Dasar-Dasar Teknik Kimia ISSN

dokumen-dokumen yang mirip
PRALAKUAN KOAGULASI DALAM PROSES PENGOLAHAN AIR DENGAN MEMBRAN: PENGARUH WAKTU PENGADUKAN PELAN KOAGULAN ALUMINIUM SULFAT TERHADAP KINERJA MEMBRAN

Abstrak. 1. Pendahuluan

PEMANFAATAN BIJI ASAM JAWA (TAMARINDUS INDICA) SEBAGAI KOAGULAN ALTERNATIF DALAM PROSES PENGOLAHAN AIR SUNGAI

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin tinggi dan peningkatan jumlah industri di Indonesia.

1 Pendahuluan ABSTRACT

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print) D-22

PENGARUH PENAMBAHAN BITTERN PADA LIMBAH CAIR DARI PROSES PENCUCIAN INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN

BAB I PENDAHULUAN. Kulit jadi merupakan kulit hewan yang disamak (diawetkan) atau kulit

PERBAIKAN KUALITAS AIR LIMBAH INDUSTRI FARMASI MENGGUNAKAN KOAGULAN BIJI KELOR (Moringa oleifera Lam) DAN PAC (Poly Alumunium Chloride)

OPTIMASI PENGGUNAAN KOAGULAN ALAMI BIJI KELOR

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Kebutuhan yang utama bagi terselenggaranya kesehatan

Coagulation. Nur Istianah, ST,MT,M.Eng

Jurusan. Teknik Kimia Jawa Timur C.8-1. Abstrak. limbah industri. terlarut dalam tersuspensi dan. oxygen. COD dan BOD. biologi, (koagulasi/flokulasi).

KAJIAN PENGGUNAAN BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA PROSES PENURUNAN KANDUNGAN ORGANIK (KMnO 4 ) LIMBAH INDUSTRI TEMPE DALAM REAKTOR BATCH

PENURUNAN WARNA REAKTIF DENGAN PENGOLAHAN KOMBINASI KOAGULAN PAC (POLY ALUMINIUM CHLORIDE) DAN MEMBRAN MIKROFILTRASI

Teknik Bioseparasi. Dina Wahyu. Genap/ March 2014

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. penyamakan kulit dengan menggunakan Spektrofotometer UV-VIS Mini

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kehidupan dan kesehatan manusia (Sunu, 2001). seperti Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat,

EFEKTIVITAS JENIS KOAGULAN DAN DOSIS KOAGULAN TEHADAP PENURUNAN KADAR KROMIUM LIMBAH PEYAMAKAN KULIT

SEMINAR TUGAS AKHIR APLIKASI ELEKTROKOAGULASI PASANGAN ELEKTRODA BESI UNTUK PENGOLAHAN AIR DENGAN SISTEM KONTINYU. Surabaya, 12 Juli 2010

RANCANGAN PENGOLAHAN LIMBAH CAIR. Oleh DEDY BAHAR 5960

Bab IV Hasil Dan Pembahasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mutu air adalah kadar air yang diperbolehkan dalam zat yang akan

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT (e-journal) Volume 4, Nomor 1, Januari 2016 (ISSN: )

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

PENGOLAHAN AIR LUMUT DENGAN KOMBINASI PROSES KOAGULASI DAN ULTRAFILTRASI

PENGARUH ph PADA PROSES KOAGULASI DENGAN KOAGULAN ALUMINUM SULFAT DAN FERRI KLORIDA

HASIL DAN PEMBAHASAN. s n. Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji. Kelor Berkulit

Optimasi Penggunaan Koagulan Pada Pengolahan Air Limbah Batubara

Mn 2+ + O 2 + H 2 O ====> MnO2 + 2 H + tak larut

Pengolahan Limbah Cair Industri secara Aerobic dan Anoxic dengan Membrane Bioreaktor (MBR)

Seminar Nasional Sains dan Teknologi Lingkungan II e-issn Padang, 19 Oktober 2016

PROSES PENGOLAHAN LIMBAH ORGANIK SECARA KOAGULASI DAN FLOKULASI

BAB I PENDAHULUAN. bahan-bahan yang ada dialam. Guna memenuhi berbagai macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. berdampak positif, keberadaan industri juga dapat menyebabkan dampak

BAB I PENDAHULUAN. industri berat maupun yang berupa industri ringan (Sugiharto, 2008). Sragen

DAFTAR ISI ABSTRAK...

Teori Koagulasi-Flokulasi

Efektifitas Al 2 (SO 4 ) 3 dan FeCl 3 Dalam Pengolahan Air Menggunakan Gravel Bed Flocculator Ditinjau Dari Parameter Warna dan Zat Organik

KINERJA KOAGULAN POLY ALUMINIUM CHLORIDE (PAC) DALAM PENJERNIHAN AIR SUNGAI KALIMAS SURABAYA MENJADI AIR BERSIH

PENGARUH ph PADA PROSES KOAGULASI DENGAN KOAGULAN ALUMINUM SULFAT DAN FERRI KLORIDA

PENGARUH KOMBINASI PROSES PRETREATMENT (KOAGULASI-FLOKULASI) DAN MEMBRAN REVERSE OSMOSIS UNTUK PENGOLAHAN AIR PAYAU

PENURUNAN TURBIDITY, TSS, DAN COD MENGGUNAKAN KACANG BABI (Vicia faba) SEBAGAI NANO BIOKOAGULAN DALAM PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK (GREYWATER)

KINERJA MEMBRAN KERAMIK BERBASIS TANAH LIAT, ZEOLIT DAN SERBUK BESI DALAM PENURUNAN KADAR FENOL

PRE-ELIMINARY PRIMARY WASTEWATER TREATMENT (PENGOLAHAN PENDAHULUAN DAN PERTAMA)

