BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan daya pikir manusia. Matematika bukanlah pelajaran yang hanya

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia secara global dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia secara global dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eka Rachma Kurniasi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pergeseran pandangan terhadap matematika akhir-akhir ini sudah hampir

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maya Siti Rohmah, 2013

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan, sebab tanpa pendidikan manusia akan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sangat berperan dalam upaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diberikan sejak tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah di

2014 PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF TIPE KUIS TIM UNTUK ENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIS DAN SELF-CONFIDENCE SISWA SMP

I. PENDAHULUAN. membantu proses pembangunan di semua aspek kehidupan bangsa salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan

BAB I PENDAHULUAN. Matematika pada mulanya diambil dari perkataan Yunani mathematike

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

2014 PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN REPRESENTASI MATEMATIS MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN STRATEGI THINK TALK WRITE (TTW) DI SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arif Abdul Haqq, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini telah. membawa berbagai perubahan hampir di setiap aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yeni Febrianti, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional) Pasal 37 menegaskan bahwa mata pelajaran matematika

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah , 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam pengembangan kemampuan matematis peserta didik. Matematika

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Pembaharuan di bidang pendidikan yang mengacu pada visi dan misi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang penting

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai salah satu disiplin ilmu yang

BAB I PENDAHULUAN. pesat terutama dalam bidang telekomunikasi dan informasi. Sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dwi Haryanto, 2013

I. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya belajar matematika tidak terlepas dari peranannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. pola pikir siswa adalah pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan yang

BAB I PENDAHULUAN. logis, konsisten, dan dapat bekerjasama serta tidak mudah putus asa.

BAB I PENDAHULUAN. menumbuhkembangkan kemampuan dan pribadi siswa yang sejalan dengan tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah swt dengan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Prahesti Tirta Safitri, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. tidak hanya menyelenggarakan pendidikan saja, tapi juga turut serta memberikan

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sarah Inayah, 2013

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal penting dalam kehidupan karena dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika

I. PENDAHULUAN. Pendidikan bagi setiap bangsa merupakan kebutuhan mutlak yang harus

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

BAB I PENDAHULUAN. terutama dalam mata pelajaran matematika sejauh ini telah mengalami

I. PENDAHULUAN. dengan pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan merupakan salah satu sasaran

BAB I PENDAHULUAN. Belajar dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Trianto (2009:16) belajar

BAB I PENDAHULUAN. wilayah. Kehidupan yang semakin meng-global ini memberikan tantangan yang

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas 2003:5).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah AgusPrasetyo, 2015

I. PENDAHULUAN. Sejarah suatu bangsa dapat dilihat dari perkembangan pendidikan yang diperoleh

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan diberikannya mata pelajaran matematika untuk siswa

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dan kreativitasnya melalui kegiatan belajar. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan atau skill yang dapat mendorongnya untuk maju dan terus

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Isna Rafianti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Matematika sebagai ilmu yang timbul dari pikiran-pikiran manusia yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laswadi, 2015

I. PENDAHULUAN. depan yang lebih baik. Melalui pendidikan seseorang dapat dipandang terhormat,

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan pernyataan Suherman, dkk. (2003: 25) bahwa matematika. matematika haruslah ditempatkan pada prioritas yang utama.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Diantaranya, Kurikulum 1964, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang semakin pesat baik

BAB I PENDAHULUAN. Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan

I. PENDAHULUAN. berperan penting dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN Bab I menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional. Penjelasan lebih lanjut akan diuraikan dalam bentuk subbab-subbab berikut: A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan teknologi modern yang mempunyai peran penting dalam berbagai bidang ilmu dan dapat mengembangkan daya pikir manusia. Matematika bukanlah pelajaran yang hanya memberikan pengetahuan kepada siswa mengenai bagaimana cara berhitung dan mengajarkan berbagai rumus, lebih dari itu matematika adalah pelajaran yang mengasah cara berpikir siswa agar siswa mampu berpikir secara logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Depdiknas (2006: 345) menyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Oleh karena itu, untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika sejak dini. Ada dua visi pembelajaran matematika, yaitu: (1) mengarahkan pembelajaran matematika untuk pemahaman konsep-konsep yang kemudian diperlukan untuk menyelesaikan masalah dan ilmu pengetahuan lainnya, dan (2)

2 mengarahkan ke-masa depan yang lebih luas yaitu matematika memberikan kemampuan pemecahan masalah, sistematis, kritis, cermat, bersifat objektif dan terbuka. Kemampuan tersebut sangat diperlukan dalam menghadapi masa depan yang selalu berubah (Sumarmo, 2007: 679). Tujuan pemberian mata pelajaran matematika dirinci sesuai dengan jenjang pendidikan. Mata pelajaran matematika untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006: 346). Romberg (1995: 90) menyatakan bahwa National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) merekomendasikan beberapa tujuan umum siswa belajar matematika, yaitu: (1) belajar akan nilai-nilai matematika, memahami evolusi dan peranannya dalam masyarakat dan sains, (2) percaya diri pada kemampuan yang

