KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

dokumen-dokumen yang mirip
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT TATA RUANG LAUT PESISIR DAN PULAU-PULAU

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.20/MEN/2008 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PERAIRAN DI SEKITARNYA

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/DPD RI/I/ TENTANG HASIL PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERKELAPASAWITAN

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG IZIN LOKASI DAN IZIN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

BUPATI BANGKA TENGAH

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli Tahun 1950);

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT (VERSI KEMENDAGRI)

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PENYUSUNAN STRATEGI PERCEPATAN PENGAKUAN HUTAN ADAT PASCA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri. 1 Oleh karena itu, pencaharian bertani dan berkebun, 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANALISIS ATAS DRAF REVISI UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88 TAHUN 2017 TENTANG PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Abstrak tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP -PPK)

AN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2015 TENTANG KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DESA.. KECAMATAN. KABUPATEN... NOMOR :... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN SUMBER AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

BUPATI BANGKA TENGAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROPINSI BANTEN NOMOR : 8 TAHUN 2003 TENTANG PENGEMBANGAN PEMANFAATAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/DPD RI/I/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XI/2013 Pengelolaan Sumber Daya Air Oleh Negara

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

DEWAN PERWAKILAN DAERAH KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH NOMOR 31/DPD RI/II/2013-2014 TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL JAKARTA 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAH KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH NOMOR 31/DPD RI/II/2013-2014 TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH, Menimbang : a. bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk dikelola dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi sumber daya alam yang tinggi, yang dapat digunakan untuk memenuhi kepentingan dan melindungi akses masyarakat dalam memenuhi hak ekonominya dalam memanfaatkan sumber daya alam pesisir; c. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan; pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; d. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah menyusun Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; e. bahwa pandangan dan pendapat sebagaimana dimaksud pada huruf d telah disampaikan dan diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk disampaikan dalam pembahasan Pembicaraan Tingkat I bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 1181

Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; Mengingat: 1. Pasal 22D Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043); 4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah; 5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-8 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Masa Sidang II Tahun Sidang 2013-2014 Tanggal 20 Desember 2013 MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH TERHADAP RANCANGAN UNDANG- UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU- PULAU KECIL. PERTAMA : Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai bahan pembahasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah. KEDUA : Isi dan rincian pandangan dan pendapat sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA, merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari keputusan ini. KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH Ketua, H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA Wakil Ketua, Wakil Ketua, GKR. HEMAS DR. LAODE IDA 1182

DEWAN PERWAKILAN DAERAH LAMPIRAN KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH NOMOR 31/DPD RI/II/2013-2014 TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH TERHADAP RUU TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL I. Pendahuluan A. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta memperhatikan Peraturan Tata Tertib DPD RI, pada hari ini, DPD RI menyampaikan Pandangan dan Pendapat, mengenai RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. B. Dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat ini, DPD RI telah membentuk tim kerja dan telah melakukan serangkaian kegiatan Rapat Dengar Pendapat untuk mendalami substansi dan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. C. Bahwa RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengutamakan pada pengaturan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (HP-3) yang mengandung problematika antara lain dalam pemahaman dan penerapan yang berbeda antara hak kebendaan dan izin, yang merupakan hak perorangan dalam pengelolaan dan pengusahaan perairan pesisir. potensi tumpang tindih antara HP-3 dengan pemberian hak atau penerbitan izin pemanfaatan sumber daya alam pada sektor-sektor lain, dan ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Penafian hak masyarakat pesisir dan hak masyarakat hukum adat untuk berperan serta dalam penyusunan Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, adalah problematika mendasar dari inkonsistensi antara berbagai pasal dan dengan tujuannya, sehingga perlu diterbitkan suatu RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Hal ini merupakan tindakan antisipatif dari kerancuan dan timbulnya konflik dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebab suatu produk hukum Undang-undang tidak boleh bersifat sektoral dan dirancang atas kepentingan golongan dan kepentingan politik tertentu. Kepentingan utama RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, harus dapat 1183

