PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

dokumen-dokumen yang mirip
WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 10 TAHUN TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH BUMBU,

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 19 TAHUN 2009 TENTANG GARIS SEMPADAN DI KABUPATEN TAPIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI TAPIN,

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO Nomor 7 Tahun 2008

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2009 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG GARIS SEMPADAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 1 TAHUN : 2009 SERI : E PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 4 TAHUN 2009 TENTANG SEMPADAN

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 63/PRT/1993 TENTANG GARIS SEMPADAN SUNGAI, DAERAH MANFAAT SUNGAI, DAERAH PENGUASAAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI

BUPATI BANGKA TENGAH

WALIKOTA BANJARMASIN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG GARIS SEMPADAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN BANGUNAN, PAGAR, SUNGAI, DAN PANTAI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG GARIS SEMPADAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 63/PRT/1993 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETENTUAN GARIS SEMPADAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 27 TAHUN 2001 TENTANG GARIS SEMPADAN SUNGAI, DAERAH MANFAAT SUNGAI, DAERAH PENGUASAAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 3 TAHUN 2009 TENTANG GARIS SEMPADAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 21 TAHUN 2004 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR,

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PEMANFAATAN BAGIAN JALAN DAERAH

BUPATI ACEH TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN ACEH TENGAH NOMOR 39 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PRT/M/2015 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMANFAATAN BAGIAN JALAN

BUPATI BOGOR PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 11 TAHUN 2012 SERI E.6 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2004 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN IRIGASI PARTISIPATIF (PIP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG PENGENDALIAN DAN PERLINDUNGAN SEMPADAN SUNGAI

BUPATI BANGKA PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 15 TAHUN 2012

BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG JALAN DAN PENGATURAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG JARINGAN UTILITAS TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGGUNAAN TANAH UNTUK PEMASANGAN JARINGAN PIPA GAS

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGATURAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 10 TAHUN 2008 SERI : E NOMOR : 5

Dengan Persetujuan bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR dan BUPATI LUWU TIMUR MEMUTUSKAN :

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2012

BUPATI GOWA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GOWA NOMOR 08 TAHUN 2014 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GOWA,

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN DAN PENGGUNAAN BAGIAN-BAGIAN JALAN

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH DAERAH SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG IZIN PEMANFAATAN RUANG

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 9 TAHUN TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN DAERAH KOTA BAU BAU NOMOR 02 TAHUN 2009 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BAU BAU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 09 TAHUN 2006 TENTANG IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR,

WALIKOTA KENDARI PROVINSI SULAWSEI TENGGARA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 7 TAHUN 2010

PEMERINTAH KABUPATEN KEDIRI

PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 29 TAHUN 2005 TENTANG GARIS SEMPADAN BANGUNAN, GARIS SEMPADAN PAGAR, GARIS SEMPADAN SUNGAI, GARIS SEMPADAN PANTAI.

BUPATI LUWU TIMUR PROPINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2009 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 1991 TENTANG SUNGAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PENGENDALIAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE AIR ATAU SUMBER AIR

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 7 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli Tahun 1950);

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAIRI NOMOR : 7 Tahun 2000 SERI : B NOMOR : 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAIRI NOMOR : 07 TAHUN 2000 TENTANG

Peraturan Daerah Provinsi Bali. Nomor 7 Tahun Tentang. Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR : 7 TAHUN 2006 SERI : C NOMOR : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 7 TAHUN 2006 T E N T A N G

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 10 TAHUN 2008

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 /PRT/M/2011 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN GARIS SEMPADAN JARINGAN IRIGASI

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PEMANFAATAN RUANG MILIK JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMANFAATAN DAN PENGGUNAAN BAGIAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Perda No. 6 / 2002 tentang Izin Pemakaian Tanah Pengairan atau Tanah Jalan Kabupaten Magelang. PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 6 TAHUN 2002

Menimbang : Mengingat :

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR

NGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA BATU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH BUPATI SLEMAN,

