BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN BREBES TAHUN 2008 SKRIPSI

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 284/MENKES/PER/III/2007 TENTANG APOTEK RAKYAT MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai apoteker (Presiden, RI., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI

HEALTH & BEAUTY. Oleh Aftiyani. Guardian, The One You Trust

EVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 2011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG BULAN SEPTEMBER TAHUN 2014 LAPORAN HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2012 di Apotek RSUD Toto

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. dalam rangka keselamatan pasien (patient safety) (Menkes, RI., 2014).

BAB 11: PERBEKALAN FARMASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KERANGKA ACUAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS CILEDUG

TINJAUAN ASPEK LEGALITAS DAN KELENGKAPAN RESEP DI 5 APOTEK KABUPATEN KLATEN TAHUN 2007 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan kesehatan di Indonesia, bertanggung jawab untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV. dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Pekerjaan kefarmasian menurut UU Kesehatan No. 36

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

MAKALAH FARMASI SOSIAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat (Syamsuni, 2006). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

KIE di Rumah Riset Jamu. Dikompilasi dari materi Pelatihan Apoteker Saintifkasi Jamu di B2P2TOOT

KERANGKA ACUAN KERJA / TERM OF REFERENCE KEGIATAN EVALUASI DAN PENGEMBANGAN STANDAR PELAYANAN KESEHATAN TA. 2017

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI 4 APOTEK KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO SKRIPSI

BAB II TINJAUAN UMUM APOTEK. 2.1 Apotek dan Peran Apoteker Pengelola Apotek. Apotek adalah suatu tempat tertentu dilakukan pekerjaan kefarmasian dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pembangunan kesehatan diarahkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP PELAYANAN OBAT DI APOTEK KELURAHAN WONOKARTO KABUPATEN WONOGIRI SKRIPSI

SOSIALISASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI SARANA KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Lampiran 1. Daftar Tilik Mutu Pelayanan Kefarmasian DAFTAR TILIK

PUSKESMAS KECAMATAN KEBON JERUK

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Manajemen adalah suatu proses tahapan kegiatan yang terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Praktek Kerja Profesi di Rumah Sakit

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN ASPEK FARMASETIK PADA RESEP RACIKAN DI TIGA APOTEK KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

Lampiran 1 Hasil lembar ceklist Puskesmas Helvetia, Medan-Deli dan Belawan Bagian II Nama puskesmas Kegiatan

PROPOSAL STUDI KELAYAKAN PENDIRIAN APOTEK PROPOSAL STUDI KELAYAKAN PENDIRIAN APOTEK.. JL...

PENDIRIAN APOTEK. Heru Sasongko, S.Farm.,Apt.

Heru Sasongko, M.Sc.,Apt. 3/24/2015 Farmasi UNS

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SOAL PILIHAN GANDA PENGANTAR ILMU FARMASI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Tujuan bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam

BAB II. hasilnya memuaskan (keberhasilan terapi) (Rover et al, 2003). 922/MENKES/PER/X/1993 pasal 15, peran apoteker di apotek meliputi :

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau perorangan terhadap asuhan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat,

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat kesehatan demi peningkatan kualitas hidup yang lebih baik. Tersedianya pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat menjadi hal yang harus mendapat perhatian dari pemerintah sebagai salah satu upaya dalam pembangunan di bidang kesehatan. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat bertujuan membentuk masyarakat yang sehat. Diperlukan upaya-upaya kesehatan yang menyeluruh dan terpadu untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan tersebut (Siregar dan Amalia, Apotek merupakan tempat pengabdian dan praktek profesi apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian untuk membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Untuk menunjang fungsi tersebut apotek dituntut menyelenggarakan pelayanan farmasi yang berkualitas (Hartini dan Sulasmono, 2006). Standar pelayanan farmasi ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar, sebagai pedoman apoteker, dan untuk meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek (Purwanti dkk, Perkembangan apotek ini sangat ditentukan oleh pengelolaan sumber daya dan pelayanan di apotek tersebut. Oleh sebab itu, standar pelayanan farmasi sangat diperlukan dalam menjalankan suatu apotek. Jika suatu apotek tidak menggunakan standar pelayanan farmasi dalam menjalankan apotek maka tidak akan tercapai derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Karena pelayanan farmasi adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien/masyarakat (Hartini dan Sulasmono, 2006). Salah satu penelitian yang dilaksanakan di DKI Jakarta pada tahun 2003 mengenai standar pelayanan kefarmasian di apotek DKI Jakarta tahun 2003 1