memberikan kontribusi, baik langsung maupun tidak langsung terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dalam hal pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. D. Atas dasar berbagai kepentingan dan pertimbangan yang disebutkan pada bagian pendahuluan ini, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dengan ini, menyampaikan pandangan dan pendapat atas RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. E. DPD RI menyampaikan pandangan dan pendapat ini, terutama yang terkait langsung dan tidak langsung berkenaan dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir sebagai respon atas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 3 /PUU-VIII/2010 telah membatalkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir pada UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Selain fokus pada pengaturan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (HP-3), pandangan dan pendapat ini, juga memuat beberapa substansi pokok dalam rangka penyempurnaan penyusunan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yakni antara lain. 1) Prinsip akses terbuka dan milik bersama atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam pemnafaatan sumber daya pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil yang hanya dapat dimanfaatkan kepada pihak swasta dan usaha perseorangan; 2) Kedudukan Nelayan Tradisional dalam masyarakat hukum adat sebagai subyek penting dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir; 3) Tata Ruang Pertahanan Laut dalam satu kesatuan sistem Tata Ruang Wilayah Laut yang hingga saat ini belum diatur dalam produk hukum undang-undang; 4) Kewenangan yang berpusat pada Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam pengaturan zonasi pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil (HP-3) untuk investasi asing. 5) Harmonisasi dengan ketentuan UU lain seperti UU Pokok-pokok Agraria, UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU Kehutanan, Kepariwisataan, UU Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Pemerintah Daerah, UU Penanaman Modal, UU Pelayaran, UU Pangan khususnya tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan yg Berkelanjutan, mengingat ada wilayah pulau kecil yang dimanfaatkan sebagai wilayah pertanian dan perkebunan, UU Pemberdayaan Nelayan dan UU Kawasan Ekonomi Khusus. II. Pandangan dan Pendapat DPD RI terhadap RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Setelah melakukan kajian dan pembahasan secara komprehensif terhadap RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, yang merupakan RUU inisiatif Pemerintah RI, maka DPD RI menyampaikan Pandangan dan Pendapat, sebagai berikut: A. Bagian konsideran DPD RI berpandangan bahwa terbitnya RUU Perubahan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ditujukan untuk menghindari kekosongan hukum pengaturan mengenai pengelolaan perairan pesisir pasca pembatalan 14 pasal oleh MK, memberi kepastian dan perlindungan hukum dalam pemanfaatan perairan pesisir, menata perairan pesisir secara berkeadilan, melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan dan memperkaya sumber daya pesisir serta ekosistemnya secara berkelanjutan dan melindungi hak masyarakat hukum adat. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat bahwa pada bagian konsideran perlu disisipkan butir c yang berbunyi: bahwa guna melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan dan memperkaya sumber daya pesisir serta ekosistemnya secara berkelanjutan dan melindungi hak masyarakat hukum adat untuk kesejahteraan masyarakat; B. Ketentuan pasal 1 angka 18, angka 33, dan angka 44 yang telah diubah DPD RI berpandangan, bahwa dengan dibatalkannya 14 pasal oleh Mahkamah Konstitusi diperlukan (a) pengaturan dalam mengelola perairan pesisir yang akan memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam pemanfaatan perairan pesisir oleh nelayan tradisional dan masyarakat adat, diperlukan (b) pengaturan 1184

pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta dan badan perorangan dalam hal ini investor asing perlu diperketat pengaturannya dan diperlukan (c) pengaturan tata ruang pertahanan di laut dalam satu kesatuan sistem tata ruang wilayah laut. DPD RI berpendapat bahwa pengaturan atas ketiga hal tersebut dapat dikukuhkan dalam norma hukum Pasal 1 sebagai tambahan uraian pada angka 3 tentang pulau-pulau perbatasan berpenghuni yang pengelolaannya sepenuhnya oleh negara, tambahan penjelasan angka 12 tentang penetapan zonasi berdasarkan tahapan identifikasi potensi, penghitungan daya dukung, dan rencana pengelolaan, angka 18 tentang izin lokasi yang pemberiannya harus mendapat persetujuan dari masyarakat adat dan masyarakat setempat, tambahan penjelasan angka 32 bahwa penetapan identitas masyarakat beserta kelembagaannya dikukuhkan dalam peraturan daerah, tambahan penjelasan angka 33 bahwa masyarakat adat beserta kelembagaannya dikukuhkan dalam peraturan daerah, dan tambahan angka 45 yang menjamin kepastian hukum dalam pengawasan dan pengamanan tata ruang pertahanan di laut yang berbunyi: Tata Ruang Pertahanan Laut adalah penegakkan kedaulatan dan hukum laut zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan RI. C. Ketentuan pasal 16 Dalam Pasal 16 ayat 1 yang berbunyi: Setiap pemanfaatan perairan pesisir wajib memiliki izin lokasi dan ayat 2 berbunyi Izin lokasi sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan dasar pemberian izin pemanfaatan sumberdaya perairan pesisir, DPD RI berpandangan bahwa izin lokasi ini dapat diinterpretasikan melegalisasi pengkaplingan wilayah perairan pesisir untuk dijadikan private ownership dan close ownership kepada perseorangan, badan hukum atau masyarakat tertentu. Akibatnya, masyarakat adat, masyarakat lokal dan tradisional yang tidak memiliki izin lokasi dilarang memanfaatkan perairan pesisir. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan ambiguitas dan penafsiran yang berbeda dari berbagai pihak, yang pada gilirannya dapat menimbulkan permasalahan hukum dikemudian hari. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, perlu ada penambahan frasa pada ayat (2) yang berbunyi:... mengutamakan keberlanjutan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan memperhatikan keseimbangan Rencana Strategis Pengelolaan Pesisir dengan Rencana Zonasi dan Rencana Aksi Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang berkeadilan yang melibatkan partisipasi masyarakat adat, masyarakat tradisional dan masyarakat lokal dalam pemberian izin lokasi. DPD RI berpendapat bahwa ayat 3 kegiatan produksi garam karena sudah menjadi budaya leluhur, maka dikecualikan dalam ketentuan ayat 3. Sebagai pengganti dari dihilangkannya kegiatan produksi garam, perlu ditambahkan kegiatan penanaman, pemeliharaan, dan pemanfaatan mangrove sebagai bentuk konservasi dalam satu bioekoregion. D. Potensi Inkonsistensi antara ketentuan pasal 16 dengan Ketentuan Pasal 18, pasal 21B, dan pasal 22 Keputusan Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 3 /PUU-VIII/2010 telah membatalkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir pada UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dengan demikian terdapat perubahan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) menjadi konsep perizinan yaitu izin pemanfaatan perairan pesisir (IP-3) dan Izin Pemanfaatan Ruang Perairan Pesisir (IPRP-2) yang secara prinsip mengubah pendekatan hak menjadi perizinan. IP-3 dan IPRP-2 dimaksudkan sebagai izin lokasi yang menunjukkan bagian tertentu dari kawasan perairan pesisir sebagai lokasi tempat dilakukan kegiatan ekonomi. Dan juga memberikan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir serta penunjukkan lokasi tempat dilakukannya kegiatan usaha. DPD RI berpandangan bahwa Pasal 16, Pasal 18, Pasal 21B, dan Pasal 22 berpotensi terjadi inkonsistensi dalam pelaksanaannya dikarenakan pemberian izin lokasi dan izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir, terutama pada zona inti justru mengingkari eksistensi masyarakat adat itu sendiri. Pasal 18 dalam penggunaan izin lokasi yang memperbolehkan orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia memunculkan praktik privatisasi perairan dan pesisir, sehingga perekonomian di wilayah tersebut tidak mungkin disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan sebagaimana termaktub dalam pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Pasal 18, Pasal 21 B dan Pasal 22 berpotensi terlanggarnya fungsi laut sebagai common access, hilangnya kolektivitas perekonomian perairan dan pesisir yang selama ini dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan masyarakat lokal. Karena itu, DPD RI berpendapat bahwa perlu disisipkan ayat (3) pasal 22 yang 1185

berguna untuk penyelarasan dari Pasal 18, Pasal 21 B dan Pasal 22 berbunyi: izin pemanfaatan perairan pesisir diberikan kepada perseorangan, badan hukum atau masyarakat tertentu memperhatikan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil yang mengatur pembatasan luasan yang dimanfaatkan. E. Ketentuan pasal 23 ayat 3 dan ketentuan pasal 50 Pasal 23 ayat 3 berbunyi: Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya oleh orang asing harus mendapat persetujuan Menteri dan Pasal 50 ayat 1 berbunyi: Menteri berwenang memberikan izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) di wilayah perairan pesisir lintas provinsi, Kawasan Strategis Nasional dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu. Dalam pandangan DPD RI, Kedua pasal ini pada pelaksanaannya masih terdapat penguasaan atau dominasi pengusaha berkapital besar dalam pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil tanpa mempertimbangkan partisipasi aktif penduduk setempat. Dominasi pengusaha berkapital besar dalam pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil utamanya pada sektor pariwisata, budidaya perikanan dan pertambangan mineral, keberpihakan Pemerintah Daerah kepada partisipasi masyarakat setempat masih belum nampak, terutama dalam perijinan usaha dan pembinaan, yang semestinya keberpihakan pada partisipasi aktif masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Menteri Kelautan dan Perikanan memiliki kewenangan perizinan pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk orang asing yang mana pada awalnya kewenangan ini milik Pemerintah Daerah. DPD RI berpendapat bahwa seharusnya ada pembagian kewenangan antara Pemerintah Daerah dan Menteri Kelautan dan Perikanan. Pemerintah Daerah yang memiliki akses dan pembinaan terhadap Masyarakat Hukum Adat, Nelayan Tradisional dan Masyarakat Tradisional, maka Pemerintah Daerah memiliki kewenangan memberi persetujuan tentang pemberian izin lokasi dan izin pengelolaan perairan pesisir, yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sedangkan Menteri Kelautan dan Perikanan berwenang menerbitkan izin pengelolaan yang didalam izin tersebut diatur pembatasan pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk orang asing dengan ketentuan sesuai dengan rencana zonasi, harus berbadan hukum Indonesia, pembatasan kepemilikan modal asing dan pembatasan luasan yang dimanfaatkan, yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan memperhatikan lintas kementerian dan lintas provinsi dalam satu bioekoregion dalam penerbitan izin pengelolaan ini. Selain itu, DPD RI berpandangan bahwa pengaturan zonasi wilayah pesisir belum dibuat dalam secara khusus yang mempertimbangkan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang wilayah perairan pesisir lintas provinsi, Kawasan Strategis Nasional dan Kawasan Strategis Nasional tertentu, Tata Ruang Pertahanan Laut serta UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus yang mengandalkan pembangunan wilayah pesisir sebagai Kawasan Berikat dan Pembangunan Pelabuhan, dan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang telah mengatur bahwa orang asing harus memiliki Badan Hukum berkedudukan di Indonesia, ada pengaturan aset kepemilikan asing, ada pengaturan pemanfaatan lahan Hak Guna Usaha, dan pengaturan izin usahanya melibatkan Pemerintah Daerah, dalam hal ini, tidak secara langsung melibatkan Menteri. Karena itu, DPD RI berpendapat bahwa pembatasan dominasi pengusaha berkapital besar dengan cara keberpihakan pada masyarakat hukum adat, nelayan tradisional dan masyarakat tradisional secara aktif yang tertuang dalam pengaturan zonasi wilayah, termasuk tata ruang pertahanan laut, pengaturan kepemilikan orang asing, dan dapat dikukuhkan kedalam satu ayat masing-masing dalam Pasal 23 dan Pasal 50 tentang peraturan pemerintah dan peraturan Pemerintah Daerah yang menjelaskan bahwa pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga mempertimbangkan pembatasan luasan yang dimanfaatkan dan kewajiban pemeliharaan muara sungai, dan kegiatan menjaga kelestarian pulau-pulau kecil dari aksesi negara lain yang mengganggu eksistensi pulau-pulau, aspek tata ruang pertahanan laut dan kawasan strategis nasional tertentu untuk kawasan industri dan perdagangan dan sarana prasarana pelabuhan yang melibatkan kewenangan lintas Kementerian dan Pemerintah Daerah. 1186

