BAB III TEORI DASAR. Hidrogeologi adalah bagian dari hidrologi (sub-surface hydrology) yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III DASAR TEORI 3.1 Sistem Airtanah

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran

Penentuan Zonasi Kawasan Imbuhan Cekungan Air Tanah (CAT) Subang yang ada di Wilayah Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat

1. Alur Siklus Geohidrologi. dari struktur bahasa Inggris, maka tulisan hydrogeology dapat diurai menjadi

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Siklus Hidrologi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah penelitian termasuk dalam lembar Kotaagung yang terletak di ujung

GEOHIDROLOGI PENGUATAN KOMPETENSI GURU PEMBINA OSN SE-ACEH 2014 BIDANG ILMU KEBUMIAN

Lebih dari 70% permukaan bumi diliputi oleh perairan samudra yang merupakan reservoar utama di bumi.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Cekungan. Air Tanah. Penyusunan. Pedoman.

BAB II DASAR TEORI DAN METODOLOGI PENELITIAN

Jurnal APLIKASI ISSN X

TINJAUAN PUSTAKA. akuifer di daratan atau daerah pantai. Dengan pengertian lain, yaitu proses

Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi

PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf

KATA PENGANTAR BAB I

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI

II. TINJAUAN PUSTAKA

HIDROSFER. Lili Somantri,S.Pd Dosen Jurusan Pendidikan Geografi UPI

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air.

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.1. tetap

Sifat fisika air. Air O. Rumus molekul kg/m 3, liquid 917 kg/m 3, solid. Kerapatan pada fasa. 100 C ( K) (212ºF) 0 0 C pada 1 atm

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. Menurut Arikunto (2006:26) Metode Penelitian adalah cara yang

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR TABEL... vii. DAFTAR GAMBAR... ix. A Latar Belakang...1

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Universitas Gadjah Mada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3,28x10 11, 7,10x10 12, 5,19x10 12, 4,95x10 12, 3,10x xviii

Analisis Potensi Air A I R

Air Tanah. Air Tanah adalah

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. DAFTAR ISI... iii. DAFTAR TABEL... vi. DAFTAR GAMBAR... xi BAB I PENDAHULUAN... 1

aptudika.web.ugm.ac.id

HIDROGEOLOGI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TAMBANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lembar Kotaagung terletak di ujung selatan Sumatera bagian selatan. Di

Tugas Akhir Pemodelan Dan Analisis Kimia Airtanah Dengan Menggunakan Software Modflow Di Daerah Bekas TPA Pasir Impun Bandung, Jawa Barat

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

BAB I PENDAHULUAN. kecepatan infiltrasi. Kecepatan infiltrasi sangat dipengaruhi oleh kondisi

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR (PSDA) Dosen : Fani Yayuk Supomo, ST., MT ATA 2011/2012

BAB 4 PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR TANAH KASUS WILAYAH JABODETABEK

HUBUNGAN SIFAT FISIK TANAH.

Cyclus hydrogeology

HIDROGEOLOGI MATA AIR

LAMPIRAN I KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Nomor : 1451 K/10/MEM/2000 Tanggal : 3 November 2000

ANALISA PENGOLAHAN AIR HUJAN (AIR TANAH) TERHADAP MUKA AIR TANAH DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERMEABILITAS LAPANGAN (SUMUR UJI)

IDENTIFIKASI AIR TANAH DAN PEMANFAATANYA UNTUK PERTANIAN. Hendri Sosiawan. Identifikasi Air Tanah dan Pemanfaatannya untuk Pertanian

Prof. Dr. Ir. Sari Bahagiarti, M.Sc. Teknik Geologi

BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI

Proses Pembentukan Tanah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. air. Melalui periode ulang, dapat ditentukan nilai debit rencana. Debit banjir

Berkala Fisika ISSN : Vol 10., No.1, Januari 2007, hal 1-5

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Proses Pembentukan dan Jenis Batuan

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS)

2.2 PENENTUAN BATAS CEKUNGAN AIR TANAH

TEKNOLOGI KONSERVASI AIR TANAH DENGAN SUMUR RESAPAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR ISI. BAB III TEORI DASAR Lereng repository.unisba.ac.id. Halaman

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Air di dunia 97,2% berupa lautan dan 2,8% terdiri dari lembaran es dan

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Daftar Lampiran...

