BAB IV BENTUK PENGATURAN PENYELENGGARAAN INVESTASI SEMI KELOLA DALAM BIDANG JASA AKOMODASI WISATA

dokumen-dokumen yang mirip
NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.738, 2010 KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA. Usaha Penyediaan Akomodasi. Pendaftaran. Prosedur.

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM.53/HM.001/MPEK/2013 TENTANG STANDAR USAHA HOTEL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BALANGAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA BUKITTINGGI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR,

RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG STANDARISASI USAHA VILA DI KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BARITO KUALA PROVINSI KALIANTAN SELATAN

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI MUARA ENIM PROVINSI SUMATERA SELATAN

BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOMBANA NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BOMBANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOMBANA,

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR,

BUPATI SOLOK SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOLOK SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENANAMAN MODAL

BUPATI SUMBA TENGAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENANAMAN MODAL

QANUN ACEH NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

2015, No Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembara

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR USAHA VILA

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUASIN,

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR USAHA PONDOK WISATA

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR USAHA KARAOKE

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR SERI B PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 6 SERI E

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR USAHA WISATA PERAHU LAYAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR USAHA JASA IMPRESARIAT/PROMOTOR

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN USAHA PARIWISATA DI KABUPATEN BANYUWANGI

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO

JASA KONSTRUKSI NO SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,

PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG STANDARISASI USAHA PONDOK WISATA DI KABUPATEN BADUNG

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANJAR

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

BUPATI MERANGIN PROVINSI JAMBI PERATURANDAERAH KABUPATEN MERANGIN NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 56 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN USAHA RESTORAN

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG

HUKUM KONSTRUKSI. Ringkasan Hukum Konstruksi UU No 18 Tahun 1999 Jasa Konstruksi. Oleh : Inggrid Permaswari C Kelas B NIM :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR USAHA KAWASAN PARIWISATA

-2- Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REP

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR USAHA ANGKUTAN JALAN WISATA

BUPATI ENDE PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENDE NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANGKA TENGAH

, No Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata (Lembaran Negar

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR USAHA ARENA PERMAINAN

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KOTA TANGERANG SELATAN

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU,

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 1 TAHUN 2014 PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2013 TENTANG PEMBINAAN JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR USAHA JASA PERJALANAN WISATA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR USAHA KAFE

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR USAHA WISATA SELAM

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

BUPATI MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN BUPATI MANDAILING NATAL NOMOR 28 TAHUN 2015 TENTANG TANDA DAFTAR USAHA PARIWISATA

WALIKOTA SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENANAMAN MODAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL

7. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republi

2017, No di bidang arsitektur, dan peningkatan mutu karya arsitektur untuk menghadapi tantangan global; d. bahwa saat ini belum ada pengaturan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN USAHA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR USAHA JASA PRAMUWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2015, No Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembar

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

BAB IV BENTUK PENGATURAN PENYELENGGARAAN INVESTASI SEMI KELOLA DALAM BIDANG JASA AKOMODASI WISATA 4.1 Karakteristik Kebutuhan Hukum yang Timbul dari Akibat Penerapan Model Invetasi Semi Kelola dalam Bidang Jasa Akomodasi Wisata Menurut McDougal, perumusan norma hukum dapat dilakukan dengan baik hanya jika perumusan norma itu dimulai dari pengidentifikasian karakteristik obyek yang akan diatur oleh norma itu dan pengidentifikasian karakteristik kebutuhan pengaturan yang timbul dari akibat karakteristik obyek yang akan diatur. Bagian ini akan mengeksplorasi karakteristik kebutuhan pengaturan atau kebutuhan hukum yang timbul dari akibat karakteristik penerapan model investasi semi kelola dalam pengembangan akomodasi wisata, sebagai dasar yang akan digunakan dalam memformulasikan norma yang tepat bagi pengaturan terhadap penerapan model investasi semi kelola dalam pengembangan akomodasi wisata. Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selajutnya: UUP3) menentukan bahwa penyusunan program legislasi harus didukung dengan naskah akademik. Lampiran I UUP3 mengartikan naskah akademik sebagai naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum mengenai obyek pengaturan dari produk hukum yang dibuat. Suatu naskah akademik harus menggambarkan kebutuhan hukum dan solusi hukum melalui pengaturan yang yang diperlukan. Angka 1 Lampiran I UUP3 selengkapnya menyatakan: Naskah akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah 132