3 dimiliki, percaya pada kemampuan berpikir matematis yang dimiliki dan peka terhadap situasi dan masalah, (3) menjadi seorang problem solver, menjadi warga negara yang produktif dan berpengalaman dalam memecahkan berbagai permasalahan, (4) belajar berkomunikasi secara matematis, belajar tentang simbol, lambang dan kaidah matematis, (5) belajar bernalar secara matematis yaitu membuat konjektur, bukti dan membangun argumen secara matematis. Dari tujuan pembelajaran matematika yang tercantum di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika dapat membantu siswa memahami konsep, menyelesaikan masalah matematis, mengaitkan matematika dengan kehidupan sehari-hari, dan dapat mengungkapkan ide-ide matematisnya baik secara lisan maupun tulisan sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Namun fakta di lapangan, penguasaan siswa terhadap matematika masih tergolong rendah dan belum memuaskan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wahyudin (1999) yang menyatakan bahwa rata-rata tingkat penguasaan siswa dalam mata pelajaran matematika adalah 19,4% dan simpangan baku 9,8% dengan model kurva positif (miring ke kiri) yang berarti bahwa sebaran tingkat penguasaan siswa terhadap matematika cenderung rendah. Kondisi hasil belajar yang masih rendah ini merupakan tantangan bagi para pendidik untuk mencari upaya dalam memperbaiki pembelajaran agar hasil belajar matematika siswa lebih baik. Selanjutnya Ruseffendi (1991: 156) menyatakan terdapat anak-anak yang setelah belajar matematika yang sederhanapun banyak yang tidak dipahami, banyak konsep yang dipahami secara keliru. Dari tahun ke tahun prestasi

4 matematika siswa diberbagai tingkatan sekolah selalu sulit untuk dikatakan meningkat secara signifikan. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan hasil belajar matematika siswa rendah, terutama pada siswa dengan kemampuan sedang dan rendah, salah satunya adalah ketidaktepatan penggunaan model pembelajaran yang digunakan oleh guru di kelas. Sebagian besar guru cenderung menggunakan model pembelajaran biasa yang bersifat konvensional, yaitu model pembelajaran yang lebih terfokus pada guru sedangkan siswanya cenderung pasif. Siswa lebih banyak menerima saja apa yang disampaikan oleh guru. Guru masih menekankan pada latihan mengerjakan soal atau drill. Pembelajaran seperti ini membuat siswa menjadi kurang aktif dan kurang mengundang siswa untuk bersikap kritis. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Ruseffendi (1991: 328) bahwa selama ini dalam proses pembelajaran matematika di kelas, pada umumnya siswa mempelajari matematika hanya diberi tahu oleh gurunya dan bukan melalui kegiatan eksplorasi matematika. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Rif at (2001: 25) bahwa kegiatan belajar seperti ini membuat siswa cenderung belajar menghafal tanpa memahami atau tanpa mengerti apa yang diajarkan oleh gurunya. Selanjutnya Sumarmo (1999: 67) mengungkapkan bahwa konsekwensi dari pola pembelajaran konvensional dan latihan soal (drill), mengakibatkan siswa kurang aktif dan kurang menanamkan pemahaman konsep, dan kurang mengundang sikap kritis. Mettes (1979: 82) menyatakan bahwa siswa hanya mencontoh dan mencatat bagaimana cara menyelesaikan soal yang telah dikerjakan oleh gurunya. Jika

5 mereka diberikan soal yang berbeda dengan soal latihan, maka mereka bingung karena tidak tahu harus mulai dari mana mereka bekerja. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Turmudi (2008: 1) bahwa pendidik dan ahli pendidikan matematika telah mengupayakan agar matematika dapat dikuasai dengan baik oleh siswa, namun pada kenyataannya banyak siswa yang tidak menyukai matematika. Ketidaksenangan siswa terhadap pelajaran matematika kemungkinan disebabkan oleh sulitnya memahami pelajaran matematika dan juga desain pembelajaran yang disampaikan oleh guru terhadap mata pelajaran matematika dapat berpengaruh terhadap keberhasilan belajar matematika siswa. Selain itu proses pembelajaran yang diterapkan saat ini kurang melibatkan aktivitas siswa secara optimal. Dengan demikian diprediksi bahwa siswa akan lemah dalam memecahkan masalah yang disajikan oleh guru. Turmudi (2008: 11) menyatakan bahwa pembelajaran matematika selama ini disampaikan kepada siswa secara informatif, artinya siswa hanya memperoleh informasi dari guru saja sehingga derajat kemelekatannya juga dapat dikatakan rendah. Dengan pembelajaran seperti ini, siswa sebagai subjek belajar kurang dilibatkan dalam menemukan konsep-konsep pelajaran yang harus dikuasainya. Hal ini menyebabkan konsep-konsep yang diberikan tidak membekas tajam dalam ingatan siswa sehingga siswa mudah lupa dan sering kebingungan dalam memecahkan suatu permasalahan yang berbeda dari yang pernah dicontohkan oleh gurunya. Akibat lanjutannya siswa tidak dapat menjawab tes, baik itu tes akhir semester maupun ujian nasional. Sebagaimana dikemukakan Wahyudin (1999: 22) bahwa salah satu penyebab siswa lemah dalam matematika adalah

