PANDANGAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN BAKU

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

ASAS NATURALIA DALAM PERJANJIAN BAKU

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

KLAUSULA BAKU PERJANJIAN KREDIT BANK RAKYAT INDONESIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya

STIE DEWANTARA Perlindungan Konsumen Bisnis

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

Azas Kebebasan Berkontrak & Perjanjian Baku

KONSUMEN DAN KLAUSUL EKSONERASI : (STUDI TENTANG PERJANJIAN DALAM APLIKASI PENYEDIA LAYANAN BERBASIS ONLINE)

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya

BAB I PENDAHULUAN. Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu standard

Tanggung Jawab Penjual/ Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Terhadap Kelebihan Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DARI KLAUSULA EKSEMSI DALAM KONTRAK STANDAR PERJANJIAN SEWA BELI

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS Dosen Fakultas Hukum UIEU

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. melayani masyarakat yang ingin menabungkan uangnya di bank, sedangkan

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tujuan sebagai badan yang dibentuk untuk melakukan upaya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

BAB I PENDAHULUAN. pesat, sehingga produk yang dihasilkan semakin berlimpah dan bervariasi.

PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM PADA KOPERASI SIMPAN PINJAM (KSP) ARTHA JAYA MAKMUR SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI MENGGUNAKAN MEDIA SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB II TINJAUAN TENTANG KLAUSULA EKSONERASI SERTA HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan analisis hukum terhadap perjanjian kredit yang dibakukan

BAB I PENDAHULUAN. jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU PERUSAHAAN JASA PENGIRIMAN BARANG

BAB I PENDAHULUAN. satu jasa yang diberikan bank adalah kredit. sebagai lembaga penjamin simpanan masyarakat hingga mengatur masalah

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB II RUANG LINGKUP LARANGAN PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN YANG DIATUR DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

POTENSI KEJAHATAN KORPORASI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM JUAL BELI KENDARAAN SECARA KREDIT Oleh I Nyoman Gede Remaja 1

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. hal. 2. diakses 06 September Universitas Indonesia

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG. A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tentang perekonomian nasional

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya

ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. cukup penting. Bank sebagai sarana dalam bertransaksi terutama transaksi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERJANJIAN PADA PROGRAM INVESTASI

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

KEKUATAN MENGIKAT KONTRAK BAKU DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan

PENERAPAN KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN GADAI PADA PT. PEGADAIAN (PERSERO) 1 Oleh: Sartika Anggriani Djaman 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN. iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb).

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

PERJANJIAN BAKU DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. menyelerasikan dan menyeimbangkan unsur-unsur itu adalah dengan dana (biaya) kegiatan untuk menunjang kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. setelah dikirim barang tersebut mengalami kerusakan. Kalimat yang biasanya

PEMBATALAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK OLEH KONSUMEN KEPADA PT. BALI DEWATA MAS SEBAGAI PENGEMBANG PERUMAHAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. perubahan terencana dan terarah yang mencakup aspek politis, ekonomi, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun teknologi.

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS PADANG

BAB I PENDAHULUAN. sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu. 1. perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah Suatu perjanjian adalah

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

Transkripsi:

PANDANGAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Abdul Latif 1) 1) Staff Pengajar Fakultas Hukum, Universitas Pasir Pengaraian email : abdullatifun@gmail.com Abstract Standard contract is an agreement whose contents are made by one party only, while others do not have the opportunity to negotiate or ask for a change to the contents. The purpose of this study is to see the validity of the standard contract when viewed from the perspective of Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection. This study uses normative juridical method, using data sources, such as primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. Then the data obtained was done using descriptive method of analysis. Results of this research is that in the view of the Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection, the raw agreement is not prohibited along the raw contents of the agreement does not contain terms that contain conditions restricting or removing entirely the responsibility borne by the employer Key Word : Standart Contract, Consumer, Consumer Protection Abstrak Perjanjian baku merupakan perjanjian yang isinya hanya dibuat oleh satu pihak saja, sedangkan pihak lainnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan terhadap isinya. Tujuan penelitian ini adalah melihat keabsahan perjanjian baku bila dilihat dari sudut pandang Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan menggunakan sumber data, berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Kemudian data yang diperoleh dikerjankan dengan menggunakan metode diskriptif analisis. Hasil Penelitian ini yaitu bahwa menurut pandangan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, perjanjian baku bukanlah hal yang dilarang sepanjang isi perjanjian baku tidak memuat syarat yang mengandung kondisi membatasi atau menghapus sama sekali tanggung jawab yang dibebankan kepada pihak pengusaha. Kata Kunci : Perjanjian Baku, Konsumen, Perlindungan Konsumen PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan semakin berkembang dan kompleksnya kehidupan perekonomian, khususnya dibidang transaksi perbankan, transaksi akuntansi, transaksi asuransi, bahkan transaksi di internet.transaksi-transaksi ini tentunya harus dilaksanakan dengan memberikan rasa nyaman dan aman bagi kedua belah pihak, salah satu bentuk rasa aman dan nyaman itu dengan cara membuat perjanjian. Perjanjian merupakan suatu perikatan untuk melaksanakan suatu prestasi baik itu berupa memberikan sesuatu, melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Awalnya perjajian merupakan hasil kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam isi perjanjian, namun karena alasan efisiensi dan efektifitas waktu, biaya, dan tenaga, maka perjanjian kebanyakan saat ini hanya dibuat oleh salah satu pihak saja yang mempuyai posisi ekonomi yang lebih Jurnal Ilmiah Cano Ekonomos Vol. 5 No. 1 Januari 2016 33