PENGARUH PENGGUNAAN KOAGULAN (AIR ASAM TAMBANG DAN ALUMINIUM SULFAT DALAM PENGOLAHAN AIR RUN OFF PERTAMBANGAN BARU BARA)

Efektifitas Al 2 (SO 4 ) 3 dan FeCl 3 Dalam Pengolahan Air Menggunakan Gravel Bed Flocculator Ditinjau Dari Parameter Warna dan Zat Organik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENURUNAN BOD DAN COD LIMBAH INDUSTRI KERTAS DENGAN AIR LAUT SEBAGAI KOAGULAN

Abstrak. Kata kunci: Flotasi; Ozon; Polyaluminum chloride, Sodium Lauril Sulfat.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

TEKNIK PENYEDIAAN AIR MINUM TL 3105 SLIDE 04. Yuniati, PhD

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan.

Indonesian Journal of Chemical Science

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR DENGAN KANDUNGAN AMONIAK TINGGI SECARA BIOLOGI MENGGUNAKAN MEMBRANE BIOREACTOR (MBR)

PENGARUH PENCAMPURAN TERHADAP REAKSI HIDROLISA AlCl 3

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI BATIK PADA SKALA LABORATORIUM DENGAN MENGGUNAKAN METODE ELEKTROKOAGULASI

STUDI PENDAHULUAN : PENGOLAHAN LIMBAH CAIR HASIL PRODUKSI PATI BENGKUANG DI GUNUNGKIDUL

PENGARUH OZON DAN KONSENTRASI ZEOLIT TERHADAP KINERJA PROSES PENGOLAHAN LIMBAH CAIR YANG MENGANDUNG LOGAM DENGAN PROSES FLOTASI

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

PENENTUAN KARAKTERISTIK AIR WADUK DENGAN METODE KOAGULASI. ABSTRAK

I. Tujuan Setelah praktikum, mahasiswa dapat : 1. Menentukan waktu pengendapan optimum dalam bak sedimentasi 2. Menentukan efisiensi pengendapan

JAWABAN 1. REVERSE OSMOSIS (RO)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Judul Tugas Akhir Pengolahan Limbah Laundry menggunakan Membran Nanofiltrasi Zeolit Aliran Cross Flow untuk Filtrasi Kekeruhan dan Fosfat

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan

APLIKASI ELEKTROKOAGULASI PASANGAN ELEKTRODA BESI UNTUK PENGOLAHAN AIR DENGAN SISTEM KONTINYU

EFEKTIFITAS ELEKTROFLOKULATOR DALAM MENURUNKAN TSS DAN BOD PADA LIMBAH CAIR TAPIOKA

PENGOLAHAN EFLUEN REAKTOR FIXED BED SECARA KOAGULASI

HASIL DAN PEMBAHASAN. standar, dilanjutkan pengukuran kadar Pb dalam contoh sebelum dan setelah koagulasi (SNI ).

UJI TOKSISITAS LIMBAH CAIR BATIK SEBELUM DAN SESUDAH DIOLAH DENGAN TAWAS DAN SUPER FLOK TERHADAP BIOINDIKATOR (Cyprinus carpio L)

STUDI PENAMBAHAN POLYALUMINIUM CHLORIDAE (PAC) DAL AM PROSES KOAGUL ASI LIMBAH CAIR PADA PRODUKSI ALKALI TREATED COT TONII (ATG)

PENGARUH WAKTU TINGGAL CAIRAN TERHADAP PENURUNAN KEKERUHAN DALAM AIR PADA REAKTOR ELEKTROKOAGULASI. Satriananda 1 ABSTRAK

PENJERNIHAN AIR DENGAN PROSES KOAGULASI DAN FLOKULASI MENGGUNAKAN FERRI SULFAT

PEMANFAATAN LUMPUR ENDAPAN UNTUK MENURUNKAN KEKERUHAN DENGAN SISTEM BATCH HALIFRIAN NURMANSAH

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Uji Pengendapan dengan Variasi Konsentrasi Koagulan dan Variasi Konsentrasi Flokulan

APLIKASI METODE ELEKTROKOAGULASI DALAM PENGOLAHAN LIMBAH COOLANT. Arie Anggraeny, Sutanto, Husain Nashrianto

RACE-Vol.4, No.1, Maret 2010 ISSN PENGARUH PASANGAN ELEKTRODA TERHADAP PROSES ELEKTROKOAGULASI PADA PENGOLAHAN AIR BUANGAN INDUSTRI TEKSTIL

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI SECARA AEROBIC DAN ANOXIC DENGAN MEMBRANE BIOREACTOR (MBR)

PROC. ITB Sains & Tek. Vol. 36 A, No. 1, 2004,

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

KAJIAN PEMAKAIAN FERRO SULFAT PADA PENGOLAHAN LIMBAH CHROM

PENGARUH OZON DAN KONSENTRASI ZEOLIT TERHADAP KINERJA PROSES PENGOLAHAN LIMBAH CAIR YANG MENGANDUNG LOGAM DENGAN PROSES FLOTASI

Pengolahan Air Gambut sederhana BAB III PENGOLAHAN AIR GAMBUT SEDERHANA

Aries Kristanto et al., Pengaruh Ekstrak Kasar Tanin dari Daun Belimbing Wuluh... 54

Pengolahan Air Limbah Laboratorium dengan Menggunakan Koagulan Alum Sulfat dan Poli Aluminium Klorida (PAC)

Oleh: Rizqi Amalia ( ) Dosen Pembimbing: Welly Herumurti ST. M.Sc

PENENTUAN KUALITAS AIR

Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung Jl Ganesha 10 Bandung PENDAHULUAN