6 kurang memiliki kemampuan untuk memahami (pemahaman) untuk menggali konsep-konsep dasar matematika (aksioma, definisi, kaidah, dan teorema) yang berkaitan dengan pokok bahasan yang sedang dibicarakan. Pendapat lain yang dikemukakan Soedjadi (2000: 4) tentang kualitas hasil belajar siswa di sekolah banyak ditentukan oleh proses pembelajaran yang ditangani oleh para guru. Kegagalan memahami topik-topik matematika bisa jadi karena guru mengajar terlalu cepat sehingga siswa tidak cukup waktu untuk mengembangkan kemampuan pemahamannya. Kurangnya kemampuan pemahaman matematika, sangat mempengaruhi kemampuan dalam matematika itu sendiri. Kemampuan pemahaman matematis penting untuk dimiliki siswa dalam pembelajaran matematika. Siswa dalam belajar matematika bukan hanya sekedar hafalan, tetapi harus disertai dengan pemahaman, karena dengan pemahaman siswa dapat lebih mengerti konsep materi pelajaran itu sendiri. Markaban (2006: 3) menyatakan tingkat pemahaman matematis seorang siswa lebih dipengaruhi oleh pengalaman siswa itu sendiri. Hal ini berarti pemahaman seorang siswa dalam belajar diperoleh dari apa yang ia alami dalam pembelajaran tersebut. Selain itu, pemahaman matematis juga merupakan salah satu tujuan dari setiap materi yang disampaikan oleh guru yang merupakan pembimbing siswa untuk mencapai konsep yang diharapkan. Alfeld (2004: 4) menyatakan bahwa seorang siswa dikatakan sudah memiliki kemampuan pemahaman matematis jika ia sudah mampu menjelaskan konsep-konsep dan fakta matematika dalam bentuk konsep-konsep dan fakta yang

7 lebih sederhana. Selanjutnya, siswa dapat dengan mudah membuat interaksi logis diantara fakta dan konsep yang berbeda. Selain itu siswa juga dapat mengenali keterkaitan antara konsep yang baru dengan konsep sebelumnya yang sudah dipahami, dan yang terakhir, siswa dapat mengidentifikasi prinsip yang ada dalam matematika. Bila keempat hal tersebut dapat dikuasai dengan baik, maka ia dikatakan mempunyai kemampuan pemahaman matematis dengan baik. Selanjutnya Anderson, et al. (2001: 70) menyatakan bahwa siswa dikatakan memiliki kemampuan pemahaman jika siswa tersebut mampu mengkonstruksi makna dari pesan-pesan pengajaran seperti komunikasi lisan, tulisan, dan grafik. Siswa memahami suatu masalah ketika mereka membangun hubungan antara pengetahuan baru yang diperoleh dari pengetahuan sebelumnya. Pemahaman terhadap suatu masalah merupakan bagian dari komunikasi. Hal ini sesuai dengan Nurlaelah (2009: 24) bahwa komunikasi merupakan sarana untuk bertukar ide dan mengklarifikasi pemahaman. Melalui komunikasi ide-ide menjadi objek untuk melakukan refleksi, diskusi, dan perbaikan pemahaman. Wahyudin (2008: 527) menyatakan bahwa komunikasi adalah bagian esensial dari matematika dan pendidikan matematika. Komunikasi merupakan cara berbagi gagasan dan mengklarifikasi pemahaman. Proses komunikasi membantu membangun makna dan kelanggengan gagasan-gagasan serta agar gagasan-gagasan tersebut dapat diketahui publik. Saat para siswa ditantang untuk berpikir dan bernalar tentang matematika serta untuk mengkomunikasikan hasilhasil pemikiran mereka itu pada orang lain secara lisan atau tertulis, mereka belajar untuk menjadi jelas dan meyakinkan.

8 Office of Superintendent of Public Instruction (OSPI) (Shadiq, 2009: 6) menyatakan bahwa: Communication is defined as a process by which we assign and convey meaning in an attempt to create shared understanding. Artinya, komunikasi adalah proses untuk memberi dan menyampaikan arti dalam usaha untuk menciptakan pemahaman bersama. Pentingnya kemampuan komunikasi dimiliki siswa juga diungkapkan Baroody (Ansari, 2003: 4) menyatakan paling tidak ada dua alasan penting mengapa komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu dikembangkan. Pertama, matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan, akan tetapi matematika juga merupakan suatu alat yang tidak ternilai, karena dapat mengkomunikasikan berbagai jenis ide secara jelas, dengan tepat dan ringkas tapi jelas. Kedua, pembelajaran matematika merupakan kegiatan sosial; artinya, sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika sehingga tercipta wahana interaksi antar siswa, dan juga komunikasi antara guru dan siswa. Upaya yang dapat dilakukan diantaranya dengan menerapkan kegiatan pembelajaran yang dapat mendorong siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri serta meningkatkan komunikasi dan interaksi di lingkungan sekolahnya, baik antara sesama siswa atau siswa dengan guru melalui kegiatan diskusi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kosko dan Wilkins (2010: 79) mengatakan bahwa diskusi antarsiswa adalah kesempatan lain dalam memperdalam pemahaman konsep selain interaksi sosial. Hal ini memancing siswa untuk merefleksi konsep selain melakukan interaksi dengan tautan lain dalam aktivitas yang sama,

