I. PENDAHULUAN. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

I. PENDAHULUAN. bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas

I. PENDAHULUAN. untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

I. PENDAHULUAN. berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak yang menjadi

I. PENDAHULUAN. masyarakat dan menyalurkan pembiayaan bagi usaha-usaha produktif maupun

I. PENDAHULUAN. untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.

I. PENDAHULUAN. pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. tindak pidana lainnya di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat dimaklumi

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

I. PENDAHULUAN. mampu melakukan penyaringan terhadap kebudayaan asing yang bersifat liberal. Para remaja

I. PENDAHULUAN. Perkembangan masyarakat merupakan suatu gejala yang biasa dan bersifat umum

BAB III PENUTUP. Berdasarkan analisa kasus diatas dapat disimpulkan bahwa ada. keterkaitan antara jumlah kerugian negara dengan berat ringannya pidana

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

I. PENDAHULUAN. Penyelenggara pemerintahan mempunyai peran penting dalam tatanan (konstelasi)

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara

I. PENDAHULUAN. yang bersangkutan telah dinyatakan lulus dan menyelesaikan semua persyaratan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

I. PENDAHULUAN. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan

I. PENDAHULUAN. Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang

TINJAUAN PUSTAKA. atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

I. PENDAHULUAN. harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat

I. PENDAHULUAN. perkembangan zaman yang begitu pesat membuat manusia melakukan berbagai

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

I. PENDAHULUAN. aspek kehidupan dan seolah-olah menjadi budaya masyarakat Indonesia. 1 Jika

I. PENDAHULUAN. peredaran gelap narkoba menyebabkan penyalahgunaan yang makin meluas dan. merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara.

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem perekonomian bangsa yang dibuktikan dengan semakin. meluasnya tindak pidana korupsidalam masyarakat dengan melihat

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945, diarahkan untuk meningkatkan hukum bagi

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan yang merugikan keuangan

I. PENDAHULUAN. Sebagaimana telah diketahui bahwa penegakkan hukum merupakan salah satu

I. PENDAHULUAN. Sejarah korupsi di Indonesia terjadi sejak zaman Hindia Belanda, pada masa

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

I. PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usahausaha. yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia.

I. PENDAHULUAN. suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan tersebut

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

I. PENDAHULUAN. Perkembangan perdagangan internasional yang menyangkut kegiatan di bidang. meningkatkan kelancaran arus barang dan dokumen.

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

I. PENDAHULUAN. Upaya Pemerintah Indonesia untuk melindungi Hak Kekayaan Intelektual

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

I. PENDAHULUAN. perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Kasus yang menimpa TKI tersebut merupakan hal yang ironis karena negara tidak

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Korupsi merupakan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi keuangan

I. PENDAHULUAN. harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi diri sendiri hak-haknya, berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan

I. PENDAHULUAN. karena itu sering timbul adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Era modernisasi saat ini, kejahatan sering melanda disekitar lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

I. PENDAHULUAN. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

I. PENDAHULUAN. formil. Hukum pidana materiil di Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab

KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH.

I. PENDAHULUAN. dengan aturan hukum yang berlaku, dengan demikian sudah seharusnya penegakan keadilan

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. terakhir United Nations Drugs Control Programme (UNDPC), saat ini kurang lebih

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

I. PENDAHULUAN. didasarkan pada Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

I. PENDAHULUAN. sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

I. PENDAHULUAN. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

I. PENDAHULUAN. adalah usaha pemerintah dalam memberantas praktik tindak pidana korupsi.

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya dan berdampak pada kerugian keuangan dan perekonomian negara. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah). Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK di atas, maka diketahui bahwa terdapat tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara. Pasal ini biasanya didakwakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara kurang dari lima juta rupiah.

2 Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi seharusnya dijatuhkan secara maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Penanggulangan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus memiliki sistem pengadilan tersendiri yang disebut dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan ini dibentuk agar majelis hakim yang menangani perkara korupsi lebih intensif dan fokus dalam memformulasikan dan menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi secara maksimal. Keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi didasarkan pada spirit semangat reformasi hukum dalam penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pengadilan Tipikor sebagai bagian dari adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang di bidang penegakan hukum pidana khusus korupsi bersifat independen dari pengaruh atau intervensi kekuasaan manapun. Setiap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, sesuai dengan ketentuan

3 undang-undang. Setiap warga negara wajib menjunjung hukum, namun demikian dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar hukum harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum. Salah satu perkara tindak pidana korupsi di wilayah hukum Kota Bandar Lampung adalah korupsi dana tilang yang dilakukan oleh Rika Aprilia (34) Mantan Bendahara Kejaksaan Negeri Bandar Lampung diduga melakukan korupsi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tahun 2012-2013 senilai Rp 1.418.479.500. Rika bertugas menerima, menyimpan, menyetorkan, dan mempertanggungjawabkan uang PNBP di kantor dan satuan kerja kementerian negara. Ia diangkat sebagai bendahara khusus penerimaan berdasar Surat Keputusan Kepala Kejari Bandarlampung Nomor: KEP- 03/N.8.10/Cu.1/01/2012 tertanggal 2 Januari 2012 dan Nomor: KEP- 05/N.8.10/Cu.1/02/2013 pada 14 Februari 2013. Sebagai bendahara, seharusnya terdakwa menyetorkan seluruh PNBP ke kas negara dalam waktu 1 x 24 jam. Ini sesuai UU Nomor 20/1997 tentang PNBP, namun, terdakwa tidak menyetorkan uang itu ke kas negara. Ia menggunakan uang yang telah disetorkan dari Kasipidum maupun Kasipidsus Kejari Bandar Lampung sebagai PNBP untuk kepentingan pribadi. Untuk memuluskan aksinya, terdakwa memalsukan bukti surat tanda setoran (STS) serta surat setor bukan pajak (SSPB) dengan tanda tangan pihak bank sebagai PNPB. Dengan begitu, ia seolah-olah sudah menyetorkan dana tersebut. Akibat perbuatan terdakwa, negara dirugikan sebesar Rp 1.418.479.500.

4 Jaksa Penuntut Umum menjerat terdakwa dengan pasal berlapis. Pada dakwaan primer yaitu Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian dakwaan subsider melanggar Pasal 3 ayat 1 juncto Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dakwaan primair perbuatan terdakwa telah diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo-Pasal 64 Ayat (1) KUHP tentang tentang Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling). Dakwaan subsider, terdakwa diancam Pasal 3 Ayat (1) juncto Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang menenjatuhkan vonis terhadap terdakwa Rika Aprilia selama lima tahun penjara dan pidana uang pengganti sebesar Rp 1.418.479.500. Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang melalui Putusan Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK, menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Rika Aprilia dengan pidana penjara selama 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) subsidair selama 3 bulan kurungan. Selain itu hakim juga menjatuhkan pidana uang pengganti sebesar Rp. 1.418.479.500

5 (satu miliar empat ratus delapan belas juta empat ratus tujuh puluh Sembilan ribu lima ratus rupiah). Pidana yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Terdakwa tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa. Kesenjangan yang terjadi dalam putusan tersebut adalah seharusnya terdakwa dihukum maksimal, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi pada kenyataannya Terdakwa hanya dipidana selama 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) subsidair selama 3 bulan kurungan. Selain kesenjangan di atas dapat diidentifikasi pula bahwa dalam putusan tersebut terdapat ketidaksesuaian antara putusan hakim dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pemidanaan Agar Setimpal dengan Berat dan Sifat Kejahatannya. Surat Edaran tersebut menyatakan bahwa kecenderungan meningkatnya kualitas dan kuantitas tindak pidana terutama di bidang ekonomi memerlukan penanganan serta kebijakan pemidanaan secara khusus. Oleh karena itu terhadap tindak pidana korupsi, Mahkamah Agung mengharapkan supaya pengadilan menjatuhkan pidana yang sungguh-sungguh setimpal beratnya dan sifat tindak pidana tersebut jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan di dalam masyarakat Hakim pada prinsipnya wajib melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang, termasuk ketentuan pidana minimal dalam kasus korupsi, namun prinsip itu tak berlaku secara umum. Meskipun secara prinsip Undang-Undang menyebut syarat minimal, hakim bisa menyimpanginya dengan catatan ada eksepsional yang

6 dimungkinkan untuk menerapkan rasa keadilan itu. SEMA No. 1 Tahun 2000 jo SEMA No. 1 Tahun 2001 sebenarnya sudah memberikan arahan agar perkara korupsi diprioritaskan dan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku setimpal dengan perbuatannya. Spirit yang terkandung dalam SEMA tersebut adalah perbuatan korupsi sangat merugikan masyarakat. Rendahnya putusan perkara korupsi ini pula yang menjadi salah satu temuan tim peneliti putusan hakim kerjasama Komisi Yudisial dan Norwegian Center for Human Rights (NCHR). Putusan ringan untuk perkara korupsi masih ditemukan. Rendahnya putusan hakim menurut tim peneliti membuktikan bahwa hakim kurang peka terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi karena putusan rendah tidak akan menimbulkan efek jera. 1 Setiap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum dan mendapatkan pidana maksimal sesuai dengan ketentuan undang-undang. Seseorang yang melanggar hukum harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya. 2 Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat mengintervensi hakim dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus 1 http://www.lexregis.com/?menu=news&idn=411.diakses 10 November 2014 2 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 155.