Efektifitas Al 2 (SO 4 ) 3 dan FeCl 3 Dalam Pengolahan Air Menggunakan Gravel Bed Flocculator Ditinjau Dari Parameter Kekeruhan dan Total Coli

II. TINJAUAN PUSTAKA. secara langsung maupun dalam jangka panjang. Berdasarkan sumbernya, limbah

(Study Stirring Time)

Transkripsi:

PERBANDINGAN PRALAKUAN KOAGULASI DENGAN MENGGUNAKAN FeSO 4.7H 2 O & Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O TERHADAP KINERJA MEMBRAN MIKROFILTRASI POLYPROPILENE HOLLOW FIBER Eva Fathul Karamah dan Fedy Gusti Kostiano Program Studi Teknik Kimia, Departemen Teknik Gas & Petrokimia Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia Abstrak Proses pengolahan air dengan menggunakan membran mikrofiltrasi sangat rentan terhadap fouling, sehingga air umpan yang akan memasuki proses harus diberi pralakuan, berupa koagulasi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan membandingkan sejauh mana pengaruh proses pralakuan koagulasi dengan menggunakan dua koagulan yang berbeda terhadap kinerja membran mikrofiltrasi polypropylene hollow fiber, yaitu peningkatan fluks permeat dan % removal (dilihat dari TDS dan COD-nya), sekaligus memilih koagulan yang tepat untuk proses ini. Dalam penelitian ini, koagulan yang digunakan ialah koagulan berbasis aluminium, yaitu Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O, dan koagulan berbasis ferrum/besi, yaitu FeSO 4.7H 2 O, dengan variasi dosis tertentu. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa untuk koagulan FeSO 4.7H 2 O, dengan dosis 7 ppm, persentase keefektifan koagulasi dapat mencapai 68% untuk penyisihan (removal) TDS dan 41 % untuk penyisihan COD-nya. Fluks permeat yang diperoleh sebesar,8 m 3 /m 2 /jam. Persentase penyisihan TDS dan COD dalam proses mikrofiltrasinya ialah 57% dan 43%. Sedangkan untuk koagulan Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O, dengan dosis 7 ppm, persentase keefektifan koagulasi mencapai 55% untuk penyisihan TDS dan 39% untuk penyisihan COD. Fluks permeat yang diperoleh sebesar,2 m 3 /m 2 /jam. Persentase penyisihan TDS dan COD dalam proses mikrofiltrasinya ialah 4% dan 39 %. Untuk penggunaan koagulan FeSO 4.7H 2 O, disarankan ph air umpan berkisar 8 9, dengan kecepatan pengadukan 12 rpm (selama 2 menit), dan 4 rpm (selama 1 menit), waktu pengendapan ± 1 jam. Sedangkan untuk koagulan Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O, ph umpan berkisar 5,5-6,5, dan kecepatan pengadukan sama dengan koagulan FeSO 4.7H 2 O, namun waktu pengendapan cukup ± 3 menit. Kata kunci: mikrofiltrasi, pengolahan air, koagulasi, aluminium sulfat, ferrous sulfat Abstract Microfiltration membrane in the water treatment process is susceptible to fouling. So, the feed water that enter this process must be pretreated, such as coagulation. The aim of this research are to study and compare the effect of coagulation process by using two different coagulants based on the performance of polypropilene hollow fiber microfiltration membranes, which are the increase of permeate flux and removal percentage of TDS and CO; and to choose the suitable coagulant for this process. In this research, the coagulants used are aluminium based coagulant (Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O) and ferrum based coagulant (FeSO 4.7H 2 O), which is varied in certain dosages. The result for FeSO 4.7H 2 O coagulant with 7 ppm dosage are, the percentage of coagulant effectivity increase to 68% for the TDS removal, and 41% for COD removal. The permeate flux is,8 m 3 /m 2 /jam, TDS and COD removal percentage are 57% and 43%. While for Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O coagulant with the same dosage (7 ppm), the percentage of coagulant effectivity is 55% for TDS removal and 39% for COD. The permeate flux is,2 m 3 /m 2 /jam, and TDS and COD removal are 4% and 39%. For the used of FeSO 4.7H 2 O coagulant, it is suggested that feed water ph in the range of 8-9, with mixing speed 12 rpm (2 minutes), 4 rpm (1 minutes), and continued with 1 hour of settling time. For Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O coagulant, the feed water ph is 5,5-6,5, and mixed with the same speed as FeSO 4.7H 2 O coagulant, but the settling time is only 3 minutes average. Key word: microfiltration, water treatment, coagulation, aluminium sulphate, ferrous sulphate 1