9 misalnya siswa dibiasakan akrab dengan cara bagaimana mereka menggambarkan matematika ketika mereka melakukan matematika, sehingga dapat meningkatkan kesempatan mereka untuk mengetahui lebih banyak lagi. Berdasarkan penjelasan beberapa pendapat di atas, komunikasi matematis merupakan suatu cara untuk bertukar pendapat atau ide-ide dan mengklarifikasi pemahaman siswa. Melalui komunikasi matematis ide-ide menjadi objek yang direfleksikan untuk didiskusikan dapat diubah. Proses komunikasi membantu membangun makna dan ketetapan ide-ide dan membuatnya menjadi sesuatu yang umum. Dalam mengeksplor kemampuan komunikasi matematis siswa, guru perlu menghadapkan siswa pada berbagai masalah yang merupakan situasi nyata untuk memberikan kesempatan kepada siswa mengkomunikasikan ide-idenya untuk memecahkan permasalahan yang ada. Sumarmo (1987: 297) menemukan bahwa keadaan skor kemampuan siswa dalam pemahaman matematis masih rendah. Siswa masih banyak mengalami kesukaran dalam pemahaman relasional. Wahyudin (1999: 251-252) menemukan lima kelemahan yang ada pada siswa antara lain: kurang memiliki pengetahuan materi prasyarat yang baik, kurang memiliki kemampuan untuk memahami, serta mengenali konsep-konsep dasar matematika (aksioma, definisi, kaidah, teorema) yang berkaitan dengan pokok bahasan yang sedang dibicarakan, kurang memiliki kemampuan dan ketelitian dalam menyimak atau mengenali sebuah persoalan atau soal-soal matematika yang berkaitan dengan pokok bahasan yang dipelajari. Demikian pula dengan hasil studi Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) (2007: 38) yang melaporkan hasil penelitiannya bahwa

10 nilai matematika siswa Indonesia berada pada peringkat ke-36 dari 56 negara pada tahun 2007. Hal serupa juga disampaikan oleh Programme for International Student Assesment (PISA) (2009: 135) melalui hasil studinya menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda yaitu prestasi Indonesia pada bidang matematika berada pada peringkat ke-61 dari 65 negara yang ikut ambil bagian. Walaupun peringkat-peringkat tersebut bukan hal mutlak pengukur tingkat keberhasilan pembelajaran matematika di Indonesia, namun dapat dijadikan salah satu evaluasi dari berhasil tidaknya pelaksanaan pembelajaran matematika di Indonesia, selain sebagai alat kompetisi yang memotivasi guru dan semua pihak dalam dunia pendidikan untuk lebih meningkatkan prestasinya. Dari hasil serta TIMSS dan PISA menunjukkan bahwa kemampuan siswa SMP kelas VIII di Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal matematika, khususnya yang tidak rutin dan mengukur kemampuan literasi matematis yang meliputi kemampuan merumuskan, menerapkan dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks, penalaran matematis dan penggunaan konsep, prosedur dan fakta untuk menggambarkan, menjelaskan atau memperkirakan kejadian yang dimiliki siswa SMP sangat lemah. Wardhani dan Rumiati (2011: 55) penyebab rendahnya prestasi matematika siswa Indonesia pada hasil TIMSS disebabkan oleh lemahnya siswa Indonesia dalam mengerjakan soal-soal yang menuntut kemampuan pemecahan masalah, pemahaman, penalaran, berargumentasi, dan berkomunikasi. Berikut ini adalah contoh soal terkait rendahnya kemampuan pemahaman matematis siswa Indonesia di ajang TIMSS tahun 2007 (Wardhani, 2011: 40) yaitu pada salah satu soal tahun 2007 (setelah diterjemahkan):

11 Manakah di antara lingkaran-lingkaran berikut yang menggambarkan pecahan yang bernilai hampir sama dengan pecahan yang digambarkan pada bagan di samping? Gambar 1.1 Contoh Soal TIMSS 2007 Soal ini berada dalam domain konten bilangan dan domain kognitif pengetahuan (pemahaman). Dalam soal ini siswa diminta untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan konsep pecahan. Kompetensi dasar yang dibutuhkan untuk menjawab soal ini telah dipelajari siswa di kelas III SD Semester 2, yaitu pada kompetensi dasar mengenal pecahan sederhana (KD 3.1), membandingkan pecahan sederhana (3.2). Di SMP, melakukan operasi hitung pecahan. Menurut laporan hasil studi tersebut, secara internasional siswa yang mampu menjawab dengan benar hanya 63%, sedangkan siswa Indonesia hanya mampu menjawab dengan benar sebesar 52%. Sebenarnya soal ini tergolong tidak terlalu sulit, pada hakekatnya kemampuan yang diperlukan untuk menjawab soal tidak hanya sekedar memahami pengertian pecahan, juga mampu menganalisis suatu situasi atau keadaan dengan mengacu pada keadaan tertentu. Dalam hal ini siswa perlu melakukan analisis