kuat, sedangkan pihak lain yang bisa menyetujui atau menolak isi perjanjian itu atau yang lebih dikenal dengan perjanjian baku. Salah satu bentuk dari perjanjian baku adalah pengajuan kredit perumahan rakyat (KPR), di mana biasanya dalam pengajuan kredit ini terdapat kata-kata dalam perjanjian sebagai berikut : 1) Hal-hal yang belum diatur atau belum cukup diatur dalam Perjanjian KPR akan ditetapkan dan diatur dalam dokumen tersendiri yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan satu kesatuan dengan Perjanjian KPR yang telah dibuat sebelumnya. 2) Bank berhak untuk menentukan atau menetapkan sendiri jumlah penagihan dan perubahan besarnya bunga yang akan dikenakan kepada nasabah debitur dan besaran tersebut akan otomatis mengikat nasabah debitur selama hutangnya kepada bank belum lunas. 3) Bank juga dengan bebasnya membebankan besarnya denda yang dihitung secara perhari kepada nasabah debitur jika nasabah debitur telat membayar uang pinjamannya. Perjanjian kredit yang dibuat dengan akta di bawah tangan maupun akta notaris, pada umumnya memang dibuat dalam bentuk perjanjian baku yaitu dengan cara kedua belah pihak, yaitu pihak bank dan pihak nasabah debitur menandatangani suatu perjanjian yang sebelumnya telah dipersiapkan isi atau klausul-klausulnya oleh bank dalam suatu formulir tercetak. Kepada pemohon hanya dimintakan pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat yang terdapat dalam blanko formulir atau tidak. Dalam hal perjanjian kredit bank dibuat dengan akta notaris, maka bank akan meminta notaris berpedoman kepada model perjanjian kredit dari bank yang bersagkutan. Notaris diminta untuk memedomani klausul-klausul dari model perjanjian kredit bank yang bersangkutan Masalah penggunaan perjanjian baku sekarang ini adalah hal yang sangat lazim dilakukan, tetapi bukan berarti bahwa penggunaan perjanjian baku ini tidak mengalami permasalahan hukum. Sebagaimana fungsi filosofis dari perjanjian itu sendiri yaitu mewujudkan keadilan bagi para pihak yang membuat kontrak, termasuk kepada pihak ketiga yang mempuyai kepentingan hukum terhadap kontrak tersebut. Mencoba meng back up fungsi perjanjian tersebut maka Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ayat 4 menjelaskan bahwa agar syarat sah perjanjian itu terpenuhi maka perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan. Maka dengan mengacu pada pasal di atas dapat kita lihat sejauhmana Undang- Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan pandangannya terhadap perjanjian baku tersebut. Melihat latar belakang tersebut, maka hal yang hendak dibahas di sini adalah bagaimana Pandangan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap Kebsahan Perjanjian Baku. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keabsahan perjanjian baku bila di dilihat dari sudut pandang Undang- Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang perlindungan konsumen, kemudian juga sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan fungsi 34 Jurnal Ilmiah Cano Ekonomos Vol. 5 No. 1 Januari 2016

kontrol terkait masalah perjanjian yang berorientasi merugikan pihak konsumen. KAJIAN TEORI Konsep Umum Perjanjian Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Sedangkan menurut Prof.Subekti, bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu hubungan perikatan.(subekti 2002). R.M.Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. (RM. Sudikno Mertokusumo 1988). Menurut Salim HS, Perjanjian adalah "hubungan hukum antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya. (Salim HS 2008) Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, maka perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 Kitab Undangundang Hukum Perdata yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Kata sepakat tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman; adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat. 2. Cakap untuk membuat perikatan; Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undangundang dilarang membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 Kitab Undangundang Hukum Perdata menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan : a. Orang-orang yang belum dewasa b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan c. Orang-orang perempuan yang sudah menikah, namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. 3. Suatu hal tertentu; Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahwa barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas. Jurnal Ilmiah Cano Ekonomos Vol. 5 No. 1 Januari 2016 35

