BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda:

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

BABA V PENUTUP A. KESIMPULAN. Dari beberapa penjelasan yang diuraikan di muka terhadap

FATWA TARJIH MUHAMMADIYAH HUKUM NIKAH BEDA AGAMA

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB II PERNIKAHAN DALAM HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tumbuhan maupun hewan. Perkawinan

BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ. sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama

BAB V PENUTUP. dapat dijerat dengan pasal-pasal : (1) Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum

BAB IV NASAB DAN PERWALIAN ANAK HASIL HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH (INCEST) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. Sudah menjadi sunatullah seorang manusia diciptakan untuk hidup

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IMPLIKASI HUKUM PERKAWINAN AKIBAT PEMALSUAN STATUS CALON SUAMI DI KUA

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

BAB V PENUTUP. A. Simpulan Perkawinan menurut Pasal 1 UU 1/1974 adalah ikatan lahir bathin

BAB IV ANALISIS GUGATAN SUAMI DALAM HAL MENGINGKARI KEABSAHAN ANAK YANG DILAHIRKAN ISTRINYA

NOMOR : U-287 TAHUN Bismillahirohmanirohimi. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, setelah : MENIMBANG :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

bismillahirrahmanirrahim

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENCATATAN PERKAWINAN ANAK ANGKAT DI KUA KEC. SAWAHAN KOTA SURABAYA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

Munakahat ZULKIFLI, MA

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PEMAKSAAN MENIKAH MENURUT HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA

BAB V PEMBAHASAN. A. Praktek Dan Pemahaman Masyarakat Desa Pinggirsari Kecamatan Ngantru tentang Kafa ah Dalam Perkawinan

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan penelitian penyusun sebagaimana pembahasan pada bab. sebelumnya, selanjutnya penyusun memaparkan beberapa kesimpulan

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

BAB IV. A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemberian Izin Poligami Dalam Putusan No. 913/Pdt.P/2003/PA. Mlg

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI

HUKUM MENIKAHI WANITA YANG SEDANG HAMIL (Bag-2)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS PERNIKAHAN SIRRI SEORANG ISTRI YANG MASIH DALAM PROSES PERCERAIAN

bismillahirrahmanirrahim

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 17 Tahun 2013 Tentang BERISTRI LEBIH DARI EMPAT DALAM WAKTU BERSAMAAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP PROSES PENYELESAIAN WALI ADHAL DI. PENGADILAN AGAMA SINGARAJA NOMOR. 04/Pdt.P/2009/PA.Sgr

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM

BAB IV WALI AD}AL KARENA KESAMAAN WETON DITINJAU DALAM HUKUM ISLAM

Apakah Kawin Kontrak Itu?

MENTELU DI DESA SUMBEREJO KECAMATAN LAMONGAN

FAKULTAS SYARI'AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) ZAWIYAH COT KALA LANGSA 2015 M/1436 H

KEWENANGAN AYAH BIOLOGIS SEBAGAI WALI NIKAH TERHADAP ANAK LUAR KAWIN (Kajian Komparasi Antara Hukum Perkawinan Indonesia dengan Empat Madzhab Besar)

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian dalam Islam menjadi hal yang harus dipatuhi, hal ini

SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM MENETAPKAN WALI ADHAL DALAM PERKAWINAN BAGI PARA PIHAK DI PENGADILAN AGAMA KELAS 1A PADANG

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN WANITA HAMIL OLEH SELAIN YANG MENGHAMILI. Karangdinoyo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro

BAB III PERKAWINAN SIRI DI INDONESIA. A. Upaya Pemerintah Dalam Menangani Maraknya Perkawinan Siri

Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar FIQIH, (Jakarta:KENCANA. 2003), Hal-141. Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: AMZAH.

