PENJAGAL ANGIN Tri Setyorini Awal yang ku lihat adalah abu putih yang berterbangan. Pikirku itu adalah salju yang menyejukkan. Namun ternyata bukan karena abu ini justru terasa panas dan membakar telapak tangan yang menyentuhnya. Aku masih memandang atas yang berwarna hitam pekat berbeda dengan abu putih yang diturunkannya. Abu ini seperti malaikat yang turun dari langit. Menenangkan namun menegangkan. Terlihat dingin namun nyatanya panas. Seperti kekeliruan yang dibenarkan. Ya, aku merasakannya dari abu ini. Abu ini mengingatkanku pada warga kampungku. Mereka begitu percaya pada angin barat. Bahkan mereka mengikuti apa saja tingkahnya hingga menjadi terpecah belah, terpisah-pisah, lupa kampung halaman. Persis seperti genting yang tersapu angin. Terpisah, pecah, meninggalkan atap rumah. Herannya mereka seolah memaklumi kelakuan angin yang terkadang menghancurkan. Mereka seolah tak pernah berpikir bahwa anginpun selain menyejukkan juga bisa menghancurkan. Persis seperti abu yang dingin namun nyatanya tidak. Angin kembali bertiup menerbangkan semakin banyak abu yang panasnya membakar semua yang ada. Abu ini menggugurkan daun-daun dari ranting dan dahan pohon. Sekarang yang kulihat hanya pohon kering tanpa daun. Pohon yang masih berdiri tegak namun tampak tak memiliki detak kehidupan di dalamnya. Aku bangun diatas tumpukan abu. Ternyata seluruh dasar hutan ini berwarna putih bersih. Indah sekali namun bulu kudukku berdiri seketika saat melihat banyak warna merah yang menodai putihnya dasar hutan. Apakah itu darah? 1
Tempat ini seperti tempat penjagalan suatu makhluk. Aku segera berdiri dari tidurku tapi saat melakukannya seperti ada sesuatu yang keluar dari dalam tubuhku. Sesuatu yang mengalir keluar dan membasahi kakiku. Cairan itu berasal dari dalam perutku yang ternyata menganga. Aku mual melihat berbagai organ perlahan terburai keluar dari dalam perut sampai akhirnya jatuh diatas debu putih dibawah kedua kakiku. Pluk. AHH! dadaku naik turun dengan cepat. Apa aku masih hidup? aku melihat kesetiap sudut tempat ini dengan panik. Tidak ada pohon-pohon kering yang menjulang juga tidak ada abu putih yang turun berterbangan. Dan aku tidak tidur diatas abu putih melainkan diatas rumput. Kuraba seluruh bagian tubuhku. Kepala, dua tangan, dua kaki, perut. Masih utuh. Tidak ada luka menganga di perut. Mungkin hanya mimpi. Paman sudah bangun? seorang anak kecil duduk disampingku. Aku hanya diam menatapnya untuk waktu yang lama. Ya lalu aku kembali diam. Orang itu terlihat berbeda. Aku terus menatapnya. Dia terlihat bercahaya dan hidup. Kenapa paman menatapku seperti itu dia mundur beberapa langkah seperti akan berlari meninggalkanku. Paman pasti penjagal jantung dari hutan barat itu! tuduhnya. Tunggu! Aku bukan orang jahat Nak, bukan penjagal. Aku hanya orang yang tersesat Sungguh? matanya berbinar. 2
Tentu. Lihat apa aku terlihat seperti orang yang jahat anak itu menatapku dengan matanya yang jernih dan hidup. Dia tersenyum kearahku. Kalau begitu paman harus kuajak berkeliling agar tidak tersesat lagi. Tangannya hangat dan di dalam dadanya seperti ada sesuatu yang terus berdegup mengalirkan kehidupan. Aku meraba rongga dadaku. Terlihat sebuah bekas luka melintang yang tidak bisa hilang. Paman aku akan menunjukan sebuah tempat yang luar biasa padamu! anak ini menarikku menuju jalanan yang terlihat begitu menyilaukan dimata. Mereka berkerumun membentuk barisan yang memagari jalan. Ditengah jalan itu ada arak-arakan orang yang memanggul sepasang pengantin. Paman pengantinnya akan segera digiling. Ayo cepat kita harus lihat! Wajah orang-orang itu terlihat bercahaya. Suara detakan jantung mereka begitu kencang dan hidup. Menciptakan kebisingan dalam telingaku. Berisik. Berisik! Angin kembali berhembus membuat orang-orang yang ada di sepanjang jalan dekat pabrik gula ini tersenyum. Mereka terlihat begitu menikmati segarnya angin dari barat. Aku tidak percaya dengan semua ini. Orang-orang ini bodoh! Ada-ada saja. Mereka berduyun-duyun berkumpul di pabrik hanya untuk menyaksikan boneka di giling alasannya untuk keselamatan dan kesejahteraan. Bahkan mereka mengadakan pesto sebulan penuh untuk memperingati awal produksi gula. Konyol! Apa mereka tidak tahu mengenai prosedur keamanan pabrik dan lain sebagainya. Dunia ini sudah berubah semakin maju dan modern. Namun mengapa mereka tidak kunjung berubah? 3
