BAB II JARINGAN LONG TERM EVOLUTION (LTE)

dokumen-dokumen yang mirip
oleh Ivan Farrell Setiono NIM :

BAB II DASAR TEORI. DFTS-OFDM maupun nilai PAPR pada DFTS-OFDM yang membuat DFTS-OFDM menjadi

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

Teknologi Seluler. Pertemuan XIV

BAB II LANDASAN TEORI

Agus Setiadi BAB II DASAR TEORI

ANALISIS UNJUK KERJA TEKNIK MIMO STBC PADA SISTEM ORTHOGONAL FREQUENCY DIVISION MULTIPLEXING

3.6.3 X2 Handover Network Simulator Modul Jaringan LTE Pada Network Simulator BAB IV RANCANGAN PENELITIAN

Pengenalan Teknologi 4G

BAB II LANDASAN TEORI

ANDRIAN SULISTYONO LONG TERM EVOLUTION (LTE) MENUJU 4G. Penerbit Telekomunikasikoe

Teknik Multiple Akses FDMA, TDMA, CDMA

Multiple Access. Downlink. Handoff. Uplink. Mobile Station Distributed transceivers Cells Different Frequencies or Codes

BAB I PENDAHULUAN. Akhir yang berjudul Discrete Fourier Transform-Spread Orthogonal Frequency Division

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi nirkabel mulai dari generasi 1 yaitu AMPS (Advance Mobile Phone

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III PEMODELAN MIMO OFDM DENGAN AMC

Perkembangan Teknolgi Wireless: Teknologi AMPS Teknologi GSM Teknologi CDMA Teknologi GPRS Teknologi EDGE Teknologi 3G, 3.5G Teknologi HSDPA, HSUPA

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan kebutuhan manusia untuk dapat berkomunikasi di segala tempat,

SISTEM KOMUNIKASI BEGERAK WHAT TECHNOLOGY ABOUT THIS???

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan kebutuhan manusia untuk dapat berkomunikasi di segala tempat,

I. PENDAHULUAN. telekomunikasi berkisar 300 KHz 30 GHz. Alokasi rentang frekuensi ini disebut

TEKNOLOGI JARINGAN AKSES

BAB II TEORI DASAR. Gambar 2.2. Arsitektur Jaringan LTE a. User Equipment (UE) merupakan terminal di sisi penerima

Handbook Edisi Bahasa Indonesia

WIRELESS & MOBILE COMMUNICATION ARSITEKTUR JARINGAN SELULER

BAB II LANDASAN TEORI

ANALISIS UNJUK KERJA CODED OFDM MENGGUNAKAN KODE CONVOLUTIONAL PADA KANAL AWGN DAN RAYLEIGH FADING

Teknologi Komunikasi Data Seluler. Adri Priadana ilkomadri.com

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Pemancar dan Penerima Sistem MC-CDMA [1].

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bab II Landasan teori

MULTIPLEXING. Ir. Roedi Goernida, MT. Program Studi Sistem Informasi Fakultas Rekayasa Industri Institut Teknologi Telkom Bandung

ARSITEKTUR DAN KONSEP RADIO ACCESS

BAB I PENDAHULUAN. Analisa kelayakan..., Deris Riyansyah, FT UI, Universitas Indonesia

BAB IV PEMODELAN SIMULASI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan masyarakat Indonesia akan informasi dan komunikasi terus

Analisa Kinerja Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM) Berbasis Perangkat Lunak

EVALUASI PENGGUNAAN ALGORITMA GENETIKA UNTUK MENYELESAIKAN PERSOALAN PENGALOKASIAN RESOURCE BLOCK PADA SISTEM LTE ARAH DOWNLINK

1.2 Tujuan dan Manfaat Tujuan tugas akhir ini adalah: 1. Melakukan upgrading jaringan 2G/3G menuju jaringan Long Term Evolution (LTE) dengan terlebih

Universal Mobile Telecommunication System

BAB III DISCRETE FOURIER TRANSFORM SPREAD OFDM

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

6.2. Time Division Multiple Access (TDMA)

BAB II DASAR TEORI. Dasar teori yang mendukung untuk tugas akhir ini adalah teori tentang device atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Studi Perencanaan Jaringan Long Term Evolution (LTE) Pada Spektrum 1800 MHz Area Kota Bandung Menggunakan Teknik FDD, Studi Kasus PT.