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

DRAINASE PERKOTAAN BAB I PENDAHULUAN. Sub Kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim

TINJAUAN PUSTAKA. bergerak dalam tanah yang terdapat di dalam ruang-ruang antara butir-butir tanah

MEKANIKA TANAH ASAL USUL TERBENTUKNYA TANAH. UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard Km 3 air dengan persentase 97,5%

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA

07. Bentangalam Fluvial

PEMETAAN RISIKO PENCEMARAN AIRTANAH DI KECAMATAN PIYUNGAN, KABUPATEN BANTUL MENGGUNAKAN METODE DRASTIC MODIFIKASI

UJI LABORATORIUM RESAPAN BERPORI SEBAGAI PENANGGULANGAN BANJIR DAERAH GENANGAN KOTA MAKASSAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Gambar 2.1. Peta administrasi kota Semarang (Citra Ikonos, 2012)

Week 10 AKIFER DAN BERBAGAI PARAMETER HIDROLIKNYA

BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasrkan peta geologi daerah Leles-Papandayan yang dibuat oleh N.

PEMETAAN KERENTANAN AIRTANAH DAN PERANANNYA DALAM PERENCANAAN PENGEMBANGAN PERMUKIMAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HIDROGEOLOGI UMUM (GL ) MINGGU KE-2

BAB III METODE PENELITIAN

PENELITIAN HYDROGEOLOGI TAMBANG UNTUK RENCANA DRAINASE TAMBANG BATUBARA BAWAH

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB III TEORI DASAR 3.1 Hidrogeologi Hidrogeologi adalah bagian dari hidrologi (sub-surface hydrology) yang mempelajari distribusi dan gerakan aliran air di dalam tanah/batuan pada bagian kerak bumi dan umumnya pada akuifer (lapisan pembawa air). Istilah geohidrologi sering ditukar pakaikan dengan hidrogeologi. Beberapa perbedaan kecil antara ahli hidrologi dan insinyur hidrogeologi adalah penerapannya di bidang geologi (pada terminologi geohidrologi) dan seorang ahli geologi yang menerapkan ilmu hidrologi (hidrogeologi). 3.1.1 Daur Hidrologi Air merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi semua makhluk hidup (termasuk manusia). Tanpa air, tidak akan ada kehidupan. Air di bumi terdapat dalam bentuk: o Air laut (97 %) o Air permukaan lainnya (sungai, danau, dll.) o Es dan salju (di kutub dan puncak-puncak gunung) o Uap air/ awan o Air yang berada di dalam bumi Daur hidrologi secara umum dapat diterangkan sebagai berikut: air yang menguap oleh panas sinar matahari dan angin dari permukaan laut dan daratan akan terbawa oleh pergerakan udara. Kemudian terjadi proses pendinginan dan uap air akan terkondensasikan menjadi butir-butir air yang akan turun ke bumi sebagai air hujan, hujan es atau salju. Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah sebagian 28

29 akan meresap dan merembes ke dalam tanah setempat dan akan mencapai muka airtanah, sebagian lainnya akan diuapkan kembali dan sebagian lainnya lagi akan mengalir di permukaan sebagai aliran permukaan (run off), sebagai sungai dan anak sungai. Air yang merembes ke dalam tanah sebagian akan disimpan dalam lapisan pembawa air (akuifer). Aliran airtanah maupun aliran permukaan tersebut pada akhirnya akan kembali ke laut dan membentuk daur hidrologi kembali secara terus menerus. Gambar 3.1 Siklus Hidrologi (Sumber : Morr, 1977)

