Bab IV Pengembangan Model

dokumen-dokumen yang mirip
Bab III Metodologi Penelitian

REKAYASA HIDROLOGI II

Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut

Bab V Analisa dan Diskusi

2015 ANALISA PENGISIAN AWAL WADUK (IMPOUNDING) PADA BENDUNGAN JATIGEDE

BAB I PENDAHULUAN. dan mencari nafkah di Jakarta. Namun, hampir di setiap awal tahun, ada saja

Gambar 2.1.Komponen Drainase Sistem Polder yang Ideal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai,

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. DKI Jakarta terletak di daerah dataran rendah di tepi pantai utara Pulau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Air merupakan unsur yang sangat penting di bumi dan dibutuhkan

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE

MODEL HIDROLOGI. (continuous flow) dan debit/hidrograf. besar/banjir (event flow). Contoh: : SSARR, SHE, MOCK, NASH, HEC-HMS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK Faris Afif.O,

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB 3 METODOLOGI 3.1 TINJAUAN UMUM

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

THE MODEL OF FLOOD INDEX AND PROBABILITY OF RISK

IX. HIDROGRAF SATUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

3.4.1 Analisis Data Debit Aliran Analisis Lengkung Aliran Analisis Hidrograf Aliran Analisis Aliran Langsung

Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990

dilakukan pemeriksaan (validasi) data profil sungai yang tersedia. Untuk mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

KONDISI UMUM BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di berbagai

Bab III Metodologi Analisis Kajian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung

STUDI PERENCANAAN BANGUNAN UTAMA EMBUNG GUWOREJO DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN AIR BAKU DI KABUPATEN KEDIRI

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

Tahun Penelitian 2005

STUDI PERBANDINGAN ANTARA HIDROGRAF SCS (SOIL CONSERVATION SERVICE) DAN METODE RASIONAL PADA DAS TIKALA

PENGURANGAN RESIKO BANJIR IBUKOTA DENGAN PENGEMBANGAN DAM PARIT DI DAS CILIWUNG HULU

BIOFISIK DAS. LIMPASAN PERMUKAAN dan SUNGAI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB IV ANALISA Kriteria Perencanaan Hidrolika Kriteria perencanaan hidrolika ditentukan sebagai berikut;

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENERAPAN SISTEM SEMI POLDER SEBAGAI UPAYA MANAJEMEN LIMPASAN PERMUKAAN DI KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. karena curah hujan yang tinggi, intensitas, atau kerusakan akibat penggunaan lahan yang salah.

III. FENOMENA ALIRAN SUNGAI

PENGENDALIAN DEBIT BANJIR SUNGAI LUSI DENGAN KOLAM DETENSI DI KECAMATAN TAWANGHARJO KABUPATEN GROBOGAN

BAB I PENDAHULUAN. penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005),

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Data. B. Data Hujan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dewasa ini, masalah lingkungan telah menjadi isu pokok di kota-kota

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI. topik permasalahan yang lebih fokus. Analisa kinerja sistem polder Pluit ini dibantu

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses pengangkutan dan pengendapan sedimen tidak hanya tergantung pada

BAB I PENDAHULUAN. penghujan mempunyai curah hujan yang relatif cukup tinggi, dan seringkali

BAB I PENDAHULUAN. air. Kota Medan dilintasi oleh beberapa sungai termasuk diantaranya Sungai Sei

SKRIPSI SUYANTI X. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk lahan perumahan, industri sehingga terjadi. penyimpangan guna lahan yang mengakibatkan meluapnya aliran aliran

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

Perencanaan Sistem Drainase Perumahan Grand City Balikpapan

Surface Runoff Flow Kuliah -3

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Aplikasi Software FLO-2D untuk Pembuatan Peta Genangan DAS Guring, Banjarmasin

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN SISTEM DRAINASE PATUKANGAN-PEGULON KABUPATEN KENDAL

BAB II SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFRASTRUKTUR DATA SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN BANJIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISA DEBIT BANJIR SUNGAI BONAI KABUPATEN ROKAN HULU MENGGUNAKAN PENDEKATAN HIDROGRAF SATUAN NAKAYASU. S.H Hasibuan. Abstrak