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan. 2 Sedangkan Ijbar

BAB II LEGALISASI PERNIKAHAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP STATUS ISTRI & ANAK PASCA PENOLAKAN PERKARA ISBAT NIKAH POLIGAMI

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

BAB VI PENUTUP. menolak permohonan dispensasi nikah yang diajukan ke Pengandilan Agama pada

BAB IV PEMBAHASAN. 1. Sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan Kasasi dari Pengadilan Tinggi Surabaya dan Pengadilan Negeri Bangkalan

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada kodratnya adalah sebagai makhluk sosial (zoon politicon)

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo*

AD{AL DENGAN ALASAN CALON SUAMI SEORANG MUALLAF DAN

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang disebut dengan lembaga perkawinan. merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam). 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagaimana diketahui bahwa perkawinan adalah satu jalan yang

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PERKAWINAN DAN PENCATATAN PERKAWINAN ANAK ADOPSI DI KUA KEC. PRAJURIT KULON KOTA MOJOKERTO

HIBAH, FUNGSI DAN KORELASINYA DENGAN KEWARISAN. O l e h : Drs. Dede Ibin, SH. (Wkl. Ketua PA Rangkasbitung)

APAKAH ITU MAHRAM. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

BAB V PENUTUP. mengambil kesimpulan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. rumah tangga yang islami, yakni rumah tangga yang berjalan di atas

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

MAD{IAH ISTRI AKIBAT PERCERAIAN DI KELURAHAN SEMOLOWARU

BAB IV ANALISIS METODOLOGIS FATWA HUKUM PIMPINAN WILAYAH (PW) MUHAMMADIYAH JAWA TENGAH DALAM KONTEKS PEREMPUAN HAMIL DI LUAR NIKAH AKIBAT ZINA

BAB IV PEMERIKSAAN KESEHATAN PRANIKAH (PREMARITAL CHECK UP) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. makhluk Allah SWT. Perkawinan adalah cara yang dipilih oleh. sebagaimana tercantum didalam Al-Qur an surat An-nur ayat 32 :

Oleh : TIM DOSEN SPAI

BAB III ANALISIS. Pada dasarnya hukum islam tidak memberatkan umatnya. Akan tetapi

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN PAKSA DAN IMPLIKASI HUKUMNYA.

BAB I PENDAHULUAN. Artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S.Adz-Dzariyat: 49).

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

STATUS HUKUM ANAK HASIL PERNIKAHAN SIRRI DAN AKIBAT HUKUMNYA

Menyoal Poligami dan Kendalanya Jumat, 26 Nopember 04

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP UPAH CATONAN DI DESA CIEURIH KEC. MAJA KAB. MAJALENGKA

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK A. Analisis Terhadap Prosedur Pernikahan Wanita Hamil di Luar Nikah di Kantor Urusan Agama Kecamata Cerme Kabupaten Gresik Sejak diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974, merupakan era baru bagi kepentingan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Pemerintah telah melakukan upaya ini sejak lama sekali karena pernikahan adalah suatu akad suci yang di dalamnya juga mengandung unsur keperdataan. Penyusunan undang-undang ini dimaksudkan agar semua pihak dapat lebih mengerti dan menyadari betapa penting nilai keadilan dan ketertiban dalam sebuah pernikahan yang menjadi pilar tegaknya kahidupan rumah tangga. Mengacu kepada nilai keadilan dan ketertiban dalam sebuah pernikahan, UU No. 1 Tahun 1974 ini mengatur tentang pencatatan pernikahan. Pencatatan pernikahan ini bertujuan untuk mewujudkan perlindungan terhadap martabat dan kesucian pernikahan, dan lebih khusus bagi wanita dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan pernikahan yang dibuktikan dengan Akta Nikah, suami-istri yang merasa dirugikan karena adanya perselisihan atau ketidak 57