30 3.1.2 Airtanah Air yang meresap ke dalam tanah berasal dari air hujan langsung maupun dari sungai-sungai, kolam atau danau, dan saluran atau selokan. Air yang meresap ke dalam tanah dibedakan menjadi dua macam yaitu infiltrasi dan perkolasi. Infiltrasi adalah masuknya air hujan ke dalam massa tanah pada kondisi tidak jenuh (vadose zone) hal ini terjadi pada saat awal terjadinya hujan. Infiltrasi dapat berlangsung disebabkan dua faktor yaitu: Gaya tarik menarik antar molekul. Gaya gravitasi Gaya tarik menarik antar molekul dinyatakan gradien potensial. Apabila air hujan cepat terserap ke dalam lapisan tanah dinamakan gradien potensial tinggi, yang terjadi adalah proses penyusupan (infiltrasi). Apabila lapisan tanah sudah jenuh maka gaya tarik menarik antar molekul kurang memegang peranan penting (gradien potensial rendah), yang berlaku gaya gravitasi. Selanjutnya air yang mengalir ke bawah melalui massa tanah yang sudah jenuh air, peristiwa ini disebut perkolasi. Apabila supply air cukup, perkolasi ini selanjutnya akan sampai ke permukaan airtanah (water table) dan mengisi akuifer. Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas infiltrasi meliputi: Keadaan air di dalam tanah (moisture content of soil) Bila tanah kering ditetesi air, infiltrasi tinggi, bila lapisan tanah jenuh air kapasitas infiltrasi berkurang. Pengaruh hujan terhadap permukaan tanah Bila hujan turun pada tanah yang gundul, tetesan air hujan akan mengompakkan lapisan atas tanah dan faktor infiltrasi buruk/kecil.

31 Keadaan vegetasi Air hujan diteruskan ke akar tumbuhan sehingga faktor pengompakan terhindar dan infiltrasi cukup baik. Pengaruh temperatur Bila temperatur tinggi maka viskositas air menjadi kecil di mana mobilitas semakin besar, sehingga infiltrasi juga akan semakin besar. Pengaruh bahan koloid Bahan koloid bisa mengembang dan bisa menyusut. Dalam keadaan basah akan mengembang dan mengisi pori-pori tanah yang akan mereduksi infiltrasi sehingga menjadi kecil. Pada musim kemarau, air akan terlepas dari bahan koloid yang volumenya mengecil dan akan terjadi rekahan, menyebabkan faktor infiltrasi menjadi besar. Pengaruh tanah pertanian. Bila ada garapan, faktor infiltrasi menjadi tinggi karena tanah menjadi gembur. Bila tanah gundul faktor pengompakan memegang peranan dan infiltrasi rendah. Menurut Krusseman (Bakri, 2003) ditinjau dari sifat dan prilaku batuan terhadap airtanah terutama sifat fisik, struktur dan tekstur maka batuan dapat dibedakan kedalam 4 (empat) macam : 1. Akuifer adalah lapisan batuan yang mempunyai susunan sedemikian rupa sehingga dapat meyimpan dan mengalirkan airtanah yang cukup berarti seperti batupasir, dan batugamping. 2. Akuiklud adalah lapisan batuan yang dapat meyimpan air akan tetapi tidak dapat mengalirkan airtanah dalam jumlah yang cukup berarti seperti lempung, shale, tuf halus.

32 3. Akuitar adalah lapisan batuan yang dapat menyimpan air tetapi hanya dapat mengalirkan airtanah dalam jumlah yang sangat terbatas seperti basal scoria, serpih, napal, dan batulempung. 4. Akuiflug adalah lapisan batuan yang tidak dapat menyimpan dan mengalirkan airtanah seperti batuan beku dan batuan metamorf dan kalaupun ada air pada lapisan batuan tersebut hanya terdapat pada kekar atau rekahan batuan saja. Menurut Krusseman dan De Ridder (1970) dalam Utaya (1990), akuifer dapat dibagi lagi menjadi 4 jenis akuifer, yaitu: 1. Akuifer bebas (unconfined aquifer) Pada akuifer jenis ini lapisan atasnya mempunyai permeabilitas yang tinggi, sehingga tekanan udara di permukaan air sama dengan atmosfer. Airtanah dari akuifer ini disebut airtanah bebas (tidak tertekan) dan akuifernya sendiri sering disebut water-table aquifer. 2. Akuifer tertekan (confined aquifer) Akuifer tertekan adalah akuifer yang lapisan atas dan bawahnya dibatasi oleh lapisan yang kedap air. 3. Akuifer semi tertekan (semi confined aquifer) Akuifer setengah tertekan adalah akuifer yang lapisan di atas atau di bawahnya masih mampu meluluskan atau dilewati air meskipun sangat kecil (lambat). 4. Akuifer semi bebas (semi unconfined aquifer) Akuifer jenis ini merupakan peralihan antara akuifer setengah tertekan dengan akuifer tidak tertekan (bebas). Dimana, lapisan bawahnya yang merupakan lapisan kedap air, sedangkan lapisan atasnya merupakan material berbutir halus, sehingga pada lapisan penutupnya masih memungkinkan adanya gerakan air.

