BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Di seluruh dunia, lebih dari 1,8 miliar penduduknya berusia 10-24 tahun dan 90% diantaranya tinggal di negara berkembang (PBB, 2013). Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukan bahwa kelompok usia remaja 10-24 tahun merupakan populasi terbesar. Jumlah populasi remaja Indonesia mencapai 63,4 juta (26,78%) dari 237,6 juta yang terdiri dari 50,7% laki-laki dan 49,3% perempuan. Di DIY, jumlah penduduk remaja mencapai 834.922 (24,15%) dari 3.457.491 jiwa (BPS, 2010). Usia remaja adalah masa dimana seseorang berada pada sebuah kondisi masa peralihan antara anak-anak dan dewasa. Salah satu peralihan yang tampak jelas adalah perubahan fisik yang dipengaruhi oleh hormon-hormon pubertas. Akan tetapi, hasil SDKI-R tahun 2012 menunjukkan bahwa belum semua remaja memiliki pengetahuan tentang perubahan fisik yang dialami. Perubahan fisik pada remaja laki-laki yang paling sering disebutkan oleh responden wanita adalah perubahan suara (69%), sedangkan perubahan fisik pada 1
2 remaja laki-laki yang paling sering disebutkan oleh responden pria adalah pertumbuhan rambut di wajah, sekitar alat kelamin, ketiak, dada, kaki atau lengan (50%). Sementara itu, perubahan fisik remaja laki-laki yang paling jarang disebutkan adalah puting susu mengeras. Pada remaja perempuan, perubahan fisik yang paling sering disebutkan oleh responden wanita adalah mulai haid (83%), diikuti dengan pertumbuhan payudara (73%). Responden pria mempunyai pola sebaliknya, mereka lebih cenderung menyebutkan pertumbuhan payudara (58%), diikuti dengan mulainya haid (43%). Terdapat satu hal yang menarik untuk dicatat, yakni bahwa hanya sedikit responden yang menyebutkan peningkatan gairah seks sebagai salah satu tanda perubahan fisik pada remaja perempuan (4% oleh wanita dan 3% oleh pria) maupun laki-laki (4% oleh wanita dan 6% oleh pria) (BKKBN, 2013). Adanya peningkatan gairah seks pada remaja yang disebabkan oleh hormon pubertas memberi dampak pada perubahan sikap dan pola pemikiran remaja. Salah satu bentuk perilaku risiko tinggi yang menjadi masalah pada masa remaja adalah perilaku seks bebas pranikah. Penelitian oleh Pusat Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan, Depkes RI tahun 1990 terhadap siswa-siswa
3 SMA di Yogyakarta menyebutkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah adalah membaca buku porno dan menonton film porno (49,2%). Adapun motivasi utama melakukan senggama adalah suka sama suka (75,6%), pengaruh teman, kebutuhan biologis (18%) dan merasa kurang taat pada nilai-nilai agama (26%). Angka statistik tentang deviasi (penyimpangan) perilaku seks bebas pranikah remaja Indonesia dari tahun ke tahun semakin besar. Era tahun 1970, penelitian mengenai perilaku seks bebas pranikah menunjukkan angka 7-9%. Dekade tahun 1980, angka tersebut meningkat menjadi 12-15%. Berikutnya tahun 1990 meningkat lagi menjadi 20%. Di era sekarang ini, Pusat Studi Kriminologi Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta menemukan 26,35% dari 846 peristiwa pernikahan telah melakukan hubungan seksual pra nikah dimana 50% nya menyebabkan kehamilan. Data hasil SDKI-R 2012 menunjukkan bahwa sebanyak 29,5% remaja laki-laki dan 6,2% remaja perempuan pernah meraba atau merangsang pasangannya serta 48,1% remaja laki-laki dan 29,3% remaja perempuan pernah berciuman bibir. Dalam survei tersebut juga terungkap bahwa umur berpacaran untuk pertama kali paling banyak adalah 15-17 tahun, yakni pada 45,3% remaja laki-laki dan 47%