KEBERADAAN, POTENSI DAN GAGASAN PEMANFAATAN SUNGAI MATI DI SEPANJANG SUNGAI CITARUM DAERAH BANDUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh

Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

ANALISIS POTENSI LIMPASAN PERMUKAAN (RUN OFF) DI KAWASAN INDUSTRI MEDAN MENGGUNAKAN METODE SCS

DEFt. W t. 2. Nilai maksimum deficit ratio DEF. max. 3. Nilai maksimum deficit. v = max. 3 t BAB III METODOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. atau beton, yang terletak melintang pada sebuah sungai yang tentu saja bangunan ini

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

4.17 PERENCANAAN DAN PEMETAAN GARIS SEMPADAN KALI SEMEMI

3 BAB III METODOLOGI

KAJIAN HUBUNGAN SIFAT HUJAN DENGAN ALIRAN LANGSUNG DI SUB DAS TAPAN KARANGANYAR JAWA TENGAH :

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Tinjauan Umum

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1 Jumlah Bencana Terkait Iklim di Seluruh Dunia (ISDR, 2011)

BAB IV HASIL PERHITUNGAN DAN ANALISA. Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Transkripsi:

Bab IV Pengembangan Model IV.1 Konsep Penentuan Nilai Indeks Banjir Konsep awal dari pengembangan model indeks banjir dalam penelitian ini adalah adanya suatu nilai yang dapat menggambarkan karakteristik banjir dari sisi hidrologi maupun hidrolik. Dari sisi hidrologi faktor dominan yang menyebabkan banjir adalah karakteristik hujan. Biasanya hujan yang mempunyai intensitas tinggi yang dapat menyebabkan tingginya hidrograf di outlet DAS atau sub DAS, sehingga menimbulkan banjir di sungai yang dilaluinya. Sedangkan dari sisi hidrolik adalah dampak hidrolis yang disebabkan oleh adanya banjir terhadap dataran banjir (flood plain) yaitu luas, kedalaman dan lama waktu genangan yang terjadi. Berdasarkan teori tentang indeks yang dijelaskan oleh Spiegel M.R. (1961) dalam bukunya Theory and Problems of Statistics, nilai indeks merupakan perbandingan atau rasio antara nilai yang ditinjau terhadap nilai pembanding. Untuk nilai indeks yang paling sederhana, pembanding yang dimaksud adalah nilai awal sebelum nilai yang ditinjau berubah sesuai fungsi waktu. Sedangkan agar nilai indeks lebih spesifik dapat mencirikan suatu karakteristik tertentu, maka dapat ditambahkan dengan beberapa variabel lain sehingga menjadi rasio antar kelompok variabel. Jenis maupun jumlah variabel dalam rasio tersebut adalah sama, ini tentunya sangat beralasan karena dengan membandingkan suatu nilai objek yang sama dari satu atau kelompok variabel akan menghilangkan satuan yang berbeda-beda, sehingga indeks menjadi sebuah nilai yang solid. Sedangkan dalam pengembangannya, nilai indeks dapat berupa nilai tunggal satu variabel atau jumlah dari beberapa variabel dalam satuan yang sama, seperti yang dapat dilihat dari studi terdahulu tentang indeks banjir sebagai berikut : - Flash Flood Potential Index, variabel indeks yang menentukan adalah variabel tunggal berupa besaran jumlah hujan pada nilai tertentu. Dalam hal ini indeks banjir masih mempunyai satuan, akan tetapi karena hanya satu variabel yang menentukan, maka penentuan nilai indeks tidak bermasalah. 83