33 Gambar 3.2 Jenis-jenis Akuifer (Sumber: Krusseman and De Ridder, 1970) 3.1.3 Faktor yang Penting Dalam Pembentukan Airtanah Faktor-faktor yang penting dalam pembentukan airtanah di suatu daerah meliputi: 1. Curah hujan, dipengaruhi oleh musim: o Musim penghujan o Musim kemarau o Salju dan es 2. Run off, dipengaruhi oleh: o Topografi/ kemiringan lereng o Vegetasi o Jenis tanah di permukaan 3. Evaporasi, dipengaruhi oleh: o Temperatur (tanah dan udara) o Lama penyinaran matahari

34 o Kelembaban udara o Kecepatan angin (tekanan udara) o Vegetasi 4. Infiltrasi, dipengaruhi oleh: o Ketersediaan air di permukaan tanah o Jenis tanah permukaan (ukuran pori/ porositas/ permeabilitas/ tekstur dan struktur tanah) o Tingkat kejenuhan tanah o Waktu kontak air dengan tanah o Kecepatan penguapan 3.1.4 Hubungan Sifat Batuan dengan Airtanah Sifat batuan yang berhubungan dengan keberadaan airtanah yaitu porositas dan permeabilitas. Porositas adalah perbandingan antara isi ruang antar butir dengan total isi suatu material. Sedangkan permeabilitas adalah kemampuan suatu lapisan batuan untuk dapat dilalui suatu cairan yang dinyatakan m/hari. Berikut adalah nilai porositas pada batuan:

35 Tabel 3.1 Nilai Porositas pada Beberapa Jenis Batuan Material Sedimen tidak terkonsolidasi (Unconsolidated Sedimentary Materials) Material Porositas (%) Kerakal kasar (Gravel, coarse) 24-37 Kerakal sedang (Gravel, medium) 24-44 Kerakal halus (Gravel, fine) 25-39 Pasir kasar (Sand, coarse) 31-46 Pasir sedang (Sand, medium) 29-49 Pasir halus (Sand, fine) 26-53 Lanau (Silt) 34-61 Lempung (Clay) 34-57 Batuan Sedimen Jenis Batuan Porositas (%) Batupasir (Sandstone) 14-49 Batulanau (Siltstone) 21-41 Batulempung (Claystone) 41-45 Serpih (Shale) 1-10 Batugamping (Limestone) 7-56 Dolomit (Dolomite) 19-33 Batuan Kristalin (Crystalline Rocks) Jenis Batuan Porositas (%) Basal (Basalt) 3-35 Granit lapuk (Weathered granite) 34-57 Gabro lapuk (Weathered gabbro) 42-45 (Sumber: Morris and Johnson, 1967) Hal penting yang berhubungan dengan mudah tidaknya suatu cairan mengalir dalam suatu massa batuan adalah permeabilitas. Batuan dikatakan permeabel apabila air atau cairan lainnya dapat meresap dari permukaan atas ke bawah. Konduktivitas hidrolik (K) merupakan suatu parameter dalam aliran air melalui media berpori yang menyatakan laju kelulusan air per satuan luas penampang media yang dilalui. Harga K dinyatakan dalam persamaan berikut :

36 Q memiliki dimensi volume/satuan waktu (L³/T), sedangkan luas (A) memiliki dimensi L², dan gradient hidrolik L/L. Dengan mensubstitusikan dimensi ke dalam persamaan maka akan didapat dimensi K sebagai berikut: Nilai K ini dinyatakan sebagai suatu nilai konduktivitas hidrolik atau koefisien permeabilitas suatu media. Nilai konduktivitas hidrolik akan dipengaruhi oleh karakter fisik yang dimiliki oleh media tersebut, di antaranya adalah besar butir, jumlah rekahan yang dimiliki, porositas, keseragaman butir, dan penyebaran (sorting) butiran. Pada media yang tidak mengalami kompaksi, maka media tersebut cenderung akan memiliki nilai konduktivitas hidrolik yang dipengaruhi oleh ukuran besar butirnya, sedangkan pada media tipe lainnya, yaitu media yang mengalami kompaksi, maka media tersebut cenderung untuk memiliki nilai konduktivitas hidrolik yang dikontrol oleh porositasnya, yang pada umumnya porositas ini berasal dari rekahan yang muncul pada media tersebut. Pada media yang tidak mengalami kompaksi, makin besar ukuran butir, maka konduktivitas hidroliknya akan menjadi semakin besar pula, seperti pada pasir kasar. Sedangkan pada media yang terkompaksi, konduktivitas hidroliknya akan dikontrol oleh rekahan yang muncul, yang kemudian digunakan sebagai media masuknya air. Nilai konduktivitas hidrolik pada batuan dapat dilihat pada Tabel 3.2 sebagai berikut:

37 Tabel 3.2 Nilai K pada Batuan Material Sedimen tidak terkonsolidasi (Unconsolidated Sedimentary Materials) Material Kerakal (Gravel) Pasir kasar (Sand, coarse) Pasir sedang (Sand, medium) Pasir halus (Sand, fine) Lanau (Silt loess) Endapan glasial (Till) Lempung (Clay) Lempung laut tidak lapuk (Unweathered marine clay) Batuan Sedimen Jenis Batuan Karst dan batugamping terumbu (reef limestone) Batugamping dan Dolomit (Limestone, Dolomite) Batupasir (Sandstone) Batulanau (Siltstone) Garam (Salt) Anhydrite Serpih (Shale) Batuan Kristalin (Crystalline Rocks) Jenis Batuan Basal porous (Permeable basalt) Batuan beku dan metamorf terkekarkan (Fractured igneous and metamorphic rock) Granit lapuk (Weathered granite) Gabro lapuk (Weathered gabbro) Basal (Basalt) Batuan beku dan metamorf tak terkekarkan (Unfractured igneous and metamorphic rock) (Sumber: Domenico and Schwartz, 1990) K (m/sec) 3x10 ⁴ - 3x10 ² 9x10 ⁷- 6x10 ³ 9x10 ⁷ - 5x10 ⁴ 2x10 ⁷ - 2x10 ⁴ 1x10 ⁹ - 2x10 ⁵ 1x10 ¹²- 2x10 ⁶ 1x10 ¹¹- 4.7x10 ⁹ 8x10 ¹³ - 2x10 ⁹ K (m/sec) 1x10 ⁶ - 2x10 ² 1x10 ⁹ - 6x10 ⁶ 3x10 ¹⁰- 6x10 ⁶ 1x10 ¹¹- 1.4x10 ⁸ 1x10 ¹²- 1x10 ¹⁰ 4x10 ¹³ - 2x10 ⁸ 1x10 ¹³ - 2x10 ⁹ K (m/sec) 4x10 ⁷ - 2x10 ² 8x10 ⁹ - 3x10 ⁴ 3.3x10 ⁶ - 5.2x10 ⁵ 5.5x10 ⁷ - 3.8x10 6 1x10 ¹¹- 4.7x10 ⁷ 3x10 ¹⁴- 2x10 ¹⁰ 3.1.5 Potensi Airtanah Keberadaan airtanah di alam terdapat pada suatu lapisan pembawa air (akuifer) yang penyebarannya tidak dapat dipengaruhi oleh batas wilayah administrasi, kepemilikan maupun fungsi penggunaan lahan. Lapisan pembawa air (akuifer) meliputi daerah pengimbuhan, daerah pengaliran serta daerah luah (discharge) yang membentuk suatu sistem cekungan airtanah.