PEMERINTAH KOTA PEKALONGAN

P E R A T U R A N D A E R A H

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH BUPATI LEBAK,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

Transkripsi:

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan penataan ruang dan bangunan yang serasi dan selaras dengan rencana pembangunan di Kabupaten Luwu Timur, perlu adanya pengaturan yang mengatur jarak bangunan dari jalan, sungai, saluran irigasi dan pantai; Mengingat : b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Garis Sempadan; 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247); 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Luwu Timur dan Mamuju Utara di Propinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 nomor 27); 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 5. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444); 6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 1

Menetapkan 8. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5230); 11. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 5 Tahun 1999 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tahun 1999 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 161); 12. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 3 Tahun 2005 tentang Garis Sempadan Jalan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2005 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2); 13. Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Timur Nomor 15 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Luwu Timur Tahun 2010 Nomor 15); 14. Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Timur Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Luwu Timur 2011-2031 (Lembaran Daerah Kabupaten Luwu Timur Tahun 2011 Nomor 7); 15. Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Timur Nomor 14 Tahun 2010 tentang Irigasi (Lembaran Daerah Kabupaten Luwu Timur Tahun 2010 Nomor 14); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR dan BUPATI LUWU TIMUR MEMUTUSKAN : : PERATURAN DAERAH TENTANG GARIS SEMPADAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Kabupaten Luwu Timur. 2. Pemerintah Daerah adalah Bupati beserta Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 3. Bupati adalah Bupati Luwu Timur. 2

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Luwu Timur, yang selanjutnya disebut DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 5. Dinas adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Luwu Timur yang membidangi urusan penataan ruang dan bangunan. 6. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang penataan ruang dan bangunan sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. 7. Garis Sempadan adalah garis batas yang ditarik pada jarak tetentu sejajar dengan as jalan atau as sungai atau tepi irigasi atau as pagar yang merupakan batas antara bagian persil yang boleh dan tidak boleh didirikan bangunan. 8. Garis Sempadan Jalan yang selanjutnya disingkat GSJ adalah garis yang merupakan batas ruang milik jalan. 9. Garis Sempadan Bangunan yang selanjutnya disingkat GSB adalah garis pada halaman persil Bangunan gedung yang ditarik sejajar dengan garis as jalan, as pagar, as jaringan listrik tegangan tinggi, tepi sungai, tepi pantai, tepi saluran, garis sempadan mata air, garis sempadan Approach Landing, garis sempadan Telekomunikasi, dan merupakan batas antara bagian kavling/persil yang boleh dibangun dan yang tidak boleh dibangun bangunan. 10. Garis Sempadan Pagar yang selanjutnya disingkat GSP adalah garis sempadan yang di atasnya atau sejajar di belakangnya dapat didirikan pagar. 11. Garis Sempadan Sungai yang selanjutnya disingkat GSS adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai. 12. Garis Sempadan Pantai yang selanjutnya disingkat GSPn adalah kawasan sepanjang pantai mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai. 13. Garis Sempadan Irigasi yang selanjutnya disingkat GSI adalah batas pengamanan bagi saluran-saluran dan/atau bangunan jaringan irigasi dengan jarak tertentu sepanjang saluran dan sekeliling bangunan; 14. Bangunan adalah perwujudan fisik beserta kelengkapannya yang melekat dalam mendukung keberadaan bangunan tersebut, baik di atas atau di bawah permukaan tanah dan di bawah atau di atas permukaan air. 15. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. 16. Badan Jalan adalah bagian jalan yang meliputi jalur lalu lintas dengan atau tanpa median dan bahu jalan. 17. Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak. 18. Jalan Arteri adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. Ruang Milik Jalan (Rumija) apabila tidak ditentukan lain adalah 30 meter. 3