133 tersebut dalam suatu rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. (cetak tebal penulis) Pengertian ini menunjukkan bahwa pemetaan kebutuhan hukum dan rancangan norma sebagai jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi merupakan prasyarat perencanaan pengaturan suatu obyek hukum melalui undang-undang maupun peraturan daerah. Kegiatan investasi semi kelola di dalam bidang jasa akomodasi wisata banyak diminati oleh para penanam modal, khususnya bagi para penanam modal asing. Investasi semi kelola dalam bidang jasa akomodasi wisata memiliki ciriciri, yaitu (1) Merupakan kegiatan perencanaan dan pengembangan akomodasi oleh pengembang (developer) yang kemudian difungsikan sebagai akomodasi wisata; (2) Merupakan kegiatan investasi dalam bentuk pembiayaan oleh pemilik modal, sekaligus sebagai pemilik proyek, terhadap akomodasi yang direncanakan dan dikembangkan oleh developer yang kemudian difungsikan sebagai akomodasi wisata; serta (3) Kegiatan pengelolaan akomodasi yang dikembangkan oleh developer, dengan biaya dari pemilik modal (investor) yang difungsikan sebagai akomodasi wisata oleh developer atau penyedia jasa sekaligus bertindak sebagai manajemen pengelola akomodasi wisata. Kegiatan perencanaan dan pengembangan suatu akomodasi diselenggarakan oleh pihak pengembang berdasarkan berdasarkan Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut UU JK). UU JK mengatur, antara lain tentang:

134 (1) Usaha jasa konstruksi yang meliputi (a) jenis, bentuk dan bidang usaha; (b) persyaratan usaha, keahlian dan keterampilan; (c) tanggung jawab profesional; dan (d) pengembangan usaha; (2) Pengikatan pekerjaan konstruksi yang meliputi (a) para pihak; (b) pengikatan para pihak; serta (c) kontrak kerja konstruksi; (3) Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi; (4) Kegagalan bangunan; serta (5) Penyelesaian sengketa yang meliputi (a) penyelesaian sengketa secara umum; (b) penyelesaian sengketa di luar pengadilan; dan (c) gugatan masyarakat. Hingga saat ini, kegiatan investasi yang dilakukan oleh investor dalam bentuk pembiayaan terhadap akomodasi yang direncanakan dan dikembangkannya tidak diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Penanaman Modal melainkan diselenggarakan berdasarkan UU JK. Akomodasi yang dikembangkan oleh developer kemudian difungsikan sebagai akomodasi wisata. Pengembangan akomodasi seharusnya diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (UU Kepariwisataan). UU Kepariwisataan tidak mengatur secara eksplisit mengenai investasi dalam bidang jasa pariwisata. UU Kepariwisataan, dalam kaitannya dengan investasi di bidang usaha jasa pariwisata, hanya mengatur tentang: (1) Kawasan strategis; (2) Usaha pariwisata; (3) Hak, kewajiban, dan larangan; (4) Kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah; dan (5) Standarisasi usaha jasa pariwisata. Kegiatan investasi bidang pariwisata di Indonesia diatur dalam beberapa aturan umum tentang investasi di bidang pariwisata dalam UU Kepariwisataan. Kegiatan investasi dalam UU Kepariwisataan disebut usaha pariwisata. Pasal 1 Angka 7 UU Kepariwisataan menyatakan bahwa Usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan

135 dan penyelenggaran pariwisata. Berdasarkan pada pengertian tersebut maka usaha pariwisata dilakukan oleh para pengusaha di bidang pariwisata. Usaha-usaha pariwisata diatur lebih lanjut dalam Pasal 14 Ayat (1) UU Kepariwisataan, dimana salah satunya adalah usaha penyediaan akomodasi (Pasal 14 Ayat (1) huruf f UU Kepariwisataan). Usaha penyediaan akomodasi menurut UU Kepariwisataan adalah usaha yang menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya. Usaha penyediaan akomodasi ini dapat berupa hotel, vila, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan karavan dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan pariwisata (Penjelasan Pasal 12 Ayat (1) huruf f UU Kepariwisataan). Namun hingga tesis ini dibuat dan penelitian yang penulis lakukan, UU Kepariwisataan tidak mengatur tentang investasi dalam bidang usaha jasa akomodasi wisata termasuk model investasi semi kelola. Pasal 1 Angka 8 UU Kepariwisataan menyatakan bahwa Pengusaha pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata. Para pengusaha yang melakukan kegiatan usaha pariwisata tentu membutuhkan modal untuk menyediakan barang dan/atau jasa demi memenuhi kebutuhan para wisatawan. Berdasarkan Pasal 1 Angka 7 UU Kepariwisataan maka kegiatan usaha pariwisata yang dijalankan oleh pengusaha pariwisata selalu diikuti dengan unsur penanaman modal atau investasi. Menghasilkan suatu barang dan/atau jasa membutuhkan modal serta bahan baku untuk memproduksi suatu barang maupun jasa. Hal penting lainnya adalah suatu tempat yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa tersebut. Pasal 1