38 Potensi airtanah adalah banyaknya airtanah yang berasal dari curah hujan dan aliran airtanah yang berasal dari DAS. Potensi airtanah adalah kuantitas dari airtanah yang dapat dipergunakan manusia untuk keperluan hidupnya dengan teknologi pengambilan yang tidak menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan kelangkaan aitanah. 3.2 Penentuan Zona Imbuhan Batas daerah imbuhan airtanah dan daerah lepasan airtanah ditentukan melalui identifikasi data hidrogeologi sebagai berikut : 1) Penentuan batas daerah imbuhan airtanah dan daerah lepasan airtanah berdasarkan tekuk lereng. Tekuk lereng merupakan batas antara morfologi dataran dengan perbukitan, pada umumnya merupakan daerah kaki bukit atau kaki pegunungan. Daerah imbuhan airtanah pada umumnya terletak di atas tekuk lereng, biasanya berupa morfologi perbukitan, pegunungan, atau tubuh dan puncak gunung api. Adapun daerah lepasan airtanah terletak di bawah tekuk lereng biasanya berupa morfologi dataran. Pada peta topografi dengan skala lebih besar dari 1:250.000 batas antara daerah dataran dengan lereng perbukitan dapat terlihat cukup jelas, daerah dengan garis kontur yang rapat secara umum merupakan daerah imbuhan airtanah, sedangkan daerah dengan garis kontur yang jarang merupakan daerah lepasan airtanah. 2) Penentuan batas daerah imbuhan airtanah dan daerah lepasan airtanah berdasarkan pola aliran sungai. Daerah imbuhan airtanah pada umumnya dicirikan oleh beberapa anak sungai yang relatif pendek dan lurus. Pada umumnya daerah imbuhan airtanah ditempati oleh sungai orde ketiga dan keempat atau orde yang lebih rendah

39 lagi. Adapun daerah lepasan airtanah pada umumnya dicirikan dengan morfologi kawasan yang ditempati oleh aliran sungai utama atau beberapa cabang aliran sungai utama yang relatif panjang alurnya. Alur sungai di daerah lepasan airtanah pada umumnya berkelok-kelok dan ditempati oleh sungai orde pertama serta orde kedua. 3) Penentuan batas daerah imbuhan airtanah dan daerah lepasan airtanah berdasarkan mata air. Mata air merupakan tempat pemunculan/lepasan airtanah ke permukaan tanah. Daerah di sebelah atas atau arah hulu dari titik mata air secara umum merupakan daerah imbuhan airtanah. Adapun daerah di sebelah bawah atau pada arah hilir dari titik mata air secara umum merupakan daerah lepasan airtanah. Beberapa titik mata air pada umumnya terletak berjajar pada ketinggian yang relatif sama. Dari deretan titik mata air tersebut dapat ditarik garis yang memisahkan daerah imbuhan airtanah dan daerah lepasan airtanah. 4) Penentuan batas daerah imbuhan airtanah dan daerah lepasan airtanah berdasarkan kedalaman muka airtanah. Di daerah imbuhan airtanah tekanan hidrolika lapisan jenuh air pada titik yang berdekatan dengan bidang muka airtanah lebih besar dari pada tekanan hidrolika pada titik yang berada di bawahnya, sehingga kedudukan muka airtanah semakin dalam seiring dengan semakin dalamnya lubang bor. Sumur yang dibuat di daerah imbuhan airtanah umumnya mempunyai muka airtanah yang dalam, apabila sumur tersebut diperdalam maka makin dalam pula kedudukan muka airtanahnya. Di daerah imbuhan airtanah, arah umum aliran airtanah vertikal ke bawah. Pada daerah yang hanya terdapat sistem akuifer tidak tertekan, batas antara daerah imbuhan airtanah dan daerah lepasan airtanah biasanya

40 ditempati oleh zona transisi dengan ciri arah aliran airtanah horizontal. Pada zona transisi yang merupakan batas antara daerah imbuhan airtanah dan derah lepasan airtanah tersebut kedudukan muka airtanah relatif stabil, meskipun sumur diperdalam tetapi kedudukan muka airtanah tidak bertambah dalam dan juga tidak bertambah dangkal. Pada daerah yang terdapat gabungan sistem akuifer tertekan dan tidak tertekan, batas daerah imbuhan airtanah dan daerah lepasan airtanah merupakan garis yang menghubungkan titik-titik perpotongan kontur muka airtanah tidak tertekan (muka preatik) dengan kontur muka airtanah tertekan (muka pisometrik). Pada lokasi sepanjang garis yang menghubungkan titik-titik perpotongan tersebut (hinge line) merupakan batas antara daerah imbuhan airtanah dan daerah lepasan airtanah. Di daerah imbuhan airtanah, muka airtanah sistem akuifer tidak tertekan lebih tinggi kedudukannya dari pada muka airtanah sistem akuifer tertekan. Sebaliknya di daerah lepasan airtanah, muka airtanah sistem akuifer tidak tertekan lebih rendah kedudukannya daripada muka airtanah sistem akuifer tertekan. Untuk memudahkan di dalam mengenali daerah imbuhan, dapat dilakukan dengan pengenalan terhadap ciri-ciri khusus dan ciri-ciri umum daerah imbuhan, yaitu: a) Ciri umum daerah imbuhan: Mempunyai arah umum aliran airtanah secara vertikal ke bawah; Air meresap ke dalam tanah sampai muka airtanah (mengisi akuifer); Kedudukan muka preatik relatif dalam; Kedudukan muka preatik lebih dalam dari muka pisometrik pada kondisi alamiah; Daerah singkapan batuan lolos air tidak jenuh air; Daerah pebukitan atau pegunungan;