F. Ketentuan Pasal 51 Pasal 51 ayat (1) berbunyi Menteri berwenang: a. menerbitkan izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya yang menimbulkan dampak besar terhadap perubahan lingkungan; dan b. menetapkan perubahan status zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan Nasional. DPD RI berpandangan bahwa dalam pelaksanaannya terutama pelibatan masyarakat adat pesisir dan pulau-pulau kecil belum adanya keberpihakan dan penghormatan Pemerintah kepada hak ulayat laut yang masih dipelihara dan hidup di tengah masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, bahwa hak ulayat laut dijadikan rujukan pada perencanaan zonasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan menyusun instrumen peraturan pelaksanaan UU yakni pelaksanaan atas pasal 51 ayat (1). Sehingga Pemerintah dan Pemerintah Daerah terutama di Kabupaten memiliki rujukan yang jelas saat penyusunan peraturan daerah yang terkit dengan aspek perencanaan zonasi. G. Ketentuan pasal 60 ayat (2) DPD RI berpandangan bahwa Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Tradisional memiliki peran aktif sebagai pelaksana pengawasan, penyelesaian konflik dengan mekanisme diluar penyelesaian formal, dan penguatan sistem sosial dalam penegakan aturan, maka DPD RI berpendapat bahwa perlu ada tambahan butir f yang berbunyi: Masyarakat memiliki instrumen dan mekanisme pengawasan sendiri dan memiliki mekanisme alternatif secara hukum adat dalam penyelesaian konflik di luar mekanisme formal. H. KETENTUAN PASAL 75 DPD RI berpandangan bahwa pelanggaran dalam penyalahgunaan pemanfaatan perairan pesisir memiliki dampak ekologi, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat, maka DPD RI berpendapat bahwa perlu ada pemberlakuan sanksi pidana berupa denda maksimal Rp 3,000,000,000 (tiga milyar rupiah) yang diiringi dengan pengenaan sanksi hukum adat berdasarkan keputusan majelis adat setempat. III. Kesimpulan A. Setelah melakukan kajian dan analisis terhadap substansi RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, maka, DPD RI dengan ini menyatakan, bahwa RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merupakan RUU usul inisiatif Pemerintah RI, untuk dapat diteruskan ke tahapan pembahasan selanjutnya dengan memperhatikan ketentuan pasal-pasal yang telah ditinjau oleh DPD RI sebagaimana tersebut diatas dan mentaati peraturan tentang pembentukan perundang-undangan dengan mempertimbangkan secara seksama atas Pandangan dan Pendapat yang telah disampaikan oleh DPD RI. B. Hal-hal lain yang belum termuat dalam struktur RUU ini, menjadi catatan penting untuk diperhatikan baik oleh Pemerintah, DPD RI maupun DPD RI untuk proses penyempurnaan pada tahapan pembahasan selanjutnya. Terutama potensi tumpang tindihnya RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam penerapannya dengan UU lainnya seperti UU Pokok-pokok Agraria, UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU Kehutanan, Kepariwisataan, UU Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Pemerintah Daerah, UU Penanaman Modal, UU Pelayaran, UU Pangan khususnya tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan yang Berkelanjutan, mengingat ada wilayah pulau kecil yang dimanfaatkan sebagai wilayah pertanian dan perkebunan, UU Pemberdayaan Nelayan dan UU Kawasan Ekonomi Khusus, UU tentang Tata Ruang dan UU Penanaman Modal. C. DPD RI memiliki hak inisiatif mengajukan rancangan undang-undang kelautan dan undang-undang pengelolaan perbatasan yang semestinya perlu dikaji pasal-pasalnya yang menyangkut wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau kecil perbatasan dengan tujuan terdapat harmonisasi dengan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 1187

