menunjukkan bahwa geliat separatisme mulai nampak. Terlebih, Suku Dayak Bidayuh menempati daerah administratif yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, Malaysia. Kondisi ketimpangan sosial dua negara menyisakan masalah pengaturan ekonomi masyarakat kawasan perbatasan yang belum tuntas bila ditilik dari pendekatan kebijakan Bottom-Up. Penggalakan lokpri 1 perkebunan pada fokus pembangunan BNPP belum mampu memuaskan penduduk khususnya Suku Dayak Bidayuh, dengan adanya alienasi dalam pembangunan asset hutan; tidak diindahkannya status hutan adat. Untuk itulah, pemerintah telah mensahkan UU No. 6 Tahun 2014 mengenai desa yang diharapkan mampu memperkuat status tanah dan hutan adat. Sebelum muncul UU Desa ini telah ada Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 (yang merupakan judicial review dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan) mengenai pengelolaan hutan dan mekanisme penetapan hutan adat. Putusan MK ini memiliki dua poin pokok yakni status masyarakat adat dan status hutan negara/adat. Dikarenakan dalam Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tersebut masih menyisakan permasalahan mengenai status hutan negara yang masih samar sehingga belum ada batas yang tegas antara hutan negara dengan hutan adat, maka kedudukan UU Desa diharapkan mampu menjawab permasalahan ini. Dalam UU Desa, pemerintah memberikan kewenangan pada desa untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI. Poin penting dalam kebijakan ini ialah adanya penguatan bentuk desa adat, sebagai sebuah institusi pemerintah terbawah. Desa adat diharapkan mampu memperoleh PADesa secara mandiri melalui pendayagunaan beragam asetnya seperti tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, hutan milik desa, dsb. Peneliti merasa perlu menggarisbawahi adanya kewenangan yang besar bagi desa adat dalam UU No. 6 Tahun 2014. Peneliti melihat bahwa selama masa penelitian kondisi aparatur Kecamatan Jagoi Babang kapasitasnya masih belum memadai untuk mewujudkan otonomi desa. Hal itu terlihat dari masih berantakannya arsip-arsip pemerintahan. Peneliti sewaktu hendak meminta data profil Kecamatan Jagoi Babang diberikan soft file yang masih belum lengkap. Bahkan staff kecamatan-pun mengatakan bahwa data yang beliau berikan tersebut formatnya masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Selanjutnya, Kecamatan Jagoi Babang menurut para staff kecamatan pada Tahun 2012 mengalami keterlambatan penyusunan profil kecamatan sehingga melebihi batas ketentuan waktu yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Bengkayang. Hal tersebut tidak hanya dijumpai di Kecamatan Jagoi Babang saja, melainkan di kecamatan-kecamatan lain di Kab. Bengkayang 1. Dengan keadaan seperti ini, peneliti menyarankan agar pemerintah membentuk sebuah badan penanganan kesiapan desa adat yang diisi oleh aktivis-aktivis agraria serta LSM terkait supaya desa adat terproteksi hak dan kewajibannya dalam pelaksanaan Undang-Undang Desa. Hal lain yang juga penting untuk dicermati ialah kemungkinan tumpang-tindih peraturan antara UU Desa yang baru berjalan 2 tahun (sejak 2014) dengan fokus pembangunan kawasan perbatasan oleh BNPP. Peneliti melihat bahwa pemerintah harus turun tangan melalui DPD Bengkayang guna melaksanakan moratorium sawit supaya pelaksanaan UU Desa mampu berjalan secara lancar dan damai. Dikarenakan pengadaan moratorium sawit melibatkan banyak instansi pemerintahan lain, maka dirasa perlu bagi Presiden untuk turun tangan dengan membentuk sebuah badan pengawasan sawit, sehingga ada peraturan tersendiri bagi pengadaan sawit di masa UU Desa; juga memfasilitasi perusahaan-perusahaan sawit yang sudah membuat kontrak untuk penggunaan lahan hutan sebelum munculnya UU Desa. Dalam pelaksanaannya, badan pengawasan sawit ini bisa bekerjasama dengan LSM sawit watch yang selama ini sudah menjalankan fungsi tugas yang kurang lebih sama dengan badan pengawasan sawit. 1 Berdasarkan wawancara dengan Bapak Ale dan staff Kecamatan Jagoi Babang.
Tentunya beragam saran peraturan dari sawit watch bagus untuk pertimbangan dalam pelasanaan badan pengawasan sawit tersebut. Terakhir, peneliti juga merasa perlu diadakan penambahan fasilitas dan sarana prasarana penunjang perekonomian warga Jagoi Babang seperti pasar sehingga isu kesenjangan perekonomian warga perbatasan juga terwadahi. Pasar merupakan sarana penting yang harus segera diadakan, mengingat warga Desa Jagoi Babang dan sekitarnya selalu memilih berbelanja di Pasar Serikin yang ada di kawasan Malaysia. Selain itu, keberadaan RSUD di Jagoi Babang juga perlu diperbaiki sehingga pelayanan kesehatan penduduk meningkat. Kedua sarana ini penting untuk diadakan mengingat isu nasionalisme kawasan perbatasan Jagoi Babang dirasa peneliti cukup rawan. Demikian keseluruhan penelitian ini tertulis. Dari kesimpulan dan saran yang telah diberikan, peneliti melihat bahwa di masa yang akan datang, penelitian dengan fokus serupa akan menarik untuk diadakan, mengingat keberadaan UU Desa sangat berkaitan dengan temuan penelitian yakni perubahan perilaku Suku Dayak Bidayuh dalam ladang berpindah yang diakibatkan oleh penyempitan luasan hutan. Dengan adanya penelitian lanjutan mengenai pola perilaku Suku Dayak Bidayuh di masa UU Desa, dapat dilihat sejauh mana UU Desa mampu memproteksi hak-hak adat Suku Dayak Bidayuh yang selama ini tidak terfasilitasi dengan baik. Akhir kata, peneliti berharap keberlangsungan UU Desa lancar dan menimbulkan dampak positif bagi masyarakat Desa Jagoi Babang, khususnya Suku Dayak Bidayuh.