BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI. A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA

BAB IV PENUTUP. 1) Penafsiran QS. Al-Nisa :12 Imam Syafi i menafsirkan kata walad dalam

BAB I PENDAHULUAN. Kewarisan merupakan suatu hal yang sudah ada sejak zaman jahiliyah.

BAB II KAKEK DAN SAUDARA DALAM HUKUM WARIS. kakek sahih dan kakek ghairu sahih. Kakek sahih ialah setiap kakek (leluhur laki -

Lex Privatum, Vol.I/No.5/November/2013

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Kewarisan Kakek

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu-Ilmu Syari ah

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan

BAB I PENDAHULUAN. perebutan harta warisan. Islam sebagai agama rahmatan li al- a>lami>n sudah

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN WARIS SECARA PERDAMAIAN DI DESA TAMANREJO KECAMATAN LIMBANGAN KABUPATEN KENDAL

HAK WARIS DZAWIL ARHAM

Unisba.Repository.ac.id BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Indonesia sebagai suatu negara yang berdaulat dengan mayoritas penduduk

BAB IV ANALISIS. A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin. pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut Imam Syafi i, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang. menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014. KEDUDUKAN DAN BAGIAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM ISLAM 1 Oleh : Alhafiz Limbanadi 2

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia, khususnya di

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kewajiban orang lain untuk mengurus jenazahnya dan dengan

BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL

BAB I PENDAHULUAN. Seluruh hukum yang ditetapkan Allah SWT untuk para hamba-nya, baik

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS. Kata waris berasal dari kata bahasa Arab mirats. Bentuk jamaknya adalah

HUKUM KEWARISAN ISLAM HUKUM WARIS PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FHUI

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DI TINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQH WARIS. Keywords: substite heir, compilation of Islamic law, zawil arham

KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM Studi Komparasi Sistem Kewarisan Jumhur, Hazairin, Kompilasi Hukum Islam, dan Buku II 1

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

BAB II TINJAUAN UMUM MUNASAKHAH. A. Munasakhah Dalam Pandangan Hukum Kewarisan Islam (Fiqh Mawaris) Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

HUKUM KEWARISAN ISLAM: PENGGOLONGAN AHLI WARIS & KELOMPOK KEUTAMAAN AHLI WARIS

BAB IV ANALISIS TERHADAP GUGATAN TIDAK DITERIMA DALAM PERKARA WARIS YANG TERJADI DI PENGADILAN AGAMA GRESIK. (Putusan Nomor : /Pdt.G/ /Pa.

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah

KEBERADAAN MAWALI HUKUM KEWARISAN BILATERAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Islam mengajarkan berbagai macam hukum yang menjadikan aturanaturan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS. Kata waris berasal dari kata bahasa arab mirats. Bentuk jamaknya adalah

BAB II PRINSIP-PRINSIP HUKUM TENTANG HADHANAH. yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. 1

BAB I PENDAHULUAN. Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004, hlm.1. 2

BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ. sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang

BAB II AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM. ditinggalkan oleh orang yang meninggal 1. Sementara menurut definisi

BAB I PENDAHULUAN. setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum

PERBANDINGANN ANTARA HUKUM WARIS BARAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari berbagai

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HIJAB DAN KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM. Menurut istilah ulama mawa>rith (fara>id}) ialah mencegah dan

BAB III ANALISA TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI (PLAATSVERVULLING) PASAL 841 KUH PERDATA DENGAN 185 KHI

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

BAB IV ANALISIS PENDAPAT PARA HAKIM DI PENGADILAN AGAMA KENDAL DALAM PASAL 177 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG BAGIAN WARIS BAGI AYAH

WASIAT WAJIBAH DAN PENERAPANNYA (Analisis Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam)

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB IV A. ANALIS HUKUM ISLAM TENTANG STATUS HAK WARIS. elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan

MASALAH HAK WARIS ATAS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN KEDUA MENURUT HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS

BAB I PENDAHULUAN. lainnya dalam menyalurkan kebutuhan biologisnya. diliputi rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga.