D. Demikian Pandangan dan Pendapat DPD RI tentang RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini disampaikan. DEWAN PERWAKILAN DAERAH Ketua, Jakarta, 20 Desember 2013 H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA Wakil Ketua, Wakil Ketua, GKR. HEMAS DR. LAODE IDA 1188

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RUU WILAYAH PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL DARI DPR RI No Naskah RUU Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil DPR RI Tanggapan DPD RI Usulan Perubahan 1. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL 2. Menimbang : a. bahwa wilayah pesisir dan pulaupulau kecil dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoonesia Tahun 1945; b. bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagian sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang- Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; Mengingat : Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Bagian konsideran DPD RI berpandangan bahwa terbitnya RUU Perubahan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ditujukan untuk menghindari kekosongan hukum pengaturan mengenai pengelolaan perairan pesisir pasca pembatalan 14 pasal oleh MK, memberi kepastian dan perlindungan hukum dalam pemanfaatan perairan pesisir, menata perairan pesisir secara berkeadilan, melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan dan memperkaya sumber daya pesisir serta ekosistemnya secara berkelanjutan dan melindungi hak masyarakat hukum adat. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat bahwa pada bagian konsideran perlu disisipkan butir c yang berbunyi: bahwa guna melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan dan memperkaya sumber daya pesisir serta ekosistemnya secara berkelanjutan dan melindungi hak masyarakat hukum adat untuk kesejahteraan masyarakat; c. bahwa guna melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan dan memperkaya sumber daya pesisir serta ekosistemnya secara berkelanjutan dan melindungi hak masyarakat hukum adat untuk kesejahteraan masyarakat; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT dan PRESIDEN MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU- PULAU KECIL. 1189

No Naskah RUU Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil DPR RI Tanggapan DPD RI Usulan Perubahan 3. Pasal 1 3. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km 2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya. 12. Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batasbatas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam Ekosistem pesisir. 18. Izin lokasi pemanfaatan perairan pesisir, yang selanjutnya disebut ijin lokasi, adalah ijin yang diberikan hanya untuk memanfaatkan bagian bagian tertentu dari perairan pesisir, yang mencakup permukaan laut, kolam air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu, untuk usaha terkait dengan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir. 32. Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri dari Masyarakat Hukum adat dan masyarakat lokal yang bermukim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 33. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di negara Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungna yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata, pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya. 44. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. 4. Pasal 16 (1) Setiap pemanfaatan perairan pesisir wajib memiliki izin lokasi. (2) Izin lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar pemberian izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir. (3) Setiap pemanfaatan sumber daya perairan pesisir untuk kegiatan produksi garam, biofarmakologi laut, bioteknologi laut, pemanfaatan air laut selain energi, wisata bahari, serta kegiatan survey dan pengangkatan benda muatan kapal tenggelam wajib memiliki izin. (4) Izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir untuk kegiatan yang sudah ada diluar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan. (5) Pemanfaatan sumber daya perairan pesisir pada wilayah masyarakat hukum adat oleh masyarakat hukum adat, menjadi kewenangan masyarakat hukum adat setempat. DPD RI berpandangan, bahwa dengan dibatalkannya 14 pasal oleh Mahkamah Konstitusi diperlukan (a) pengaturan dalam mengelola perairan pesisir yang akan memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam pemanfaatan perairan pesisir oleh nelayan tradisional dan masyarakat adat, diperlukan (b) pengaturan pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta dan badan perorangan dalam hal ini investor asing perlu diperketat pengaturannya dan diperlukan (c) pengaturan tata ruang pertahanan di laut dalam satu kesatuan sistem tata ruang wilayah laut. DPD RI berpendapat bahwa pengaturan atas ketiga hal tersebut dapat dikukuhkan dalam norma hukum Pasal 1 sebagai tambahan uraian pada angka 3 tentang pulau-pulau perbatasan berpenghuni yang pengelolaannya sepenuhnya oleh negara, tambahan penjelasan angka 12 tentang penetapan zonasi berdasarkan tahapan identifikasi potensi, penghitungan daya dukung, dan rencana pengelolaan, angka 18 tentang izin lokasi yang pemberiannya harus mendapat persetujuan dari masyarakat adat dan masyarakat setempat, tambahan penjelasan angka 32 bahwa penetapan identitas masyarakat beserta kelembagaannya dikukuhkan dalam peraturan daerah, tambahan penjelasan angka 33 bahwa masyarakat adat beserta kelembagaannya dikukuhkan dalam peraturan daerah, dan tambahan angka 45 yang menjamin kepastian hukum dalam pengawasan dan pengamanan tata ruang pertahanan di laut yang berbunyi: Tata Ruang Pertahanan Laut adalah penegakkan kedaulatan dan hukum laut zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan RI. Dalam Pasal 16 ayat 1 yang berbunyi: Setiap pemanfaatan perairan pesisir wajib memiliki izin lokasi dan ayat 2 berbunyi Izin lokasi sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan dasar pemberian izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir, DPD RI berpandangan bahwa izin lokasi ini dapat diinterpretasikan melegalisasi pengkaplingan wilayah perairan pesisir untuk dijadikan private ownership dan close ownership kepada perseorangan, badan hukum atau masyarakat tertentu. Akibatnya, masyarakat adat, masyarakat lokal dan tradisional yang tidak memiliki izin lokasi dilarang memanfaatkan perairan pesisir. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan ambiguitas dan penafsiran yang berbeda dari berbagai pihak, yang pada gilirannya dapat menimbulkan permasalahan hukum dikemudian hari. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, perlu ada penambahan frasa pada ayat (2) yang berbunyi:...mengutamakan keberlanjutan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan memperhatikan keseimbangan Rencana 45. Tata Ruang Pertahanan Laut adalah penegakkan kedaulatan dan hukum laut zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan RI. 1190