58 bertanggung jawaban salah satu pihak dapat melakukan upaya hukum untuk mempertahankan atau memperoleh hak-hak masiang-masing. Karena dengan akta tersebut, suami istri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Akta Nikah ini tidak dikeluarkan oleh sembarang orang atau lembaga, hanya satu lembaga yang berhak mengeluarkan Akta Nikah, yaitu pejabat PPN yang dalam hal ini berkedudukan di KUA. Meskipun pejabat PPN di KUA memiliki hak penuh, namun di dalamnya terdapat kewajiban-kewajiban yang mana kewajiban-kewajiban ini memerlukan suatu ketelitian dan perhatian yang bijaksana serta seksama terutama bagi pegawai pencatat nikah. Dalam hal ketelitian, pejabat PPN harus memeriksa kebenaran tentang pemberitahuan pernikahan calon mempelai yang masuk ke KUA, mulai dari kemungkinan terjadinya penyimpangan atau pemalsuan identitas baik itu mengenai agama yang berbeda, pemalsuan umur (di bawah umur), dan yang terpenting adalah status pernikahan calon mempelai. Setelah dipenuhi persyaratan dan tata cara serta tidak ada halangan pernikahan, pejabat PPN menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan pernikahan. Meskipun pejabat PPN sudah mengikuti prosedur pencatatan pernikahan yang seharusnya, ada kalanya terjadi kendala-kendala yang membutuhkan penyelesaian secepatnya. Misalnya, fenomena pernikahan wanita hamil di luar nikah. Masalah ini membutuhkan ketelitian dan perhatian yang bijaksana karena semakin longgarnya norma-norma moral dan etika sebagian masyarakat itu,

59 terlebih mereka yang masih remaja dan kesadaran keagamaannya masih sangat labil. Persoalannya sekarang adalah bagaimana menghadapi persoalan yang muncul apabila seorang perempuan hamil dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya. Kompilasi Hukum Islam tidak mengantisipasi jawaban untuk persoalan ini. Kompilasi Hukum Islam hanya menjelaskan dalam pasal 53 ayat 1 bahwa, Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Tanpa bermaksud menuduh atau membuka aib orang lain, kejadian pernikahan wanita hamil di luar nikah banyak yang tidak mengikuti aturan main di pasal 53 ayat 1 KHI. Kemungkinan pernikahan antara seorang laki-laki yang tidak menghamili wanita yang hamil dijadikan sebagai bapak formal yaitu pengganti karena laki-laki yang menghamilinya tidak mau bertanggang jawab. Hal seperti ini mungkin bisa terjadi atau mungkin sering terjadi. Menghadapi persoalan yang demikian, pegawai pencatat nikah sedikitnya mengalami kemusykilan. Di satu sisi, jika pernikahan antara wanita hamil di luar nikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya dilangsungkan, maka status hukum pernikahannya terancam tidak sah, berarti hubungan tersebut juga tidak sah. Selain itu, kebolehan untuk menikahi wanita hamil oleh laki-laki yang tidak menghamilinya seakan-akan memberikan akibat hukum tentang kebolehan dan pemberian peluang kepada orang-orang yang kurang atau tidak kokoh

60 keimanannya, akan dengan gampang menyalurkan kebutuhan seksualnya di luar nikah. Padahal akibatnya jelas dapat merusak tatanan moral dan juga kehidupan keluarga, serta sendi-sendi keberagamaan masyarakat. Sedangkan jika pernikahan antara wanita hamil di luar nikah dengan lakilaki yang tidak menghamilinya, tidak dapat dilangsungkan dalam batas-batas tertentu, akan menimbulkan dampak psikologis bagi keluarga perempuan tersebut, dan juga bagi bayi yang dikandungnya. Pada saat-saat pertumbuhannya akan mendapat sorotan dari teman-temannya ataupun masyarakat, yang bukan mustahil akan menjadi beban mental berkepanjangan bagi dia. Oleh karena itulah, dalam hal ini ketelitian dari pegawai pencatat nikah merupakan peran penting dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya pernikahan laki-laki baik-baik dengan wanita hamil. Pendekatan dan upaya pegawai pencatat, apabila dilaksanakan secara konsisten, besar kemungkinan akan sangat bermanfaat bagi upaya pencegahan terjadinya hubungan seksual di luar nikah, atau setidaknya mengurangi. Persoalan tentang wanita hamil di luar nikah ini membutuhkan perhatian dan ketelitian yang serius oleh pejabat pencatat nikah. Hal ini juga yang diterapkan oleh KUA Cerme apabila menghadapi kasus wanita hamil di luar nikah. Pejabat KUA (dalam hal ini Kepala KUA) akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut secara pribadi. Untuk menghilangkan kemusykilan dan menegakkan pasal 53 ayat 1 KHI, pejabat KUA mencari solusi dengan cara menghadirkan kedua calon mempelai

61 dalam suatu majelis tertutup. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang memperkuat kebenaran dan juga pembuatan pernyataan di atas materai 6.000. Solusi untuk masalah ini, untuk saat ini, dianggap sebagai jalan keluar yang efektif dan efisien karena tidak membutuhkan banyak waktu ataupun biaya apabila dibandingkan dengan menjalankan tes DNA. Selain itu, karena lamanya waktu yang diperlukan untuk tes DNA, dikhawatirkan anak ini akan lahir tanpa status (karena belum diketahui kebenaran bapak biologisnya). Kebijakan pembuatan surat pernyataan ini merupakan suatu ikhtiyar dan ikhtiya>t} dari kepala KUA dalam rangka menjamin kepastian hukum atas anak yang dilahirkan dari hubungan di luar nikah. Di antaranya kepastian hukum dalam hal status, nasab, perwalian, dan hal waris. Surat pernyataan ini juga dapat dijadikan acuan oleh KUA (Kepala KUA) untuk melangsungkan pernikahan wanita hamil, karena ada pengakuan dari kedua belah pihak yang akan menikah bahwa si calon mempelai wanita sudah hamil dan yang menyebabkan kehamilannya adalah si calon mempelai pria. Jadi, jika pernikahan wanita hamil ini dilaksanakan oleh KUA, hal ini telah sesuai dengan Pasal 53 ayat 1 KHI. Dengan demikian, apa yang telah dilakukan oleh KUA Cerme dalam hal mengatasi permasalahan pernikahan wanita hamil di luar nikah dengan cara membuat surat pernyataan bermaterai 6.000 yang dibuat oleh calon mempelai adalah jalan keluar (solusi) yang dapat mendukung proses pelaksanaan pernikahan wanita hamil. Hal itu juga dapat dijadikan alat bukti, karena pada

62 prinsipnya KHI membolehkan wanita hamil di luar nikah untuk menikah dengan laki-laki yang telah menghamilinya. B. Analisis Hukum Islam Terhadap Proses Pernikahan Wanita Hamil di Luar Nikah di Kantor Urusan Agama Kecamata Cerme Kabupaten Gresik Bahwa pada dasarnya proses pernikahan yang dilakukan oleh calon mempelai yang hamil di luar nikah yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik itu melalui prosedur yang sama, tidak ada perbedaan. Hanya saja, sebagai ikhtiya>t} (kehati-hatian) dari kepala kua, maka kepala KUA Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik mengambil jalan dengan membuat surat pernyataan yang berisi tentang pengakuan kedua calon mempelai. Maka apa yang telah dilakukan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik tersebut adalah sesuai dengan hukum Islam, sebagaiman pendapat Jumhur Ulama yaitu maz hab Hanafi, Maliki, Syafi i, dan Hambali yang berpendapat bahwa pernikahan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami istri, dengan ketentuan bila si pria itu menghamilinya dan kemudian baru ia mengawininya. Pendapat tersebut berdasarkan firman Allah : Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki

63 musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min. (Q.S. An-Nur: 3). 1 Hal diatas tersebut dikuatkan dengan apa yang ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam, tentang pernikahan wanita hamil di luar nikah diatur pada Pasal 53 ayat 1 yang berbunyi : 1. Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. 2. Pernikahan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. 3. Dengan dilangsungkannya pernikahan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan ulang setelah anak yang dikandung lahir. 2 Kebolehan kawin perempuan hamil menurut ketentuan di atas adalah terbatas bagi laki-laki yang menghamilinya. Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa kebolehan kawin dengan perempuan hamil bagi laki-laki yang menghamilinya adalah merupakan perkecualian bahwa laki-laki yang menghamilinya itulah yang tepat menjadi jodoh mereka. Pengidentifikasian dengan laki-laki musyrik menunjukkan keharaman wanita yang hamil tadi, adalah isyarat larangan bagi laki-laki baik-baik untuk mengawini mereka (Al -Baqarah: 221). Isyarat tersebut dikuatkan lagi dengan kalimat penutup ayat-ayat wa h}urrima z a>lika ala al-mu minin. Jadi, bagi selain laki-laki yang menghamili perempuan yang hamil tersebut diharamkan untuk menikahinya. 3 Menurut ulama maz hab Hanafi, Maliki, Syafi i, dan Hambali berpendapat bahwa pernikahan wanita hamil dengan seorang pria dianggap sah dan boleh 1 Depag RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, h. 324 2 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 201 3 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 164