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI

ANALISA PASAL 185 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG AHLI WARIS PENGGANTI

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA. 1) Nama : Yudi Hardeos, S.H.I., M.S.I. 2) Tempat/Tanggal Lahir : Curup,

BAB IV ANALISIS AH TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM PERDATA. A. Ahli waris pengganti menurut hukum perdata

PEMIKIRAN HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA TENTANG BAGIAN PEROLEHAN AHLI WARIS PENGGANTI

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2002, hlm. 4.

BAB IV KONSEP AHLI WARIS PENGGANTI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN TINJAUAN MASHLAHAH. A. Konsep Ahli Waris Pengganti Dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan yang

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG No.684/Pdt.G/2002/PA.Sm DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD SYAH{RU<R

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA

BAGIAN WARISAN UNTUK CUCU DAN WASIAT WAJIBAH

Praktek Pembagian Harta Waris Masyarakat Suku Lio Perspektif Fikih Mawaris (studi kasus di Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur)

IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI

TINJAUAN YURIDIS AHLI AHLI WARIS AB INTESTATO MENURUT HUKUM PERDATA

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN WALI BAGI MEMPELAI PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI 6 BULAN DI KUA GAJAH MUNGKUR

PERGESERAN PEMIKIRAN HUKUM KEWARISAN ISLAM MAHKAMAH AGUNG

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN WASIAT DENGAN KADAR LEBIH DARI 1/3 HARTA WARISAN KEPADA ANAK ANGKAT

PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK WARIS BAITUL MAL DALAM HUKUM ISLAM

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

TINJAUAN YURIDIS ATAS AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM WARIS

BAB I PENDAHULUAN. Sistem hukum waris Adat diperuntukan bagi warga Indonesia asli yang pembagiannya

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu bentuk pengalihan hak selain pewarisan adalah wasiat. Wasiat

BAB IV PEMERATAAN HARTA WARISAN DI DESA BALONGWONO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan penelitian penyusun sebagaimana pembahasan pada bab. sebelumnya, selanjutnya penyusun memaparkan beberapa kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya hukum waris yang terdapat di Indonesia ini masih bersifat

KAIDAH FIQH. Sebuah Ijtihad Tidak Bisa Dibatalkan Dengan Ijtihad Lain. حفظه هللا Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf

BAB I PENDAHULUAN. Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang mengalami tiga peristiwa penting dan sangat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. waris, dalam konteks hukum Islam, dibagi ke dalam tiga golongan yakni: 3

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

Dr. H. A. Khisni, S.H., M.H. Hukum Waris Islam UNISSULA PRESS ISBN

WARIS ISLAM DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang sebagai jamak dari lafad farîdloh yang berarti perlu atau wajib 26, menjadi ilmu menerangkan perkara pusaka.

H}AD}A>NAH ANAK BELUM MUMAYYIZ KEPADA AYAH

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK

BAB III KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA. Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek

Transkripsi:

58 BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama Saudara Dan Relevansinya Dengan Sistem Kewarisan Islam Di Indonesia Sebagaimana telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa Imam al-syafi i menyebutkan dalam kitabnya Al-Umm bahwa ketika kakek mewarisi bersama saudara sekandung atau saudara seayah, maka harta waris dibagi rata di antara mereka ketika itu baik untuk kakek. Tapi, ketika bagian sepertiga lebih baik bagi kakek, maka kakek mendapatkan bagian sepertiga. Seperti pernyataan Imam al-syafi i dalam kitabnya Al-Umm sebagai berikut: (ل ا,&%) ر*( الله '&%: إذا ورث ا اة ب وام أو ب ا 1. 2 ا( 8 ا 345, 7 ذانا 2.345 ا( 1 أ 0 /.(, Artinya: Imam al-syafi i berkata: Ketika kakek mewaris bersama dengan saudara sekandung atau saudara seayah, maka kakek mendapatkan bagian muqosamah jika dengan muqosamah tersebut lebih baik bagi kakek daripada bagian sepertiga. Jika bagian sepertiga lebih baik bagi kakek daripada muqosamah, maka kakek mendapat bagian sepertiga tersebut. Dari pendapat Imam al-syafi i tersebut penulis menganalisis bahwa Imam al-syafi i lebih memprioritaskan bagian kakek. Hal tersebut terlihat dari pernyataan Imam al-syafi i di atas bahwa jika muqosamah baik bagi kakek, maka kakek mendapatkan bagian dengan cara muqosamah. Tapi, jika bagian sepertiga 1 Imam Muhammad bin Idris al-syafi i, Al-Umm, jilid 9, Bairut Lebanon: Darul Kutub al- Ilmiyah, t. th, hlm. 156