1. Pendahuluan Bumi dimana kita berada sekarang memang menyimpan cadangan air yang sangat banyak. Kira-kira 1,4 miliar km 3. Tapi sumber air yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari (air tanah dan air permukaan) hanya kurang dari 1,5%. Ketersediaan air semakin terbatas diakibatkan oleh pencemaran yang timbul (Gabler, 1988). Salah satu teknologi pengolahan air yang saat ini berkembang dengan pesat dan banyak diminati ialah teknologi membran. Proses pengolahan air dengan menggunakan membran yang biasa digunakan ialah proses mikrofiltrasi. Proses ini efektif untuk memisahkan mikroba-mikroba yang terkandung di dalam air yang merugikan kesehatan seperti bakteri, alga, dan protozoa. Namun akan menjadi kurang efektif jika digunakan untuk memisahkan kontaminan berukuran koloid yang terlarut dalam air karena dapat menimbulkan masalah fouling pada membran. Untuk mengatasi masalah ini maka perlu ditambahkan suatu proses pralakuan, yaitu koagulasi. Koagulan yang mendominasi dan umum digunakan dalam proses koagulasi ialah koagulan berbasis aluminium, yaitu Al 2 (SO 4 ) 3, dan koagulan berbasis ferrum/besi, yaitu FeSO 4, Fe 2 (SO 4 ) 3 dan FeCl 3. Kedua jenis koagulan ini sering digunakan dikarenakan mempunyai rentang ph yang cukup besar. Rentang ph optimal untuk aluminium berkisar 5.5-6.5. Sedangkan untuk koagulan besi, mempunyai rentang ph yang lebih besar lagi, yaitu 4-9, sehingga sangat cocok digunakan untuk umpan yang mempunyai rentang ph yang besar. Dalam penelitian ini, koagulan yang digunakan ialah koagulan berbasis aluminium, yaitu Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O, dan koagulan berbasis ferrum/besi, yaitu FeSO 4.7H 2 O, dengan variasi dosis tertentu. Penggunaan dua koagulan yang berbeda bertujuan untuk melihat sampai sejauh mana pengaruh koagulasi dalam meningkatkan kinerja membran mikrofiltrasi, yaitu berupa peningkatan terhadap fluks permeat dan % removal. Parameter untuk mengetahui peningkatan kinerja membran ini dilihat dari TDS (Total Dissolved Solid) dan COD (Chemical Oxygen Demand)-nya. 2. Penelitian Penelitian dilakukan dengan langkah-langkah yang terlihat pada Gambar 1. Sedangkan skema alat yang digunakan ditampilkan pada Gambar 2. Air umpan yang digunakan untuk proses ini berasal dari danau UI, yang terletak tepat di belakang Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Air umpan untuk koagulan FeSO 4.7H 2 O memiliki rentang ph 7,3 hingga 8,8 dengan kisaran TDS 476-56 mg/l. Sedangkan untuk koagulan Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O, ph air umpan ialah 7,3 dan mempunyai rentang TDS 426-457 mg/l. Pada proses koagulasi dilakukan 3 tahapan, yaitu; pengadukan cepat selama 2 menit (kecepatan 12 rpm), kemudian dilanjutkan dengan pengadukan lambat selama 1 menit (kecepatan 4 rpm), dan diakhiri dengan proses pengendapan selama 3 menit. Pengadukan cepat dilakukan ketika koagulan ditambahkan ke dalam air umpan. Pengadukan ini bertujuan untuk mendispersikan koagulan secara merata ke seluruh bagian air umpan sehingga reaksi hidrolisis yang terjadi dapat berjalan dengan baik. Pengadukan lambat berfungsi untuk membantu pembentukan flok-flok yang lebih besar setelah terjadi reaksi hidrolisis antara koagulan dengan air umpan. Sedangkan pengendapan sendiri mempunyai tujuan agar flok yang terbentuk mempunyai waktu yang cukup untuk mengendap di dasar bak reservoir. Setelah proses koagulasi, air umpan kemudian diproses secara mikrofiltrasi dengan menggunakan membran. Tekanan operasi sebesar 1 cmhg (±,135 bar). Membran yang digunakan untuk proses mikrofiltrasi ialah membran polypropilene hollow fiber. Polypropilene dipilih karena memiliki stabilitas kimia dan termal yang baik. Polypropilene merupakan polimer kristalin, dan kristalinitas polypropilene membuatnya memiliki ketahanan kimia yang baik, karena dengan terdapatnya kristalit-kristalit pada matriks polimer, polypropilene menjadi cukup sulit untuk melarutkan zat (insoluble) dan reagen-reagen kimia agak sulit untuk masuk ke dalamnya (Mulder, 1997). 2

Pengambilan Sampel di Danau UI Proses pralakuan koagulasi Dengan Koagulan Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O Dengan Koagulan FeSO 4.7H 2 O Variasi Dosis Koagulan Variasi Dosis Koagulan Proses Mikrofiltrasi Dengan Membran Polypropilene Analisis Kualitas Hasil Olahan (COD & TDS) Penentuan Koagulan yang Tepat Gambar 1 Diagram Alir Penelitian Valve 2 Recycle line Valve 4 Valve 1 Reservoir 2 Valve 3 Pompa Manometer P Membran Reservoir 1 Valve 5 Flow meter Gambar 2. Skema Alat Permeate 3. Hasil dan Pembahasan Untuk koagulan Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O, ketika pengadukan cepat disertai dengan penambahan koagulan pada air umpan dilakukan, koagulan Al 2 (SO 4 ) 3 segera bereaksi dengan natural alkalinity yang terdapat dalam air, yaitu Ca(HCO 3 ) 2 untuk membentuk ion aquometalik Al(OH) 3 atau dengan nama lain flok, seperti terlihat dalam reaksi dibawah ini (Peavy et.al., 1985): Al 2 ( SO ) 18H O 3Ca( HCO ) 2 Al ( OH) + 3CaSO + 6CO + 18H O 4 2 + (1) 3 2 3 4 2 2 3 Namun pada kondisi sebenarnya, ada beberapa tahapan raeksi yang harus dilalui, yaitu; ionisasi Al 2 (SO 4 ) 3 dalam air untuk membentuk ion Al 3+ dan ion sulfat `(SO 2-4 ) yang diikuti dengan reaksi hidrolisis antara Al 3+ dengan H 2 O, untuk membentuk ion aquometalik dan ion hidrogen, seperti yang terlihat di bawah ini; Al 3+ + 3H 2 O Al(OH) 3 + 3H + (2) 3