2 23,5% apotek tidak memenuhi standar pelayanan obat non resep, 92,6% apotek tidak memenuhi standar pelayanan KIE, 11,8% apotek tidak memenuhi standar pelayanan obat resep dan 26,5% apotek tidak memenuhi standar pengelolaan obat di apotek. Rerata skor pelaksanaan dari keempat bidang tersebut adalah 38,60% masuk dalam kategori kurang baik (Purwanti dkk, Berdasarkan gambaran tersebut perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh informasi tentang pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek Kota Salatiga. Alasan dipilihnya Kota Salatiga karena daerah tersebut merupakan daerah yang padat penduduk. Jumlah penduduk berdasarkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga pada tahun 2011 dengan jumlah penduduk 178.277 jiwa dengan peningkatan pertumbuhan penduduk sebanyak 2,05%. Sehingga sarana kesehatan seperti apotek sangat diperlukan oleh masyarakat. Dari data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan tahun 2011 di Kota Salatiga terdapat 26 apotek. B. Perumusan Masalah Apakah pengelolaan apotek di Kota Salatiga telah mengacu pada standar pengelolaan dan pelayanan kefarmasian di apotek yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/1X/2004? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui standar pengelolaan dan pelayanan kefarmasian di apotek yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/1X/2004 di apotek wilayah Kota Salatiga tahun 2011. D. Tinjauan Pustaka 1. Apotek a. Definisi Apotek Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan

3 farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Depkes, Berdasarkan definisi di atas diketahui bahwa apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, selain itu juga sebagai salah satu tempat pengbdian dan praktek profesi apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian (Hartini dan Sulasmono, 2006). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker (Depkes, 2009). Surat izin apotek pada tempat tertentu diberikan oleh Menteri kepada Apoteker Pengelola Apotek. Surat izin yang diberikan kepada apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada apotek, Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di Apotek. Menurut Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 bahwa wewenang pemberian izin apotek dilimpahkan oleh Menteri kepada Kepala Dinas Kesehatan (Hartini dan Sulasmono, 2006). Sedangkan menurut PP Nomor 51 tahun 2009 fungsi dan tugas apotek adalah: 1) Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. 2) Sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian. 3) Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi antara lain obat, bahan obat, obat tradisional, kosmetika. 4) Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Bogadenta, 2012).

4 b. Persyaratan apotek Persyaratan apotek juga diatur dalam Kepmenkes No 1332 tahun 2002 adalah sebagai berikut: 1) Untuk mendapatkan izin apotek, apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan, termasuk sediaan farmasi dan perbekalan farmasi yang lain yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain. 2) Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan pelayanan komoditi yang lain di luar sediaan farmasi. 3) Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi yang lain di luar sediaan farmasi. c. Perlengkapan apotek Apotek harus mempunyai perlengkapan yang memadai, antara lain: 1) Alat pembuatan, pengolahan, dan peracikan obat, seperti timbangan, mortir, alu dan sebagainya. 2) Perlengkapan dan alat perbekalan farmasi: a) Lemari dan rak untuk menyimpan obat. b) Lemari pendingin. c) Lemari untuk menyimpan narkotika dan psikotropika. 3) Wadah pengemas dan pembungkus. a) Etiket. b) Wadah pengemas dan pembungkus dan penyerahan obat. 4) Buku acuan. a) Buku standar yang diwajibkan yakni Farmakope Indonesia edisi terbaru 1 buah. b) Kumpulan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan apotek (Bogadenta, 2012). 2. Apoteker Peran apoteker saat ini dirasakan belum berjalan sebagaimana mestinya. Apoteker dinilai belum bertindak sebagai Drug Informer dan

