BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang No. 39 tahun 2009, Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kesehatan adalah hal esensial yang dibutuhkan oleh manusia, dan menjadi hak warga. Menurut pengertian dari WHO, kesehatan sendiri kesehatan mencakup aspek jasmani dan kejiwaan disamping spiritual, kepribadian, dan keuangan. (Adisasmito, 2007). Melihat pengertian kesehatan di atas, maka pembangunan kesehatan yang baik amat sangat penting untuk dilaksanakan, karena pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan sumber daya manusia dalam mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri sehat sejahtera lahir dan batin. (Supratman dan Prasetyo, 2010) Pembangunan kesehatan di Indonesia sendiri hari ini masih belum optimal, dapat dilihat dari alokasi dana APBN untuk kesehatan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Pasal 171 ayat 1 menyatakan bahwa Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji, namun dalam kenyataannya pada tahun 2011 APBN kesehatan hanya sebesar Rp 29,4 Triliun dimana nilai tersebut hanya sebesar 2,4 % dari total APBN. Sedangkan untuk tahun 2012 anggaran kesehatan menjadi Rp 29,9 triliun dengan persentase sebesar 2,1 % dari APBN. (Kompas,2011) 1
2 Rendahnya anggaran kesehatan pemerintah dan semakin kompleksnya tantangan kesehatan di Indonesia mengakibatkan pembangunan kesehatan tidak terfokus. Selain sarana dan prasarana kesehatan yang tidak optimal, pelayanan kesehatan yang bermutu juga tidak mampu diakses oleh seluruh masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Thabrany (2008) bahwa sistem kesehatan Indonesia sangat tidak memihak kepada rakyat. Hal ini tercermin dari sistem pembayaran jasa per pelayanan (fee for service) yang diterapkan Indonesia, meskipun pelayanan tersebut disediakan di Rumah Sakit (RS) publik. Artinya, rakyat Indonesia menghadapi ketidakpastian (uncertainty) dalam memperolah pelayanan kesehatan. Dimana yang memiliki uanglah yang bisa memperoleh pelayanan kesehatan, karena lebih dari 70% biaya kesehatan harus ditanggung sendiri oleh tiap keluarga atau out of pocket. Berbagai program telah dilaksanakan Pemerintah untuk mempermudah akses pelayanan kesehatan khususnya untuk masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Program tersebut berupa Jaminan Kesehatan, dimana masyarakat yang menggunakan jaminan kesehatan tersebut dapat berobat secara cuma-cuma di Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) milik pemerintah. Jaminan kesehatan tersebut berupa Askeskin, Askes dan Jamkesmas. Namun sejauh ini jaminan kesehatan yang berlaku tersebut belum mampu mencakup seluruh penduduk Indonesia, baik karena belum maksimalnya sosialisasi di lapangan, juga dikarenakan anggaran kesehatan pemerintah yang rendah. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI tahun 2011, hingga desember 2010 adapun pencapaian Jaminan Kesehatan di Indonesia sebagai berikut :
3 Gambar 1. Distribusi Penduduk Indonesia yang memiliki Jaminan Kesehatan tahun 2010 (Sumber: http://kebijakankesehatanindonesia.net/sites/default/files/makasar/presentation1.pdf) Berdasarkan data Laporan Kementerian Kesehatan RI tahun 2011 di atas, diketahui bahwa sebesar 59,07% penduduk Indonesia yang terlindungi oleh asuransi kesehatan dan masih terdapat 40,93% warga yang sama sekali belum memiliki asuransi kesehatan. Adanya otonomi daerah merupakan salah satu alternatif dalam memecahkan masalah cakupan pelayanan kesehatan ini. Dalam era desentralisasi sesuai UU No 32/2004 tentang pemerintahan daerah menempati otonomi daerah secara utuh pada daerah Kabupaten/Kota, sehingga mempunyai wewenang dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat, didasarkan pada azas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Salah satunya dengan membuat kebijakan kesehatan berupa penyelenggaraan Jaminan kesehatan daerah (Jamkesda). Dimana Pemerintah daerah memiliki peran yang sangat besar dalam peraturan pelaksanaan Jamkesda, baik dari