Ion aquometalik yang terbentuk tidak selamanya berupa Al(OH) 3, namun dapat juga berupa Al(OH) 2+, Al(OH 2 ) + dan Al(OH) - 4, yang tergantung pada ph umpan. Bila ph umpan berada pada ph optimum untuk koagulan Al 2 (SO 4 ) 3 yaitu pada ph 5,5-6,5, maka ion aquometalik yang terbentuk adalah Al(OH) 3, yang mempunyai sifat tidak larut (insoluble), namun bila ph umpan tidak berada pada rentang ph tersebut, maka akan terbentuk ion aquometalik yang lain, seperti Al(OH) - 4 yang bersifat larut sebagian (partial soluble). Sedangkan untuk koagulan FeSO 4.7H 2 O, reaksi yang terjadi mirip dengan reaksi pada koagulan Al 2 (SO 4 ) 3. Ketika pengadukan cepat yang disertai dengan penambahan koagulan dilakukan, maka koagulan FeSO 4 segera bereaksi dengan natural alkalinity untuk membentuk ion aquometalik (flok). Namun ion aquometalik yang terbentuk bersifat larut sebagian, seperti yang terlihat pada reaksi dibawah ini (Powell, 1954): FeSO 4 + Ca(HCO 3 ) 2 Fe(OH) 2 + CaSO 4 + 2CO 2 (3) Jika kondisi air umpan mempunyai ph yang lebih besar dari 6, maka ion aquometalik Fe(OH) 2 akan secara mudah teroksidasi menjadi ferric hydroxide (Fe(OH) 3 ) oleh oksigen yang terlarut dalam air (Singley, 1998), dan membentuk flok yang sangat tidak larut, dengan reaksi sebagai berikut: 4Fe(OH) 2 + O 2 + 2H 2 O 4Fe(OH) 3 (4) Perbandingan antara kedua koagulan diuraikan seperti dibawah ini. 3.1 Berdasarkan Keefektifan Koagulan Penggunaan koagulan yang berbeda berdampak terhadap keefektifan proses koagulasi itu sendiri. Koagulan FeSO 4.7H 2 O dan Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O ternyata mempunyai tingkat keefektifan yang berbeda dalam memisahkan TDS dan COD. 3.1.1 Penyisihan TDS % Keefektifan Koagulasi 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 Dosis Koagulan (ppm) Ferrous Sulfat Aluminium Sulfat % Keefektifan Koagulasi 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 Dosis Koagulan (ppm) Ferrous Sulfat Aluminium Sulfat Gambar 3 Kurva % keefektifan koagulasi dalam penyisihan TDS Gambar 4 Kurva % Keefektifan Koagulasi dalam Penyisihan COD Dari Gambar 3 terlihat bahwa untuk masing-masing koagulan, terdapat kecenderungan yang sama, yaitu % keefektifan koagulasi meningkat seiring dengan bertambahnya dosis koagulan. Partikel koloid umumnya bermuatan negatif (Peavy et.al., 1985). Karena adanya pengaruh muatan negatif tersebut, ion-ion positif yang terdapat pada air umpan akan tertarik ke sekeliling partikel koloid dan membentuk suatu lapisan awan, yang disebut awan ionik. Awan ionik ini akan menimbulkan potensial elektrostatik yang dapat menyebabkan timbulnya gaya tolak-menolak antara partikel koloid, yang membuat koloid mempunyai sifat stabil. Ketika suatu koagulan ditambahkan, koagulan tersebut akan terionisasi di dalam air. Ion-ion inilah yang kemudian akan mengurangi gaya potensial elektrostatik yang ada. Hal ini dimungkinkan sebab ion-ion tersebut akan mengkompresi lapisan awan ionik, sehingga membuat gaya van der waals menjadi lebih dominan dibanding dengan potensial elektrostatik. Karena gaya yang ditimbulkan oleh potensial elektrostatik semakin melemah, maka ion aquometalik yang memiliki afinitas yang besar akan teradsorb ke permukaan koloid, sehingga proses penetralan atau destabilisasi koloid terjadi. Setelah proses destabilisasi terjadi, maka awan ionik yang tadinya menyelubungi partikel koloid menghilang, sehingga kontak antar partikel koloid satu dengan yang lainnya dapat terjadi (Peavy et.al., 1985). Semakin tinggi dosis koagulan yang ditambahkan, maka akan semakin banyak ion-ion aquometalik Fe(OH) 3 atau Al(OH) 3 yang mendestabilisasi koloid, sehingga semakin banyak flok yang terbentuk dan akhirnya mengendap. Hal ini menyebabkan % keefektifan koagulan meningkat. 4