- Indeks Banjir dalam disertasinya Sutanhaji, 2005 merupakan rasio antara nilai debit, nilai indeks tidak mempunyai satuan. - Coastal Flood Index, indeks banjir ini merupakan jumlah dari empat variabel yang berbeda, yaitu runup gelombang, tinggi gelombang, tinggi air pasang ramalan dan anomali tinggi air pasang ramalan. Meskipun masing-masing keempat variabel mempunyai satuan, akan tetapi karena satuannya sama yaitu satuan panjang, maka indeks dapat ditentukan. - Flood Index yang dikembangkan oleh Byun dan Wilhite, 1999, menggunakan rasio besaran hujan sebagai variabelnya, sehingga penentuan nilai indeks relatif mudah dilakukan. - Daily Flood Index adalah indeks banjir yang dikembangkan berdasarkan fungsi kumulatif banjir harian. Nilai indeks ini juga diturunkan hanya berdasarkan satu variabel, sehingga tidak bermasalah dengan satuan. Dari hasil analisis di atas baik teoritis maupun aplikatif yang sudah dikembangkan peneliti sebelumnya, nilai indeks dapat berupa : 1. Nilai tunggal dari satu variabel dengan satuan atau tanpa satuan, 2. Rasio dari variabel tunggal tanpa satuan, 3. Gabungan rasio variabel tunggal tanpa satuan dan 4. Jumlah dari beberapa variabel yang berbeda, akan tetapi mempunyai satuan yang sama. Sesuai dengan hipotesa awal bahwa indeks banjir yang dikembangkan merupakan gabungan dari beberapa variabel dengan satuan yang berbeda, maka konsep yang dapat dikembangkan oleh peneliti untuk nilai Indeks Banjir dalam penelitian ini sama dengan point (3) di atas yaitu gabungan dari empat rasio variabel tunggal yang dapat menggambarkan karakteristik banjir dari sisi hidrologi dan hidrolik. Keempat rasio variabel tersebut yaitu rasio debit inflow, rasio luas genangan, rasio kedalaman genangan dan rasio waktu genangan. Selanjutnya masing-masing rasio berturutan disebut sebagai Indeks Debit Inflow, Indeks Luas Genangan, Indeks Kedalaman Genangan dan Indeks Waktu Genangan. Dengan kata lain Indeks Banjir dapat juga dikatakan sebagai gabungan dari indek debit inflow, indeks luas genangan, indeks kedalaman dengan dan indeks waktu genangan. 84

Dari analisa di atas juga dapat diketahui bahwa nilai indeks didekati sesederhana mungkin dengan bentuk persamaan indeks disesuaikan, sehingga tujuan yang akan diperoleh atau ditampilkan dari nilai indeks tersebut dapat tercapai. Selanjutnya masing-masing indeks dan persamaan indeks banjir dijelaskan lebih rinci pada pasal di bawah ini. IV.1.1 Indeks Debit Inflow Yang dimaksud dengan debit inflow dalam penelitian ini adalah debit real time yang masuk ke sungai utama hasil simulasi rainfall runoff dari sebuah sub DAS atau jumlah dari beberapa sub DAS. Karena indeks yang didesain adalah indeks debit inflow yang merupakan bagian dari indeks banjir, maka tidak semua debit puncak dapat digunakan dalam menentukan nilai indeks debit. anya debit-debit puncak yang dapat menimbulkan banjir saja yang berpengaruh dalam menentukan indeks debit. Untuk menentukan debit puncak terkecil yang dapat mengakibatkan banjir, dilakukan simulasi rainfall runoff dengan data hujan puncak real time terhadap masing-masing sub DAS. Setiap simulasi hujan puncak terhadap satu sub DAS, hujan pada sub DAS yang lainnya sesuai dengan real time yang sama. Simulasi tersebut dimulai dari hujan terendah 1 jam sampai dengan hujan yang dapat menimbulkan banjir. Sehingga debit tersebut selanjutnya dinamakan debit minimum, Q min. Untuk menentukan debit puncak maksimum, dasar hukum yang dijadikan pegangan adalah perhitungan debit banjir rencana berdasarkan SNI 03-2415-1991. Dalam SNI ini periode ulang banjir untuk sungai direncanakan untuk 25 tahun. Atas dasar penjelasan di atas, maka Indeks Debit Inflow dirumuskan sebagai perbandingan antara debit banjir yang terjadi dikurangi debit minimum dengan tenggang debit antara maksimum dengan minimum seperti berikut : Q Q I t min Q = (IV.1) Q Q maks min 85

Dimana : I Q = Indeks debit inflow Q t Q min = debit saat kejadian banjir = debit minimum yang menyebabkan banjir Q maks = debit maksimum yang menyebabkan banjir Berdasarkan rumus di atas, maka nilai ideks yang akan diperoleh berkisar antara 0 sampai dengan 1. IV.1.2 Indeks Luas Genangan Yang dimaksud dengan luas genangan dalam penelitian ini adalah luas genangan yang terjadi pada dataran banjir akibat luapan air sungai sepanjang sungai yang dimodelkan. Besar kecilnya luas genangan yang terjadi merupakan fungsi besar kecilnya debit inflow, artinya semakin besar debit banjir akan semakin besar juga luas genangan yang terjadi. Berdasarkan kondisi tersebut di atas maka penurunan persamaan Indeks Luas Genangan analog dengan Indeks Debit Inflow. Dalam hal ini A min artinya luas genangan yang diakibatkan olek debit minimum dan A maks adalah luas genangan yang diakibatkan oleh debit maksimum. Berdasarkan analisis di atas maka dirumuskan bahwa Indeks Luas Genangan adalah perbandingan antara luas genangan yang terjadi dikurangi luas genangan minimum dengan selisih luas genangan maksimum dengan luas genangan minimum seperti berikut : I A A A t min = (IV.2) A A maks min Dimana : I A = Indeks luas genangan A t A min = luas genangan saat kejadian banjir = luas genangan minimum yang terjadi akibat banjir A maks = luas genangan maksimum yang terjadi akibat banjir Berdasarkan rumus di atas, maka nilai ideks yang akan diperoleh berkisar antara 0 sampai dengan 1. IV.1.3 Indeks Kedalaman Genangan Kedalaman genangan akibat banjir di dataran banjir sangat bervariasi, tergantung posisi dan elevasi tanah terhadap elevasi muka air yang terjadi. Dalam 86

kenyatannya di lapangan, data hasil observasi yang menyatakan kedalaman banjir tidak mempunyai posisi yang jelas dimana sebenarnya kedalaman tersebut berada dan sampai saat ini belum ada acuan yang menyatakan tentang hal tersebut. Akan tetapi data kedalaman yang disebutkan biasanya merupakan kedalaman maksimum yang terjadi saat banjir tersebut. Berdasarkan kenyataan di atas, maka sebagai pendekatan dalam penelitian ini bahwa kedalaman genangan yang dimaksud adalah rata-rata kedalaman maksimum dari zona kedalaman tertentu. Atau dalam bentuk persamaan turunan untuk mencari kedalaman genangan adalah sebagai berikut :.A +.A +.A +.A An n A1 1 A2 2 A3 3 = i Atotal (IV.3) Dimana : i = kedalaman genangan A 1, A 2, A 3, A n = luas genangan pada zona tertentu A1 = kedalaman pada zona tertentu A total = luas total genangan Akan tetapi karena dataran banjir dibuat dalam sistem grid yang terdiri dari banyak sel dan setiap sel mempunyai luas yang sama maka : A1 A 1 = A1 (n 1.A sel ) A2 A 2 = A2 (n 2.A sel ) A3 A 3 = A3 (n 3.A sel ) An A n = An (n n.a sel ) A total = n total. A sel Sehingga persamaan IV. 3 menjadi : i Dimana : A = sel (n 1 A1 + n 2 n A2 total + n.a 3 sel A3 + n atau (n + n + n + n ) 1 A1 2 A2 3 A3 n An = i n total (IV.4) n A4 ) n = jumlah sel yang mempunyai kedalaman sama n total = n 1 + n 2 + n 3 + n n = total jumlah sel yang tergenang 87

Kedalaman genangan masih merupakan fungsi dari besarnya debit yang mengakibatkan banjir, semakin besar debit banjir maka akan semakin dalam genangan yang terjadi pada suatu lokasi atau sel. Dengan demikian persamaan indeks kedalaman genangan masih analog dengan indeks debit banjir maupun indeks luas genangan seperti di bawah ini. t I min = maks min (IV.5) Dimana : I = Indeks kedalaman genangan t = kedalaman genangan rata-rata saat kejadian banjir min = kedalaman genangan minimum rata-rata terjadi maks = kedalaman genangan maksimum rata-rata terjadi IV.1.4 Indeks Waktu Genangan Sama halnya dengan kedalaman genangan, waktu genangan mempunyai harga yang berbeda untuk setiap posisi. Lebih spesifik lagi, untuk kedalaman maksimum yang sama pada posisi yang berbeda, belum tentu mempunyai waktu genangan yang sama. Dengan demikian sebagai patokan dalam menentukan waktu genangan dalam setiap kejadian banjir, ditentukan sebuah lokasi/posisi sel yang selalu terkena genangan banjir sejak awal kejadian banjir sampai surut. Pada lokasi-lokasi tertentu yang elevasi tanahnya lebih rendah dari elevasi tanah di sekelilingnya, apabila lokasi tersebut terkena luapan banjir, genangan akan sulit menjadi surut kembali. Dengan demikian waktu genangan tersebut ditentukan sejak terjadinya genangan sampai kedalaman muka air tetap tidak surut kembali. Berdasarkan konsep yang dijelaskan di atas, maka waktu genangan akan ada korelasinya dengan besarnya debit dan kedalaman genangan, sehingga dalam menurunkan persamaan Indeks Waktu Genangan analog juga dengan kedua persamaan tersebut. Indeks Waktu Genangan dirumuskan sebagai perbandingan antara waktu genangan yang terjadi pada saat kejadian banjir dikurangi waktu minimum banjir dengan tenggang waktu antara waktu genangan maksimum dengan minimum seperti berikut : 88

I T T t T = min (IV.6) T maks T min Dimana : I T = Indeks waktu genangan T t T min = waktu genangan saat kejadian banjir = waktu genangan minimum saat terjadi banjir T maks = waktu genangan maksimum saat terjadi banjir IV.1.5 Indeks Banjir Sesuai dengan konsep teori indeks (Spiegel M.R., 1961), perumusan indeks dimulai dari yang paling sederhana, penambahan variabel disesuaikan dengan tujuan karakteristik indeks yang akan dicapai. Dalam perumusan Indeks Banjir yang menjadi pokok masalah adalah bagaimana merumuskan nilai indeks dari beberapa karakteristik indeks yang sudah ada menjadi sebuah nilai indeks yang dapat mempresentasikan indeks-indeks pembentuknya. Dengan karakteristik indeks yang berbeda, maka persamaan sederhana Indeks Banjir yang dapat mengakomodasinya adalah sebagai berikut : I = ai + b. I + c. I + d. I (IV.7) B Q A T Untuk menghindari adanya nilai negatif karena adanya pengaruh vektor dari salah satu nilai indeks, maka dapat digunakan persamaan sebagai berikut : B Dimana : 2 2 2 2 [ ai + b I + c. I d. I ] 0, 5 I = + I B I Q I A I I T Q. A T = Indeks banjir = Indeks debit puncak = Indeks luas genangan = Indeks kedalaman genangan = Indeks waktu genang a, b, c, d adalah konstanta variabel laten hasil simulasi PLS. (IV.8) IV.2 Klasifikasi Nilai Indeks Banjir Seperti yang sudah disinggung pada pasal III.3.1 bahwa diperlukan klasifikasi dalam menentukan Indeks Banjir. Klasifikasi tersebut diturunkan dari variabel- 89

variabel pembentuk Indeks Banjir, yaitu debit inflow, luas genangan, kedalaman genangan dan waktu genangan. Berikut ini adalah klasifikasi variabel Indeks Banjir yang digolongkan berdasarkan karanteristik masing-masing variabel tersebut. IV.2.1 Klasifikasi Debit Inflow Karena dalam penentuan Indeks Banjir debit yang diperhitungkan adalah besarnya debit yang menyebabkan terjadinya banjir, maka debit minimum adalah debit terkecil yang menyebabkan saat mulai terjadi banjir. Sedangkan debit maksimum adalah debit terbesar yang mungkin terjadi akibat dari kemungkinan hujan maksimum terjadi pada DAS tersebut. Adapun debit rata-rata adalah rata-rata dari nilai debit yang dapat menyebabkan banjir. Berdasarkan analisis di atas, maka peneliti mengklasifikasikan dua kondisi debit yang dapat menyebabkan banjir, yaitu debit yang berada antara minimum dan rata-rata dengan debit yang berada antara rata-rata dan maksimum, seperti diilustrasikan pada gambar di bawah ini. Q di bawah rata-2 Q di atas rata-2 Q min Q rata-rata Q maks Gambar IV.1 Klasifikasi Debit Inflow IV.2.2 Klasifikasi Luas Genangan Luas genangan merupakan fungsi dari besarnya debit yang menyebabkan banjir di daerah genangan, oleh karena itu peneliti menurunkan pendekatan klasifikasi luas genangan didasarkan pada besaran debit yang masuk ke daerah genangan tersebut. Sehingga klasifikasi yang diperoleh analog dengan klasifikasi debit inflow yaitu : 1. Luas genangan antara minimum dan rata-rata 2. Luas genangan antara rata-rata dan maksimum 90

IV.2.3 Klasifikasi Kedalaman Genangan Dalam menurunkan klasifikasi kedalaman genangan akibat banjir, dasar yang digunakan adalah analisis dampak banjir terhadap bangunan, infrastruktur, pertanian dan lain-lain. Mengingat kondisi nyata di lokasi studi kasus, kondisi tata guna lahan yang ada di dataran banjir didominasi oleh aspek pemukiman, pertanian dan industri, maka klasifikasi kedalaman didasarkan atas ketiga aspek tersebut. Berdasarkan hasil investigasi baik wawancara langsung dengan masyarakat di lapangan maupun dengan nara sumber yang berkompeten dari ketiga aspek di atas, maka kedalaman genangan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kondisi. Ketiga kondisi tersebut adalah kedalaman genangan rendah, kedalaman genangan sedang dan kedalaman genangan tinggi. asil analisis terhadap korban banjir yang sering terjadi dan berulang-ulang terjadi di sekitar DAS Citarum ulu menunjukkan bahwa ada empat faktor yang dapat dipakai sebagai indikator dalam menentukan klasifikasi banjir berdasarkan kedalaman genangan terhadap pemukiman, yaitu keselamatan jiwa, kelayakan rumah tinggal untuk ditempati sementara, keamanan terhadap harta/barang berharga dan kesempatan untuk menyelamatkan barang-barang berharga. Secara lebih terinci analisis klasifikasinya dapat dilihat seperti pada tabel berikut : Tabel IV.1 Matrik Analisis Klasifikasi Kedalaman Genangan Terhadap Pemukiman Kedalaman Genangan untuk kawaasan Keselamatan Jiwa Kelayakan tinggal sementara di Keamanan terhadap barang Kesempatan untuk menyelamatkan barang berharga Pemukiman rumah berharga 0,3 m Aman Masih bisa Masih aman Dapat diselamatkan 0,3 0,5 m Sebagian besar tidak aman, trutama anak-anak Tidak bisa Sebagian besar tidak aman Sebagian besar sudah tidak bisa diselamatkan >0,5 m Tidak aman Tidak bisa Tidak aman Tidak bisa diselamatkan Catatan : ini hanya berlaku untuk rumah tinggal satu lantai Berdasarkan matrik di atas maka klasifikasi kedalaman genangan berdasarkan dampak terhadap aspek pemukiman dapat dibagi menjadi tiga yaitu kedalaman 91

rendah dibawah 30 cm, kedalaman sedang antara 30 cm sampai dengan 50 cm dan kedalaman tinggi di atas 50 cm. Karena sawah merupakan lahan utama dalam memproduksi bahan pangan utama (padi) untuk kepentingan masyarakat, maka sawah sering dijadikan indikator aspek pertanian terhadap dampak terjadinya banjir. al tersebut di atas sesuai dengan kondisi di lokasi studi kasus bahwa sektor pertanian yang dominan di dataran banjir adalah sawah. Oleh karena itu dalam penelitian ini sawah dijadikan sebagai lahan yang dianalisis dalam mengklasifikasi kedalaman banjir terhadap pertanian. Secara lebih terinci analisis klasifikasinya dapat dilihat seperti pada tabel berikut : Tabel IV.2 Matrik Analisis Klasifikasi Kedalaman Genangan Terhadap Pertanian Kedalaman Genangan untuk kawasan Ketahanan Tubuh Tanaman Terhadap Pengaruh terhadap produksi Resiko Langsung Tidak tumbuh (mati) Pertanian Genangan 0,2 m Masih tahan Tidak berpengaruh Tidak beresiko 0,2 0,4 m Kurang tahan Produksi dapat Ada kemungkinan mati berkurang >0,4 m Tidak tahan Tidak berproduksi Cenderung mati Dari tabel di atas, maka klasifikasi kedalaman genangan terhadap sektor pertanian dapat dibagi ke dalam kedalaman rendah apabila genangan di sawah lebih kecil dari 20 cm, kedalaman sedang apabila genangan antara 20 cm sampai dengan 40 cm dan kedalaman tinggi apabila kedalaman genangan di atas 40 cm. Sedangkan untuk kawasan industri klasifikasi didasarkan pada posisi perletakkan mesin-mesin pada fundasinya. Berdasarkan informasi dari nara sumber tinggi fundasi untuk perletakkan mesin industri khususnya tekstil yang banyak di wilayah studi adalah rata-rata 25 cm dari lantai. Dan kondisi ekstrim yang masih mungkin terjadi sampai genangan 40 cm, dengan penghentian operasi mesin 6 jam untuk menurunkan muka air sampai di bawah 25 cm. Berdasarkan kondisi tersebut analisis klasifikasi kedalaman genangan untuk kawasan industri dapat dirinci dalam tabel berikut : 92

Tabel IV.3 Matrik Analisis Klasifikasi Kedalaman Genangan Terhadap Kawasan Industri Kedalaman Genangan Keamanan terhadap Pengaruh terhadap produksi untuk Kawasan Industri Operasional mesin indutri 0,25 m Masih aman Masih bisa berproduksi 0,25 0,4 m Kurang aman Produksi berhenti sementara >0,4 m Tidak aman Tidak berproduksi Dari tabel di atas, maka klasifikasi kedalaman genangan terhadap kawasan industri dapat dibagi ke dalam tiga kelas, yaitu kedalaman rendah apabila genangan lebih kecil dari 25 cm, kedalaman sedang apabila genangan antara 25 cm sampai dengan 40 cm dan kedalaman tinggi apabila genangan di atas 40 cm. IV.2.4 Klasifikasi Waktu Genangan Meskipun waktu genangan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia dan pertanian (khususnya tanaman padi) akan tetapi terhadap keduanya masih ada toleransi dengan lamanya genangan, sedangkan untuk operasional mesin-mesin industri dapat dikatakan tidak ada toleransi lagi. Dengan demikian klasifikasi waktu genangan hanya dapat dilakukan terhadap sektor pertanian dan kesehatan masyarakat. Padi akan mati setelah tergenang selama tiga hari berturut-turut (Kriteria Perencanaan Irigasi), maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Tabel IV.4 Matrik Analisis Klasifikasi Waktu Genangan Terhadap Kawasan Pertanian Waktu Genangan untuk Kawasan Pertanian T 3 hari T > 3 hari Kelangsungan idup Tanaman Padi Masih bertahan Mati Berdasarkan tabel di atas maka klasifikasi waktu genangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu waktu genangan aman di bawah 3 hari dan waktu genangan tidak aman di atas 3 hari. 93

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan terhadap lokasi-lokasi genangan di dataran banjir DAS Citarum ulu (Wangsaatmaja, S., 2004), lama waktu genang berpengaruh terhadap dampak kesehatan masyarakat yang terkena genangan. asil penelitian tersebut mengklasifikasikan dampak waktu genangan sebagai berikut : Tabel IV.5 Klasifikasi Lama Genangan Klasifikasi Lama Genangan Lama Genangan (hari) Tidak Lama 0-7 Sedang 7-21 Lama > 21 Sumber : Wangsaatmaja, S., 2004 IV.3 Zonasi Indeks Banjir Apabila dalam suatu kawasan terjadi beberapa genangan banjir yang mempunyai beda luasan yang signifikan, maka terhadap masing-masing kawasan tersebut dapat dibuat nilai Indeks Banjir rata-rata. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan seperti pada gambar IV. 2 di bawah ini : Indeks Banjir Banjaran Indeks Banjir Rancaekek Indeks Banjir Dayeuh Kolot Gambar IV.2 Gambar Potensi Daerah Banjir di Citarum ulu (banjir terjadi pada elevasi dibawah + 660 m dpl) 94