LAPISAN FISIK PADA TEKNOLOGI LONG TERM EVOLUTION (LTE) DI PT TELKOM R&D CENTER BANDUNG

PERENCANAAN ANALISIS UNJUK KERJA WIDEBAND CODE DIVISION MULTIPLE ACCESS (WCDMA)PADA KANAL MULTIPATH FADING

Apa perbedaan antara teknik multiplex dan teknik multiple access??

DISCRETE FOURIER TRANSFORM-SPREAD ORTHOGONAL FREQUENCY DIVISION MULTIPLEXING PADA JARINGAN GENERASI KEEMPAT (4G)

SISTEM SELULAR. Pertemuan XIV

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG

BAB II SISTEM TELEKOMUNIKASI SELULAR UTRA-TDD

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi telekomunikasi yang semakin pesat dan kebutuhan akses data melahirkan salah satu jenis

DAFTAR ISTILAH. sistem seluler. Bit Error Rate (BER) : peluang besarnnya bit salah yang mungkin terjadi selama proses pengiriman data

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

ANALISIS MANAJEMEN INTERFERENSI JARINGAN UPLINK 4G-LTE DENGAN METODE INNERLOOP POWER CONTROL DI PT TELKOMSEL

BAB 1 I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. kebutuhan informasi suara, data (multimedia), dan video. Pada layanan

BAB I PROTOKOL KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Konsep global information village [2]

KINERJA TEKNIK SINKRONISASI FREKUENSI PADA SISTEM ALAMOUTI-OFDM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini membahas literatur yang mendukung penelitian di antaranya adalah Long

Kajian Implementasi Standar Long-Term Evolution (LTE) pada Sistem Komunikasi Taktis Militer

Teknik Transmisi Seluler (DTG3G3)

PERBANDINGAN KINERJA ANTARA OFDM DAN OFCDM PADA TEKNOLOGI WiMAX

MAKALAH KOMUNIKASI DIGITAL

SIMULASI DAN EVALUASI PACKET DATA LOSS TRANSMISI VIDEO PADA JARINGAN LTE ( LONG TERM EVOLUTION ) ABSTRAK

ANALISIS KINERJA SISTEM KOOPERATIF BERBASIS MC-CDMA PADA KANAL RAYLEIGH MOBILE DENGAN DELAY DAN DOPPLER SPREAD

Analisis Throughput Pada Sistem MIMO dan SISO ABSTRAK

Simulasi MIMO-OFDM Pada Sistem Wireless LAN. Warta Qudri /

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PENS SISTIM SELULER GENERASI 2 POLITEKNIK ELEKTRONIKA NEGERI SURABAYA By: Prima Kristalina

Analisa Kinerja Alamouti-STBC pada MC CDMA dengan Modulasi QPSK Berbasis Perangkat Lunak

Aplikasi Multiplexer -8-

Alfi Zuhriya Khoirunnisaa 1, Endah Budi Purnomowati 2, Ali Mustofa 3 1,2,3 Jurusan Teknik Elektro Universitas Brawijaya

OFDM : Orthogonal Frequency Division Multiplexing

BAB I PENDAHULUAN I-1

ANALISIS PENERAPAN MODEL PROPAGASI ECC 33 PADA JARINGAN MOBILE WORLDWIDE INTEROPERABILITY FOR MICROWAVE ACCESS (WIMAX)

BAB II ORTHOGONAL FREQUENCY DIVISION MULTIPLEXING (OFDM) (multicarrier) yang saling tegak lurus (orthogonal). Pada prinsipnya, teknik OFDM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II DASAR TEORI. Dalam sistem komunikasi seluler, informasi dipertukarkan di antara mobile

Evolusi Teknologi Wireless Seluler menuju HSDPA

TUGAS AKHIR ANALISIS KINERJA ORTHOGONAL FREQUENCY DIVISION MULTIPLEXING PADA SISTEM DVB-T (DIGITAL VIDEO BROADCASTING TERRESTRIAL)

TUGAS AKHIR UNJUK KERJA MIMO-OFDM DENGAN ADAPTIVE MODULATION AND CODING (AMC) PADA SISTEM KOMUNIKASI NIRKABEL DIAM DAN BERGERAK

Bit Error Rate pada Sistem MIMO MC-CDMA dengan Teknik Alamouti-STBC

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014

BAB IV METODE-METODE UNTUK MENURUNKAN NILAI PAPR

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENGUJIAN TEKNIK FAST CHANNEL SHORTENING PADA MULTICARRIER MODULATION DENGAN METODA POLYNOMIAL WEIGHTING FUNCTIONS ABSTRAK