Dari grafik terlihat bahwa % peningkatan koagulasi FeSO 4 dan Al 2 (SO 4 ) 3 untuk dosis 1 dan 3 ppm tidak terlalu jauh berbeda, namun untuk dosis 5 dan 7 terjadi peningkatan % keefektifan koagulasi yang cukup signifikan pada koagulan FeSO 4. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh ph air yang berada pada rentang ph optimum untuk koagulan FeSO 4 (ph optimum 8-9) (Powell, 1954), yaitu pada ph 8. Untuk dosis koagulan FeSO 4 yang semakin tinggi (5 dan 7 ppm), flok-flok yang terbentuk juga akan semakin banyak. Sehingga membuat % keefektifan koagulasi meningkat tajam. Selain itu, peningkatan % keefektifan koagulasi juga dipengaruhi oleh banyaknya TDS yang terdapat dalam air umpan. Semakin banyak TDS yang terkandung, maka pembentukan flok juga akan menjadi semakin mudah, yang akhirnya membuat % keefektifan menigkat. Sedangkan untuk koagulan Al 2 (SO 4 ) 3, pada dosis 5 dan 7 ppm tidak mengalami kenaikan yang signifikan dikarenakan ph air (ph = 7,3) melewati rentang ph optimum untuk proses koagulasi dengan Al 2 (SO 4 ) 3, yaitu pada rentang 5,5-6,5 (MacKenzie, 1998). Ketika ph optimum telah terlewati, maka kemungkinan besar flok yang terbentuk bukan lagi Al(OH) 3, melainkan Al(OH) 4 yang mempunyai sifat larut sebagian, sehingga flok yang telah terbentuk mudah pecah, dan membuat kenaikan % keefektifan koagulasi menjadi tidak signifikan. 3.1.2 Penyisihan COD Pada proses mikrofiltrasi, senyawa-senyawa organik sulit untuk dipisahkan, dikarenakan memiliki diameter yang lebih kecil dibandingkan dengan diameter membran. Oleh karenanya diperlukan proses koagulasi yang terbukti efektif dalam memisahkan senyawa organik. COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan total oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mendegradasi senyawa-senyawa organik dan anorganik. Namun yang lebih banyak terdegradasi ialah senyawa organik (Adams, 199). Pada Gambar 4 terlihat bahwa % keefektifan koagulasi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya dosis. Persentase keefektifan untuk FeSO 4 dan Al 2 (SO 4 ) 3 tidak berbeda jauh dalam memisahkan senyawasenyawa tersebut, dan mencapai titik optimum pemisahan pada dosis 7 ppm, dimana % keefektifan koagulasi sekitar 4%. Hal ini sesuai dengan teori yang ada, bahwa proses koagulasi dapat memisahkan senyawa-senyawa organik dan anorganik (COD) berkisar antara 3% hingga 6%. Proses yang terjadi dalam pemisahan senyawa-senyawa organik dan anorganik ini, kurang lebih sama dengan proses pemisahan koloid, yaitu berupa proses pendestabilisasian koloid, yang diikuti dengan flokulasi (pembentukan flok-flok), kemudian pengendapan, yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. 3.2 Berdasarkan Fluks Permeat Fluks permeat merupakan salah satu parameter penting dalam melihat kinerja membran mikrofiltrasi. Fluks permeat atau laju permeasi didefinisikan sebagai volume cairan yang menembus membran (volume permeat) per unit area per waktu. Koagulan FeSO 4 dan Koagulan Al 2 (SO 4 ) 3 mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap peningkatan fluks permeat, seperti terlihat pada Gambar 5 dan Gambar 6 di bawah ini..25.25 Fluks Permeat (m3/m2/jam).2.15.1.5 ppm 1 ppm 3 ppm 5 ppm 7 ppm Fluks Permeat (m3/m2/jam).2.15.1.5 ppm 1 ppm 3 ppm 5 ppm 7 ppm 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 Gambar 5 Kurva Fluks Permeat Ferrous Sulfat Gambar 6 Kurva Fluks Permeat Aluminium Sulfat Dari kedua Gambar 5 dan Gambar 6 tersebut, terlihat bahwa fluks permeat terhadap dosis koagulan memiliki kecenderungan yang sama, yaitu semakin tinggi dosis, maka fluks yang dihasilkan juga semakin besar, namun fluks tersebut juga akan semakin turun seiring dengan waktu. Hal ini dikarenakan, semakin tinggi dosis koagulan, flok yang terbentuk juga akan semakin banyak, sehingga kualitas air umpan yang akan memasuki proses membran mikrofiltrasi juga akan semakin bagus, dan hal ini tentu saja memperingan kerja membran, yang membuat fluks permeat semakin meningkat. Selain itu dengan semakin banyaknya flok, filter cake yang terbentuk sebagai akibat dari fouling (penutupan pori membran oleh partikel, bakteri, alga, dan sebagainya) yang terjadi pada membran, akan 5