No Naskah RUU Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil DPR RI Tanggapan DPD RI Usulan Perubahan (6) Pemanfaatan sumber daya perairan pesisir sebgaimana dimaksud pada ayat (5) mempertimbangkan : a. Kelestarian dan keberlanjutan sumber daya perairan pesisir; b. Kesesuaian dengan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulaupulau kecil; dan c. Kepentingan nasional. (7) Kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir selain kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan peraturan presiden. 5. Pasal 18 Izin lokasi sebgaimana dalam pasal 16 ayat (1) dan izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir sebagaimana dalam pasal 16 ayat (3) diberikan kepada : a. Orang perseorangan warga negara Indonesia; atau b. Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia. Pasal 21 B Pemberian izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) dalam wilayah hak ulayat perairan dapat dilakukan setelah memperoleh persetujaun dari masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat perairan. Pasal 22 (1) Izin lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti dikawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum. (2) Pemanfaatan kawasan konservasi di luar zona inti diatur dengan peraturan pemerintah. Strategis Pengelolaan Pesisir dengan Rencana Zonasi dan Rencana Aksi Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil yang berkeadilan yang melibatkan partisipasi masyarakat adat, masyarakat tradisional dan masyarakat lokal dalam pemberian izin lokasi. DPD RI berpendapat bahwa ayat 3 kegiatan produksi garam karena sudah menjadi budaya leluhur, maka dikecualikan dalam ketentuan ayat 3. Sebagai pengganti dari dihilangkannya kegiatan produksi garam, perlu ditambahkan kegiatan penanaman, pemeliharaan, dan pemanfaatan mangrove sebagai bentuk konservasi dalam satu bioekoregion. Keputusan Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 3 /PUU-VIII/2010 telah membatalkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir pada UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dengan demikian terdapat perubahan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) menjadi konsep perizinan yaitu izin pemanfaatan perairan pesisir (IP-3) dan Izin Pemanfaatan Ruang Perairan Pesisir (IPRP-2) yang secara prinsip mengubah pendekatan hak menjadi perizinan. IP-3 dan IPRP- 2 dimaksudkan sebagai izin lokasi yang menunjukkan bagian tertentu dari kawasan perairan pesisir sebagai lokasi tempat dilakukan kegiatan ekonomi. Dan juga memberikan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir serta penunjukkan lokasi tempat dilakukannya kegiatan usaha. DPD RI berpandangan bahwa Pasal 16, Pasal 18, Pasal 21B, dan Pasal 22 berpotensi terjadi inkonsistensi dalam pelaksanaannya dikarenakan pemberian izin lokasi dan izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir, terutama pada zona inti justru mengingkari eksistensi masyarakat adat itu sendiri. Pasal 18 dalam penggunaan izin lokasi yang memperbolehkan orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia memunculkan praktik privatisasi perairan dan pesisir, sehingga perekonomian di wilayah tersebut tidak mungkin disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan Pasal 16 ayat (2). Izin lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar pemberian izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir mengutamakan keberlanjutan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan memperhatikan keseimbangan Rencana Strategis Pengelolaan Pesisir dengan Rencana Zonasi dan Rencana Aksi Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil yang berkeadilan yang melibatkan partisipasi masyarakat adat, masyarakat tradisional dan masyarakat lokal dalam pemberian izin lokasi. Pasal 16 ayat (3). Setiap pemanfaatan sumber daya perairan pesisir untuk kegiatan kegiatan penanaman, pemeliharaan, dan pemanfaatan mangrove sebagai bentuk konservasi dalam satu bioekoregion., biofarmakologi laut, bioteknologi laut, pemanfaatan air laut selain energi, wisata bahari, serta kegiatan survey dan pengangkatan benda muatan kapal tenggelam wajib memiliki izin. Pasal 22 (1) Izin lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti dikawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum. (2) Pemanfaatan kawasan konservasi di luar zona inti diatur dengan peraturan pemerintah. (3) izin pemanfaatan perairan pesisir diberikan kepada perseorangan, badan hukum atau masyarakat tertentu memperhatikan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mengatur pembatasan luasan yang dimanfaatkan 1191