BAB II CODE DIVISION MULTIPLE ACCESS (CDMA) CDMA merupakan singkatan dari Code Division Multiple Access yaitu teknik

SISTEM KOMUNIKASI CDMA Rr. Rizka Kartika Dewanti, TE Tito Maulana, TE Ashif Aminulloh, TE Jurusan Teknik Elektro FT UGM, Yogyakarta

1 BAB I PENDAHULUAN. Long Term Evolution (LTE) menjadi fokus utama pengembangan dalam bidang

BAB IV HASIL SIMULASI DAN ANALISIS

Transkripsi:

BAB II JARINGAN LONG TERM EVOLUTION (LTE) Pada bab dua ini akan dibahas mengenai evolusi jaringan komunikasi bergerak seluler, jaringan Long Term Evolution (LTE). Lalu penjelasan mengenai dasar Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM) yang merupakan sistem yang digunakan dalam jaringan LTE. 2.1. Evolusi Jaringan Komunikasi Bergerak Seluler Teknologi komunikasi pada saat ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan dibanding beberapa tahun yang lalu. Pada era modern ini, hampir seluruh masyarakat menggunakan teknologi komunikasi ini dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memahami teknologi komunikasi ini, sebaiknya mengerti juga awal perkembangannya. Pengguna perangkat komunikasi menginginkan kemampuan mobilitas, maka telah dikembangkan komunikasi nirkabel yang dapat diwujudkan dengan penggunaan frekuensi radio. Pada awal tahun 1980-an, muncullah jaringan seluler generasi pertama (1G) dan jaringan ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sistem jaringan selular 1G ini menggunakan sistem analog dengan kecepatan rendah yang dikenal dengan teknologi Advanced Mobile Phone System (AMPS). Teknologi AMPS bekerja pada pita frekuensi 800 MHz dan menggunakan Frequency Division Multiple Access (FDMA) sebagai metode aksesnya. Dengan menggunakan FDMA, pengguna dibedakan berdasarkan frekuensi yang digunakan dan tidak boleh ada dua pengguna atau lebih yang menggunakan kanal yang sama pada saat yang bersamaan, dengan setiap pengguna menggunakan kanal sebesar 30 KHz. Hal ini menyebabkan alokasi frekuensi semakin meningkat, jika pelanggan bertambah. Dapat dikatakan penggunaan spektrum radio pada AMPS tidak efisien sehingga mengakibatkan keterbatasan kapasitas trafik. Keterbatasan teknologi radio analog AMPS dan sistem lain yang menggunakan FDMA dalam hal kapasitas trafik menjadi pemicu munculnya jaringan seluler generasi kedua (2G) karena pesatnya pertumbuhan pasar seluler. Hal ini dimungkinkan dengan berkembangnya elektronika digital dan sistem komunikasi digital. Penggunaan spektrum radio yang tidak efisien diperbaiki dengan teknik akses jamak yang baru yaitu Time Division Multiple Access (TDMA) yang digunakan pada sistem seluler Global 5

6 System for Mobile Communications (GSM). TDMA memungkinkan satu frekuensi pembawa digunakan oleh beberapa pengguna dengan cara satu frekuensi dibagi dalam beberapa slot waktu. GSM beroperasi pada pita frekuensi 900 MHz dengan lebar pita 25 MHz. Lebar pita ini dibagi menjadi 124 frekuensi permbawa yang terdiri dari 200 KHz untuk setiap pembawa. Frekuensi pembawa 200 KHz ini lalu dibagi menjadi 8 slot waktu dengan setiap pengguna akan melakukan dan menerima panggilan dalam satu slot waktu. Selain TDMA, dikembangkan teknik akses Code Division Multiple Access (CDMA) yang digunakan pada standar seluler CDMA IS-95. Dengan menggunakan CDMA, pengguna tidak dibedakan berdasarkan frekuensi dan waktu. Pengguna dapat dilayani dengan frekuensi yang sama dan waktu yang bersamaan. Pembeda untuk tiap pengguna terletak pada penggunaan kode yang unik untuk masing-masing pengguna, sehingga tidak saling menginteferensi. Komunikasi yang mendasar adalah layanan suara dan data kecepatan rendah yang dapat diakomodasi pada laju 9,6 14,4 kbps. Pada akhir tahun 1990-an, jaringan internet berkembang sehingga menuntut penyediaan layanan internet dan multimedia kecepatan tinggi. Hal ini menyebabkan juga timbulnya kebutuhan akses internet dengan kondisi mobilitas yang tinggi, sehingga membutuhkan sistem seluler yang mampu mendukung kecepatan transmisi yang lebih tinggi dibandingkan GSM. Lalu muncullah teknologi 2.5G yang mempunyai kemampuan lebih cepat dalam mentransfer data. Dalam teknologi 2.5G ini, muncul istilah yang dikenal dengan General Packet Radio Service (GPRS) dan Enhanced Data for Global Evolution (EDGE). GPRS dan EDGE menggunakan frame dan slot waktu yang sama dengan GSM sehingga tidak mengalami perubahan teknik akses jamak, tetapi satu pengguna dapat memperoleh alokasi slot waktu lebih dari satu untuk mendapatkan kecepatan data lebih tinggi. Teknologi komunikasi seluler generasi ketiga (3G) bertujuan untuk memberikan kecepatan akses data yang lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi 2G dan 2.5G. Teknologi 3G menjanjikan laju transmisi data yang ditawarkan sebesar 144-384 kbps. Jaringan 3G Universal Mobile Telecommunication Service (UMTS) merupakan sistem dengan jalur evolusi GSM. UMTS menggunakan teknik modulasi Wideband CDMA (WCDMA). Penekanan pada perubahan teknik akses jamak ini untuk mendapatkan laju bit yang lebih tinggi karena spektrum lebih lebar untuk menyediakan lebar pita yang lebih tinggi. Selain laju data meningkat, keuntungan lain yang melampaui sistem 2G

7 adalah penggunaan alokasi slot waktu yang fleksibel yaitu satu pengguna boleh memakai lebih dari satu slot waktu untuk mendapatkan laju data yang tinggi. Permintaan akan tingginya tingkat layanan komunikasi nirkabel dengan kecepatan yang sangat cepat dan diperkirakan akan meningkat lebih lanjut dalam tahun-tahun mendatang. 2.1.1. Teknologi LTE Teknologi komunikasi seluler generasi keempat (4G) atau yang lebih dikenal dengan teknologi LTE dirancang untuk meningkatkan kapasitas dan kecepatan jaringan komunikasi bergerak. Teknologi ini akan mendukung aplikasi multimedia dengan persyaratan yang sangat berbeda dalam hal bit rate dan latency. Teknologi LTE dikembangkan oleh 3rd Generation Partnership Project (3GPP). LTE menjanjikan kecepatan downlink hingga 100 Mbps dan kecepatan uplink hingga 50 Mbps. Berikut adalah perkembangan telekomunikasi menurut 3GPP. WCDMA HSDPA/HSUPA HSPA+ LTE 3GPP Release 99/4 3GPP Release 5/6 3GPP Release 7/8 3GPP Release 8 Gambar 2.1. Evolusi 3GPP. Perubahan yang signifikan pada teknologi 4G dibanding teknologi sebelumnya adalah bentuk arsitektur yang menggunakan antena Multiple Input Multiple Output (MIMO) dan penggunaan OFDM sebagai teknik aksesnya.

8 Tujuan teknologi 4G ini adalah sebagai berikut. [4] 1. Perlunya kesinambungan daya saing sistem 3G di masa depan 2. Permintaan pengguna untuk kecepatan data dan Quality of Service (QoS) yang lebih tinggi 3. Pengembangan teknologi packet switching 4. Mengurangi biaya CAPEX (Capital Expenditure) dan OPEX (Operating Expenditure) 2.1.2. Arsitektur LTE Arsitektur jaringan LTE dirancang untuk mendukung trafik packet switching, Quality of Service, dan latency yang kecil. Latency adalah waktu yang dibutuhkan oleh suatu perangkat untuk mengirimkan pesan dari suatu titik ke titik lainnya. Dengan latency yang semakin kecil, pengiriman pesan akan menjadi semakin cepat. Packet switching merupakan suatu metode untuk mengirimkan data atau pesan dengan cara memisahkan pesan yang panjang ke dalam unit-unit kecil (paket) yang berukuran tetap. Tiap paket berisi info control. Info control berisi informasi agar paket bisa melalui jaringan dan mencapai alamat tujuan. Pesan yang lengkap disusun ulang ketika semua paket telah sampai. Teknologi packet switching ini memperbolehkan semua layanan termasuk layanan suara menggunakan sistem paket. Oleh karena itu, arsitektur jaringan LTE dirancang dengan hanya terdiri dari dua node yaitu enodeb dan Mobility Management Entity. LTE memiliki Radio Access Network sendiri yang bernama Evolved UMTS Terrestrial Radio Access Network (E-UTRAN). Jaringan intinya disebut Evolved Packet Core (EPC). EPC bersifat all-ip dan mudah berinterkoneksi dengan jaringan IP lainnya, termasuk Wi-Fi dan WiMAX. Arsitektur umum LTE ditunjukkan pada Gambar 2.2.