memiliki porositas yang besar, sehingga permeabilitas dalam cake juga menjadi semakin besar, dan membuat air menjadi lebih mudah untuk menembus membran (fluks meningkat) bila dibandingkan dengan fouling yang terjadi tanpa adanya pralakuan koagulasi. Dari Gambar 5 dan Gambar 6 terlihat, bahwa fluks permeat untuk koagulan Ferrous Sulfat lebih kecil bila dibandingkan dengan Aluminium Sulfat. Hal ini kemungkinan besar disebabkan waktu pengendapan (settling time) selama 3 menit masih kurang. Berdasarkan literatur, waktu pengendapan untuk koagulan FeSO 4 ialah sekitar 1 jam (Aguilar, et.el., 21). Oleh karena itu ketika waktu pengendapan hanya 3 menit, masih banyak flok-flok yang belum turun untuk mengendap. Sehingga ketika air umpan tersebut dialirkan ke dalam proses mikrofiltrasi, flok-flok yang telah banyak terbentuk tersebut akhirnya menutupi permukaan membran dan menimbulkan fouling. Hal ini ditandai dengan berubahnya warna membran yang pada awalnya putih, menjadi kecoklatan, sebagai akibat tertutupi flok Fe(OH) 3. Berbeda halnya dengan koagulan Al 2 (SO 4 ) 3. Ketika waktu pengendapan sudah 3 menit, air umpan yang tadinya keruh, berubah menjadi bening, karena sebagian besar flok-flok yang terbentuk selama proses koagulasi sudah mengendap dengan baik di dasar bak. Sehingga ketika air umpan tersebut dialirkan ke proses mikrofiltrasi, kerja membran menjadi jauh lebih ringan, yang ditandai dengan jauh lebih tingginya fluks permeat Al 2 (SO 4 ) 3 bila dibanding dengan FeSO 4. Oleh karenanya, walaupun % keefektifan koagulasi FeSO 4 lebih tinggi dari Al 2 (SO 4 ) 3, namun bila dilihat dari fluks permeatnya, koagulan FeSO 4 memiliki fluks yang jauh lebih kecil dibanding Al 2 (SO 4 ) 3. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa waktu pengendapan 3 menit merupakan waktu pengendapan yang tepat untuk koagulan Al 2 (SO 4 ) 3, namun belum cukup untuk koagulan FeSO 4. Dari Gambar 6 terlihat bahwa untuk koagulan Al 2 (SO 4 ) 3, terjadi fenomena yang berbeda pada fluks permeat untuk dosis 7 ppm, bila dibandingkan dengan fluks permeat pada koagulan FeSO 4. Fenomena penurunan fluks yang tajam pada kondisi 7 ppm ini dapat dijelaskan dengan suatu teori (Peavy et.al., 1985), yang menyatakan bahwa penambahan dosis yang terlalu berlebih (over dosis) pada air umpan, akan mengakibatkan stabilnya kembali koloid yang tadinya telah ternetralkan (coloid restabilizing), sehingga muatan koloid yang sebelum ditambahkan koagulan bermuatan negatif, menjadi bermuatan positif, sebagai akibat dari over dosis. Hal ini tentu saja mengakibatkan flok-flok yang telah terbentuk menjadi pecah kembali, yang membuat fouling pada membran bertambah, sehingga fluks permeat turun drastis. 3.3 Berdasarkan % Removal (Penyisihan) TDS TDS (Total Dissolved Solid) atau total padatan terlarut terdiri dari partikel koloid, yaitu, senyawa organik dan anorganik, yang mempunyai ukuran partikel bervariasi, mulai dari,1 µm hingga 1 nm. Persentase penyisihan TDS menyatakan berapa banyak TDS pada umpan yang terpisahkan setelah melewati proses membran. Persentase penyisihan TDS merupakan hasil pengurangan antara TDS pada umpan dengan TDS pada permeat dibagi dengan nilai TDS pada umpan. 7 7 6 6 % R (TDS) 5 4 3 2 ppm 1 ppm 3 ppm 5 ppm 7 ppm % R(TDS) 5 4 3 2 ppm 1 ppm 3 ppm 5 ppm 7 ppm 1 1 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 Gambar 7 Kurva % Penyisihan TDS Ferrous Sulfat Gambar 8 Kurva % Penyisihan TDS Aluminium Sulfat Dari Gambar 7 dan Gambar 8 terlihat bahwa kurva % Penyisihan TDS memiliki kecenderungan yang sama, yaitu semakin tinggi dosis, dan semakin lamanya waktu operasi, maka % penyisihan TDS-nya juga akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan semakin tinggi dosis, maka flok yang terbentuk juga akan semakin banyak, sehingga kualitas air umpan yang masuk ke dalam proses mikrofiltrasi menjadi semakin bagus dan membuat kerja membran menjadi ringan serta dapat melakukan fungsinya secara optimum. Semakin lamanya waktu operasi juga mengakibatkan % penyisihan TDS-nya meningkat. Hal ini karena seiring dengan waktu, fouling yang terjadi juga semakin meningkat, dan membuat semakin banyak filter cake yang terbentuk pada permukaan membran. Filter cake ini akhirnya berfungsi sebagai filter tambahan untuk menyaring umpan sebelum masuk ke dalam proses membran mikrofiltrasi, sehingga membuat % penyisihan TDS meningkat. 6

Pada Gambar 7 dan Gambar 8 terlihat bahwa % penyisihan TDS untuk ferrous sulfat lebih tinggi dibanding dengan aluminium sulfat. Hal ini dikarenakan ph umpan yang berada pada ph optimum untuk koagulan FeSO 4. Sehingga proses koagulasi berjalan secara optimum, yang membuat semakin banyaknya flok yang terbentuk. Flok-flok ini tidak semuanya mengendap dikarenakan waktu pengendapan yang kurang optimum. Flok-flok yang belum mengendap ini turut terbawa ke dalam proses mikrofiltrasi hingga menimbulkan fouling dan menyebabkan munculnya filter cake pada membran. Filter cake inilah yang akhirnya menjadi filter tambahan bagi air, sebelum masuk ke dalam membran. Sehingga % penyisihan TDS meningkat. Walaupun % penyisihan TDS koagulan FeSO 4 ini lebih besar dari Al 2 (SO 4 ) 3, namun pada akhirnya memiliki fluks permeat yang lebih kecil. Pada % penyisihan TDS untuk koagulan Al 2 (SO 4 ) 3, sebagai akibat dari kurang optimumnya ph umpan untuk proses koagulasi, menjadikan proses koagulasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pada ph umpan yang telah melewati rentang optimum ph koagulasi Al (ph = 5,5-6,5), maka kemungkinan besar flok-flok yang terbentuk tidak lagi merupakan flok Al(OH) 3 yang bersifat tidak larut (insoluble), melainkan Al(OH) 4 yang bersifat larut sebagian (partial soluble), sehingga flok-flok yang terbentuk ini mudah pecah bila mendapat sedikit gangguan saja. Oleh karenanya hal ini berdampak pada tidak optimumnya % penyisihan TDS untuk koagulan Al 2 (SO 4 ) 3. 3.4 Berdasarkan % Penyisihan COD Dari Gambar 9 dan Gambar 1, terlihat bahwa kurva % penyisihan COD untuk masing-masing koagulan tidak jauh berbeda. Kedua grafik tersebut sama-sama menunjukkan peningkatan persentase removal COD terhadap kenaikan dosis seiring dengan meningkatnya waktu operasi. Proses peningkatan % penyisihan COD ini hampir sama dengan peningkatan % removal TDS, yaitu semakin tinggi dosis, maka flok yang terbentuk juga akan semakin banyak, sehingga kualitas air umpan untuk proses mikrofiltrasi meningkat, yang menyebabkan membran dapat bekerja optimum dalam memisahkan senyawa-senyawa organik dan anorganik. 45 45 4 4 % COD Removal 35 3 25 2 15 1 5 1 2 3 4 5 Waktu (Jam) ppm 1 ppm 3 ppm 5 ppm 7 ppm % R (COD) 35 3 25 2 15 1 5 1 2 3 4 5 ppm 1 ppm 3 ppm 5 ppm 7 ppm Gambar 9 Kurva % Penyisihan COD Ferrous Sulfat Gambar 1 Kurva % Penyisihan COD Aluminium Sulfat 3.5 Usulan Pemilihan Koagulan yang Tepat Berdasarkan aspek-aspek yang telah dibahas sebelumnya, maka dapat disarikan beberapa hal penting yang berkaitan dengan usulan pemilihan koagulan. Tabel 1 Perbandingan Koagulan FeSO 4.7H 2 O dan Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O Aspek Koagulan FeSO 4.7H 2 O Koagulan Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O Keefektifan Koagulan dalam Penyisihan TDS Mampu menyisihkan TDS 4 % - 68 % Mampu menyisihkan TDS 4 % - 55 % Keefektifan Koagulan dalam Penyisihan COD Mampu menyisihkan COD 28 % - 41 % Mampu menyisihkan COD 28 % - 39 % Kenaikan Fluks Permeat dari Kenaikan Fluks Permeat dari Fluks Permeat dosis ppm - 7 ppm; dosis ppm - 7 ppm;,3-,8 m 3 /m 2 /jam,1-,2 m 3 /m 2 /jam % Penyisihan TDS % Penyisihan COD Penyisihan TDS dari dosis ppm - 7 ppm; 1 % - 57 % Penyisihan COD dari dosis ppm 7 ppm; 3 % - 43 % Penyisihan TDS dari dosis ppm 7 ppm; 1 % - 43 % Penyisihan COD dari dosis ppm- 7 ppm; 3 % - 39 % 7