41 Kandungan kimia airtanah dan Daya Hantar Listrik relatif rendah; Umur airtanah relatif muda; b) Ciri khusus daerah imbuhan: Daerah tubuh dan puncak kerucut gunung api; Daerah karst yang mempunyai retakan dan lubang pelarutan; Daerah singkapan batuan pembentuk akuifer tertekan bagian hulu. Penentuan daerah imbuhan airtanah airtanah dilakukan berdasarkan sistem aliran airtanah secara regional pada suatu cekungan airtanah, melalui tahapan sebagai berikut: a) Menentukan batas cekungan airtanah. b) Membuat penampang hidrogeologi cekungan airtanah. c) Mengidentifikasi sistem akuifer cekungan airtanah. d) Menentukan daerah imbuhan dan lepasan airtanah sesuai dengan ciricirinya, yaitu : Pada sistem akuifer tidak tertekan, daerah imbuhan dan daerah lepasan airtanah berimpit. Pada sistem akuifer tertekan, batas daerah imbuhan dan daerah lepasan airtanah dibatasi oleh garis yang menghubungkan titik perpotongan kontur muka preatik dan muka pisometrik (hinge line) Pada sistem akuifer kerucut gunung api, daerah imbuhan dan daerah lepasan airtanah dipisahkan oleh garis yang menghubungkan ketinggian beberapa lokasi pemunculan mata air pada daerah tekuk lereng kaki kerucut gunung api. Pada sistem akuifer karst, daerah imbuhan dan daerah lepasan airtanah dipisahkan oleh garis yang menghubungkan ketinggian

42 beberapa lokasi pemunculan mata air pada daerah tekuk lereng bawah pebukitan karst. 3.2.1 Penentuan Klasifikasi Zona Imbuhan Faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan daerah imbuhan airtanah mencakup rupa bumi, morfologi (kemiringan), geologi (struktur, litologi, dsb.), hidrogeologi (kelulusan, dsb), tutupan lahan, curah hujan, hidrologi (sistem aliran permukaan, dsb.). Secara umum penentuan daerah imbuhan airtanah dilakukan dengan cara menumpang tindihkan (overlay) antara peta muka preatik dan peta muka pisometrik. Garis perpotongan antara muka preatik dan muka pisometrik adalah garis engsel (hinge line) yang merupakan batas antara daerah imbuhan dan daerah lepasan airtanah. Apabila data muka preatik dan muka pisometrik tidak tersedia secara memadai, maka dapat dilakukan dengan cara pendekatan yaitu dengan menarik garis pada tekuk lereng yang umumnya ditandai dengan pemunculan mata air. Daerah imbuhan airtanah dapat ditentukan juga sebagai daerah tangkapan air hujan yang umummya di daerah pebukitan atau pegunungan yang mempunyai penyebaran batuan permukaan sebagai akuifer dengan arah aliran airtanah ke bawah mengalir secara gravitasi. Untuk menentukan klasifikasi daerah imbuhan di lokasi kajian, akan digunakan acuan dari Kumpulan Panduan Teknis Pengelolaan Airtanah (Pusat Lingkungan Geologi, 2007), yang mengklasifikasikan daerah imbuhan airtanah berdasarkan parameter sebagai berikut: a) Kelulusan batuan. b) Curah hujan. c) Tanah penutup. d) Kemiringan lereng.