136 Angka 9 UU Kepariwisataan menyatakan bahwa Industri pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaran pariwisata. Setiap kegiatan usaha pariwisata di Indonesia wajib memiliki standar usaha dan tertentu yang ditentukan oleh lembaga mandiri yang berwenang. Pasal 54 Ayat (1) UU Kepariwisataan menyatakan bahwa Produk, pelayanan, dan pengelolaan usaha pariwisata memiliki standar usaha. Setiap usaha pariwisata yang ada di Indonesia wajib memiliki suatu standar usaha yang dilakukan melalui sertifikasi usaha serta melalui lembaga mandiri yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah-daerah di Indonesia memiliki lembaga standarisasi usaha pariwisata yang berbeda-beda. Lembaga Standarisasi Usaha (LSU) Bidang Pariwisata yang berada di Bali adalah Lembaga Standarisasi Usaha Pariwisata Bali Mandiri (selanjutnya disebut LSU Pariwisata Bali Mandiri). Lembaga ini telah resmi ditetapkan oleh Menteri Perekonomian dan Ekonomi Kreatif pada tanggal 15 Oktober 2014 sebagai lembaga standarisasi usaha untuk wilayah Bali. LSU Pariwisata Bali Mandiri ditetapkan dengan Penetapan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor : KM.49/HK.501/MPEK/2014 tentang Penunjukan dan Penetapan PT Pariwisata Bali Mandiri (PBM) sebagai Lembaga Sertifikasi Usaha Bidang Pariwisata. Tujuan dilakukan sertifikasi usaha pariwisata adalah memberi kepastian kepada usaha pariwisata itu sendiri dan pelanggan, serta pihak-pihak yang

137 berkepentingan. Sertifikasi yang dilakukan oleh pihak LSU Pariwisata Bali Mandiri ini mencakup 3 (tiga) aspek audit, yaitu (1) aspek produk; (2) aspek pelayanan; dan (3) aspek pengelolaan, sebagaimana dalam Pasal 54 Ayat (1) UU Kepariwisataan tersebut diatas. Aspek audit yang telah memenuhi uji standar pihak LSU Pariwisata selanjutnya akan mendapatkan Sertifikat Usaha Pariwisata sebagai bentuk pengesahan kesesuaian terhadap standar usaha yang bersangkutan. Setiap pihak yang menjadi bagian dalam kegiatan pariwisata di Indonesia harus menaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, termasuk hak, kewajiban dan larangan menurut UU Kepariwisataan. Dalam bidang investasi di bidang kepariwisataan, pemerintah telah mengatur beberapa hak, kewajiban serta larangan tersebut dalam UU Kepariwisataan. Setiap orang yang memiliki keinginan untuk berusaha dalam bidang pariwisata telah dijamin haknya oleh UU Kepariwisataan ini. Bagi para pelaku usaha, UU Kepariwisataan telah mengatur tentang hak mereka dalam bidang penanaman modal atau investasi. Pasal 19 Ayat (1) UU Kepariwisataan menyatakan bahwa Setiap orang berhak untuk: (a) memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata; (b) melakukan usaha pariwisata; (c) menjadi pekerja atau buruh pariwisata; dan/atau (d) berperan dalam proses pembangunan kepariwisataan. Perlindungan hak bagi mereka yang ingin melakukan usaha di bidang pariwisata telah diatur dalam Pasal 19 Ayat (1) huruf b UU Kepariwisataan, yaitu memiliki hak untuk melakukan kegiatan usaha di bidang pariwisata.