19. Jalan Kolektor adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi. Ruang Milik Jalan (Rumija) apabila tidak ditentukan lain adalah 25 meter. 20. Jalan Lokal adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. Ruang Milik Jalan (Rumija) apabila tidak ditentukan lain adalah 15 meter. 21. Jalan Lingkungan adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah. Ruang Milik Jalan (Rumija) apabila tidak ditentukan lain adalah 11 meter. 22. Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan. 23. Sungai besar yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai seluas 500 (lima ratus) Km 2 atau lebih. 24. Sungai kecil yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai seluas kurang dari 500 (lima ratus) Km 2. 25. Danau adalah cekungan lereng yang terjadi karena peristiwa alam yang menjadi penampungan dan penyimpanan air yang berasal dari hujan, mata air atau air sungai. 26. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya sungai dalam hal ini bangunan bendungan dan berbentuk pelebaran alur/badan/palung sungai. 27. Mata Air adalah tempat air tanah keluar sebagai aliran permukaan yang mempunyai debit sekurang-kurangnya 5 (lima) liter/detik. BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 (1) Penetapan garis sempadan dimaksudkan untuk tercapainya penataan ruang dan bangunan yang serasi, seimbang, tertib dan teratur yang berwawasan lingkungan. (2) Penetapan garis sempadan bertujuan : a. agar fungsi jalan, sungai, irigasi, danau/waduk dan pantai tidak terganggu oleh aktifitas yang berkembang di sekitarnya; b. agar kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat dan memberikan hasil secara optimal sekaligus menjadi fungsi-fungsi jalan, sungai, irigasi, danau/waduk dan pantai; dan c. agar kerusakan jalan, sungai, irigasi, danau/waduk dan pantai lingkungannya dapat dibatasi. BAB III GSJ ditetapkan sebagai berikut: GARIS SEMPADAN Pasal 3 a. jalan arteri : GSJ minimal 15 (lima belas) meter diukur dari as jalan. 4

b. jalan kolektor : GSJ minimal 11,5 (sebelas koma lima) meter diukur dari as jalan. c. jalan lokal : GSJ minimal 8,5 (delapan koma lima) meter diukur dari as jalan. d. jalan lingkungan : GSJ minimal 6 (enam) meter diukur dari as jalan. GSP ditetapkan sebagai berikut: Pasal 4 a. jalan arteri : GSP minimal 17 (tujuh belas) meter diukur dari as jalan. b. jalan kolektor : GSP minimal 13 (tiga belas) meter diukur dari as jalan. c. jalan lokal : GSP minimal 9,5 (sembilan koma lima) meter diukur dari as jalan. d. jalan lingkungan : GSP minimal 7 (tujuh) meter diukur dari as jalan. GSB ditetapkan sebagai berikut: Pasal 5 a. jalan arteri : GSB minimal 25 (dua puluh lima) meter diukur dari as jalan. b. jalan kolektor : GSB minimal 20 (dua puluh) meter diukur dari as jalan. c. jalan lokal : GSB minimal 15 (lima belas) meter diukur dari as jalan. d. jalan lingkungan : GSB minimal 11 (sebelas) meter diukur dari as jalan. Pasal 6 Penetapan status klasifikasi jalan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Pasal 7 (1) GSS bertanggul ditetapkan sebagai berikut : a. GSS bertanggul di luar kawasan perkotaan ditetapkan sekurangkurangnya 5 (lima) meter diukur dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai tanggul. b. GSS bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditetapkan sekurangkurangnya 3 (tiga) meter diukur dari tepi luarkaki tanggul sepanjang alur sungai. (2) Dengan pertimbangan untuk peningkatan fungsinya, tanggul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperkuat, diperlebar dan ditinggikan, yang dapat berakibat bergesernya letak garis sempadan sungai. Pasal 8 GSS tak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditetapkan sebagai berikut: a. GSS besar ditetapkan sekurang-kurangnya 100 (seratus) meter diukur dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai. b. GSS kecil sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) meter diukur dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai. 5