9 Gambar 2.2. Diagram Arsitektur LTE [5]. Diagram arsitektur LTE dijelaskan sebagai berikut. [5] 1. enodeb Jaringan akses dari teknologi LTE adalah enodeb. Fungsi dari enodeb adalah pengawasan dan kontrol pengiriman isyarat radio. Selain itu enodeb berfungsi untuk memeriksa kelayakan data yang melewati jaringan enodeb. 2. Mobility Management Entity Inti dari teknologi LTE adalah Mobility Management Entity (MME). MME memiliki peran untuk melakukan proses transmisi dengan cara mengatur mengatur handover. Handover yang diatur adalah handover antar MME, handover dengan jaringan akses 2G atau jaringan akses 3G, dan handover antar enodeb. 3. Serving Gateway Serving Gateway (SGW) terdiri dari dua bagian yaitu 3GPP Anchor dan SAE Anchor (System Architecture Evolution Anchor). 3GPP Anchor berfungsi sebagai gateway paket data yang berasal dari jaringan 3GPP, sedangkan SAE Anchor berfungsi sebagai gateway jaringan non-3gpp. SGW merutekan dan

10 menjalankan paket data pengguna dan juga berfungsi sebagai mobility anchor saat handover antar enodeb dan untuk menghubungkan LTE dengan jaringan 2G dan jaringan 3G. 4. Home Subscriber Server Home Subscriber Server (HSS) adalah database utama yang ada pada jaringan LTE. Dalam rangka memenuhi persyaratan dari IMT Advanced tentang 4G, maka LTE mempunyai beberapa persyaratan sebagai berikut [6]. 1. Lebar pita yang berskala E-UTRAN dapat beralokasi pada lebar pita yang berbeda-beda, yaitu 1.25 MHz, 2.5 MHz, 5 MHz, 10 MHz, 15 MHz, 20 MHz baik pada uplink maupun downlink. 2. Maksimum laju data sebesar 100 Mbps untuk downlink dan 50 Mbps untuk uplink dengan alokasi spektrum lebar pita 20 MHz 3. Mencapai 200 pengguna aktif dalam setiap 5 MHz sel 4. User-plane latency kurang dari 5 milidetik 5. Pilihan spektrum frekuensi yang dapat disesuaikan dengan jaringan saat ini yaitu band GSM, CDMA, UMTS (450, 700, 850, 900, 1700, 1800, 1900, 2100, 2500 MHz) 6. Mendukung baik untuk operasi Frequency Divison Duplex (FDD) maupun Time Division Duplex (TDD)

11 2.1.3. Aspek Antarmuka Radio LTE Spesifikasi jaringan 4G atau jaringan LTE terdiri dari empat bagian, yaitu teknik akses radio, teknik akses jamak, transmisi Multiple Output Multiple Input (MIMO), dan modulasi yang digunakan dalam jaringan LTE. Empat bagian tersebut dijelaskan sebagai berikut. [7] 1. Teknik Akses Radio Dalam sistem komunikasi, kemampuan jaringan untuk melakukan komunikasi dalam dua arah atau yang biasa disebut dalam ilmu komunikasi adalah full duplex sangat penting. Untuk melakukan komunikasi dua arah, maka perlu digunakan suatu teknik yaitu teknik duplex. Teknik duplex yang digunakan pada umumnya adalah teknik Frequency Division Duplex (FDD) dan Time Division Duplex (TDD). FDD adalah sebuah teknik komunikasi dua arah, dengan perangkat salah satu ujung pemancar menggunakan frekuensi yang berbeda. Hal ini memungkinkan komunikasi simultan dua arah tanpa gangguan. Dengan menggunakan teknik FDD ini, dimungkinkan untuk mengirim dan menerima isyarat dengan frekuensi yang berbeda. Sedangkan TDD adalah teknik yang memungkinkan sebuah frekuensi dan digunakan oleh semua kanal untuk dapat digunakan sekaligus dalam mengirim dan menerima data. Kemudian setiap kanal dibagi menjadi beberapa slot waktu yang berbeda. Teknik FDD lebih banyak menggunakan spektrum frekuensi sehingga teknik FDD lebih baik dalam hal menangani latency dibandingkan dengan teknik TDD karena dengan teknik TDD kanal harus menunggu waktu pemrosesan dalam multiplexing.

12 2. Teknik Akses Teknik akses yang digunakan pada transmisi arah downlink dan transmisi arah uplink dalam jaringan LTE berbeda. Pada transmisi arah downlink, jaringan LTE menggunakan teknik akses Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM) sedangkan pada transmisi arah uplink menggunakan teknik akses Single Carrier-Frequency Division Multiple Access (SC-FDMA). Berikut ini adalah gambar mengenai transmisi arah downlink dan transmisi arah uplink. Gambar 2.3. Arah Transmisi pada Jaringan LTE. [7]. Gambar 2.3 menjelaskan arah transmisi baik arah transmisi downlink dan arah transmisi uplink untuk jaringan LTE. Pada arah transmisi downlink, arah komunikasi berasal dari enodeb menuju ke pengguna sedangkan untuk arah transmisi uplink, arah komunikasi berasal dari pengguna menuju ke enodeb.

13 3. Konfigurasi Antena pada Jaringan LTE Konfigurasi antena digunakan untuk mengoptimalkan kinerja pada jaringan LTE. Konfigurasi ini mengkombinasikan jumlah antenna sesuai dengan sistem yang diinginkan. Berikut adalah beberapa konfigurasi antena dalam jaringan LTE. a. Single Input Multiple Output (SIMO) Pada konfigurasi ini hanya digunakan satu antena pada ENodeB dan User Equipment (UE) harus memiliki minimal dua antena penerima seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.4. Konfigurasi ini disebut Single Input Multiple Output (SIMO) atau receive diversity. Konfigurasi ini diimplementasikan menggunakan teknik Maximum Ratio Combining (MRC) pada aliran data yang diterima untuk memperbaiki SNR pada kondisi propagasi yang buruk, sehingga isyarat yang akan diproses selanjutnya adalah isyarat dengan kualitas SNR yang baik. Gambar 2.4. Konfigurasi SIMO [7].

14 b. Multiple Input Single Output (MISO) Pada konfigurasi ini jumlah antena yang digunakan pada sisi penerima lebih dari satu seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5. Konfigurasi antena ini digunakan untuk skema transmit diversity dan beam forming yang berbeda. Tujuan utama beam forming adalah untuk memperbaiki SNR dan tentunya memperbaiki kapasitas sistem dan daerah layanan. Gambar 2.5. Konfigurasi MISO [7]. c. Multiple Input Multiple Output (MIMO) Teknik ini menggunakan antena lebih dari satu, baik di penerima maupun di pengirim. Teknik ini dapat digunakan untuk meningkatkan laju bit dan perbaikan Bit Error Rate (BER). Transmisi dengan teknik MIMO mendukung konfigurasi dua atau empat antena pengirim dan dua atau empat antena penerima. Konfigurasi MIMO yang mungkin pada arah downlink adalah MIMO 2x2, MIMO 2x4, MIMO 4x2, dan MIMO 4x4. Akan tetapi UE dengan 4 antena penerima yang dibutuhkan untuk konfigurasi MIMO 4x4 hingga saat ini masih belum diimplementasikan.

15 Gambar 2.6. Konfigurasi MIMO : (a) spatial multiplexing dan (b) transmit diversity [7]. Pada umumnya teknik MIMO terdiri atas teknik spatial multiplexing dan transmit diversity seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6. Teknik spatial multiplexing mengirimkan data yang berbeda pada masing-masing antena pemancar seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6(a), sedangkan teknik transmit diversity mengirimkan data yang sama pada masing-masing antena pemancar seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6(b).

16 2.2. Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM) Pada jaringan 4G ini, transmisi arah downlink menggunakan suatu teknik yaitu Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM). Pada subbab ini akan dijelaskan tentang prinsip dasar ODFM, proses modulasi dalam OFDM, OFDM Guard Interval, OFDM Guard Band, dan BER pada sistem OFDM. OFDM adalah skema transmisi paralel dengan aliran data serial yang dibagi menjadi beberapa kelompok aliran data, dan masing-masing dimodulasi secara terpisah. Dengan demikian, lebar pita subpembawa menjadi kecil dibandingkan dengan lebar pita kanal. Subpembawa pada OFDM dibuat orthogonal supaya menghemat lebar pita, sehingga spektrum antar subpembawa bersebelahan bisa saling tumpang tindih asal pada saat subpembawa satu bernilai nol, subpembawa sebelahnya mencapai nilai peak, begitu seterusnya seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.7. Gambar 2.7. Teknik Modulasi Multicarrier (a) FDM (b) OFDM. [8]