No Naskah RUU Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil DPR RI Tanggapan DPD RI Usulan Perubahan sebagaimana termaktub dalam pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Pasal 18, Pasal 21 B dan Pasal 22 berpotensi terlanggarnya fungsi laut sebagai common access, hilangnya kolektivitas perekonomian perairan dan pesisir yang selama ini dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan masyarakat lokal. 6. Pasal 23 (1) Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya. (2) Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut: a. konservasi; b. pendidikan dan pelatihan; c. penelitian dan pengembangan; d. budidaya laut; e. pariwisata; f. usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; g. pertanian organik; dan/atau h. peternakan. (3) Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib: a. memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan; b. memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat; serta c. menggunakan teknologi yang ramah lingkungan. (4) Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya oleh orang asing harus mendapat persetujuan Menteri. Karena itu, DPD RI berpendapat bahwa perlu disisipkan ayat (3) pasal 22 yang berguna untuk penyelarasan dari Pasal 18, Pasal 21 B dan Pasal 22 berbunyi: izin pemanfaatan perairan pesisir diberikan kepada perseorangan, badan hukum atau masyarakat tertentu memperhatikan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mengatur pembatasan luasan yang dimanfaatkan. Pasal 23 ayat 3 berbunyi: Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya oleh orang asing harus mendapat persetujuan Menteri dan Pasal 50 ayat 1 berbunyi: Menteri berwenang memberikan izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) di wilayah perairan pesisir lintas provinsi, Kawasan Strategis Nasional dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu. Dalam pandangan DPD RI, Kedua pasal ini pada pelaksanaannya masih terdapat penguasaan atau dominasi pengusaha berkapital besar dalam pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil tanpa mempertimbangkan partisipasi aktif penduduk setempat. Dominasi pengusaha berkapital besar dalam pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil utamanya pada sektor pariwisata, budidaya perikanan dan pertambangan mineral, keberpihakan Pemerintah Daerah kepada partisipasi masyarakat setempat masih belum nampak, terutama dalam perijinan usaha dan pembinaan, yang semestinya keberpihakan pada partisipasi aktif masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Menteri Kelautan dan Perikanan memiliki kewenangan perizinan pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk orang asing yang mana pada awalnya kewenangan ini milik Pemerintah Daerah. DPD RI berpendapat bahwa seharusnya ada pembagian kewenangan antara Pemerintah Daerah dan Menteri Kelautan dan Perikanan. Pemerintah Daerah yang memiliki akses dan pembinaan terhadap Masyarakat Hukum Adat, Nelayan Tradisional dan Masyarakat Tradisional, maka Pemerintah Daerah memiliki kewenangan memberi persetujuan tentang pemberian izin lokasi dan izin pengelolaan perairan pesisir, yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 1192