Dari aspek-aspek tersebut diatas, dapat dilihat bahwa masing-masing koagulan memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karenanya, pemilihan koagulan yang tepat harus dilandaskan pada kondisi umpan, serta kondisi operasi pada saat proses koagulasi. Sehingga usulan penggunaan koagulan yang tepat dengan melihat kedua kondisi tersebut, adalah sebagai berikut: Penggunaan Koagulan FeSO 4.7H 2 O Penggunaan Koagulan Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O ph air umpan = 8 9 ph air umpan = 5,5 6,5 Kecepatan Pengadukan = Kecepatan Pengadukan = 12 rpm ( 2 menit) 4 rpm (1 menit) 12 rpm (2 menit) 4 rpm (1 menit) Waktu Pengendapan = ± 1 Jam Waktu Pengendapan = ± 3 menit 4. Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai pengaruh proses pralakuan koagulasi terhadap kinerja membran mikroofiltrasi, seperti tersebut dibawah ini; 1. Persentase keefektifan koagulasi meningkat seiring dengan bertambahnya dosis koagulan. Untuk koagulan FeSO 4.7H 2 O, persentase keefektifan koagulasi dapat mencapai 68% untuk penyisihan TDS dan 41 % untuk penyisihan COD-nya pada dosis 7 ppm. Sedangkan untuk koagulan Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O, persentase keefektifan koagulasi mencapai 55% untuk penyisihan TDS dan 39% untuk penyisihan COD pada dosis 7 ppm. 2. Semakin tinggi dosis, fluks yang dihasilkan juga semakin besar, namun fluks tersebut juga akan semakin turun seiring dengan waktu. Untuk koagulan FeSO 4.7H 2 O, fluks permeat untuk dosis 7 ppm mencapai,8 m 3 /m 2 /jam. Sedangkan untuk koagulan Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O dapat mencapai hingga,2 m 3 /m 2 /jam. 3. Semakin tinggi dosis, dan semakin lamanya waktu operasi, maka % penyisihan TDS-nya juga akan semakin meningkat. Untuk koagulan FeSO 4.7H 2 O, persentase penyisihan TDS dapat mencapai 57%, dan untuk penyisihan COD-nya sebesar 43% pada dosis 7 ppm. Sedangkan untuk koagulan Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O, persentase penyisihan TDS mencapai 4%, dan untuk penyisihan COD-nya sebesar 39% pada dosis 7 ppm. 4. Usulan pemilihan koagulan yang tepat dilandaskan pada kondisi umpan, serta kondisi operasi pada saat proses koagulasi berlangsung. Tabel 2 Usulan Pemilihan Koagulan yang Tepat Koagulan FeSO 4.7H 2 O Koagulan Al 2 (SO 4 ) 3.18H 2 O ph air umpan = 8 9 ph air umpan = 5,5 6,5 Kecepatan Pengadukan; Kecepatan Pengadukan; 12 rpm (2 menit) 12 rpm (2 menit) 4 rpm (1 menit) 4 rpm (1 menit) Waktu Pengendapan ± 1 Jam Waktu Pengendapan ± 3 menit Daftar Pustaka Adams, V. Dean, Water and Wastewater Examination Manual, Lewis Publisher, 199. Aguilar, M.I, J. Slaez, M. Llorlens, A. Soler, J.F. Ortuno, Microscopic Observation of Particle Reductin in Slaughterhouse Wastewater by Coagulation-Flocculation Using Ferric Sulphate as Coagulant and Different Coagulant Aids, Water Research, 21. Davis, MacKenzie. David A. Cornwell, Introduction to Environtmental Engineering, 3rd ed, Mc-Graw Hill, 1998. Gabler, Raymond. Is Your Water Safe to Drink?. Consumers Union. 1988 Mulder, Marcel, Basic Principles of Membrane Technology, Kluwer Academic Publisher, Netherlands, 1997. Peavy, S. Howard, Donald R. Rowe, George Tchobanoglous, EnvirontmentalEngineering,int. Ed. Mc- Graw Hill, 1985. Powell, T. Shepperd. Water Conditioning for Industry, 1st ed, Mc-Graw Hill, 1954. Singley, J.E. Encyclopedia of Chemical Technology, 2nd ed. Vol.22, pp 82-14, 1998. 8