59 lebih baik bagi kakek maka kakek mendapatkan bagian sepertiga. Pernyataan terebut kurang adil karena sesungguhnya bagian saudara sendiri telah ditetapkan dalam al-qur an. Selain itu penulis juga menganalisis pendapat Imam al-syafi i dan merelevansikannya dengan ketentuan kewarisan Islam di Indonesia yang dalam hal ini adalah KHI. KHI merupakan kitab perundang-undangan yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama yang menjadi pedoman para hakim. KHI, meskipun oleh banyak pihak tidak diakui sebagai hukum perundang-undangan, namun pelaksana di peradilan-peradilan agama telah bersepakat untuk menjadikannya sebagai pedoman dalam berperkara di pengadilan. Dengan demikian KHI bidang kewarisan telah menjadi buku hukum di lembaga peradilan agama. 2 Namun meskipun begitu, masih ada masalah kewarisan yang belum dibahas secara jelas dalam KHI, dan salah satunya adalah masalah kewarisan kakek bersama saudara. berikut: 3 Dalam KHI hanya menerangkan tentang kewarisan saudara sebagai Pasal 181 Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara lakilaki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian. hlm. 57 2 Amir Syarifuddin, Op. Cit, hlm. 327 3 Tim Penyusun, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: CV. Nuansa Aulia, Cet. 1, 2008,

60 Pasal 182 Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan. Dan kewarisan kakek sebagai berikut: 4 Pasal 174 (1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari: a. Menurut hubungan darah: - Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek. Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa konsep kewarisan kakek bersama saudara belum dibahas dalam KHI. Dalam KHI hanya menerangkan kewarisan saudara ketika pewaris tidak meninggalkan ayah dan anak, maka saudara berhak mendapatkan warisan. Sedangkan kakek hanya disinggung bahwa kakek termasuk dalam golongan laki-laki yang mendapatkan waris tanpa ada pasal yang menjelaskan bagaimana kakek bisa mendapatkan warisan dan berapa bagiannya. Tidak adanya ketentuan mengenai kewarisan kakek bersama saudara dalam KHI merepresentasikan bahwa kewarisan kakek bersama saudara menurut Imam al-syafi i tidak diaplikasikan dalam KHI. Dalam KHI tidak ada pasal yang merepresentasikan pendapat Imam al-syafi i tentang kewarisan kakek bersama saudara dan juga belum ada pasal yang mengatur tentang kewarisan kakek 4 Ibid, hlm. 55