7 mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat. Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi seharusnya lebih dioptimalkan sehingga memberikan efek jera kepada pelakunya dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain yang berpotensi melakukan tindak pidana korupsi agar tidak melakukan hal tersebut, sehingga pemberantasan korupsi menjadi lebih maksimal. Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan melakukan kajian dan penelitian yang berjudul: Analisis Penjatuhan Pidana Minimal Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Perkara Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana minimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam Perkara Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK? b. Apakah putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam Perkara Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK telah memenuhi rasa keadilan masyarakat? 2. Ruang Lingkup Ruang lingkup ilmu penelitian adalah hukum pidana, dengan kajian mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana minimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam Perkara Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK dan putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam Perkara Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK telah memenuhi rasa keadilan masyarakat

8 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana minimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam Perkara Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK. b. Untuk mengetahui dan menganalisis putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam Perkara Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK telah memenuhi rasa keadilan masyarakat. 2. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis, diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu hukum pidana, khususnya kajian tentang putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi. b. Kegunaan Praktis, diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi aparat dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. D. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian hukum. 3. Berdasarkan pernyataan di atas maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.103

9 a. Teori Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal 184 KUHAP). Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur Negara hukum. 4 Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu: 1) Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan; 2) Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim; 3) Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya. 5 4 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika,.2010, hlm.103. 5 Ibid, hlm.104.

Menurut Mackenzie ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara pidana, yaitu: 1) Teori keseimbangan Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa. 2) Teori pendekatan seni dan intuisi Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. 3) Teori pendekatan keilmuan Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya. 4) Teori Pendekatan Pengalaman Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat. 5) Teori Ratio Decidendi Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi pihak yang berperkara. 6) Teori kebijaksanaan Teori ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak. Aspek ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggungjawab untuk membimbing, membina, mendidik dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bagi bangsanya. 6 10 6 Ahmad Rifai, op cit. hlm.105-106.

11 b. Teori Keadilan Subtantif Keadilan substantif terfokus atau berorientasi kepada nilai-nilai fundamental yang terkandung didalam hukum. Sehingga hal-hal yang menitikberatkan kepada aspek prosedural akan di nomorduakan. Secara teoritik, kedalilan substantif dibagi ke dalam empat bentuk keadilan, yakni kedailan distributif, kedalian retributif, kedilan komutatif, dan keadilan korektif. Kedilan distributif menyangkut pengaturan dasar segala sesuatu, buruk baik dalam mengatur masyarakat. Berdsarkan keadilan ini, segala sesuatu dirancang untuk menciptakan hubungan yang adil antara dua pihak/masyarakat. Prinsip pokok dalam keadilan distributif adalah setiap orang harus mendapat/andil/kesempatan yang sama untuk memperoleh keadilan. 7 Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan) 8 2. Konseptual Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian 9. Konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 7 Mahfud M.D., Penegakan Keadilan di Pengadilan, http://mahfudmd.com 8 Sudarto. Op Cit. hlm. 64 9 Soerjono Soekanto. Op.Cit. hlm.103

12 a. Analisis adalah upaya untuk memecahkan suatu permasalahan berdasarkan prosedur ilmiah dan melalui pengujian sehingga hasil analisis dapat diterima sebagai suatu kebenaran atau penyelesaian masalah 10 b. Penjatuhan pidana adalah proses diputuskannya perkara pidana dengan cara memberikan hukuman terhadap pelaku tindak pidana sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan 11 c. Pidana minimal adalah penjatuhan hukuman terendah (minimal) yang bersifat umum (universal) yang berlaku bagi setiap perkara dengan jenis hukumannya masing-masing. 12 d. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum 13 e. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah). 14 10 Lexy J.Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta, Rineka Cipta, 2005.hlm. 54 11 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm. 20. 12 Ibid, hlm. 21. 13 Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 25 14 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK)

13 E. Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun dalam lima bab untuk untuk memudahkan pemahaman terhadap isinya. Secara terperinci sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: I PENDAHULUAN Berisi Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan. II TINJAUAN PUSTAKA Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan yaitu pengertian pidana, pengertian tindak pidana korupsi, pengertian keadilan Substantif dan keadilan restoratif. III METODE PENELITIAN Berisi metodologi penelitian, yaitu Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Narasumber, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data. IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berisi deskripsi dan analisis mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana minimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam Perkara Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK dan putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam Perkara Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK telah memenuhi rasa keadilan masyarakat.

14 V PENUTUP Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.