138 Tidak hanya para pelaku usaha, para wisatawan pun mendapat hak yang sama untuk berinvestasi di bidang pariwisata. Pasal 20 UU Kepariwisataan menyatakan bahwa Setiap wisatawan berhak memperoleh (a) informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata; (b) pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar; (c) perlindungan hukum dan keamanan; (d) pelayanan kesehatan; (e) perlindungan hak pribadi; dan (f) perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi. UU Kepariwisataan telah memberikan kepastian hukum bagi para wisatawan yang ingin melakukan investasi di Indonesia sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 20 huruf c UU Kepariwisataan bahwa setiap wisatawan berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan keamanan. Setiap wisatawan yang ingin berinvestasi di Indonesia pasti mendapatkan perlindungan hukum. Para pengusaha pariwisata yang ingin memiliki sebuah usaha dalam daerah tujuan pariwisata harus memperhatikan suatu letak atau kawasan yang mampu meningkatkan usahanya. Kawasan ini diharapkan mampu membantu meningkatkan nilai penjualan barang dan/atau jasa yang ditawarkan sehingga menghasilkan keuntungan yang lebih banyak. Pasal 1 Angka 10 UU Kepariwisataan menyatakan bahwa Kawasan strategis pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.

139 UU Kepariwisataan menegaskan pengaturan kawasan strategis secara lebih lanjut. Pemerintah maupun pemerintah daerah wajib memperhatikan beberapa aspek untuk menentukan sebuah kawasan strategis. Pasal 12 Ayat (1) UU Kepariwisataan menyatakan bahwa Penetapan kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek : a) Sumber daya pariwisata alam dan budaya yang potensial menjadi daya tarik pariwisata; b) Potensi pasar; c) Lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan bangsa dan keutuhan wilayah; d) Perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup; e) Lokasi strategis yang mempunyai peran dalam usaha pelestarian dan pemanfaatan aset budaya; f) Kesiapan dan dukungan masyarakat; dan g) Kekhususan dari wilayah. Penetapan suatu kawasan strategis memiliki tujuan tertentu. Penetapan ini digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan strategis tersebut dan berpartisipasi untuk menumbuhkan dan mengembangkan perekonomian Indonesia terutama dalam kegiatan usaha dan investasi di bidang pariwisata. Hal lain yang harus diperhatikan dalam menentukan kawasan strategis pariwisata adalah memperhatikan beberapa aspek lain, yaitu (1) aspek budaya; (2) aspek sosial; dan (3) aspek agama masyarakat (Pasal 12 Ayat (3) UU Kepariwisataan). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disebut dengan UU PM) merupakan dasar aturan kegiatan penanaman modal di Indonesia. UU PM mengatur tentang beberapa aturan yang

menjadi dasar para pelaku kegiatan investasi dalam melakukan kegiatannya tersebut. Adapun beberapa hal yang diatur dalam UU PM, antara lain : 140 1. Tujuan penyelenggaraan penanaman modal; 2. Kebijakan dasar penanaman modal; 3. Bentuk badan usaha dan kedudukan; 4. Perlakuan terhadap penanam modal; 5. Bidang usaha; 6. Pengembangan penanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi; 7. Hak, kewajiban dan tanggung jawab penanam modal; 8. Fasilitas penanam modal; 9. Pengesahan dan peijinan perusahaan; 10. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan penanaman modal; 11. Penyelenggaraan urusan penanaman modal; 12. Kawasan ekonomi khusus; 13. Penyelesaian sengketa; 14. Sanksi. Pemerintah telah mengatur tentang ketentuan-ketentuan bidang penyelenggaraan investasi di Indonesia. Pasal 4 Ayat (1) UU PM menyatakan bahwa Pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk (1) mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan (2) mempercepat peningkatan penanaman modal. Pemerintah menetapkan bahwa pemerintah harus memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal, baik penanam modal asing maupun penanam modal dalam negeri dengan memperhatikan kepentingan nasional. Pasal 4 Ayat (2) huruf b UU PM menyatakan bahwa Pemerintah menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perijinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