Pasal 9 GSS tak bertanggul di dalam Kawasan Perkotaan ditetapkan sebagai berikut: a. sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih 3 (tiga) meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) meter diukur dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai. b. sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 (tiga) meter sampai dengan 20 (dua puluh) meter, garis sempadan dan ditetapkan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai. c. sungai yang mempunyai kedalaman maksimum lebih dari 20 (dua puluh) meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) meter diukur dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai. Pasal 10 Garis sempadan danau, waduk, mata air dan sungai yang terpengaruh pasang surut air adalah sebagai berikut : a. untuk danau dan waduk, garis sempadan ditetapkan sekurangkurangnya 50 (lima puluh) meter diukur dari titik pasang tertinggi ke arah darat. b. untuk mata air, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 200 (dua ratus) meter diukur dari pusat mata air. GSI ditetapkan sebagai berikut: a. GSI yang bertanggul yaitu : Pasal 11 1) untuk GSI dan pembuangan dengan debit lebih dari 4 (empat) M³/detik adalah 3 (tiga) meter. 2) untuk GSI dan pembuangan dengan debit 1 (satu) M³/detik sampai dengan 4 (empat) M³/detik adalah 2 (dua) meter. 3) untuk GSI dan pembuangan dengan debit kurang dari 1 (satu) M³/detik adalah 1 (satu) meter. 4) GSI sebagaimana dimaksud pada angka 1), diukur dari luar kaki tanggul. b. GSI yang tidak bertanggul yaitu : 1) untuk GSI dan pembuangan dengan debit lebih dari 4 (empat) M³/detik adalah 4 (empat) kali kedalaman saluran ditambah 5 (lima) meter. 2) untuk GSI dan pembuangan dengan debit 1 (satu) M³/detik sampai dengan 4 (empat) M³/detik adalah 4 (empat) kali kedalaman saluran ditambah 3 (tiga) meter. 3) untuk GSI dan pembuangan dengan debit kurang dari 1 (satu) M³/detik adalah 4 (empat) kali kedalaman saluran ditambah 2 (dua) meter. 4) GSI sebagaimana dimaksud pada angka 1), diukur dari tepi saluran. GSPn ditetapkan sebagai berikut: Pasal 12 a. batas GSPn ditetapkan 30 (tiga puluh) meter diukur dari tepi pantai ke bangunan. 6

b. batas tepi pantai adalah pada saat air laut pasang hingga ke bibir pantai dimaksud. Pasal 13 (1) Kawasan hutan mangrove atau kawasan hutan lindung fungsi utamanya sebagai penahan abrasi pantai dan pelindung kelestarian lingkungan hidup biota laut, ditetapkan sebagai kawasan bebas bangunan. (2) Penetapan kawasan dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Bupati. Pasal 14 (1) Pemanfaatan lahan di daerah sempadan dapat dilakukan oleh masyarakat untuk kegiatan-kegiatan tertentu sebagai berikut : a. untuk kegiatan perekonomian masyarakat dan tidak bersifat permanen sehingga tidak merusak lingkungan maupun ekosistem yang ada; b. untuk jenis tanaman yang diijinkan. c. untuk pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan peringatan, serta rambu-rambu pekerjaan. d. untuk pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telepon dan pipa air minum. e. untuk pemancangan tiang atau pondasi prasarana jalan/jembatan baik umum. f. untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan masyarakat yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian dan keamanan. g. untuk pembangunan prasarana lalu lintas air dan bangunan pengambilan dan pembuangan air. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang atau pejabat yang ditunjuk olehnya, serta syarat-syarat yang ditentukan. BAB IV SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 15 (1) Setiap orang pribadi atau Badan yang memanfaatkan lokasi dalam Garis Sempadan tanpa memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 14 ayat (1), maka orang atau Badan tersebut harus menghentikan, mengosongkan dan mengembalikan sesuai keadaan semula atas beban yang bersangkutan; (2) Dalam hal ketentuan tersebut tidak dipenuhi maka Bupati atau pejabat yang ditunjuk berwenang melaksanakan penghentian kegiatan secara paksa, pengosongan dalam Garis Sempadan dan mengembalikan sesuai keadaan semula atas beban pelanggaran yang bersangkutan, dengan ketentuan biaya yang ditetapkan oleh Bupati. Pasal 16 Setiap orang pribadi atau Badan yang memanfaatkan lokasi dalam Garis Sempadan yang menyimpang/bertentangan dengan izin yang diberikan maka izin tersebut dicabut. 7