43 e) Muka airtanah tidak tertekan. Masing-masing parameter mempunyai pengaruh terhadap peresapan air ke dalam tanah yang dibedakan dengan nilai bobot (Tabel 3.3);. parameter yang mempunyai nilai bobot paling tinggi merupakan parameter yang paling menentukan kemampuan peresapan untuk menambah airtanah secara alamiah pada suatu cekungan airtanah. Tabel 3.3 Nilai Bobot Parameter Resapan Air No Parameter Nilai Bobot 1 Kelulusan Batuan 5 Sangat Tinggi 2 Curah Hujan 4 Tinggi 3 Tanah Penutup 3 Cukup 4 Kemiringan Lereng 2 Sedang 5 Muka Airtanah Tidak Tertekan 1 Rendah (Sumber: Pusat Lingkungan Geologi, 2007) Untuk menentukan besarnya pemeringkatan, maka disusun peringkat parameter yang dibedakan berdasarkan bobot atau nilainya, sebagaimana tercantum dalam Tabel 3.4 sampai dengan Tabel 3.8 berikut. Tabel 3.4 Nilai Peringkat Kelulusan Batuan No Nilai Kelulusan Batuan (m/hari) Nilai Peringkat 1 > 10³ 5 Sangat Tinggi 2 10¹ - 10³ 4 Tinggi 3 10 ² - 10¹ 3 Cukup 4 10 ⁴ - 10 ² 2 Sedang 5 < 10 ⁴ 1 Rendah (Sumber: Pusat Lingkungan Geologi, 2007)

44 Tabel 3.5 Nilai Peringkat Curah Hujan No Curah Hujan (mm/tahun) Nilai Peringkat 1 > 4000 5 Sangat Tinggi 2 3000-4000 4 Tinggi 3 2000-3000 3 Cukup 4 1000-2000 2 Sedang 5 < 1000 1 Rendah (Sumber: Pusat Lingkungan Geologi, 2007) Tabel 3.6 Nilai Peringkat Jenis Tanah Penutup No Jenis Tanah Penutup Nilai Peringkat 1 Kerikil 5 Sangat Tinggi 2 Pasir Kerikilan 4 Tinggi 3 Lempung Pasiran / Lanau Pasiran 3 Cukup 4 Lanau Lempungan 2 Sedang 5 Lempung Lanauan 1 Rendah (Sumber: Pusat Lingkungan Geologi, 2007) Tabel 3.7 Nilai Peringkat Kemiringan Lereng No Kemiringan Lereng (⁰) Nilai Peringkat 1 < 5⁰ 5 Sangat Tinggi 2 5⁰ - 10⁰ 4 Tinggi 3 10⁰ - 20⁰ 3 Cukup 4 20⁰ - 30⁰ 2 Sedang 5 > 30⁰ 1 Rendah (Sumber: Pusat Lingkungan Geologi, 2007) Tabel 3.8 Nilai Peringkat Kedalaman Muka Airtanah Tidak Tertekan No Kedalaman Muka Airtanah Tidak Tertekan (m.bmt) Nilai Peringkat 1 > 30 5 Sangat Tinggi 2 20-30 4 Tinggi 3 20-10 3 Cukup 4 10-5 2 Sedang 5 < 5 1 Rendah (Sumber: Pusat Lingkungan Geologi, 2007)

45 Untuk mendapatlan klasifikasi daerah imbuhan airtanah dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. Memberi nilai bobot setiap parameter; b. Memberi nilai peringkat setiap parameter; c. Menjumlahkan hasil perkalian antara nilai bobot dan nilai peringkat pada setiap parameter; d. Mengklasifikasikan daerah imbuhan airtanah berdasarkan nilai imbuhannya, yaitu menjumlahkan hasil perkalian antara nilai bobot dan nilai peringkat pada setiap parameter. Nilai imbuhan = Kb*Kp + Pb*Pp + Sb*Sp + Lb*Lp + Mb*Mp Keterangan: K = Kelulusan batuan; P = Curah hujan rata-rata tahunan; S = Tanah penutup; M = Muka airtanah bebas; b = Nilai bobot; p = Nilai peringkat. L = Kemiringan lereng; e. Selanjutnya mengelompokkan daerah imbuhan airtanah menjadi : 1) Daerah imbuhan utama, merupakan daerah imbuhan airtanah dengan nilai imbuhan lebih besar dari 33. 2) Daerah imbuhan tambahan, merupakan daerah imbuhan airtanah dengan nilai imbuhan antara 30 sampai 33. 3) Daerah imbuhan tidak berarti, merupakan daerah imbuhan airtanah dengan nilai imbuhan lebih kecil dari 30.