12 terhadap nilai pecahan yang diwakili oleh gambar berbentuk lingkaran dengan mengacu pada nilai pecahan yang diwakili oleh gambar berbentuk persegi. Siswa Indonesia yang tidak mampu menjawab dengan benar soal tersebut kemungkinan karena tidak terbiasa menyelesaikan soal dengan melakukan analisis masalah terlebih dahulu. Hal tersebut merupakan suatu gambaran keadaan, bahwa siswa Indonesia belum mampu mengembangkan kemampuan pemahaman matematis secara maksimal. Selain itu, berdasarkan hasil yang diperoleh siswa Indonesia di ajang TIMSS tahun 2007 (Wardhani, 2011: 44) menyatakan bahwa siswa Indonesia masih lemah dalam hal komunikasi matematis, sebagaimana yang terjadi dengan jawaban siswa pada soal berikut (setelah diterjemahkan): Gambar 1.2 Contoh Soal TIMSS Tahun 2007 Diagram diatas menunjukkan hasil survey dari 400 orang siswa tentang ketertarikannya pada grup music rock: Dreadlocks, Red Hot Peppers, dan Stone Cold. Buatlah sebuah diagram batang yang menggambarkan data yang tersaji pada diagram lingkaran diatas! Soal ini berada dalam domain konten data atau peluang, serta domain kognitif penerapan, yaitu menyatakan situasi matematis secara tertulis ke dalam

13 bentuk diagram (komunikasi). Kemampuan yang diperlukan untuk menjawab soal tersebut semestinya telah dipelajari di Kelas VI SD Semester 2 yaitu menyajikan data ke bentuk tabel dan diagram gambar, batang, dan lingkaran (KD 7.1). Materi itu kembali diperdalam di kelas IX, padahal peserta TIMSS adalah kelas VIII, akibatnya mereka belum memperdalam lebih lanjut. Soal tersebut cukup sederhana, mestinya jika kompetensi yang diperlukan benar-benar telah dikuasai di SD, maka hal itu tidak menjadi masalah. Tetapi pada kenyataannya, masih banyak siswa Indonesia mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal tersebut. Secara internasional, hasil persentase siswa yang menjawab benar sebesar 27%, sedangkan siswa peserta Indonesia yang mampu menjawab benar hanya 14%. Banyaknya siswa yang tidak berhasil menjawab dengan benar kemungkinan disebabkan soal tersebut membutuhkan dua kemampuan sekaligus, yaitu kemampuan membaca data pada diagram lingkaran dan kemampuan untuk menyajikan data tersebut ke dalam diagram batang, sehingga ada dua langkah yang diperlukan. Guru di Indonesia sering sekali hanya memberikan persoalan seperti ini dalam satu langkah saja, misalnya hanya meminta siswa membuat diagram batang atau membuat diagram lingkaran saja. Berdasarkan hasil yang diperoleh siswa Indonesia di ajang PISA tahun 2000 dan TIMSS tahun 2003, maka dapat diketahui bahwa dibandingkan membaca soal yang disajikan dalam bentuk tabel, siswa Indonesia lebih mengalami kesulitan dalam membaca soal yang disajikan dalam bentuk grafik. Hal ini dapat dilihat dari persentase siswa menjawab benar. Untuk soal yang disajikan dalam bentuk tabel, siswa Indonesia yang menjawab benar sekitar 4%. Sementara itu, siswa Indonesia

14 yang menjawab benar untuk soal yang disajikan dalam bentuk grafis jauh lebih rendah, yaitu hanya 1,15% saja. Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa SMP di Indonesia masih tergolong rendah. Oleh karena itu, perlu diadakannya suatu upaya untuk meningkatkan kedua kemampuan tersebut. Upaya-upaya peningkatan tersebut erat kaitannya dengan proses pembelajaran, seperti cara guru mengajar, kaitan materi dengan kehidupan seharihari, jenis soal yang biasa diberikan kepada siswa untuk diselesaikan, sejauhmana keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Menyadari kenyataan di lapangan bahwa kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa masih tergolong rendah, maka betapa pentingnya suatu teknik pembelajaran yang mampu memberikan rangsangan kepada siswa agar siswa menjadi lebih aktif dalam proses konstruksi pengetahuan peserta didik melalui diskusi kelompok ataupun diskusi kelas sehingga kecakapan berpikir dan kecakapan siswa dalam berkomunikasi dapat terbentuk. Salah satu model pembelajaran yang diduga dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa serta berpusat pada siswa adalah pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang memacu kemajuan individu melalui kelompok. Slavin (1994: 287) menyatakan bahwa dalam pembelajaran kooperatif siswa bekerjasama dengan kelompok kecil saling membantu untuk mempelajari suatu materi.

15 Sanjaya (2007: 242) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif berbeda dengan pembelajaran-pembelajaran lainnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses pembelajaran lebih menekankan kepada proses kerjasama dalam kelompok. Tujuan yang ingin dicapai tidak hanya kemampuan akademik dalam pengertian penguasaan bahan pelajaran, tetapi juga adanya unsur kerjasama untuk penguasaan materi tersebut. Kerjasama dalam kelompok dan saling membantu satu sama lain merupakan ciri dari pembelajaran kooperatif. Suherman, Turmudi, Suryadi, Herman, Suhendra, Prabawanto, Nurjanah, dan Rohayati (2003: 221) menyatakan dalam pembelajaran kooperatif, para siswa terlibat konflik-konflik verbal yang berkenaan dengan pendapat-pendapat anggota-anggota kelompoknya. Para siswa akan terbiasa merasa senang meskipun ada konflik-konflik verbal itu, karena mereka menyadari konflik semacam itu akan dapat meningkatkan pemahamannya terhadap materi yang dihadapi atau didiskusikan. Terdapat empat prinsip dasar pembelajaran kooperatif, yaitu prinsip ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, interaksi tatap muka, serta partisipasi dan komunikasi. Lie (2007: 31) bahwa terdapat lima unsur dalam pembelajaran kooperatif, yaitu: (1) saling ketergantungan positif (keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya); (2) tanggung jawab perseorangan (merupakan dampak dari hubungan saling ketergantungan positif); (3) tatap muka (setiap kelompok harus diberi kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi); (4) komunikasi antar anggota (keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan

16 kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat); dan (5) evaluasi kerja kelompok (penjadwalan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerjasama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif). Kelima unsur tersebut merupakan unsur-unsur yang dapat membantu siswa dalam meningkatkan hasil belajarnya. Berdasarkan penjelasan di atas, diperoleh bermacam-macam keutamaan disetiap unsur pelaksanaan model pembelajaran kooperatif yang diharapkan terdapat peningkatan prestasi belajar siswa. Berdasarkan hasil studi Puspitasari (2010: 91) menunjukkan bahwa tidak terdapat peningkatan kemampuan pemahaman matematis antara siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dengan kooperatif tipe Jigsaw dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Dengan demikian perlu diterapkan model pembelajaran kooperatif yang berbeda. Salah satu caranya adalah dengan mengkombinasikan pembelajaran kooperatif dengan metode lain yang dianggap sesuai dan memiliki harapan peningkatan prestasi belajar yang lebih baik. Penerapan model pembelajaran kooperatif nampaknya sesuai bila dipadukan dengan aktivitas scrambled groups. Hal ini karena terdapat kesesuaian antara keduanya. Unsur-unsur yang terdapat pada model pembelajaran kooperatif juga terdapat di dalam aktivitas scrambled groups sehingga dalam pelaksanaannya tidak akan terjadi tumpang tindih kegiatan pembelajaran atau bahkan saling kontras. Ginnis (2008: 168-170) mengemukakan bahwa scrambled groups merupakan suatu aktivitas yang dapat mendorong kerjasama siswa, melatih

17 keterampilan lisan, mendengarkan dan menerima gagasan orang lain serta mendorong siswa bekerja secara produktif. Tujuannya adalah dapat memacu kemampuan berpikir yang lebih tinggi, seperti menganalisis, membuat sintesis dan mengevaluasi. Kegiatan pembelajaran dengan aktivitas scrambled groups dapat memberikan pengalaman mengenai jenis-jenis keterampilan berbicara, kejelasan dalam artikulasi, mendengarkan, membaca, dan menulis, didorong oleh kecepatan aktivitas, ditambah kerja kelompok yang saling ketergantungan, mendorong kerjasama, melatih keterampilan lisan dan mendengarkan, melatih kecakapan berdebat dan membuat keputusan. Hal ini memperkuat kecerdasan interpersonal, linguistik dan logika, sehingga diharapkan kegiatan pembelajaran akan menjadi lebih menyenangkan. Aktivitas scrambled groups dapat diterapkan berbagai variasi, yaitu: dapat memperkuat kecakapan mendengar dan menerima gagasan orang lain, dapat memperkuat ide bahwa belajar memerlukan bertanya dan mengecek pemahaman, dapat mempraktikkan kecakapan belajar dalam mengenali poin penting, mencatat, merangkum, dan mempresentasikan, mendorong kerjasama, melatih keterampilan lisan dan mendengarkan, melatih kecakapan berdebat dan membuat keputusan. Selain itu, aktivitas scrambled groups dapat mendorong siswa agar dapat bekerja secara produktif dan dapat menjamin bahwa belajar benar-benar terjadi, serta dapat mendemonstrasikan bahwa dalam suatu kerja kelompok yang baik tidak ada penumpang, semuanya terus-menerus terlibat sehingga dengan partisipasi aktif siswa dapat membantu mengembangkan harapan dan kebiasaan untuk memulai sesuatu dengan benar. Maka perlu adanya saling ketergantungan

18 positif dan komunikasi yang baik antar anggota kelompok. Setiap anggota kelompok harus aktif dan bertanggung jawab pada tugas masing-masing, dan bertemu langsung untuk berdiskusi menjelaskan materi yang diperolehnya. Sementara itu, agar aktivitas dalam kelompok dapat berlangsung maksimal, maka perlu diadakan evaluasi atas kerja kelompok. Unsur-unsur seperti ketergantungan positif, komunikasi, bertemu langsung, tanggung jawab masing-masing, serta evaluasi atas kerja kelompok juga merupakan unsur-unsur dalam model pembelajaran kooperatif. Dengan demikian, terdapat benang merah antara model pembelajaran kooperatif dengan aktivitas scrambled groups. Oleh karena itu, tidaklah sembarangan jika peneliti mengatakan bahwa model pembelajaran kooperatif sesuai bila dipadukan dengan aktivitas scrambled groups. Berdasarkan uraian di atas, model pembelajaran kooperatif dan aktivitas scrambled groups merupakan kegiatan pembelajaran dalam setting kelompok yang lebih mengutamakan keberhasilan kelompok mengerjakan tugas yang diberikan, sehingga dalam pelaksanaannya pasti memerlukan kerjasama dan aktivitas bertukar pendapat yang disertai dengan usaha individu dalam mempertahankan pendapatnya dengan memberikan alasan-alasan yang logis. Oleh karena itu, hal ini pasti memerlukan komunikasi yang baik dari setiap anggota kelompok, baik berupa komunikasi lisan dalam menyampaikan ide dan gagasan mereka, maupun komunikasi tertulis dalam mengkonversikan ide dan gagasan tersebut dalam bentuk tulisan. Dengan kata lain, kegiatan diskusi yang melibatkan aktivitas bertanya, menjawab, dan mengemukakan pendapat dengan disertai alasan-alasan yang