141 undangan. Berdasarkan pada pengertian tersebut maka penanam modal yang berinvestasi di Indonesia seharusnya tidak perlu khawatir dengan perlindungan hukum terhadap modal investasi maupun usaha-usaha mereka yang telah dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Bagi para penanam modal yang ingin berinvestasi di Indonesia sepatutnya memperhatikan ketentuan bentuk badan usaha mereka. Penanam modal yang ingin berinvestasi dapat berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 5 Ayat (1) UU PM). Penanam modal asing yang ingin berinvestasi di Indonesia memiliki aturan yang ditambahkan pada Pasal 5 Ayat (2) UU PM. Pasal 5 Ayat (2) UU PM menyatakan bahwa Penanam modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan Hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undangundang. Maka berdasarkan pada ketentuan tersebut, setiap penanam modal asing yang ingin berinvestasi di Indonesia harus terlebih dahulu berbentuk badan hukum. UU PM menentukan bahwa setiap pelaku kegiatan investasi di Indonesia juga memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab. Pasal 14 UU PM menentukan bahwa Setiap penanam modal berhak mendapat (1) kepastian hak, hukum, dan perlindungan; (2) informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya; (3) hak pelayanan; dan (4) berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila dikaitkan dengan kegiatan investasi di bidang jasa akomodasi wisata, saat ini belum ada

pengaturan maupun informasi dari pemerintah yang mampu menjangkau tentang konsep investasi semi kelola. Dampaknya adalah bahwa saat ini para penanam modal, khususnya penanam modal asing, belum mendapat pemahaman yang sesuai terkait kegiatan investasi semi kelola yang ada di Indonesia. 142 Disamping hak-hak yang diterima oleh penanam modal, UU PM juga mengatur tentang kewajiban-kewajiban para penanam modal. Hal ini bertujuan untuk memberi acuan kepada penanam modal untuk ikut berpartisipasi dalam menjalankan kewajiban-kewajiban tersebut dan tidak merugikan negara dan pihak lainnya di bidang investasi. Pasal 16 UU PM menyatakan bahwa Setiap penanam modal bertanggung jawab : a. Menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. Menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara; d. Menjaga kelestarian lingkungan hidup; e. Menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan f. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. Terkait dengan pengesahan dan perijinan perusahaan, UU PM telah mengatur ketentuan umum tentang hal tersebut. Ketentuan ini mewajibkan para penanam modal untuk mendirikan perusahaan dan mendapat ijin atas perusahaan yang dibentuknya. Pasal 25 Ayat (3) UU PM menyatakan bahwa Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal asing yang berbentuk perseroan terbatas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan.

143 Setiap pengembangan akomodasi wisata yang dibiayai oleh investor seharusnya juga diselenggarakan berdasarkan UU PM. UU PM hingga saat ini hanya mengatur tentang penanaman modal asing yang harus membentuk sebuah perseroan terbatas. Hal ini menimbulkan kekosongan hukum, berkaitan dengan aturan, pengesahan ataupun perijinan tentang investasi asing yang dilakukan perorangan, seperti dalam bentuk investasi semi kelola di bidang jasa akomodasi wisata. Berkaitan dengan pendaftaran penyediaan akomodasi, pemerintah telah mengaturnya dalam sebuah Keputusan Menteri pada tahun 2010. Peraturan ini disahkan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata dengan Nomor: PM86/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Penyediaan Akomodasi (selanjutnya disebut dengan PerMen Nomor PM86/HK.501/MKP/2010). Adapun hal-hal yang diatur dalam PerMen Nomor PM86/HK.501/MKP/2010 antara lain: 1. Tempat pendaftaran, obyek dan tanggung jawab; 2. Tahapan yang meliputi (a) Tahapan pendaftaran usaha pariwisata; (b) pemeriksaan berkas permohonan; (c) pencantuman ke dalam daftar usaha pariwisata; (d) penerbitan tanda daftar usaha pariwisata; serta (e) pemutakhiran daftar usaha pariwisata; 3. Pembekuan sementara dan pembatalan, yang meliputi (1) Bagian pertama : Pembekuan sementara; dan (2) Bagian kedua : Pembatalan; 4. Pendanaan; 5. Pelaporan; dan 6. Sanksi administratif. PerMen Nomor PM86/HK.501/MKP/2010 menyatakan bahwa yang termasuk dalam bidang usaha penyediaan akomodasi dalam peraturan ini adalah (1) hotel; (2) bumi perkemahan; (3) persinggahan karavan; (4) vila; dan (5) pondok wisata. Pendaftaran akomodasi ini menurut PerMen Nomor