No Naskah RUU Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil DPR RI Tanggapan DPD RI Usulan Perubahan Pasal 50 (1) Menteri berwenang memberikan izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) dan izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (3) di wilayah perairan pesisir lintas provinsi, kawasan strategis nasional, dan kawasan strategis nasional tertentu. (2) Gubernur berwenang memberikan izin lokasi sebgaiman dimaksuda dalam pasal 16 ayat (1) dan izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir sebagiamana dimaksuda dalam pasal 16 ayat (3) di wilayah perairan pesisir sesuai kewenangannya. (3) Bupati/walikota berwenang memberikan izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) dan izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir sebagaimana dimaksud salam pasal 16 ayat (3) di wilayah perairan pesisir sesuai kewenangnya. Sedangkan Menteri Kelautan dan Perikanan berwenang menerbitkan izin pengelolaan yang didalam izin tersebut diatur pembatasan pemanfaatan pulaupulau kecil untuk orang asing dengan ketentuan sesuai dengan rencana zonasi, harus berbadan hukum Indonesia, pembatasan kepemilikan modal asing dan pembatasan luasan yang dimanfaatkan, yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan memperhatikan lintas kementerian dan lintas provinsi dalam satu bioekoregion dalam penerbitan izin pengelolaan ini. Selain itu, DPD RI berpandangan bahwa pengaturan zonasi wilayah pesisir belum dibuat dalam secara khusus yang mempertimbangkan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang wilayah perairan pesisir lintas provinsi, Kawasan Strategis Nasional dan Kawasan Strategis Nasional tertentu, Tata Ruang Pertahanan Laut serta UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus yang mengandalkan pembangunan wilayah pesisir sebagai Kawasan Berikat dan Pembangunan Pelabuhan, dan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang telah mengatur bahwa orang asing harus memiliki Badan Hukum berkedudukan di Indonesia, ada pengaturan aset kepemilikan asing, ada pengaturan pemanfaatan lahan Hak Guna Usaha, dan pengaturan izin usahanya melibatkan Pemerintah Daerah, dalam hal ini, tidak secara langsung melibatkan Menteri. Karena itu, DPD RI berpendapat bahwa pembatasan dominasi pengusaha berkapital besar dengan cara keberpihakan pada masyarakat hukum adat, nelayan tradisional dan masyarakat tradisional secara aktif yang tertuang dalam pengaturan zonasi wilayah, termasuk tata ruang pertahanan laut, pengaturan kepemilikan orang asing, dan dapat dikukuhkan kedalam satu ayat masing-masing dalam Pasal 23 dan Pasal 50 tentang peraturan pemerintah dan peraturan Pemerintah Daerah yang menjelaskan bahwa pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga mempertimbangkan pembatasan luasan yang dimanfaatkan dan kewajiban pemeliharaan muara sungai, dan kegiatan menjaga kelestarian pulau-pulau kecil dari aksesi negara lain yang mengganggu eksistensi pulau-pulau, aspek tata ruang pertahanan laut dan kawasan strategis nasional tertentu untuk kawasan industri dan perdagangan dan sarana prasarana pelabuhan yang melibatkan kewenangan lintas Kementerian dan Pemerintah Daerah. 1193

No Naskah RUU Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil DPR RI Tanggapan DPD RI Usulan Perubahan 7. Pasal 51 (1) Menteri berwenang: a. menerbitkan izin pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya yang menimbulkan dampak besar terhadap perubahan lingkungan; dan b. menetapkan perubahan status zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan Nasional. Pasal 60 (1) Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat mempunyai hak untuk: a. memperoleh akses terhadap bagian perairan pesisir yang sudah diberikan izin lokasi dan izin pemanfaatan sumber daya perairan pesisir; b. melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau- Pulau kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan. c. memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; d. memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; e. mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; f. menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu; g. melaporkan kepada penegak hukum akibat dugaan pencemaran, pencemaran, dan/atau perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya; h. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya; serta i. memperoleh ganti kerugian. Pasal 51 ayat (1) berbunyi Menteri berwenang: a. menerbitkan izin pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya yang menimbulkan dampak besar terhadap perubahan lingkungan; dan b. menetapkan perubahan status zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan Nasional. DPD RI berpandangan bahwa dalam pelaksanaannya terutama pelibatan masyarakat adat pesisir dan pulau-pulau kecil belum adanya keberpihakan dan penghormatan Pemerintah kepada hak ulayat laut yang masih dipelihara dan hidup di tengah masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, bahwa hak ulayat laut dijadikan rujukan pada perencanaan zonasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan menyusun instrumen peraturan pelaksanaan UU yakni pelaksanaan atas pasal 51 ayat (1). Sehingga Pemerintah dan Pemerintah Daerah terutama di Kabupaten memiliki rujukan yang jelas saat penyusunan peraturan daerah yang terkit dengan aspek perencanaan zonasi. DPD RI berpandangan bahwa Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Tradisional memiliki peran aktif sebagai pelaksana pengawasan, penyelesaian konflik dengan mekanisme diluar penyelesaian formal, dan penguatan sistem sosial dalam penegakan aturan, maka DPD RI berpendapat bahwa perlu ada tambahan butir f yang berbunyi : Masyarakat memiliki instrumen dan mekanisme pengawasan sendiri dan memiliki mekanisme alternatif secara hukum adat dalam penyelesaian konflik di luar mekanisme formal 1194