19 mendukung kebenaran jawaban masing-masing siswa, baik secara lisan maupun tertulis, tentu membutuhkan kemampuan pemahaman matematis siswa dalam mengaitkan setiap ide yang ada, menerapkannya, dan mengembangkan serta menggunakannya dalam bentuk sebuah penyelesaian yang diinginkan. Oleh karena itu, dengan sering dilatihnya kemampuan pemahaman dan komunikasi siswa dalam interaksi kegiatan kelompok pada aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif diharapkan dapat meningkatkan kedua kemampuan tersebut, yaitu kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. Selain kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis juga diperlukan sikap yang harus dimiliki oleh siswa, diantaranya adalah menyenangi matematika, memiliki keingintahuan yang tinggi, menghargai keindahan matematika, dan senang belajar matematika. Dengan sikap tersebut, siswa diharapkan dapat terus mengembangkan matematika, menggunakan matematika untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan serta dapat mengembangkan sikap matematisnya. Sikap siswa terhadap matematika dapat terlihat ketika siswa menyelesaikan tugas matematika, apakah dikerjakan dengan percaya diri, tanggungjawab, tekun, pantang menyerah, merasa tertantang, memiliki kemauan untuk mencari cara lain dan melakukan refleksi terhadap cara berfikir yang telah dilakukan. Hal ini sesuai dengan Depdiknas (2006: 346) bahwa peserta didik memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian,

20 dan minat dalam mempelajari matematika, 3 serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Ruseffendi (2006: 234) siswa yang mengikuti pelajaran dengan sungguhsunguh menyelesaikan tugas dengan baik, berpartispasi aktif dalam diskusi, mengerjakan tugas-tugas rumah dengan tuntas dan selesai pada waktunya, dan merespon dengan baik tantangan dari bidang studi menunjukkan bahwa siswa itu berjiwa atau bersikap positif. Lebih jauh Ruseffendi (2006: 234) menyatakan bahwa sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajarnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Siskandar (2008: 444) mengenai sikap siswa, diperoleh hubungan positif antara sikap siswa terhadap matematika dengan hasil belajar matematika. Setiap ada penambahan positif atas sikap siswa terhadap matematika, maka terjadi peningkatan hasil belajar matematika. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Akinsola dan Olowojaiye (2008: 10) bahwa metode pengajaran yang diterapkan dalam kelas matematika memegang peranan penting dalam perkembangan sikap positif siswa terhadap pembelajaran matematika. Dalam pembelajaran kelas matematika, domain sikap sangat erat kaitannya dengan persepsi matematis siswa. Pengalaman menyenangkan yang diperoleh dari pengajaran yang dilakukan guru benar-benar akan memfasilitasi peningkatan sikap positif siswa terhadap matematika. Dengan adanya korelasi positif sikap siswa dengan pembelajaran matematika dan prestasi belajar, dapat diketahui betapa pentingnya peningkatan sikap siswa dalam proses belajar-mengajar matematika. Dalam proses belajarmengajar, sikap siswa terhadap matematika dapat dilihat dari keinginan siswa

21 untuk merubah strategi, melakukan refleksi, dan melakukan analisis sampai memperoleh suatu solusi. Sikap siswa dapat diamati melalui diskusi kelas. Misalnya, keinginan siswa untuk menjelaskan solusi yang diperolehnya dan mempertahankan penjelasannya. Namun demikian, perhatian guru dalam proses belajar-mengajar terhadap sikap siswa terhadap matematika masih kurang. Hal ini sesuai dengan Polla (2001: 48) bahwa Pendidikan matematika di Indonesia, nampaknya perlu reformasi terutama dari segi pembelajarannya. Saat ini begitu banyak siswa mengeluh dan beranggapan bahwa matematika itu sangat sulit dan merupakan momok, akibatnya mereka tidak menyenangi bahkan benci pada pelajaran matematika. Jika perlu ada suatu gerakan untuk melakukan perubahan mendasar dalam pendidikan matematika, terutama dari strategi pembelajaran dan pendekatannya. Ini berarti, perlu melakukan perubahan dalam pendekatan pembelajaran matematika dari biasanya kegiatan terpusat pada guru ke situasi yang menjadikan pusat perhatian adalah siswa. Guru sebagai fasilitator dan pembimbing sedangkan siswa sebagai yang dibimbing tidak hanya menyalin mengikuti contoh-contoh tanpa mengerti konsep matematikanya. Oleh karena itu, sikap siswa merasa perlu untuk dikaji dalam penelitian ini. Informasi yang lebih rinci tentang hal tersebut akan dapat diperoleh melalui skala sikap dan pengamatan terhadap aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Selain itu untuk melihat kesesuaian rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun dengan realisasinya dalam kegiatan pembelajaran serta aktivitas apa saja yang terjadi selama kegiatan pembelajaran berlangsung, sehingga dapat dilakukan perbaikan untuk setiap pertemuan. Dengan demikian, peneliti merasa perlu untuk