144 PM86/HK.501/MKP/2010 bertujuan untuk (1) menjamin kepastian hukum dalam menjalankan usaha pariwisata bagi pengusaha; dan (2) menyediakan informasi bagi semua pihak yang berkepentingan mengenai hal-hal yang tercantum dalam Daftar Usaha Pariwisata. Pengertian vila dalam PerMen Nomor PM86/HK.501/MKP/2010 apabila dikaitkan dengan konsep jasa akomodasi wisata dengan konsep semi kelola, maka konsep vila dalam peraturan ini tidak mampu menjangkau konsep jasa akomodasi dengan konsep semi kelola yang selama ini dilakukan di Indonesia. Pasal 1 Angka 6 PerMen Nomor PM86/HK.501/MKP/2010 memberi pengertian tentang vila, bahwa Vila adalah penyediaan akomodasi berupa keseluruhan bangunan tunggal yang dapat dilengkapi dengan fasilitas, kegiatan hiburan serta fasilitas lainnya. Konsep vila tersebut hanya menglasifikasi pengertian vila berdasarkan pandangan umum bangunan vila pada umumnya. Hal ini pun berdampak pada tidak diaturnya konsep manajemen waktu penggunaan vila maupun kontrak manajemen penyelenggaraan vila sebagaimana dalam penyelenggaraan akomodasi dengan konsep semi kelola. PerMen Nomor PM86/HK.501/MKP/2010 tidak mengatur secara eksplisit mengenai tata cara pendaftaran jasa akomodasi wisata lainnya, salah satunya adalah jasa akomodasi wisata dengan konsep semi kelola. Peraturan ini tidak mengatur klasifikasi jasa akomodasi wisata dengan konsep semi kelola dalam peraturan ini. PerMen Nomor PM86/HK.501.MKP/2010 juga tidak mengatur tentang pengaturan perjanjian manajemen pengelolaan akomodasi wisata.

145 Kegiatan investasi dengan mengklasifikasi akomodasi dengan bentuk hotel telah diatur dalam Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.3/HK.001/MKP.02 tentang Penggolongan Kelas Hotel yang telah diganti dengan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor PM.53/HM.001/MPEK/2013 tentang Standar Usaha Hotel (selanjutnya disebut PerMen SUH). PerMen SUH mengatur tentang : 1. Usaha Hotel; 2. Penilaian standar hotel, yang meliputi (a) Unsur penilaian standar usaha hotel; (b) penilaian hotel bintang dan hotel nonbintang; (c) sertifikasi usaha hotel; (d) penilaian mandiri; 3. Pembinaan dan pengawasan; serta 4. Sanksi administratif. Analisis normatif terhadap norma yang mengatur penanaman modal dan kegiataan penyediaan jasa akomodasi wisata menunjukkan bahwa pengaturan tersebut belum menyediakan ketentuan yang dapat digunakan sebagai instrumen hukum untuk mengatur dan mengendalikan kegiatan pengambangan properti yang digunakan dan dikelola sebagai akomodasi wisata yang menggunakan modal asing sebagai sumber pembiayaan. Kekosongan norma ini menimbulkan kebutuhan untuk mengatur pengembangan properti yang akan digunakan dan dikelola sebagai akomodasi wisata yang sumber pembiayaannya berasal dari sumber pembiayaan asing. Kebutuhan pengaturan itu mencakup identifikasi kebutuhan sebagai berikut: (a) Identifikasi karakteristik pengembangan properti yang menjadi obyek pengaturan; dan (b) Kewajiban untuk memenuhi seluruh persyaratan penanaman modal asing sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal asing.

146 Kebutuhan tersebut merupakan upaya untuk memecahkan masalah penyelenggaraan pengembangan properti untuk penyediaan jasa akomodasi. Kebutuhan sebagaimana tersebut diatas merupakan kebutuhan-kebutuhan penyediaan jasa akomodasi yang menggunakan modal asing sebagai sumber pembiayaan yang tidak mengikuti ketentuan penanaman modal dan merugikan negara serta masyarakat dari segi manfaat penanaman modal asing. 4.2 Bentuk Pengaturan Penyelenggaraan Model Investasi Semi Kelola dalam Bidang Penyediaan Jasa Akomodasi Wisata 4.2.1 Obyek Pengaturan Penyelenggaraan Investasi Semi Kelola dalam Penyediaan Jasa Akomodasi Wisata Myres S. McDougal menjelaskan bahwa suatu produk hukum yang dibuat harus memperhatikan karakteristik obyek yang diaturnya. Tujuan memberi perhatian yang memadai terhadap karakteristik obyek pengaturan adalah untuk menghindarkan problem diskorelasi antara norma dengan obyek norma yang diaturnya, yang lebih jauh merupakan sebab tidak atau kurang berfungsinya pengaturan. 122 Pasal 5 UUP3 menentukan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus memenuhi beberapa persyaratan asas, yaitu: (a) Kejelasan tujuan; (b) Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; (c) Kesesuaian antara jenis, hierarkhi, dan materi muatan; (d) Dapat dilaksanakan; (e) Kedayagunaan dan kehasilgunaan; (f) Kejelasan rumusan; dan (g) Keterbukaan. 122 Myres S. Mc Dougal, Law as a Process of Decision: A Policy-Oriented Approach to Legal Study, (cited 2015 April 19 th ), available from : URL : http://digitalcommons.law.yale.edu/fss_papers/2464, hal. 53 dan 68