4. Suatu sebab atau causa yang halal. Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Artinya perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Menurut penjelasan diatas, syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan. Namun, jika tidak dimintakan pembatalan kepada hakim, perjanjian itu tetap mengikat para pihak. Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, karena mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat ini tidak terpenuhi, perjanjian dianggap batal demi hukum. Kebatalan ini dapat diketahui apabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Kemudian diperkarakan ke muka hakim, dan hakim menyatakan perjanjian batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat objektif. Perjanjian Baku Undang-undang No. 8 Tahun 1999 menggunakan istilah klausula baku sebagaimana dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10 Undang- Undang Perlindungan Konsumen. Pasal tersebut menyatakan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Menurut Hasanuddin Rahman perjanjian baku adalah: Perjanjianperjanjian yang telah dibuat secara baku (standart form), atau dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blanko untuk beberapa bagian yang menjadi obyek transaksi, seperti besarnya nilai transaksi, jenis dan jumlah barang yang mengeluarkannya tidak membuka kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang telah disepakati untuk dituangkan dalam perjanjian itu.(hasanuddin Rahman 1998), sedangkan Sutan Remy Sjahdeini dalam Munir Fuady, mengatakan bahwa perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausulklausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.(munir Fuady 1994). Menurut Cekina Tri Perjanjian baku adalah perjanjain yang hampir seluruh klausul-klausulnya di bakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.(celina Tri. S.K 2008). Perjanjian baku yang banyak terdapat di masyarakat biasanya dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu ; 1. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang mempunyai posisi ekonomi kuat. Kedua pihak biasanya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif. 2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas tanah. 3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaries atau advokat. 36 Jurnal Ilmiah Cano Ekonomos Vol. 5 No. 1 Januari 2016

Adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan. Untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaries atau advokat yang bersangkutan. (Farij Wajdi 2008). Konsumen dan Perlindungan Konsumen Konsumen merupakani peng- Indonesiaan istilah asing (Inggris) yaitu consumer, secara harfiah dalam kamuskamus diartikan sebagai "seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu"; atau "sesuatu atau seseorang yang mengunakan suatu persediaan atau sejumlah barang". ada juga yang mengartikan "setiap orang yang menggunakan barang atau jasa". (Erman Rajagukguk 2000). Undangundang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 1 angka 2 dinyatakan konsumen ialah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dengan demikian bilamana ditinjau dari segi tujuan konsumen menggunakan produk maka konsumen dibedakan menjadi dua, yaitu : 1) Konsumen akhir yaitu konsumen yang menggunakan produk untuk keperluan pribadi, keluarga, dan tidak untuk diperdagangkan. 2) Konsumen antara yaitu konsumen yang menggunakan produk untuk diperdagangkan kembali (Nazution.A.Z 2001) Perlindungan konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 angka 1 adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Perlindungan Konsumen telah memberikan cukup kejelasan. Kalimat yang menyatakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen. (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo 2004). Menurut Pasal 3 Undang- undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa tujuan dari perlindungan konsumen ini adalah: 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, 4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan ini sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, 6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. Dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hak konsumen diatur didalam Pasal 4, yakni; 1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Jurnal Ilmiah Cano Ekonomos Vol. 5 No. 1 Januari 2016 37

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. 3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. 4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Sedang kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu ; 1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian; 2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa konsumen secara patut; METODE PENELITIAN Metode pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, dengan menggunakan sumber data sekunder yang terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu: 1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa peraturan perundangundangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas; 2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berupa buku literatur, hasil karya sarjana yang berhubungan dengan permasalahan; 3. Bahan hukum tersier adalah merupakan bahan hukum sebagai pelengkap dari kedua bahan hukum sebelumnya terdiri dari kamus, majalah, dan lain-lain; Cara mendapatkan bahan hukum yang diperlukan dala penulisan ini diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan, perolehan bahan hukum melalui penelitian kepustakaan dikumpulkan dengan cara mencari dan mempelajari serta memahami bukubuku ilmiah yang memuat pendapat beberapa sarjana. Pengolahan data menggunakan metode diskriptif analisis artinya data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data yang didapat. HASIL DAN PEMBAHASAN Menyesuaikan pesatnya perkembangan perekonomian di masyarakat menyebabkan terjadinya pergeseran mengenai perjanjian, di mana yang awalnya perjanjian itu merupakan hasil dari negosiasi dari para pihak yang dituangkan dalam isi perjajian, namun karena alasan efisiensi biaya, waktu, dan tenaga maka perjanjian hanya dibuat oleh salah satu pihak yang biasanya dibuat oleh pihak yang mempuyai posisi yang lebih tinggi atau yang lebih kita kenal dengan perjanjian 38 Jurnal Ilmiah Cano Ekonomos Vol. 5 No. 1 Januari 2016