4 segi pembiayaan, pentahapan program, kepesertaan, pemerataan dan keadilan. (Gotama dan Pardede, 2012) Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang peduli terhadap pembangunan kesehatan, terbukti dengan telah terlaksananya jaminan kesehatan daerah di Bali sejak tahun 2010. Jaminan kesehatan tersebut adalah Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM). Jaminan kesehatan ini merupakan salah satu terobosan pemerintah provinsi Bali guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat Bali dengan memberikan kemudahan dalam mengakses kesehatan yang merupakan hak krusial bagi setiap manusia. Jaminan Kesehatan Bali Mandara juga merupakan jaminan kesehatan untuk seluruh masryarakat Bali yang belum memilliki jaminan kesehatan seperti Askes, Jamsostek, Asabri, Askeskin/Jamkesmas atau jaminan kesehatan lainnya. Tujuan diselenggarakannya JKBM ini adalah untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan untuk seluruh penduduk Bali. Sedangkan tujuan khususnya yaitu meningkatkan cakupan masyarakat bali yang mendapatkan pelayanan kesehatan, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat Bali dan pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel. (Jamsos, 2010) Dalam pelaksanaan JKBM sejak tahun 2010, terdapat permasalahan dan tantangan yang dialami. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti di JKBM Centre, adapun permasalahan yang umum dirasakan dalam pelaksanaan JKBM : 1. Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui akan adanya JKBM tersebut, hal ini diakibatkan karena masih kurangnya sosialisasi dari pemerintah mengenai JKBM khususnya untuk wilayah pedesaan. 2. Pelaporan yang tidak sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Laporan PPK ke Kabupaten/Kota seharusnya paling lambat setiap tanggal 5, sedangkan laporan
5 dari Kabupaten/Kota menuju Provinsi paling lambat tanggal 10 tiap bulan. Namun pada kenyataanya masih terdapat Kabupaten/Kota yang belum tepat dalam pelaporan Program JKBM setiap bulannya. Hal ini diakibatkan karena masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui mengenai peryaratan JKBM terkendala KTP, terdapat beberapa wilayah pedesaan yang belum semua warganya memiliki KTP, baik karena tidak mengetahui ataupun karena susahnya persyaratan memiliki KTP. Sehingga masih ada beberapa PPK yang menerima pasien tanpa membawa KTP, akibatnya proses pengklaiman dananya menjadi terhambat. 3. Masih banyak masyarakat belum paham akan sistem rujukan dalam JKBM. Dimana masyarakat yang ingin berobat di Rumah Sakit jejaring JKBM tidak menyertakan surat rujukan dari Puskesmas. Kebanyakan masyarakat langsung berobat ke RS jejaring JKBM walaupun penyakit yang diderita masih mampu ditangani di Puskesmas, sehingga banyak pasien pergi ke Puskesmas hanya untuk meminta surat rujukan agar sesuai dengan persyaratan tanggungan Program JKBM. Akhirnya muncul indikasi bahwa pihak Puskesmas tidak melayani pasien JKBM dengan optimal. 4. Keterbatasan kualifikasi SDM di PPK jejaring JKBM dalam tata kelola keuangan JKBM, sehingga proses pengklaiman dana sering terhambat. Selain itu permasalahan pengklaiman dana juga diakibatkan karena adanya klaim lintas batas, dimana jika terdapat pasien yang berasal dari Kabupaten Denpasar yang berobat ke PPK jejaring di Kabupaten Badung, maka pengklaiman harus tetap dilakukan di Kabupaten Denpasar, karena merupakan tanggungan dari Kabupaten Denpasar. Hal ini sering memberatkan petugas kesehatan, terutama jika wilayah kabupaten yang dituju jauh.
6 Banyaknya permasalahan yang dialami pada program JKBM tersebut tidak terlepas dari fungsi manajemen program tersebut, baik dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengawasan (controling). Program merupakan salah satu bentuk kebijakan. Seperti kita ketahui bersama, keberhasilan suatu kebijakan bukan saja ditentukan oleh bagaimana suatu kebijakan dilaksanakan tetapi juga ditentukan bagaimana suatu kebijakan dirumuskan atau diproses dalam sebuah program, perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen yang sangat berperan dalam keberhasilan program tersebut. Berhasil atau tidaknya suatu program dapat dilihat dari berhasil tidaknya perencanaan program tersebut dirancang. Ketika lebih dari 50% perencanaan telah disusun dengan baik, maka kemungkinan berhasilnya program tersebut dapat lebih tinggi. (Notoamodjo, 2007). Begitu pula pada program JKBM ini, permasalahan yang kerap muncul pada saat pelaksanaan JKBM tersebut dapat dikarenakan perencanaan program yang mungkin belum matang pada awalnya, seperti perencanaan program sosialisasi dan penyusunan tim pelaksana yang belum optimal. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti dan menganalisis perencanaan awal JKBM di Provinsi Bali. Selain dikarenakan penelitian mengenai perencanaan JKBM ini sebelumnya belum pernah diadakan, penelitian ini juga diharapkan mampu dijadikan sebagai acuan dalam merencanakan suatu program kesehatan lainnya untuk masyarakat. Dalam penelitian ini yang akan menjadi narasumber adalah pihak-pihak yang terkait dalam perencanaan program JKBM, yaitu dari Pemerintah Provinsi Bali, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Dinas Kesehatan Provinsi Bali.
7 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat kita ketahui bahwa Provinsi Bali merupakan salah satu dari provinsi di Indonesia yang menggunakan kebijakan kesehatan yang bersifat desentralisasi yaitu JKBM. Setelah berlangsung selama 2 tahun, program JKBM ini dirasa masih belum maksimal karena masih terjadi permasalahan. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis terhadap perencanaan JKBM tahun 2010, sehingga dapat diketahui dimana letak permasalahannya. 1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Apakah dasar yang melatarbelakangi perencanaan kebijakan JKBM? 2. Siapakah yang terlibat dalam dalam proses perencanaan JKBM? 3. Siapakah kepesertaan dari program JKBM? 4. Bagaimana sistem pembiayaan JKBM? 5. Apakah dasar anggaran dan alokasi dana JKBM? 6. Apakah hambatan yang dirasakan selama perencanaan JKBM? 1.4 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis perencanaan dari program JKBM pada pelaksanaan tahun 2010. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui dasar yang melatarabelakangi perencanaan JKBM. 2. Untuk mengetahui siapa yang bertanggungjawab dalam proses perencanaan JKBM. 3. Untuk mengetahui kepesertaan dari pelaksanaan JKBM.
8 4. Untuk mengetahui bagaimana sistem pembiayaan JKBM. 5. Untuk mengetahui dasar anggaran dan alokasi dana JKBM. 6. Untuk mengetahui hambatan yang dirasakan selama perencanaan JKBM. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis a. Bagi Mahasiswa Penelitian ini berguna untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman pada fungsi manajemen perencanaan di program JKBM. Selain itu juga merupakan syarat bagi mahasiswa dalam memperoleh gelar Sarjana Masyarakat Kesehatan Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 1.5.2 Manfaat Praktis a. Bagi Pelaksana Program JKBM Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penanggung jawab program JKBM, yaitu dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengevaluasi program JKBM untuk tahun berikutnya. b. Bagi Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dimana penelitian ini dapat dijadikan pedoman dalam melakukan penelitian yang serupa dikemudian hari dan bisa dijadikan dokumentasi bagi Program Studi.
9 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah mengenai manajeman pembiayaan kesehatan dalam JKBM. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui salah satu fungsi manajeman dalam program JKBM yang merupakan program jaminan kesehatan daerah Provinsi Bali yaitu perencanaan. Selain itu, penelitian ini juga membahas dan hambatan yang terjadi selama pelaksanaan kegiatan JKBM serta upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut.