II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA MENGEDARKAN SEDIAAN FARMASI TANPA IZIN EDAR DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Penegakan Hukum dan Penegakan Hukum pidana. Penegakan hukum adalah proses di lakukannya upaya untuk tegaknya atau

BAB XX KETENTUAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

UNDANG-UNDANG KESEHATAN NO. 36 TH. 2009

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, baik dari sudut medis, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAWASAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide. merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. 1

BAB I PENDAHULUAN. menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

RechtsVinding Online

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495]

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan analisis dari Pengaturan Tindak Pidana dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

I. PENDAHULUAN. kesehatan penting untuk menunjang program kesehatan lainnya. Pada saat ini

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

tertolong setelah di rawat RSU dr. Wahidin Sudiro Husodo, kota Mojokerto. 1

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

II. TINJAUAN PUSTAKA. penahanan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan, serta pelaksanaan putusan

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi global yang semakin terbuka berpengaruh pada kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. ada juga kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. Anak yaitu seorang yang belum berumur 18 tahun dan sejak masih dalam

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN


II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA APOTEK DAN IZIN USAHA PEDAGANG ECERAN OBAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA APOTEK DAN IZIN USAHA PEDAGANG ECERAN OBAT

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA BAB I KETENTUAN UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 72/1998, PENGAMANAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN. Tentang: PENGAMANAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

I. PENDAHULUAN. kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR,

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN. Tahun 2007 No. 15 PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

KEAMANAN PANGAN (UNDANG-UNDANG NO 12 TENTANG PANGAN TAHUN 2012

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

I. PENDAHULUAN. Negara kesatuan Republik Indonesia dikarunia dengan daerah daratan, lautan dan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. Setelah dijelaskan dan diuraikan sebagaimana tercantum dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 Tentang NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan badan-badan lain

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 Mengingat penyelenggaraan kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hur

*9954 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 22 TAHUN 1997 (22/1997) TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

Transkripsi:

14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana Penegak hukum adalah petugas badan yang berwenang dan berhubungan dengan masalah peradilan yang tugasnya menyelesaikan konflik atau perkara hukum. Hukum dapat tercipta bila masyarakat sadar akan hukum tanpa membuat kerugian pada orang lain. Penegakan Hukum di Indonesia tidak terlepas dari peran para aparat penegak hukum. Menurut Pasal 1 Bab 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dimaksud aparat penegak hukum oleh undangundang ini adalah sebagai berikut: 1. Polri/Penyidik ialah pejabat Polisi negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyelidikan. 2. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap. 3. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan ketetapan Hakim.

15 4. Hakim yaitu pejabat peradilan negara yang diberi kewenangan oleh undangundang untuk mengadili. 5. Penasehat hukum ialah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang untuk memberikan bantuan hukum. Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat penegak hukum. Secara arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim dan petugas sipil pemasyarakatan. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: a. Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya. b. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya. c. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaanya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materiilnya maupun hukum acaranya. Menurut Satjipto Raharjo penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya. Jadi Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep-konsep tadi menjadi kenyataan.

16 Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung jawab. Penegakan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Ditinjau dari sudut subyeknya: Dalam arti luas, proses penegakkan hukum melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, penegakkan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. 2. Ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya: Dalam arti luas, penegakkan hukum yang mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang ada dalam bermasyarakat. Dalam arti sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut penegakkan peraturan yang formal dan tertulis. 11 11 Dellyana Shant, Konsep Penegakan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 32-34.

17 2. Faktor-Faktor Penegakan Hukum Menegakan hukum di Indonesia tidak semudah membalikan telapak tangan, karena banyak sekali faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum di Indonesia. Berikut ini menurut Soerjono Soekanto faktor-faktor yang mempengaruhi penegakkan hukum sebagai berikut: 1. Faktor Undang-Undang Semakin baik suatu peraturan hukum akan semakin baik memungkinkan penegakannya. Sebaliknya, semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sukarlah menegakkannya. Secara umum, peraturan hukum yang baik adalah peraturan hukum yang berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis. a. Secara Yuridis: Setiap peraturan hukum yang berlaku haruslah bersumber pada peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Ini berarti bahwa setiap peraturan hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Misalnya, undang-undang di Indonesia dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. b. Secara Sosiologis: Bilamana peraturan hukum tersebut diakui atau diterima oleh masyarakat kepada siapa peraturan hukum tersebut ditujukan/ diberlakukan menurut Anerkennungstheorie, The recognition Theory ). Teori ini bertolak belakang dengan Machttheorie, Power Theory ) yang menyatakan, bahwa peraturan hukum mempunyai kelakuan sosiologis, apabila

18 dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun tidak oleh warga masyarkat. c. Secara Filosofis: Apabila peraturan hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidde) sebagai nilai positif yang tertinggi. Dalam negara Indonesia, cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi adalah masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 2. Faktor Penegak Hukum Secara sosiologi setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) atau peranan (role). Kedudukan sosial merupakan posisi tertentu dalam struktur masyarakat yang isinya adalah hak dan kewajiban. Penegakan hukum dalam mengambil keputusan diperlukan penilaian pribadi yang memegang peranan karena: a. Tidak ada perundingan undang-undang yang sedemikian lengkap, sehingga dapat mengatur perilaku manusia. b. Adanya hambatan untuk menyelesaikan perundang-undangan dengan perkembangan masyarakat sehingga menimbulkan ketidakpastian. c. Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan. d. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan khusus. 12 3. Faktor Sarana atau Fasilitas Sarana atau fasilitas antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang 12 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2005.