61 bersama saudara. Sedangkan ketentuan hukum mengenai kewarisan kakek bersama saudara sangatlah penting dalam menjawab permasalahan mengenai kewarisan kakek bersama saudara. Meskipun para hakim dapat melakukan ijtihad dalam permasalahan tersebut, tapi ketentuan hukum yang jelas akan lebih mempermudah hakim dalam memberikan putusan. Selain itu, penulis menganalisis tidak adanya konsep pemikiran menurut Imam al-syafi i tentang kewarisan kakek bersama saudara dikarenakan adanya konsep ahli waris pengganti, yang dalam KHI dijelaskan dalam pasal 185 sebagai berikut: 5 Pasal 185 Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Analisis penulis mengenai ahli waris pengganti dalam KHI dapat memungkinkan tidak adanya ketentuan mengenai kewarisan kakek bersama saudara, dan hanya kewarisan saudaralah yang dibahas dalam KHI, yaitu dalam pasal 181 dan 182. Hal ini dikarenakan kakek adalah termasuk pada keturunan garis lurus ke atas, yang mana apabila ada keadaan dimana ahli waris (anak kakek) meninggal terlebih dulu dibanding pewaris (kakek), maka anak si ahli waris (cucu kakek) dapat menggantikan orangtunya (anak kakek) tersebut untuk mendapatkan waris dari pewaris (kakek), dan secara otomatis anak si ahli waris(cucu kakek) menempati kedudukan ahli waris (anak kakek) yang meninggal 5 Tim Penyusun, Op. Cit, hlm. 58

62 terlebih dulu untuk mendapatkan warisan dari kakek, dan secara otomatis juga secara tidak langsung anak ahli waris tersebut menjadi anak kakek yang mendapatkan warisan. Karena itulah tidak dirumuskan mengenai kewarisan kakek bersama saudara, karena dengan adanya kewarisan pengganti dalam KHI. Bahwa dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum perkawinan, maka hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan, memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat itu. Seperti diungkapkan Hazairin: Dari seluruh hukum, maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. 6 Bahwa hukum kewarisan yang merupakan salah satu bagian dari hukum perorangan dan kekeluargaan, pada umumnya berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan, yaitu matrilineal, patrilineal, dan bilateral, yang mana semua itu berasal dari hukum adat yang berlaku dalam masyarakat. Secara eksplisit akan ditemui bahwa dalam bentuk masyarakat yang patrilineal, akibatnya hanya laki-laki atau keturunan laki-laki saja yang berhak tampil sebagai ahli waris, sedangkan dalam bentuk matrilineal hanya wanitalah yang berhak tampil sebagai ahli waris, walaupun ada variasi dari kedua sistem tersebut. Dalam hal bentuk ketiga, yakni bilateral atau parental, pada prinsipnya 6 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm.2

63 baik laki-laki maupun wanita dapat tampil sebagai ahli waris, mewarisi harta peninggalan ibu bapaknya dan saudara-saudaranya, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan. Apabila tiga sistem kekeluargaan di Indonesia dihubungkan dengan konsep kewarisan kakek bersama saudara menurut Imam al-syafi i, memiliki korelasi, yaitu antara kewarisan bilateral dengan konsep Imam al-syafi i. Imam al-syafi i dalam masalah kewarisan kakek bersama saudara berpendapat bahwa saudara laki-laki ataupun perempuan dapat mendapatkan warisan. Tidak hanya saudara laki-laki saja atau saudara perempuan saja. Pewaris yang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan dapat mewariskan hartanya pada anak laki-laki maupun perempuan dan juga ayah maupun ibu. Tapi, jika pewaris tidak meninggalkan anak dan bapak, dan masih ada saudara baik laki-laki ataupun perempuan dan kakek, atau ahli waris yang lain,maka masing-masing dari mereka dapat menerima warisan dengan ketentuan bagian masing-masing. Walaupun ahli waris perempuan masih ada batasan atau perbedaan bagian dengan adanya ahli waris laki-laki, namun di sini tidak menutup kemungkinan ahli waris perempuan juga mendapatkan bagian warisan. Karena itulah, menurut penulis perumusan mengenai ketentuan waris kakek bersama saudara sangat penting untuk dirumuskan dalam KHI, dan penulis menawarkan pendapat Imam al-syafi i karena pendapat Imam al-syafi i termasuk dalam pendapat jumhur ulama dan rajih. Di samping itu, mayoritas muslim Indonesia menganut mazhab Syafi i. Selain itu, meskipun dalam konsep