4 remaja perempuan. Dari seluruh responden yang berusia 10-24 tahun, hanya 14,8% yang mengaku belum pernah pacaran sama sekali. Adanya peningkatan perilaku seks bebas pranikah tentunya juga memberi dampak pada kesehatan para remaja Indonesia. Saat ini remaja Indonesia sedang mengalami peningkatan kerentanan terhadap berbagai ancaman risiko kesehatan terutama yang berkaitan dengan kesehatan seksual dan reproduksi termasuk peningkatan ancaman HIV/AIDS. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada Oktober 2013, dari bulan Juli sampai dengan September 2013 jumlah infeksi HIV baru yang dilaporkan sebanyak 10.203 kasus dengan persentase penderita usia 20-24 tahun sebesar 14,7%. Sementara itu, jumlah kasus baru AIDS yang dilaporkan sebanyak 1.983 kasus dengan persentase kelompok usia 20-29 tahun sebesar 22,3%. Dari jumlah tersebut, kelompok usia 20-24 tahun. Data survei menunjukkan sampai Oktober 2013 proporsi kumulatif pengidap HIV/AIDS terbanyak adalah kelompok usia 20-29 tahun. Di samping masalah kesehatan seksual yang menular, aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat terkait dengan perilaku seks bebas yang belum teratasi sampai saat ini. Berdasarkan data yang dikeluarkan BKKBN,
5 diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa. Namun data ini bisa dipastikan bukan merupakan data yang valid, dikarenakan adanya tindakan aborsi bersifat ilegal yang tidak tercantum dalam data pemerintah. Data studi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di 12 kota dari tahun 2000-2011 menunjukkan bahwa kejadian aborsi pada remaja mencapai 17%. Dalam penelitian tentang perempuan yang melakukan aborsi di klinik, hanya 38% melaporkan bahwa prosedur yang digunakan adalah aspirasi vakum atau dilatasi dan kuret, yang merupakan prosedur yang aman dengan metode yang sudah terjamin untuk aborsi pada kehamilan dini. Sebanyak 25% dari klien menggunakan pengobatan oral dan dipijat agar terjadi penguguran; 13% menerima suntikan untuk penguguran kandungan; 13% memasukan benda asing ke dalam vagina atau rahim dan 4% melakukan aborsi dengan cara akupunktur (Utomo, 2001). Aborsi yang tidak aman menyebabkan komplikasi yang tak terduga dan kematian. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengestimasikan bahwa aborsi yang tidak aman bertanggung jawab terhadap 14% dari kematian ibu di Asia Tenggara. Akan tetapi untuk negara-negara di Asia Tenggara dengan hukum aborsi yang sangat ketat, salah
6 satunya adalah Indonesia, angka kematian ibu karena aborsi meningkat menjadi 16%. Aborsi tidak aman menyumbang sebagai penyebab terbesar ke-5 angka kematian ibu di Indonesia yaitu sebesar 1%. Akan tetapi, angka ini jauh dari kenyataan yang ada dikarenakan banyaknya aborsi ilegal dan tidak aman yang berujung ke pendarahan dan infeksi, sehingga saat pendataan tidak dikategorikan sebagai kematian akibat aborsi tidak aman. Tiga penyebab utama kematian ibu masih diduduki oleh pendarahan (32%), pre-eclampsia (25%), dan infeksi (5%) (RISKESDAS, 2010). Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, peneliti merasa dilakukan pengukuran tingkat pemahaman seks bebas pranikah pada remaja, khususnya remaja lakilaki berumur 15-17 tahun. I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah yang mendasari penelitian ini adalah: Bagaimana tingkat pemahaman remaja mengenai seks bebas?