baku. Perjanjian baku (standar) itu sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Pasal 1320 ayat 4 Kitab Undangundang Hukum Perdata tentang syarat sah perjanjian menyebutkan bahwa salah satu dari syarat sah perjanjian adalah suatu sebab (causa) yang halal, artinya suatu perjanjian isinya itu harus sesuatu hal yang tidak terlarang, baik itu dilarang oleh undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Bila mengacu pada Pasal 1320 ayat 4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) di atas, maka Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan mengenai larangan memuat klausula-klausula baku tertentu dalam perjanjian antara konsumen dengan pelaku usaha. Pasal 18 Undang-undang Perlindungan Konsumen pada dasarnya mengatur dua macam larangan yang diberlakukan bagi para pelaku usaha yang membuat perjanjian baku dan atau mencantumkan klausula baku. Dalam perjanjian yang dibuat olehnya. Pasal 18 ayat 1 Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur larangan pencantuman klausula baku, dan Pasal 18 ayat 2 mengatur "bentuk" atau format, serta penulisan perjanjian baku yang dilarang. Dalam ketentuan Pasal 18 ayat 1 Undang-undang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa: Para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian di mana klausula baku tersebut akan mengakibatkan:menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha ; menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang dibeli oleh konsumen; menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dan masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas sebenarnya memberikan contoh bentuk bentuk, pengalihan tanggung jawab yang dilakukan oleh pelaku usaha. Selanjutnya, dalam Pasal 18 ayat 2 Undang-undang Perlindungan Kunsumen, dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang kengungkapannya sulit dimengerti. Memperhatikan Pasal 18 ayat 1 Undang-undang Perlindungan Konsumen di atas, bahwa undang-undang Jurnal Ilmiah Cano Ekonomos Vol. 5 No. 1 Januari 2016 39

tidak melarang pembuatan perjanjian buku, asalkan perjanjian itu tidak menghilangkan tanggung jawab pihak yang seharusnya menanggung beban tersebut sebagai akibat sahnya perjanjian yang sudah dibuat. Sedangkan larangan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen karena bisa menciptakan kondisi psikologi bagi pihak untuk menandatangani perjanjian baku yang menghilangkan tanggung jawab tanpa membaca perjanjian terlebih dahulu secara detil terutama apabila waktu yang diberikan itu singkat. Konsekuensi atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 8 ayat 1 dan ayat 2 tersebut menurut Pasal 18 ayat 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah batal demi hukum. Ini berarti perjanjian yang memuat ketentuan mengenai klausula baku yang dilarang dalam Pasal 18 ayat 1 Undangundang Perlindungan Konsumen atau yang memiliki format sebagaimana dilarang pada Pasal 18 ayat 2 dianggap tidak pernah ada dan mengikat bagi para pihak yang melaksanakan transaksi perdagangan barangdan/atau jasa tersebut. Atas kebatalan demi hukum dari klausula sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat 3, dalam ayat 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan klasula baku yang bertentangan dengan UU Perlindungan Konsumen. KESIMPULAN Undang- Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang perjanjian baku yang dibuat para pihak sepanjang perjanjian baku tersebut tidak memuat syarat yang menghilangkan tanggungan jawab oleh pihak pengusaha. Konsekuensinya adalah perjanjian baku tersebut tidak mengikat bagi para pihak yang terlibat, karena oleh undang-undang dianggap batal demi hukum. Sehingga pelaku usaha harus menyesuaikan klausula tersebut dengan apa yang sudah diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, M. & Sutarman Y., 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Celina, T.S.K., 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika. Erman, R., dkk. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: CV. Mandar Maju. Hasanuddin, R., 1998. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung:PT. Citra Aditya Bhakti. Munir, F., 1994. Hukum Bisnis Teori & Praktek, Bandung: Citra Aditya Bakti. Nazution, A.Z., 2001. Hukum Perlindungan Konsumen. Yogyakarta: Diadit media. R.M. Sudikno M., 1988. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty. Salim, H.S., 2008. Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika. Subekti. 2002. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa. Farij Wajdi; Memahami Perjanjian Baku, 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 40 Jurnal Ilmiah Cano Ekonomos Vol. 5 No. 1 Januari 2016