22 meneliti aktivitas siswa dan guru di dalam kelas yang dapat ditunjukkan melalui lembar observasi. Berkaitan dengan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti mencoba menerapkan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif untuk melihat apakah terjadi peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa SMP. Selain melihat aspek kognitif (kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis), peneliti juga ingin melihat aspek afektifnya yaitu sikap siswa. Penelitian ini terfokus pada aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran matematika, kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. Sikap siswa yang akan diteliti terfokus pada sikap siswa terhadap pelajaran matematika, pembelajaran dengan penerapan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif, dan soal-soal pemahaman dan komunikasi matematis. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka secara umum dapat dirumuskan pokok permasalahan penelitian sebagai berikut: Apakah penerapan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa sekolah menengah pertama? Penjabaran rumusan masalah di atas dapat dirinci ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

23 1. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional? 2. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional? 3. Bagaimana sikap siswa terhadap pelajaran matematika dan pembelajaran melalui aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif serta sikap siswa terhadap soal-soal pemahaman dan komunikasi matematis yang digunakan? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. 2. Menganalisis peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui aktivitas scrambled groups dalam model

24 pembelajaran kooperatif dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. 3. Mendeskripsikan sikap siswa terhadap matematika dan pembelajaran melalui aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif serta sikap siswa terhadap soal-soal pemahaman dan komunikasi matematis yang digunakan. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi Siswa Siswa mampu mengembangkan kemampuan pemahaman dan kemampuan komunikasi matematis untuk meningkatkan prestasi belajarnya dalam matematika melalui penerapan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif. 2. Bagi Guru Penerapan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran matematika untuk variasi yang lebih menarik dalam pembelajaran matematika. 3. Bagi Sekolah Tindakan yang dilakukan dengan menerapkan aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif dapat menjadi salah satu alternatif yang

25 dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. 4. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi untuk menindaklanjuti suatu penelitian dalam ruang lingkup yang lebih luas. E. Definisi Operasional Agar tidak terjadi kesalahpahaman pengertian dalam penelitian ini, maka beberapa istilah yang terkait didefinisikan sebagai berikut: 1. Kemampuan pemahaman matematis adalah kemampuan menerapkan konsep matematika dengan kata-kata sendiri, mengenali, menafsirkan dan menarik kesimpulan dari informasi yang didapatkan. Adapun indikator-indikator yang dipakai dalam penelitian ini berdasarkan pemahaman konsep dari Skemp yaitu : (1) Pemahaman Instrumental adalah pemahaman konsep yang masih saling terpisah antara satu konsep dengan konsep lainnya dan baru mampu menerapkan konsep tersebut pada perhitungan sederhana, atau mengerjakan sesuatu secara algoritmis; dan (2) Pemahaman relasional adalah kemampuan mengaitkan beberapa konsep yang saling berhubungan. 2. Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan untuk berbagi gagasan dan mengklarifikasi pemahaman. Kemampuan komunikasi yang akan diteliti adalah kemampuan komunikasi tulisan. Adapun indikator yang dipakai dalam penelitian ini adalah yaitu: (1) memodelkan situasi-situasi dengan menggunakan tulisan, baik secara konkret, gambar, grafik, atau metode-metode aljabar; (2) membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika

26 tertulis; (3) menjelaskan ide atau situasi matematis secara tertulis; dan (4) mengungkapkan kembali suatu uraian matematika dalam bahasa sendiri. 3. Aktivitas scrambled groups dalam model pembelajaran kooperatif adalah sebuah kegiatan pembelajaran yang menggunakan sistem pengelompokan (tim kecil), yaitu antara empat sampai enam orang yang heterogen. Fase pembelajarannya, yaitu: Fase 1 (Menyampaikan tujuan pembelajaran, memotivasi siswa, dan mengecek pengetahuan awal siswa; Fase 2 (Menyajikan informasi yang berupa petunjuk riset atau diskusi); Fase 3 (Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar); Fase 4 (Membimbing kelompok bekerja dan belajar: pelaksanaan aktivitas scrambled groups disusun berdasarkan indikator kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis yang ingin ditingkatkan. Fase 5 (evaluasi); dan Fase 6 (Memberikan penghargaan). 4. Pembelajaran konvensional adalah kegiatan pembelajaran yang biasa digunakan pada saat ini, seperti ceramah dan penugasan, dimana kegiatan pembelajaran yang berlangsung lebih didominasi oleh guru dan siswa cenderung pasif dalam menerima pelajaran. 5. Sikap adalah suatu tanggapan/respon untuk bertindak atau bereaksi secara sadar sebagai dampak dari pandangan atau keyakinan tentang suatu objek. Tanggapan/respon dapat mendorong seseorang untuk menerima atau menolak objek atau gagasan sehingga berdampak pada perilakunya terhadap objek tersebut. Sikap siswa yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sikap siswa terhadap pelajaran matematika dan pembelajaran dengan aktivitas scrambled

27 groups dalam model pembelajaran kooperatif, serta sikap siswa terhadap soalsoal pemahaman dan komunikasi matematis.