64 kewarisan kakek bersama saudara menurut Imam al-syafi i nenek tidak mendapatkan warisan, namun dalam hal ini saudara laki-laki ataupun perempuan bisa mendapatkan warisan. Akan tetapi, menurut penulis jika pendapat Imam al- Syafi i ini diterapkan dalam perumusan KHI, maka perlu dikaji lagi mengenai bagian saudara dan kakek. Hal itu dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan di antara keduanya. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa konsep kewarisan kakek bersama saudara menurut Imam al-syafi i cukup adil bagi kakek dan saudara (laki-laki atau perempuan) dibandingkan dengan konsep kewarisan kakek dan saudara menurut Imam Abu Hanifah, yang mana kakek menghijab saudara untuk mendapatkan warisan karena menurut Imam Abu Hanifah kakek adalah orang yang menggantikan posisi ayah ketika ayah tidak ada, karena itulah saudara terhijab oleh kakek seperti halnya saudara terhijab oleh ayah. Selain itu, menurut madzhab Jumhur bahwa ketika kakek mewaris bersama saudara, kakek tidak dapat menghijab saudara melainkan kakek memiliki keadaan-keadaan yang tetap memberikan peluang bagi saudara untuk mendapatkan warisan. B. Analisis Metode Istinbath Hukum Imam al-syafi i tentang Kewarisan Kakek Bersama Saudara Istinbath merupakan sistem atau metode para ulama guna menemukan atau menetapkan suatu hukum. Istinbath erat kaitannya dengan fiqh, karena fiqh tidak lain adalah ijtihad para ulama dalam menentukan suatu hukum.

65 Dalam hal Istinbath hukum, Imam al-syafi i merupakan imam pertama dari empat mazhab yang menyusun urutan sumber hukum Islam secara sistematis. Imam al-syafi i menyusun konsep pemikiran ushul fiqhnya dalam karya monumentalnya yang berjudul ar-risalah. Di samping itu, dalam al-umm banyak pula ditemukan prinsip-prinsip ushul fiqh sebagai pedoman dalam beristinbath. Di atas landasan ushul fiqh yang dirumuskannya sendiri itulah ia membangun fatwafatwa fiqhnya yang kemudian dikenal dengan mazhab al-syafi i. Imam al-syafi i, dalam masalah kewarisan kakek bersama saudara mengikuti pada pendapat Zaid bin Tsabit yang mengatakan bahwa kakek tidak dapat menghijab saudara, karena yang dapat menghijab saudara selain anak dan cucu laki-laki adalah ayah, dan kakek bukanlah ayah. Namun Imam al-syafi i juga menggunakan metode qiyas, yaitu dengan mengqiyaskan kakek seperti saudara laki-laki sehingga kakek tidak dapat menghijab saudara karena mereka adalah sederajat. Selain itu, bahwa kakek dan saudara memiliki kedudukan yang sama dalam faktor yang menyebabkan mereka mendapatkan hak waris dan oleh karena itu, ia juga berhak mendapatkannya.saudara dihubungkan kepada pewaris melalui ayah sebagaimana juga kakek dihubungkan kepada pewaris melalui ayah, dan yang dapat menghijab hanya ayah. 7 Selain itu, perluasan kata Abb juga tidak serta merta dapat digunakan dalam permasalahan ini. Seperti argumen yang dinyatakan oleh Abu Bakar yang 7 Dian Khairul Umam, Op. Cit, hlm. 169