5 belum mampu berperan sebagai filter penggunaan obat yang rasional, aman dan terjangkau oleh masyarakat luas. Hal ini menyebabkan apotek lebih sebagai usaha ritel daripada sarana kesehatan tempat praktek profesi apoteker (Hartono, 2003). a. Definisi Apoteker. Keputusan Menteri kesehatan RI No 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek menjelaskan apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia (Depkes, b. Tugas, Fungsi dan Kewajiban Apoteker. Menurut Standar Kompetensi Farmasi Indonesia, tercantum kewajiban apoteker dalam asuhan kefarmasian yaitu 1) Memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dokter, dokter gigi, atau dokter hewan baik verbal atau non verbal. 2) Memberikan pelayanan kepada masyarakat yang ingin melakukan pengobatan sendiri. 3) Memberikan pelayanan atas informasi obat. 4) Memberikan konsultasi obat. 5) Melakukan monitoring efek samping obat. 6) Melakukan evaluasi penggunaan obat (ISFI, 3. Standar Pelayanan Kefarmasian a. Definisi Standar Sesuatu yang dipakai contoh atau dasar yang sah bagi ukuran, takaran, timbangan. b. Tujuan Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek: 1) Sebagai pedoman praktek apoteker dalam menjalankan profesi. 2) Untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional. 3) Melindungi profesi dalam menjalankan praktek kefarmasian (Depkes,

6 4. Pengelolaan Sumber Daya a. Sumber Daya Manusia. Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan Apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Depkes b. Sarana dan prasarana. Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Kepmenkes Nomor 1027 tahun 2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek tentang pengelolaan sumber daya bahwa kegiatan pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan (Depkes, Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga/pest, apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin (Depkes, Apotek harus memiliki: 1) Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien. 2) Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi informasi. 3) Ruang tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien.

7 4) Ruang racikan. 5) Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan (Depkes, 6) Harus dilengkapi dengan sumber air yang memenuhi syarat kesehatan, penerangan yang memadai, alat pemadam kebakaran, ventilasi dan sanitasi yang baik, serta papan nama apotek (Bogadenta, 2012). c. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya. Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, meliputi: 1) Perencanaan. Sesuai kepmenkes Nomor 1027 tahun 2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, maka dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu memperhatikan: (a) Pola penyakit. (b) Kemampuan masyarakat. (c) Budaya masyarakat (Depkes, 2) Pengadaan. Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku (Depkes, Pengadaan sediaan farmasi apotek termasuk didalamnya golongan obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, psikotropika, dan narkotika dapat berasal langsung dari pabrik farmasi, pedagang besar farmasi maupun ke apotek lain. Sediaan farmasi berupa golongan obat bebas dapat pula dibeli dari toko obat dan berijin/pedagang eceran obat (Hartini dan Sulasmono, 2006).

8 3) Penyimpanan dan pelayanan. Obat atau bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurangkurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluarsa. Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan (Depkes, Syarat ruang, wadah, suhu, kelembaban dalam penyimpanan obat, yaitu: a) Ruang untuk menyimpan obat harus kering (tidak lembab), tidak ada sinar matahari langsung, suhu kamar, kecuali untuk obat tertentu yang membutuhkan pendingin. b) Wadah mempunyai kriteria tertentu dan dapat dilihat di Farmakope Indonesia. c) Narkotik disimpan dalam almari khusus yang terkunci. d) Obat keras tidak boleh diluar, lebih-lebih Obat Keras Tertentu (OKT) karena sering disalahgunakan (Lestari dkk, 2002). Pengeluaran barang di apotek menggunakan sistem FIFO (first in first out), demikian pula halnya obat-obat yang mempunyai waktu kadaluarsa lebih singkat disimpan paling depan yang memungkinkan diambil terlebih dahulu (first expire first out) atau FEFO (Depkes, d. Administrasi Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi: 1) Administrasi umum. Meliputi pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai ketentuan berlaku.