147 Asas pada huruf (a), huruf (c), huruf (d), dan huruf (e) merupakan asas yang mensyaratkan identifikasi yang cermat terhadap obyek yang diatur, yang menentukan apakah suatu ketentuan hukum yang dibuat itu dapat dilaksanakan atau tidak dan selanjutnya berdayaguna atau tidak bagi masyarakat dan negara. Ketentuan tersebut selanjutnya dilengkapi oleh ketentuan tentang asas materi muatan sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 UUP3 menentukan bahwa, materi muatan peraturan perundang-undangan harus menceminkan asas, antara lain: keadilan (huruf g), ketertiban dan kepastian hukum (huruf i), dan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan (huruf j). Ketentuan ini mensyaratkan identifikasi obyek yang lebih baik dalam rangka membangun rumusan norma yang menjamin kepastian hukum. Untuk memenuhi asas yang ditentukan UUP3, maka identifikasi secara lebih terinci terhadap model investasi semi kelola dalam penyediaan jasa akomodasi wisata sebagai obyek pengaturan merupakan identifikasi yang sangat diperlukan. Karakteristik pengembangan properti dengan model ROI dalam penyediaan jasa akomodasi wisata sebagai obyek pengaturan yang dikembangkan dengan sumber pembiayaan asing dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) kegiatan tersebut merupakan kegiatan pengembangan properti; (2) kegiatan pengembangan itu bertujuan untuk mengembangkan properti yang akan digunakan dan dikelola untuk akomodasi wisata; (3) pengembangan properti itu direncanakan dan dipasarkan oleh pengembang;

148 (4) perencanaan tersebut mencakup: desain bentang alam lokasi pengembangan, desain rancang bangun properti yang akan dikembangkan, besaran biaya dan model pembiayaan properti yang dikembangkan, penyelenggaraan pembangunan, penyerahan kepada pembeli/pemilik, penyerahan kembali kepada pengembang untuk dikelola, pengelolaan, dan prospek penghasilan dari pengelolaan sebagai bentuk pengembalian biaya pembelian/investasi; (5) pengembangan itu dilakukan oleh pengembang dan sepenuhnya dibiayai oleh pembeli, baik secara individual maupun kolektif; (6) pembeli merupakan pihak asing; (7) kesepakatan antara pihak pengembang dengan pihak pembeli dirumuskan dalam bentuk ROI; dan (8) properti yang dikembangkan itu diserahkan kembali kepada pengembang untuk dikelola; (9) pembeli/pemilik memperoleh penghasilan dari pengelolaan itu, yang diterima sebagai bentuk pengembalian biaya yang dibayarkan untuk biaya pembangunan properti. Setiap pengembangan properti atau pengembangan akomodasi wisata yang memenuhi ciri-ciri demikian itu seharusnya mengikuti ketentuan tentang penanaman modal asing. Namun kekosongan pengaturan berkenaan dengan identifikasi itu telah mengakibatkan ketentuan investasi dan ketentuan pariwisata tidak dapat menjangkau kegiatan pengembangan properti dengan identifikasi demikian itu. Bagian lain yang juga sangat penting dalam suatu pengaturan adalah