19 cukup dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi maka mustahil penegak hukum akan mencapai tujuannya. Misalnya, untuk membuktikan apakah suatu tanda tangan palsu atau tidak, kepolisian di daerah tidak dapat mengetahui secara pasti, karena tidak mempunyai alat untuk memeriksanya, sehingga terpaksa dikirim ke Jakarta. Tanpa sarana atau fasilitas yang memadai, penegak hukum tidak akan dapat berjalan lancar, dan penegak hukum tidak bisa berjalan dengan sempurna. 4. Faktor Masyarakat Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Sebaliknya, semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegak hukum yang baik. Kesadaran hukum merupakan suatu pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu. Pandangan itu berkembang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu agama, ekonomi, politik, dan sebagainya. Pandangan itu selalu berubah, oleh karena itu hukum pun selalu berubah. Maka diperlukan upaya dari kesadaran hukum, yakni: a. Pengetahuan hukum b. Pemahaman hukum c. Sikap terhadap norma-norma d. Perilaku hukum 5. Faktor Kebudayaan Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi yang abstrak

20 mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehinga dihindari). Maka, kebudayaan Indonesia merupakan dasar atau mendasari hukum adat yang berlaku, disamping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan), yang dibentuk oleh golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk itu. Hukum perundangundangan tersebut harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat agar hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara aktif. 13 B. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Ijin Edar. 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in-abstractio dalam pengertian pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup dalam masyarakat secara konkret. Mengenai pengertian tindak pidana (strafbaar feit) beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda sebagai berikut: a. Pompe memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu: 1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana 13 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2004, hlm. 15.

21 untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. 2. Definisi menurut pakar positif adalah suatu kejadian/ feit yang oleh peraturan perundang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. (Bambang Poernomo, Hukum Acara Pidana: Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-Undang R.I No.8 Tahun 1981 (Liberty: Jakarta, 1986) hal.86 14 b. Simons Tindak pidana adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. c. Voc Tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana. d. Van Hammell Tindak pidana adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. 14 Hukum Acara Pidana: Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang- Undang R.I No.8 Tahun 1981 (Liberty: Jakarta, 1986) hal.86

22 e. Moeljatno Perbuatan pidana (tindak pidana) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. f. Wirjono Prodjodikoro Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Berdasarkan pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar di atas, dapat diketahui bahwa tataran teoritis tidak ada kesatuan pendapat diantara para pakar hukum dalam memberikan definisi tentang tindak pidana. 2. Pengaturan Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar Dalam Hukum Positif Indonesia Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Dengan demikian maka mengedarkan sediaan farmasi sebelum diberi izin edar merupakan suatau tindak pidana. Adapun pengaturan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar dalam hukum positif Indonesia adalah: a. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495) Pengertian sediaan farmasi dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 1 ayat (9) yaitu sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik. Mengenai pengamanan sediaan farmasi diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 43. Adapun bunyi dari Pasal-Pasal tersebut adalah:

23 Pasal 39 Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselengarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi sediaan mutu dan atau keamanan dan atau kemanfaatan. Pasal 40 ayat (1) Sediaan farmasi berupa obat dan bahan obat harus memenuhi syarat farmakof Indonesia atau buku standar lainya ayat (2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetik serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan Pasal 41 ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar ayat (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektif dan kelengkapan serta tidak menyesatkan ayat (3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah mendapat izin edar, yang kemudiaaan terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan atau keamanan dan atau kemamfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 42 Pekerjan kefarmasian harus dilakukan dalam rangka menjaga mutu sediaan farmasi yang beredar. Pasal 43 Ketentuan tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan ditetapkan dengan peraturan pemerintah Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi diatur dalam Pasal 81 ayat (2), rumusan yang terdapat dalam Pasal ini adalah Barang siapa dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp.140.000.000.00 (seratus empat puluh juta rupiah). 15 15 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

24 b. Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) Pengertian sediaan farmasi dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 1 ayat (4) yaitu, sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik. 16 Mengenai pengaturan pengamanan dan pengunaan sediaan farmasi diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 108. Adapun bunyi dari Pasal-Pasal tersebut adalah Pasal 98 ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau ayat (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat ayat (3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah ayat (4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pasal 99 ayat (1) Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau perawatan, serta pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga kelestariannya ayat (2) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya ayat (3) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan sediaan farmasi 16 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

25 Pasal 100 ayat (1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya ayat (2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat tradisional Pasal 101 ayat (1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya ayat (2) Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional diatur dengan Peraturan Pemerintah Pasal 102 ayat (1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan ayat (2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 103 ayat (1) Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan tertentu ayat (2) Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran, serta penggunaan narkotika dan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan Pasal 104 ayat (1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan ayat (2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional Pasal 105 ayat (1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya ayat (2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan

26 Pasal 106 ayat (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar ayat (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan ayat (3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 107 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan Pasal 108 Ayat (1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ayat (2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dalam undangundang ini diatur dalam Pasal 197, rumusan yang terdapat dalam Pasal ini adalah setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan atau/alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidanana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).