7 I.3. Tujuan Penelitian Tujuan umum: Mengetahui sejauh mana pemahaman remaja mengenai perilaku seks bebas. Tujuan khusus: a. Mengetahui sejauh mana pemahaman remaja terkait perilaku seks bebas pranikah. b. Mengetahui sumber informasi pengetahuan seksual. c. Mengetahui sikap remaja terhadap pendidikan seksual dan perilaku seks bebas pranikah. I.4. Keaslian Penelitian Hasil penelitian yang berhubungan dengan topik penelitian ini adalah: 1. Susanti (2013) tentang Persepsi Siswa Kelas XI SMK Negeri 4 Surabaya terhadap Perilaku Seks Bebas di Kalangan Remaja didapatkan hasil sebagian besar siswa (65,3%) mempunyai pemahaman yang baik mengenai bahaya seks bebas dan 70% siswa memahami pengaruh yang ditimbulkan oleh perilaku seks bebas. 2. Herlia Yuliantini (2012) dengan metode deskriptif korelatif dengan pendekatan cross-sectional tentang tingkat pengetahuan HIV/AIDS dan sikap remaja
8 tentang perilaku seks pra nikah pada siswa SMU X di Jakarta Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas siswa memiliki tingkat pemahaman HIV/AIDS yang baik dengan sikap tidak mendukung perilaku seks bebas. 3. Rida Bhakti Kencana (2011) dengan metode observasional analitik dengan pendekatan crosssectional. Hasil yang didapat dari penelitian tersebut adalah terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dengan sikap terhadap seks pranikah sebesar 0,173, dengan taraf signifikan nilai z sebesar 1,9. 4. Nurdiana Darmastuti (2011) dengan metode analitik observasional dengan pendekatan cross-sectional tentang tingkat pengetahuan remaja tentang PMS dengan sikap seks bebas pada sebanyak 70 siswa SMAN 3 Boyolali yang diambil dengan teknik systematic sampling. Hasil penelitian pada tingkat pengetahuan tentang PMS mayoritas berpengetahuan baik (38,57%), berpengetahuan cukup baik (32,86%) dan pada sikap seks bebas mayoritas tidak setuju (41,43%), kurang setuju (35,71%). Hasil analisis data didapatkan r hitung=0,711 > r tabel=0,232. Kesimpulannya adalah
9 ada hubungan antara tingkat pengetahuan remaja tentang PMS dengan sikap seks bebas. 5. Nasria Putriani (2010) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi siswa SMA Negeri 1 Mojogedang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden menilai bahwa teman, orang terdekat, orang tua, media massa, informasi yang diterima dan seringnya berdiskusi dapat mempengaruhi pengetahuan. 6. Fadhila Arbi Dyah Kusumastuti (2010) dengan metode analitik observasional dengan pendekatan cross sectional tentang hubungan pengetahuan dan sikap terhadap seks pranikah pada sebanyak 184 siswa SMA Negeri 3 Surakarta yang diambil dengan metode simple random sampling. Hasil penelitian menyebutkan remaja mempunyai pengetahuan baik tentang seksual pranikah dengan jumlah 116 remaja (63%), mempunyai pengetahuan cukup dengan jumlah 37 remaja (20,1%) dan mempunyai pengetahuan kurang 31 remaja (16,9%). Sedangkan untuk sikap seksual pranikah remaja menunjukkan 62,5% termasuk dalam kategori sikap negatif (kecenderungan untuk menghindari seksual pranikah) dan 37,5% mempunyai sikap positif (kecenderungan untuk mendekati seksual pranikah).
10 I.5. Manfaat Penelitian 1. Sebagai dasar untuk penelitian-penelitian selanjutnya. 2. Memberikan masukan untuk Institusi Pendidikan yang berguna bagi perencanaan dan pengembangan pendidikan seksual di lingkungan sekolah. 3. Memberi masukan untuk Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bagi perencanaan dan pengembangan program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) di sekolah dan kelompok remaja lainnya. 4. Mengingatkan masyarakat mengenai pentingnya pendidikan seksual yang baik di kalangan remaja.