17 Gambar 2.8. Isyarat OFDM (a) dalam ranah frekuensi (b) dalam ranah waktu [8]. Serial to Paralel Converter Modulator IFFT Paralel to Serial Converter Channel Serial to Paralel Converter FFT Demodulator Paralel to Serial Converter Gambar 2.9. Diagram kotak OFDM [6]. Gambar 2.9 adalah diagram kotak OFDM. Pada bagian pengirim terdapat sejumlah blok yang terdiri dari Serial to Paralel Converter, modulator, IFFT, dan Paralel to Serial Converter. Deretan data yang akan ditransmisikan yaitu deretan bit serial dikonversikan ke dalam bentuk paralel oleh Serial to Paralel Converter, sehingga bila laju bit semula adalah R maka laju bit di tiap jalur paralel adalah R/N dengan N adalah jumlah jalur paralel atau jumlah subpembawa.

18 2.2.1. Modulasi dan Demodulasi dalam OFDM 2.2.1.1. Konsep Orthogonalitas Dua isyarat dikatakan orthogonal jika hasil inner product-nya bernilai 0 (nol). Contohnya ada dua isyarat dan merupakan fungsi real yang terdefinisi pada interval, maka fungsi tersebut dikatakan orthogonal pada interval, sehingga inner product-nya : (2.1) Misal dan dengan interval, maka k,n = 1,2,3,... (2.2) 2.2.1.2. Modulasi OFDM Gambar 2.10. Modulasi OFDM [9].

19 Gambar 2.10 adalah modulasi OFDM. Modulasi ini terdiri modulator kompleks, dengan setiap modulator berhubungan dengan satu OFDM subpembawa. Isyarat pada OFDM dalam selang waktu dapat dinyatakan sebagai berikut. dengan = waktu modulasi simbol per subpembawa; = jumlah subpembawa; = jarak antar subpembawa; m = simbol dari OFDM; = subpembawa yang termodulasi ke-k dengan frekuensi ; dan = barisan data digital; simbol modulasi diterapkan pada subcarrier k selama selang simbol OFDM ke-m dengan selang waktu. Hasil modulasi isyarat OFDM tersebut dialirkan ke Inverse Fast Fourier Transform (IFFT) untuk mengubah isyarat dalam ranah frekuensi menjadi ranah waktu dengan cara mencuplik isyarat dengan laju. Isyarat hasil IFFT tersebut diubah lagi menjadi serial melalui paralel to serial converter setelah disisipi cyclic prefix (CP) dengan cara menyalin bagian akhir simbol yang digunakan dan menempatkannya pada awal simbol.

20 2.2.1.3. Demodulasi OFDM Gambar 2.11. Demodulasi OFDM [9]. Gambar 2.11 adalah demodulasi OFDM. Di penerima terjadi proses kebalikan dari proses yang ada di pengirim. Isyarat diubah menjadi bentuk paralel melalui serial to paralel converter. Isyarat yang telah diubah dialirkan ke dalam Fast Fourier Transform (FFT) kemudian didemodulasikan dengan modulator yang sama yaitu sehingga dengan = waktu modulasi simbol per subpembawa; = jumlah subpembawa; = jarak antar subpembawa; m = simbol dari OFDM; Dan setelah itu dikonversi lagi ke dalam bentuk serial oleh Paralel to Serial Converter dan akhirnya kembali menjadi bentuk data informasi. Proses demodulasi OFDM memiliki hubungan untuk setiap subpembawa. Dua subpembawa OFDM tidak menyebabkan gangguan terhadap satu sama lain setelah proses demodulasi.