64 bercampur dengan suami istri dengan ketentuan bila laki-laki itu adalah orang yang menghamilinya, kemudian baru ia menikahinya. Selain itu, keduanya harus bertaubat dan menjalani hukuman dera (cambuk ) karena keduanya telah berbuat zina. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Al-Hayan Al-Syaibani mengatakan bahwa pernikahannya itu sah tetapi haram baginya bercampur baginya (hubungan suami) selama anak yang dikandungnya belum lahir. Jadi, setelah anak yang dikandungnya lahir barulah suami boleh bercampur dengan perempuan yang dinikahinya. Mayoritas ulama (jumhur) cenderung membolehkannya, dan sebagian menolaknya. Perbedaan pendapat tersebut timbul karena perbedaan dalam memahami ayat wa h}urrima z a>lika ala al-mu minin apakah kata ganti (d}amir), z a>lika menunjukkan kepada zina atau nikah. Bagi mayoritas ulama, ayat ini menunjukkan celaan saja bukan keharaman. Mereka mengacu kepada hadis riwayat dari Jabir:

65 Artinya: Diriwayatkan dari al-husain ibn H}urais\ dari al-fad}lu ibn Musa dari dari al-h}usain ibn Wa>qid dari Umarah ibn Abi H}afs}ah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata: Seorang laki-laki datang menghadap Nabi SAW mengadukan perihal istrinya. Ia mengatakan: Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya istriku tidak menolak tangan-tangan laki-laki yang memegangnya (menggaulinya). Nabi SAW bersabda: Ceraikan saja dia. Laki-laki itu berkata: Tetapi aku masih mencintainya, karena dia cantik. Bersenanglah kamu dengan dia kata nabi kepada laki-laki tersebut. (H.R> an-nasa> iy). 4 Bagitu juga dengan proses atau cara yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik dalam menikahkan wanita hamil di luar nikah dengan cara membuat surat pernyataan di atas kertas bemateraikan 6000 dengan tujuan : 1. Menjamin kepastian hukum anak yang akan lahir 2. Dapat dijadikan acuan dalam melaksakan pernikahan wanita hamil di luar nikah yang sesuai dengan pasal 53 ayat 1 Dengan demikian, seorang anak yang lahir dari bapak dan ibu ini dinamakan anak yang sah. Akan tetapi kalau anak itu lahir bukan dari pernikahan yang sah, maka anak ini disebut anak hasil zina atau anak yang tidak sah. Menurut jumhur ulama, anak ini hanya dinasabkan kepada ibunya. Berarti anak yang tidak ada bapaknya atau tidak mempunyai nasab. Dalam sebuah hadis Nabi SAW : 4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 167. Buka CD Hadis\ Kutub al-tis ah, Sunan An-Nasa> iy, Kita>b al-t{ala>q, Hadis\ No. 3410

66 Artinya : Dari Abu Hurairah ra. Bahwasannya Nabi SAW pernah bersabda: Anak hasil zina itu ialah untuk ibunya, dan laki-laki yang berzina itu berhak dilempar batu (HR. Bukhari dan Muslim) Namun dengan adanya pernyataan dari laki-laki yang melaksanakan pernikahan dengan wanita hamil didapat pula pernyataan tentang anak yang dikandung wanita yang hamil sebagai anaknya, dan anak tersebut dapat mempunyai hubungan nasab dengan bapak dan ibunya serta mendapat kepastian hukum sebagai anak yang sah.sebagai mana firman Allah yang berbunyi : 5 Artinya: Panggillah mereka (anak -anak angkat itu) dengan (memakai/nama) bapak-bapak mereka itulah yang lebih adil pada sisi Allah (Q.S. Al- Ahzab: 5).