9 2) Administrasi pelayanan. Meliputi pengarsipan resep, pengarsipan catatan, pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat (Depkes, 5. Pelayanan Pasien akan mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik jika tercipta kolaborasi antara profesi kesehatan dan pasien. Dalam menjalankan kolaborasi tersebut setiap profesi kesehatan memerlukan pedoman mengenai hak, kewajiban, tanggungjawab, ruang lingkup serta tugas dan wewenang. Pedoman tersebut adalah standar kompetensi. Standar kompetensi farmasis merupakan pedoman profesional yang terfokus pada kepentingan pasien atau customer yang meliputi Kompetensi Asuhan Kefarmasian, Kompetensi Akuntabilitas Praktek Farmasi, Kompetensi Manajemen Praktis Farmasi, Kompetensi Komunikasi Farmasi, Kompetensi Pendidikan dan Pelatihan Farmasi dan Kompetensi Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian (ISFI, Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya dan dilandasi pada kepentingan masyarakat. Apoteker wajib memberikan informasi tentang penggunaan obat secara tepat, aman, rasional, kepada pasien atas permintaan masyarakat (Anief, 2001). Daftar Obat Wajib Apotek ditetapkan oleh Menkes nomor 347 tahun 1990. Obat Wajib Apotek (OWA) adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh Apoteker di apotek (Hartini dan Sulasmono, 2006). 1) Pelayanan Resep. Resep merupakan dokumen legal, sebagai sarana komunikasi profesional dari dokter dan penyedia obat, untuk memberikan obat kepada pasien sesuai dengan kebutuhan medis yang telah ditentukan. Resep harus ditulis dengan jelas dan mudah dimengerti. Resep harus memuat unsur-unsur informasi mengenai pasien, pengobatan yang diberikan, siapa dokternya dan harus memuat tanda tangan dokter dengan resmi (Depkes,

10 a) Skrining Resep. Apoteker melakukan skrining resep meliputi: 1) Persyaratan administratif. Persyaratan administratif ini meliputi nama, SIP, alamat dokter, tanggal penulisan resep, tanda tangan/paraf dokter menulis resep, nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien, nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta, cara pemakaian yang jelas serta informasi lainnya. 2) Kesesuaian farmasetik. Kesesuaian farmasetik meliputi bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara pemakaian serta lama pemberian. 3) Pertimbangan klinis. Pertimbangan klinis meliputi adanya alergi, efek samping, interaksi serta kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan (Depkes, b) Persiapan Obat. 1) Peracikan. Merupakan kegiatan penyiapan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat susuai prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar (Depkes, 2) Etiket. Etiket harus jelas dan dapat dibaca (Depkes, 3) Kemasan obat yang diserahkan. Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya (Depkes,

11 4) Penyerahan obat. Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan (Depkes, 5) Informasi obat. Ruang lingkup kompetensi ini meliputi seluruh kegiatan pemberian obat kepada pasien tenaga kesehatan lain, masyarakat dan pihak-pihak lain yang membutuhkan untuk kepentingan upayaupaya peningkatan kesehatan dan upaya positif lain yang terkait, secara aktif maupun pasif (ISFI, Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi (Depkes, 6) Konseling. Ruang lingkup kompetensi ini meliputi komunikasi verbal maupun non verbal melalui tatap muka pasien, keluarganya dan masyarakat mengenai penggunaan obat resep dan atau obat tanpa resep (ISFI, Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskuler, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan (ISFI,

12 7) Monitoring penggunaan obat. Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat (Depkes, Menentukan skala prioritas evaluasi penggunaan obat berdasarkan obat yang paling banyak digunakan, obat dengan indeks terapetik sempit, obat yang sering menimbulkan efek samping, obat yang mahal, obat yang digunakan untuk penyakitpenyakit kardiovaskuler, gawat darurat, toksikologi, onkologi, obat-obat intravena dan analgetik narkotik, obat-obat antibiotik propilaktik dan terapetik (ISFI, 2) Promosi dan Edukasi. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dll (Depkes, Melakukan promosi kesehatan dengan jalan kampanye dengan topik yang berhubungan dengan kesehatan, misal penggunaan obat yang rasional. Dengan promosi dan edukasi diharapkan masyarakat mampu membuat keputusan dalam mengobati penyakit yang ringan secara aman dan efektif, masyarakat mampu mencegah, mengantisipasi dan mengambil tindakan jika terjadi masalah dalam melakukan pengobatan sendiri (ISFI, 3) Pelayanan Residential (Home Care). Pelayanan residential (Home Care) adalah pelayanan apoteker sebagai care giver dalam pelayanan kefarmasian di rumah-rumah khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan terapi kronis lainnya. Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan pengobatan

13 (medication record) (Depkes, Dalam rangka Home Care ini, farmasis bisa juga bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain (ISFI,