21 2.2.2. OFDM Guard Interval Dalam sistem komunikasi, isyarat yang diterima akan selalu berbeda dengan isyarat yang dikirim. Dalam isyarat analog, gangguan transmisi ini akan berkaibat pada penurunan kualitas isyarat. Namun pada isyarat digital akan berakibat seperti bit error. Suatu isyarat dapat mengalami tundaan atau disebut juga distorsi tunda. Distorsi tunda ini terjadi akibat kecepatan isyarat yang melalui medium berbedabeda. Hal ini merupakan masalah bagi data digital yang dibentuk dari isyaratisyarat dengan frekuensi yang berbeda sehingga dapat menyebabkan Intersymbol Interference (ISI). Penyisipan Guard Interval pada OFDM terdapat dua cara yaitu dengan Cyclic Prefix (CP) dan Cyclic Suffix (CS) 2.2.2.1. Cyclic Prefix CP Simbol OFDM Simbol OFDM Gambar 2.12. OFDM dengan Cyclic Prefix. Gambar 2.12 adalah OFDM dengan Cyclic Prefix. Cyclic Prefix adalah perpanjangan simbol dengan menyalin simbol terakhir yang ditambahkan pada awal simbol. Simbol OFDM yang diperpanjang itu memiliki panjang. dalam hal ini adalah nilai cyclic prefix. adalah panjang isyarat total simbol OFDM. adalah panjang isyarat simbol OFDM. adalah panjang tundaan maksimum. Panjang cyclic prefix diatur lebih dari atau sama panjang dengan. Ini berarti bahwa dengan adanya cyclic prefix memungkinkan untuk mempertahankan orthogonalitas di antara subpembawa. Tujuan dengan adanya cyclic prefix ini adalah untuk menghilangkan ISI. Ide dasar adanya cyclic prefix ini adalah untuk menghasilkan guard period. Terlihat dalam Gambar 2.14, bahwa bagian isyarat yang terdistorsi berada dalam guard interval yang akan

22 dihilangkan di penerima sehingga ISI bisa dicegah. Berikut adalah gambar isyarat OFDM dengan menggunakan Cyclic Prefix. Gambar 2.13. Isyarat OFDM [1]. Gambar 2.14. Isyarat OFDM dengan Cyclic Prefix [1] 2.2.2.2. Cyclic Suffix Cyclic Suffix juga merupakan perpanjangan simbol sistem OFDM. Ini berbeda dengan cyclic prefix. Cyclic suffix menyalin sebagian awalan sistem OFDM dan menambahkannya ke bagian terakhir. Tujuan cyclic suffix ini sama dengan cyclic prefix yaitu untuk menghilangkan ISI. Berikut adalah gambar isyarat OFDM dengan menggunakan Cyclic Suffix. Gambar 2.15. Isyarat OFDM dengan Cyclic Suffix [1].

23 2.2.3 OFDM Guard Band Dalam sistem FDM, masing-masing kanal berjarak sekitar 25% dari lebar tiap kanal. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa saluran yang berdekatan tidak mengganggu. Hal ini digambarkan dalam Gambar 2.15, yang menunjukkan guard band antara masing-masing kanal. Gambar 2.16. Guard Band pada FDM [10]. OFDM adalah bagian FDM dengan satu saluran menggunakan beberapa subpembawa pada frekuensi yang berdekatan. Selain itu subpembawa dalam sistem OFDM dibuat tumpang tindih untuk memaksimalkan efisiensi spektrum. Biasanya, saluran yang berdekatan dan tumpang tindih ini dapat mengganggu satu sama lain. Namun, subpembawa dalam sistem OFDM bisa saling tumpang tindih asal pada saat subpembawa satu bernilai nol, subpembawa sebelahnya mencapai nilai peak, begitu seterusnya. Oleh karena itu, sistem OFDM mampu memaksimalkan efisiensi spektrum tanpa menyebabkan gangguan saluran berdekatan. Gambar 2.17. Guard Band pada OFDM [10].

24 Efek penggunaan overlapping subcarrier juga mengharuskan penggunaan cyclic prefix untuk mencegah ISI. 2.2.4. Bit Error Rate pada Sistem OFDM Bit Error Rate (BER) adalah pengukuran kualitas isyarat yang diterima untuk sistem komunikasi digital. Semakin kecil nilai BER, maka menunjukkan unjuk kerja yang bagus karena kesalahan bit data yang diterima semakin kecil. Modulasi yang digunakan dalam sistem OFDM adalah modulasi Quadrature Phase Shift Keying (QPSK). Pada modulasi QPSK ini, informasi digit biner digunakan untuk memodulasi fase gelombang pembawa. Dengan M = 4, maka terdapat 4 simbol yang berbeda, yaitu: 00, 01, 11, dan 10 yang direpresentasikan dengan 4 gelombang pembawa dengan fasa yang berbeda satu sama lainnya. Masing-masing disimbolkan dengan perbedaan fasa 90, karena itu isyarat QPSK dapat mengalami pergeseran fase +45 atau -45 selama transmisi dan akan berupa informasi yang benar saat didemodulasikan di penerima. Gambar 2.18. Isyarat Keluaran Modulator QPSK.

Probabilitas BER pada isyarat QPSK adalah 25