149 bagian ketentuan tentang sanksi sebagai bentuk upaya memaksa agar setiap subyek hukum yang berada dalam ruang lingkup pengaturan itu menaati ketentuan yang berlaku, atau dalam hal melanggar, kepada mereka telah disediakan untuk memaksa penaatan. 4.2.2 Model dan Materi Pengaturan Penyelenggaraan Investasi Semi Kelola dalam Penyediaan Jasa Akomodasi Wista Hans Kelsen seperti juga Austin memandang sanksi (coercion) atau elemen pemaksa sebagai elemen esensial hukum. Austin dan para pengikutnya menempatkan ciri memaksa sebagai ciri utama hukum. Hukum merupakan norma yang dapat dipaksakan oleh otoritas yang diberi wewenang untuk itu. 123 Tujuan pengaturan pengembangan akomodasi wisata dengan model ROI adalah untuk memastikan bahwa pengembangan demikian itu mengikuti peraturan perundangundangan yang berlaku, yaitu untuk mencegah ketidakadilan dan kerugian negara dan masyarakat dari manfaat investasi. Berkenaan dengan urgensi pengaturan itu, maka pengaturan model itu perlu dilengkapi dengan pengaturan tentang sanksi yang dapat ditimpakan terhadap pengembang yang mengabaikan ketentuan tersebut. Pasal 15 UUP3 menentukan bahwa ketentuan tentang sanksi hanya dapat dimuat di dalam undang-undang dan peraturan daerah, baik peraturan daerah kabupaten maupun provinsi. Karena itu, alternatif pertama jenis peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam mengatur penanaman modal dalam bidang pengembangan properti untuk akomodasi wisata dengan model ROI adalah 123 Hans Kelsen, 2011, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, hal. 326.

150 UUPM. Pasal 5 ayat (2) UU PM telah menentukan bahwa badan usaha untuk penanaman modal asing wajib berbentuk perseroan terbatas (PT), dibentuk berdasarkan hukum Indonesia dan harus berkedudukan di Indonesia. Pasal 12 ayat (1) UU PM menentukan bahwa semua bidang dan jenis usaha terbuka bagi penanaman modal asing kecuali dinyatakan tertutup berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (selanjutnya: Perpres DBUTB-PM)) menentukan bahwa bidang usaha yang tidak tercantum dalam daftar usaha tertutup merupakan bidang usaha terbuka bagi penanaman modal asing. Lampiran II Perpres DBUTB-PM menentukan bahwa jasa konstruksi dan penyediaan akomodasi wisata adalah bidang usaha yang terbuka terhadap penanaman modal asing. Pasal 25 ayat (4) UUPM menentukan bahwa perusahaan PMA yang akan melaksanakan usahanya wajib memperoleh izin dari instansi yang berwenang. Dalam rangka menjamin pelaksanaan ketentuan tentang kewajiban bentuk dan lokasi badan usaha, bidang usaha yang terbuka bagi PMA, dan wajib izin bagi PMA, UUPM telah mengatur ketentuan tentang sanksi di dalam Pasal 33 UUPM. Oleh karena pengaturan penanaman modal asing dalam bidang pengembangan properti untuk akomodasi wisata memerlukan sanksi, maka model pengaturan kegiatan ROI semestinya diatur dalam beberapa cara. Model pengaturan kegiatan tersebut adalah dengan cara mengatur kegiatan tersebut di dalam UU PM, khususnya dalam ketentuan tentang jenis usaha, yaitu dengan memasukkan ketentuan tentang jenis usaha yang berkarakteristik campuran dari

151 beberapa jenis kegiatan. Sepanjang menggunakan modal asing sebagai sumber pembiayaan kegiatan, wajib mengikuti persyaratan dan prosedur penanaman modal asing. Ketentuan tersebut dapat menggunakan formulasi norma sebagai berikut: Kegiatan usaha yang bersifat campuran dari beberapa bidang atau jenis usaha, sepanjang menggunakan modal asing sebagai sumber pembiayaan kegiatan merupakan kegiatan usaha penanaman modal asing. Ketentuan demikian ini dapat dimasukkan sebagai tambahan materi pengaturan Bidang Usaha, termasuk jenis usaha, sebagaimana diatur di dalam Pasal 12 UU PM sebagai tambahan dari lima ayat yang sudah diatur saat ini. Pengaturan ini perlu dijelaskan lebih jauh di dalam penjelasan pasal demi pasal di dalam UU PM tentang apa yang dimaksud dengan kegiatan usaha bersifat campuran itu. Penjelasan itu harus menyebut pengembangan properti untuk penyediaan jasa akomodasi wisata dengan model ROI sebagai contoh dari materi norma itu. Penempatan ketentuan demikian itu dengan sendirinya meletakkan kegiatan pengembangan properti untuk akomodasi wisata dengan model ROI sebagai obyek pengaturan penanaman modal asing, termasuk persyaratan dan prosedur, serta perijinannya.