BAB V KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 17 (1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Garis Sempadan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintah daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (3) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana Garis Sempadan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan usaha yang diduga melakukan tindak pidana Garis Sempadan; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana Garis Sempadan; d. melakukan pemeriksaan prasarana Garis Sempadan dan menghentikan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana; e. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti; f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana Garis Sempadan; g. membuat dan menandatangani berita acara dan mengirimkan-nya kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana. (4) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. (5) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan Undang- Undang Hukum Acara Pidana. BAB VI KETENTUAN PIDANA Pasal 18 Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 atau Pasal 4 atau Pasal 5 atau Pasal 6 atau Pasal 7 atau Pasal 8 atau Pasal 9 atau Pasal 10 atau Pasal 11 dan/atau Pasal 12 ayat(1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp.25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah). 8

BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 19 (1) Bangunan-bangunan dan persil tanah masyarakat yang telah berdiri dan memiliki Surat Izin Mendirikan Bangunan serta tanah milik masyarakat sebelum Peraturan Daerah ini berlaku, pelaksanaan penyesuaiannya dilakukan pada saat mengubah bangunan. (2) Pelaksanaan penyesuaian Peraturan Daerah ini untuk bangunan khusus yang perlu dilindungi atau dilestarikan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (3) Pada saat mulai berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua Peraturan Bupati dan Keputusan Bupati yang berkaitan dengan Garis Sempadan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 20 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Luwu Timur. Ditetapkan di Malili pada tanggal 10 Agustus 2012 BUPATI LUWU TIMUR, ANDI HATTA M. Diundangkan di Malili pada tanggal 10 Agustus 2012 Plt.SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR, BAHRI SULI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR TAHUN 2012 NOMOR 5 9

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN I. UMUM Kegiatan pembangunan khususnya pembangunan fisik seperti misalnya pembangunan sarana dan prasarana selalu terkait dengan ketersediaan ruang dan fungsi ruang. Sesuai dengan fungsinya, pembangunan harus selalu mengacu pada tata ruang sehingga terjadi perimbangan dan kesesuaian fungsi kawasan baik budidaya maupun lindung. Meningkatnya jumlah penduduk secara cepat terutama di kawasan perkotaan, berdampak pada meningkatnya pergeseran fungsi lahan. Sebagian besar pergeseran fungsi lahan sangat terkait dengan kebutuhan akan sarana dan prasarana penduduk. Bahkan banyak dijumpai bangunan rumah dan tempat usaha yang didirikan di tempat-tempat yang dilarang karena tidak sesuai dengan peruntukan tata ruang, seperti di tepi sungai, saluran, waduk, mata air dan pantai maupun di tanah lereng yang cukup berbahaya. Demikian pula pertumbuhan bangunan terjadi pada ruas-ruas jalan yang strategis. Selanjutnya dalam rangka pembangunan berkelanjutan perlu dilakukan secara berencana dan terarah dengan lebih memperhatikan keserasian dan keamanan terhadap lingkungan serta sesuai dengan rencana tata ruangnya, sehingga tidak bertentangan dengan kepentingan regional/nasional dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Sejalan dengan upaya pelestarian lingkungan dan rencana pembangunan yang berbasis ruang, setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Beberapa peraturan tersebut mendasari ketentuan pembangunan pada kawasan yang ditangani oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu Timur. II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 sampai dengan Pasal 20 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 66 10