Menurutku menikmati angin yang berhembus jauh lebih menyenangkan dibanding ritual-ritual yang mereka adakan. Menikmati angin yang menggugurkan daun seolah tengah menciptakan musim gugur di daerah tropis. Kekeliruan yang seharusnya tidak dibenarkan namun mereka tidak menyadarinya. Mereka terlampau menikmati angin sejuk yang menidurkan. Paman lihat pengantinnya benar-benar digiling di dalam mesin! Aku melihat seorang anak kecil melompat kegirangan hanya karena menyaksikan pengantin buatan yang digiling. Semoga tahun ini pabrik tidak memakan korban dan produksinya melimpah. Bahkan anak sekecil itu tidak tersentuh kemajuan peradaban. Dia masih mempercayai budaya yang sudah ketinggalan jaman dan tidak rasional. Apa dia tidak pernah menghirup angin barat yang jauh lebih menyejukkan dan menyenangkan dibanding ritual? Angin yang menerbangkanku jauh hingga ke dalam hutan. Hutan masih sama seperti sebelumnya. Aku berdiri diantara pohon yang hanya tegak. Di depanku ada seorang anak kecil yang memandangku Sungguh paman tinggal disini? aku tidak yakin. Aku hanya mengikuti langkah saat datang kesini. Mungkin paman tersesat lagi? anak itu menatapku dengan khawatir membuat cahaya diwajahnya meredup. Paman hutan ini mengerikan banyak cerita kalau orang yang memasukinya akan kehilangan detak jantungnya karena penjagal jantung hidup disini Benarkah? Benar. Dia datang bersama angin lalu menjagal jantung siapapun yang terbuai kesejukannya Paman akan melawannya lalu aku masuk kedalam hutan. 4
Abu putih berterbangan tertiup angin yang berputar-putar melingkupi tubuhku. Apa aku akan mati?. Semuanya gelap. Aku seperti terbang melayang terbawa angin. Apa penjagal jantung akan menjagalku? Tapi dalam rongga dadaku sudah tidak ada lagi detakan. Saat aku membuka mata aku kembali melihat jalan menuju pabrik tempat dilaksanakannya prosesi pengantin giling. Tempat ini masih ramai seperti biasanya. Namun semenjak angin menumbuhkan penjagal jantung, warga memilih untuk membangun dunia baru untuknya sendiri. Aku melihat pengantin diarak dengan cepat sepanjang jalan menuju pabrik tidak ada lagi teriakan girang dari anak kecil juga doa dan harapan yang dipanjatkan. Tidak ada lagi detakan jantung yang bising dari orang-orang yang menyaksikan ritual pengantin giling. Mereka diam menyaksikan. Mereka masih tegak berdiri tapi tampak tak memiliki detak kehidupan di dalamnya. Semuanya begitu sunyi. Sampai pengantin dilemparkan kedalam mesin aku mendengar detakkan yang begitu lemah. Terdengar samar dan putus asa. Saat aku menatap atas aku melihat abu putih yang berterbangan. Abu yang terasa panas dan membakar semua yang ada. Pohon-pohon yang berdiri tegak kini menghilang digantikan oleh manusia-manusia yang berdiri tegak. Mereka diam. Tidak ada cahaya yang bersinar dari wajah mereka. Mereka hanya berdiri menyaksikan tungku pabrik yang mengepulkan asap. Disana ada tumpukan jantung yang sudah berhenti berdetak. Mereka terbakar tungku hingga menyisakan abu yang kemudian diterbangkan oleh angin. Aku kembali menatap atas yang gelap. Atas yang ternyata adalah langitlangit tungku dan abu putih yang membakar adalah abu dari jantung yang berhenti berdetak karena terbakar. 5
Aku melihat tubuhku tengah terbakar dengan dada terkoyak, di dalamnya jantungku masih berdetak lemah. Jantung masa kecilku yang begitu mencintai pabrik dan ritual budayanya. Akan tetapi jantung muda dan tuaku yang terlena angin telah terbakar menyisakan abu putih yang indah namun rusak. Aku diam membiarkan anganku terbang menyaksikan pabrik gula di kampung halamanku. Nyatanya tidak ada penjagal jantung karena hanya aku yang berhak menjagalkan atau mempertahankan jantungku. Dan angin selamanya akan selalu berhembus tanpa bisa dibendung. 6