66 diikuti oleh Imam Abu Hanifah, bahwa kakek dapat menghijab saudara karena kakek dapat perluasan dari kata ayah (abb). Dalam mengeluarkan hukum, pertama, Imam al-syafi i merujuk pada al- Qur an, yang mana merupakan sumber utama hukum Islam dan diakui oleh semua muslim. Dalam mengeluarkan hukum sumber utama yang menjadi dasar adalah al-qur an. Begitu juga yang dilakukan oleh Imam al-syafi i yang menggali hukum kewarisan kakek bersama saudara, pertama mengacu pada al-qur an. Yaitu dengan tidak dapat dihijabnya saudara oleh kakek karena kewarisannya sudah ada dalam al-qur an. Sedangkan Imam al-syafi i menempatkan Sunnah pada martabat al-kitab, karena al-sunnah merupakan penjelasan dari al-kitab, kecuali hadits Ahad tidak setingkat. Sunnah harus diikuti seperti al-qur an, akan tetapi tidak semua hadits setingkat dengan al-qur an, melihat kualitas hadits tersebut. Imam al-syafi i menyamakan Sunnah dengan al-qur an dalam hal mengeluarkan sebuah istinbath hukum. Karena apabila terdapat sebuah al-hadits yang bertolak belakang dengan al-qur an maka sudah semestinya mengambil al-qur an sebagai sebuah dasar hukum. As-Sunnah merupakan penjelas dari al-qur an, oleh karena itu Imam al- Syafi i menempatkan martabat as-sunnah sama dengan al-qur an. Namun tidak dengan hadits Ahad atau hadits yang berbeda dengan ketentuan dalam al-qur an. Penulis menganalisis bahwa sesungguhnya Imam al-syafi i dalam menentukan hukum kewarisan kakek bersama saudara adalah merujuk pada pendapat sahabat yaitu Zaid bin Tsabit yang mana Zaid bin Tsabit mengemukakan

67 bahwa saudara dapat menerima warisan bersama dengan kakek. Namun di samping itu, Imam al-syafi i mengembangkan argumen dengan cara qiyas. Dalam kitabnya al-umm tidak disinggung mengenai dalil dari al-qur an, melainkan Imam al-syafi i menjelaskan dengan metode qiyas, yaitu mengqiyaskan posisi kakek sama dengan saudara laki-laki sehingga kedudukan kakek sama dengan saudara laki-laki dan karena itu kakek tidak dapat menghijab saudara sehingga saudara dapat mendapatkan warisan bersama dengan kakek. Selain itu, Imam al-syafi i juga berpendapat bahwasanya kakek dan saudara adalah satu derajat kalau ditinjau dari pertaliannya dengan orang yang meninggal, yakni kakek dipertalikan melalui ayah, dan saudara pun dipertalikan melalui ayah. Kakek sebagai orang tua dari ayah dan saudara sebagai turunan dari ayah. Bahwa permasalahan kakek bersama dengan saudara tersebut sudah ada ketentuan hukum yang berlaku meskipun masih global, dan karena itulah Imam al-syafi i mengqiyaskan agar terdapat hukum yang tidak keluar dari ketentuan al- Qur an dan As-Sunnah. Sedangkan dalil yang dipakai oleh ulama yang berpendapat bahwa para saudara baik kandung maupun sebapak ketika bersama dengan kakek dapat bersama-sama menjadi ahli waris adalah mengqiyaskan saudara laki-laki kepada anak laki-laki dengan persamaan bahwa masing-masing dari keduanya adalah laki-laki yang mengashabahkan saudara perempuannya. Maka sebagaimana kakek tidak menghalangi anak laki-laki, maka dengan demikian pula kakek tidak dapat menghalangi saudara laki-laki.

68 Imam al-syafi i berkata mengenai qiyas dalam kitabnya ar-risalah. Qiyas adalah metode berpikir yang dipergunakan untuk mencari kejelasan hukum dari contoh-contoh serupa yang terdapat dalam nash al-qur an dan Sunnah, yang keduanya itu merupakan sumber kebenaran dan petunjuk pokok yang terpercaya. Imam al-syafi i berargumen, semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan seseorang tentu terdapat hukum yang jelas dan mengikat atau sekurangnya ada ketentuan umum yang menunjuk kepadanya. Jika tidak, maka ketentuan hukum itu harus dicari dengan ijtihad, dan ijtihad tidak lain adalah qiyas. 8 Dan metode qiyas tersebut telah Imam al-syafi i gunakan dalam permasalahan kewarisan kakek bersama saudara. 1986, hlm. 227 8 Imam Al-Syafi i, Ar-Risalah, Penerjemah: Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus,