PENYIMPANAN LESTARI LIMBAH TENORM DARI INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI

dokumen-dokumen yang mirip
TEKNIK PENYIMPANAN LlMBAH NORM-TENORM DARI INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI

Aneks TAHAPAN-TAHAPAN DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Pengelolaan limbah radioaktif yang efektif harus memperhatikan tahapantahapan dasar

PERTIMBANGAN DALAM PEMBUATAN RANCANGAN FASILITAS PENYIMPANAN LIMBAH RADIOAKTIF DEKAT PERMUKAAN.

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF TINGKAT RENDAH DAN TINGKAT SEDANG

pekerja dan masyarakat serta proteksi lingkungan. Tujuan akhir dekomisioning adalah pelepasan dari kendali badan pengawas atau penggunaan lokasi

PENGUKURAN KONSENTRASI RADON DALAM TEMPAT PENYIMPANAN LIMBAH RADIOAKTIF. Untara, M. Cecep CH, Mahmudin, Sudiyati Pusat Teknologi Limbah Radioaktif

3. PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Djarot S. Wisnubroto Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif - BATAN

KECENDERUNGAN KEBIJAKSANAAN PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF*) Djarot S. Wisnubroto

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PENENTUAN POTENSI RISIKO TENORM PADA INDUSTRI NON NUKLIR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

MODEL MATEMATIKA UNTUK TRANSPORT RADIONUKLIDA PADA BIOSFER. Dadang Suganda, Pratomo Budiman S. Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR...TAHUN... TENTANG PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF TINGKAT RENDAH DAN TINGKAT SEDANG

PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF BENTUK PADAT BERAKTIVITAS RENDAH DI INSTALASI RADIOMETALURGI TAHUN 2007

PENGGUNAN PERANGKAT LUNAK RESRAD-OFFSITE UNTUK MEMPERKIRAKAN RESIKO RADIOLOGIK SUATU FASILITAS LANDFILL SLAG TIMAH

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN TENTANG DEKOMISIONING INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR

STUDI PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PADAT PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR

2011, No Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif (Lembaran Negara Republi

X. BIOREMEDIASI TANAH. Kompetensi: Menjelaskan rekayasa bioproses yang digunakan untuk bioremediasi tanah

2. PERSYARATAN UNTUK PENGKAJIAN KESELAMATAN DALAM PROSES PERIJINAN REAKTOR RISET

OPTIMALISASI PE EMPATA KEMASA LIMBAH RADIOAKTIF AKTIVITAS RE DAH DA SEDA G DALAM REPOSITORI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 instalasi nuklir adalah instalasi radiometalurgi. Instalasi nuklir didesain, dibangun, dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan tenaga

PENGANGKUTAN LIMBAH RADIOAKTIF PADAT DAN CAIR DARI PENIMBUL KE INSTALASI PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF. Arifin Pusat Teknologi Limbah Radioaktif -BATAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN KESELAMATAN PENYIMPANAN LlMBAH THORIUM DARI PABRIK KAOS LAMPU

STUDI PEMILIHAN CALON TAPAK DISPOSAL LIMBAH RADIOAKTIF OPERASI PLTN DI BANGKA BELITUNG : PENYUSUNAN KONSEP DAN RENCANA DISPOSAL

PENCEGAHAN KEBAKARAN. Pencegahan Kebakaran dilakukan melalui upaya dalam mendesain gedung dan upaya Desain untuk pencegahan Kebakaran.

DEKONTAMINASI MIKROSKOP OPTIK HOTCELL 107 INSTALASI RADIOMETALURGI DENGAN CARA KERING

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

ANALISIS LIMBAH RADIOAKTIF CAIR DAN SEMI CAIR. Mardini, Ayi Muziyawati, Darmawan Aji Pusat Teknologi Limbah Radioaktif

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PELUANG DAN TANTANGAN BATAN SEBAGAI ORGANISASI PENDUKUNG TEKNIS DI BIDANG PROTEKSI RADIASI

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PEMULIHAN LAHAN TERKONTAMINASI LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

PENGKAJIAN KESELAMATAN LANDFILL ALAMIAH LIMBAH TENORM PADA INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN PERANGKAT LUNAK PRESTO EPA CPG/POP

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

PERTIMBANGAN DALAM PERANCANGAN PENYIMPANAN BAHAN BAKAR BEKAS SECARA KERING. Dewi Susilowati Pusat Teknologi Limbah Radioaktif

EVALUASI PENGARUH POLA ALIR UDARA TERHADAP TINGKAT RADIOAKTIVITAS DI DAERAH KERJA IRM

BAB I. PENDAHULUAN. Minyak bumi adalah suatu senyawa hydrocarbon yang terdiri dari karbon (83-87%),

BAB V Ketentuan Proteksi Radiasi

SISTEM DETEKSI DAN PEMADAMAN KEBAKARAN

SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN RADIASI

Teknik Bioremediasi Hidrokarbon

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

PENINGKATAN SISTEM PROTEKSI RADIASI DAN KESELAMATAN KAWASAN NUKLIR SERPONG TAHUN 2009

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1994 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indones

Tantangan Pengawasan Naturally Occuring Radioactive Material (NORM) di Kabupaten Mamuju

PENGKAJIAN UNJUK KERJA KOMPONEN NEAR SURFACE DISPOSAL: COVER UNTUK DEMOPLANT DISPOSAL

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

ANALISIS KESELAMATAN RADIASI PENYIMPANAN LIMBAH RADIOAKTIF DI INTERIM STORAGE-1 SELAMA PERIODE

PRARANCANGAN SISTEM LOADING DAN UNLOADING PADA KOLOM PENUKAR ION PENGOLAH LIMBAH RADIOAKTIF

INVENTARISASI PAKET LIMBAH OLAHAN UNTUK PENYIMPANAN AKHIR DALAM DISPOSAL DEMO PLANT

STUDI PENINGKATAN PEROLEHAN MINYAK DI ZONA A LAPANGAN X DENGAN METODE INJEKSI AIR

Limbah B3 adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya baik secara langsung maupun

2015, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang

URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KARAKTERISASI LlMBAH HASIL SEMENTASI. Siswanto Hadi, Mardini, Suparno Pusat Teknologi Umbah Radioa~,tif, BATAN

FORMAT DAN ISI LAPORAN PENILAIAN KESELAMATAN BERKALA KONDISI TERKINI STRUKTUR, SISTEM, DAN KOMPONEN

Tugas Akhir Pemodelan Dan Analisis Kimia Airtanah Dengan Menggunakan Software Modflow Di Daerah Bekas TPA Pasir Impun Bandung, Jawa Barat

SISTEM MANAJEMEN DOSIS PADA PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DENGAN KENDARAAN DARAT

PERENCANAAN TEMPAT PEMROSESAN AKHIR (TPA) SAMPAH DENGAN SISTEM SANITARY LANDFILL DI TPA PECUK KABUPATEN INDRAMAYU

PARAMETER YANG DIPERTIMBANGKAN SEBAGAI KONDISI BATAS UNTUK OPERASI NORMAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MANAJEMEN LIMBAH NORMffENORM DALAM KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS

KONSEP TEKNOLOGI PENYIMPANAN LESTARI LIMBAH RADIOAKTIF DEKAT PERMUKAAN (NEAR SURFACE DISPOSAL) DI PPTN SERPONG

KAJIAN BAKU TINGKAT RADIOAKTIVITAS DI LINGKUNGAN UNTUK CALON PLTN AP1000

FORMAT DAN ISI PROGRAM DEKOMISIONING INNR

: PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN EVALUASI TAPAK REAKTOR NUKLIR

BARANG TAMBANG INDONESIA II. Tujuan Pembelajaran

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 14/Ka-BAPETEN/VI-99 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN PABRIK KAOS LAMPU

BAB I PENDAHULUAN. Australia (BP.2014). Sebagian besar pertambangan batubara di Indonesia


EVALUASI PENGENDALIAN KESELAMATAN RADIASI DAN NON RADIASI DALAM PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF TAHUN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BAPETEN TENTANG VERIFIKASI DAN PENILAIAN KESELAMATAN REAKTOR NONDAYA

KERENTANAN AIRTANAH UNTUK PENYIMPANAN LIMBAH RADIOAKTIF DEKAT PERMUKAAN DI DESA MUNCUL KECAMATAN SETU KOTA TANGERANG SELATAN BAB I PENDAHULUAN

Eksplorium ISSN Volume 34 No. 1, Mei 2013: 35-50

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG DEKOMISIONING REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Disampaikan Pada Kegiatan Bimbingan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B September 2016

BAB I PENDAHULUAN. lereng, hidrologi dan hidrogeologi perlu dilakukan untuk mendapatkan desain

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG ASPEK PROTEKSI RADIASI DALAM DESAIN REAKTOR DAYA

Transkripsi:

ABSTRAK PENYIMPANAN LESTARI LIMBAH TENORM DARI INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI Sucipta Pusat Teknologi Limbah Radioaktif BATAN PENYIMPANAN LESTARI LIMBAH TENORM DARI INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI. Limbah Technically Enhanced Naturally Occurred Radioactive Materials (TENORM) yang berasal dari industri/pertambangan minyak dan gas bumi, wajib dikelola agar tidak mencemari lingkungan dan membahayakan masyarakat. Tahapan pengelolaan yang harus dilakukan meliputi inventarisasi, identifikasi, pengangkutan, on-site dan atau off-site treatment, pewadahan, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari. Dalam makalah ini hanya akan dibahas tentang penyimpanan lestari limbah TENORM. Arahan International Atomic Energy Agency (IAEA) dan pengalaman dari beberapa negara maju dalam penyimpanan lestari limbah TENORM bisa dikaji untuk dikembangkan dan diterapkan di Indonesia. Dengan hasil kajian tersebut maka diharapkan masalah penyimpanan limbah TENORM dapat ditangani dengan baik, yang dilandasi dengan karakterisasi tapak, desain pewadahan, fasilitas disposal dan pengkajian keselamatan yang memadai. Dengan konsep yang optimal maka bisa diterapkan di masa mendatang untuk mendukung program industri nasional yang menjamin keselamatan masyarakat dan lingkungan. ABSTRACT DISPOSAL FOR TENORM WASTE FROM OIL AND GAS INDUSTRY. Technically Enhanced Naturally Occurred Radioactive Materials (TENORM) waste, mainly originated from petroleum industry/mining, must be managed to protect the environment and the public from contamination and damage. The steps of the management of TENORM waste include identification, inventory, transport, on-site and or off-site treatment, packaging, storage and disposal. This paper would only explain about disposal for TENORM waste. IAEA recommendation and the experiences of TENORM waste disposal from various advance countries could be assessed to be developed and applied in Indonesia. For this reason there is needed an effort to solve the problem in Indonesia by an appropriate disposal system development which suitable with the wastes and the sites. Based on the results of the study, the problem of waste emplacement could be solved well, based on site characterization, package design, disposal and an appropriate safety assessment. Finally, by finding the optimum concept could be applied in the future to support the national industry program which assure the public and environmental safety. PENDAHULUAN Naturally Occurred Radioactive Materials (NORM) atau Technologically Enhanced of Naturally Occurred Radioactive Materials (TENORM) adalah material yang bersifat radioaktif dalam wujud fisik alamiahnya (bukan buatan manusia). NORM meliputi unsur uranium, thorium, radium, radon dan produk anak luruhnya. NORM dapat berasosiasi dengan produksi minyak dan gas bumi. TENORM secara tipikal terkonsentrasi dalam produk korosi, scale (kerak), atau endapan, bukan dalam bentuk produk berwujud cairannya sendiri. Tempat-tempat keberadaan TENORM adalah [1] : 1. Kerak dalam tabung bawah permukaan (downhole tubing scale); 2. Peralatan proses di atas permukaan (above ground processing equipment); 3. Sumur pembuangan/injeksi air garam dan peralatannya; 4. Tanah terkontaminasi oleh well workovers, pembersihan tangki, kebocoran air garam, pembersihan pipa, dan pekerjaan lain yang berhubungan. Limbah TENORM yang berasal dari industri/pertambangan minyak dan gas bumi, harus dikelola agar tidak mencemari lingkungan dan membahayakan masyarakat. Tahapan pengelolaan yang harus dilakukan meliputi inventarisasi, identifikasi, pengangkutan, on-site atau off-site treatment, pewadahan, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari (landfill/disposal). IAEA telah mempublikasikan arahannya tentang proteksi radiasi dan pengelolaan limbah TENORM dari industri minyak dan gas bumi [2]. Beberapa negara maju telah berpengalaman dalam melakukan pengelolaan limbah NORM-TENORM, mulai dari inventarisasi hingga pengoperasian landfill. Pengalaman dari negara-negara maju tersebut bisa dikaji untuk dikembangkan dan diterapkan di 94

Indonesia untuk memecahkan masalah limbah tersebut dengan pengembangan sistem penyimpanan lestari (disposal / landfill) yang memadai sesuai dengan kondisi limbah dan tapak. Dengan disposal atau landfill tersebut maka diharapkan masalah penyimpanan limbah TENORM dapat ditangani dengan baik, yang dilandasi dengan karakterisasi tapak, desain pewadahan, fasilitas disposal atau landfill dan pengkajian keselamatan yang memadai. Dan akhirnya setelah ditemukan konsep yang optimal akan bisa diterapkan di masa mendatang untuk mendukung program industri nasional yang dapat menjamin keselamatan masyarakat dan lingkungan. METODE Kajian tentang penyimpanan lestari limbah TENORM dilaksanakan dengan studi literatur dan studi kasus yang diuraikan secara deskriptif yang disesuaikan dengan aspek biaya, waktu dan aksesibilitas. Beberapa data primer dan sekunder keberadaan limbah TENORM di lingkungan industri minyak dan gas bumi ditelusuri sebagai bahan pertimbangan untuk kajian. Pengkajian tentang penyimpanan limbah NORM-TENORM ini dilaksanakan dengan metode deskriptif dengan ruang lingkup meliputi studi pustaka, penyusunan kriteria tapak disposal / landfill, aspek teknologi, keselamatan lingkungan, serta analisis hasil studi dan penyusunan laporan. Rancangan dan langkah-langkah yang dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: 1) Kriteria tapak dan disain disposal / landfill ditentukan dan disusun berdasarkan ketentuan IAEA dan pendapat para pakar; 2) Data dan informasi tentang aspek tapak, teknologi, keselamatan storage dan landfill ditelusuri dan dikumpulkan dari berbagai pustaka; 3) Data dan informasi tersebut dievaluasi dan digunakan sebagai dasar pengkajian. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengukuran Daerah Kerja dan Inventarisasi Limbah TENORM Beberapa perusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia yang memiliki potensi limbah TENORM yang menjadi obyek kajian meliputi PT. COPI di Jambi, PT. TI Kalimantan Timur [3,4] dan PT. CPI di Riau. Selama operasi lapangan dan pangkalan tersebut telah ditimbulkan limbah padat dan cair yang kuantitasnya signifikan. Sebagai tambahan, limbah yang lain (umumnya padat) telah ditimbulkan dari aktivitas dekontaminasi dan dekomisioning, rehabilitasi fasilitas produksi dan pengelolaan limbah. Limbah tersebut mengandung bahan radioaktif alam (NORM). Tergantung pada konsentrasi aktivitasnya, limbah tersebut dapat memberikan dampak radiologi terhadap para pekerja dan masyarakat apabila limbah tersebut tersebar ke lingkungan. Beberapa macam limbah NORM yang timbul selama operasi industri minyak dan gas bumi, khususnya selama dekontaminasi fasilitas atau peralatan, meliputi : 1. Sludges dari pipa-pipa, vessels dan tangki-tangki; 2. Kerak (scale) padat yang tersuspensi dalam air; 3. Cairan yang mengandung scale terlarut dan bahan kimia yang digunakan untuk dekontaminasi secara kimia; 4. Scale padat yang berasal dari proses dekontaminasi abrasif basah atau kering; 5. Air limbah yang ditimbulkan dari pengambilan scale dengan cara sedimentasi dan atau filtrasi air yang digunakan untuk abrasi secara basah dengan high pressure water jetting (HPWJ); 6. Filter yang digunakan untuk menangkap partikulat di udara yang dihasilkan oleh proses dekontaminasi secara abrasi kering; 7. Tanah permukaan yang tercemar bahan sand blasting untuk pembersih an tangki. Hasil survey di lingkungan kerja beberapa perusahaan minyak untuk menentukan laju paparan gamma dan analisis TENORM untuk identifikasi kandungan radionuklida dan konsentrasi aktivitasnya, menunjukkan bahwa beberapa tapak telah terkontaminasi TENORM. Hal tersebut diindikasikan oleh fakta bahwa laju paparan gamma 50 μr/jam (0,4 μsv/jam) dan konsentrasi aktivitas radionuklida 1000 Bq/kg. Keberadaan TENORM melebihi batas maksimum yang diijinkan (Maximum Permissible Level) pada sekitar daerah kerja dapat memberikan paparan radiasi potensial kepada para pekerja. Lebih lanjut maka 95

beberapa area tempat kerja tersebut perlu dilakukan remediasi (clean-up). Pekerjaan remediasi melalui beberapa tahapan yaitu penentuan TENORM di area yang terkontaminasi, penentuan ketebalan TENORM dan dekontaminasi (clean-up) TENORM. Hasil identifikasi area terkontaminasi menunjukkan bahwa pada area survey menunjukkan laju dosis lebih dari 50 μr/jam (selanjutnya) diberi tanda dengan patok (Gambar 1). Penentuan kedalaman distribusi NORM dalam tanah dilakukan dengan alat Identifinder yang pengukurannya ditentukan berdasarkan 2 jarak vertikal dari tanah [5] (Gambar 2). Setelah pengukuran atau penghitungan ketebalan NORM, maka langkah selanjutnya adalah dengan melakukan clean-up (dekontaminasi) sebagai berikut : 1) Pengupasan dan pemindahan lapisan tanah atas (top soil) setebal 5-20 cm dengan hoe dan spade. Pemindahan dilakukan dengan pail dan wheelbarrow, yang kemudian tanah tersebut ditempatkan dalam drum 200 l yang di dalamnya dilapisi dengan plastik; 2). Untuk menjamin bahwa operasi dekontaminasi dan pendeskripsian dilakukan dengan lengkap maka langkah pengukuran harus dilakukan. Pengaruh terhadap laju dosis dari setiap langkah harus dipantau, sehingga efektivitas setiap langkah (prosedur) dalam usaha pengurangan dosis dapat dihitung. Hasil kupasan tanah dan berbagai material lainnya diangkut ke tapak penampungan limbah TENORM (drum site). Setelah semua limbah terisikan dalam drum, maka selanjutnya drum ditutup dengan plastik atau aluminium foil untuk melindungi dari air hujan. Laju dosis di luar drum diukur dengan alat ukur radiasi seperti Ludlum Micro R Meter. Pada permukaan drum limbah ditempeli stiker tanda radiasi khusus LIMBAH NORM, dan dilengkapi dengan informasi tentang volume, aktivitas spesifik dan tingkat dosis permukaan. Dalam transportasi perlu beberapa persyaratan sebagai berikut : 1) Perlu disediakan waktu 4-6 minggu untuk perencanaan hingga transportasi sampai ke tapak landfill; 2) Dokumen transportasi harus disiapkan, yang menggambarkan tentang limbah TENORM dan nilai konsentrasi/aktivitasnya; 3) Pengepakan atau pewadahan yang memadai harus dilakukan untuk menghindari terjadinya kebocoran atau bahkan pecah dalam transportasi. Gambar 1. Patok dan penandaan area dengan laju dosis lebih dari 50 μr/jam 96

Gambar 2. Pengukuran ketebalan tanah terkontaminasi NORM dengan Identifinder B. Tinjauan Metode Penyimpanan Lestari Limbah TENORM Berbagai metode penyimpanan lestari limbah TENORM padat dan cair telah diterapkan di kalangan industri minyak dan gas bumi. Tinjauan peraturan, inspeksi, pengawasan dan pengendalian terhadap aktivitas dan metode disposal telah menunjukkan adanya kekurangan di masa lampau. Isu tentang pengelolaan limbah TENORM, khususnya disposal, telah teridentifikasi pada masa kini sebagai suatu area proteksi dan keselamatan radiasi yang perlu secara formal diatur oleh badan pengawas nasional. Proses pemilihan dan pengembangan metode disposal untuk limbah TENORM merupakan suatu bagian yang utama dari program pengelolaan limbah radioaktif, walaupun prosesnya pada umumnya tidak dilakukan pada tingkat fasilitas produksi individual, tetapi pada tingkat perusahaan atau asosiasinya. Suatu hal yang penting diperhatikan bahwa untuk memulai seleksi metode disposal yang optimal sebaiknya dilakukan pada fase awal kegiatan. Dalam pengembangan strategi pengelolaan limbah secara keseluruhan bertujuan untuk [2] : 1. Memaksimalkan pengurangan resiko terhadap manusia dan lingkungan dengan optimasi antara metode disposal dan efektivitas biaya; 2. Memmenuhi batasan dosis okupasional dan masyarakat, serta meminimalkan dosis sesuai prinsip ALARA; 3. Memenuhi semua ketentuan hukum dan perjanjian nasional dan internasional yang relevan; 4. Mematuhi semua ketentuan regulasi nasional. Metode disposal untuk limbah TENORM dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori sebagai berikut [2] : 1. Dilusi dan dispersal limbah ke lingkungan, contoh pelepasan cairan dan gas; 2. Pengumpulan dan pengungkungan limbah dalam fasilitas disposal yang resmi; 3. Pemprosesan limbah dengan limbah kimia lain secara insinerasi dan metode lain; 4. Disposal limbah dengan mengembalikan ke sumber asal material (reinjeksi ke dalam reservoir). 97

American Petroleum Institute [6] telah melakukan inventarisasi dan memperhitungkan biaya berbagai metode disposal limbah NORM dengan urutan dari yang paling murah ke yang relatif mahal adalah : 1) surface spreading, 2) surface spreading with dilution, 3) burial, 4) industrial landfill, 5) licensed NORM disposal facility, 6) low level waste facility, 7) surface mine, 8) injection well, 9) plugged and abandoned well, 10) hydraulic fracture, dan 11) deep geological repository. NORM Waste Management Technical Committee [7] telah melakukan evaluasi dengan peninjauan literatur dan kompilasi isu-isu teknis serta operasional yang potensial sebagai pilihan dari masingmasing disposal. Komisi menyimpulkan bahwa ada 4 opsi yang secara teknis memadai untuk disposal limbah TENORM, walaupun ketentuan peraturan khusus terhadap opsi tersebut perlu dikembangkan, yaitu : 1. Disposal dalam sumur yang telah ditinggalkan (abandont well); 2. Injeksi sumur dalam (deep well injection); 3. Injeksi dalam lubang batuan garam (salt cavern injection); 4. Landfill disposal. Berdasarkan studi pengkajian resiko direkomendasikan bahwa disposal limbah TENORM adalah landfill disposal, dan tidak direkomendasikan penyimpanan lestari dalam abandont well, deep well injection, dan salt cavern injection. Penyimpanan lestari tipe Shallow Land Burrial sebagai implementasi dari landfill disposal sedang menjadi bahan diskusi dalam pemilihan opsi disposal, dan beberapa negara telah menerapkannya secara terbatas. Masalah remediasi dari disposal timbunan sludge dan scale mengemuka untuk dipertimbangkan. Keberadaan kontaminan non-radioaktif menjadi salah satu faktor penting yang harus dipikirkan, dan menjadikan metode disposal tersebut menjadi kurang menarik untuk dipilih bagi sludge. SMITH dkk [8] telah membahas tentang pengkajian radiologi disposal limbah TENORM dalam landfill limbah nonradioaktif. Aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan metode disposal Shallow Land Burrial sebagai berikut [2]: adalah 1. Pemilihan tapak yang sesuai dengan kedalaman minimum untuk penempatan limbah. Proses seleksi tapak perlu difokuskan untuk mendapatkan semaksimum mungkin karakteristik yang diharapkan dalam rangka meminimalkan dampak dari limbah dan menjamin stabilitas jangka panjang dari fasilitas disposal. Berbagai pilihan dan keputusan final akan dipengaruhi oleh keterbatasan ekonomi, teknis dan operasional. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam proses pemilihan tapak meliputi: a. Antisipasi durasi penggunaan fasilitas (sementara atau selamanya); b. Iklim dan meteorologi; c. Hidrologi dan banjir; d. Geografi; e. Geologi, geokimia dan geomorfologi; f. Seismisitas; g. Mineralogi; h. Demografi dan penggunaan lahan; i. Biota; j. Kemungkinan untuk dekomisioning dan sebagai disposal permanen limbah NORM. 2. Isu kontrol institusional; 3. Stabilitas jangka panjang dari fasilitas; 4. Pengkajian resiko untuk menentukan dampak terhadap manusia dan lingkungan, termasuk akibat jangka panjang terkait dengan kontaminasi air tanah; 5. Kemungkinan untuk diperolehnya pengkajian resiko dan program proteksi radiasi terhadap aktivitas atau area tertentu untuk mengendalikan paparan dan membatasi penyebaran kontaminasi kepada wilayah masyarakat. 6. Kebutuhan untuk program jaminan mutu dan dokumentasi seperti inventori limbah; 7. Biaya transportasi dan pemenuhannya terhadap regulasi transportasi. C. Konsep Desain Penyimpanan Lestari Dekat Permukaan Tujuan utama penyimpanan lestari limbah TENORM yang bersifat radiologis, non-radiologis dan kontaminasi campuran 98

adalah untuk mengungkung limbah dari manusia dan lingkungan. Untuk tujuan itu maka perlu dibuat penghalang fisik yang berupa penghalang permukaan (surface barrier), barier insitu (in situ barrier) dan penghalang bawah permukaan (subsurface barrier). Surface barrier, ditujukan untuk meminimalkan infiltrasi air permukaan ke dalam daerah tercemar, sebagai penghalang yang membatasi kontak dan intrusi langsung tanaman dan binatang, dan juga untuk membatasi intrusi oleh manusia yang tidak dikehendaki. Ada beberapa tipe yang umum digunakan untuk penghalang permukaan ini seperti penutup lapis tunggal (single layer covers), penutup lapis ganda rekayasa (engineered multiple layer covers) dan biotic barriers. In situ barrier, dibangun secara vertikal atau horizontal di bawah permukaan tanah untuk mengungkung material terkontaminasi. Penghalang vertikal terdiri dari trench dengan permeabilitas rendah, tembok atau membran untuk menahan migrasi lateral, biasanya dikunci dalam lapisan dasar permeabilitas rendah yang ada secara alamiah. Penghalang horizontal dipasang di bawah zona terkontaminasi dengan teknik insitu seperti grouting dan pencampuran tanah (soil mixing). Surface barrier secara sendirian mungkin tidak cukup untuk mengisolasi limbah, sehingga perlu dikombinasi dengan teknologi tertentu untuk membatasi migrasi dan paparan kontaminan. Sistem penutup dan pengendalian aliran air secara aktif seperti sistem drainase diperlukan untuk membatasi munculnya air tanah dalam zone pengungkungan limbah. Penghalang permukaan, yang sering disebut dengan landfill caps, merupakan bentuk yang umum untuk remediasi beraneka tipe kontaminan sebab konsepnya mudah untuk dimengerrti dan tidak mahal dalam menangani resiko akibat tapak terkontaminasi seperti paparan langsung ke manusia dan lepasnya pencemar ke lingkungan. Kegunaan penghalang permukaan adalah untuk : Minimalisasi paparan langsung pada permukaan baik oleh zat radioaktif maupun bukan radioaktif; Menahan infiltrasi air secara vertikal ke dalam zona limbah yang dapat menimbulkan pelindian material pencemar; Mengungkung limbah sambil menunggu pengolahan; Mengendalikan emisis gas dari material terkontaminasi di bawah, seperti gas radon dan volatile organic compound (VOC), dan sebagai pembawa pencemar seperti Pb-210 dan Po-210; Membentuk permukaan lahan yang dapat menyangga vegetasi dan atau untuk keperluan lain. Desain penghalang permukaan bersifat site specific, berkisar dari hanya sistem satu lapis dari tanah bervegetasi hingga sistem multilayer kompleks dari tanah dan produk geosintetik (Gambar 3). Pada umumnya sistem yang sederhana untuk daerah beriklim kering dan yang kompleks untuk daerah beriklim basah. Material yang digunakan untuk konstruksi penghalang permukaan meliputi tanah dengan permeabilitas rendah dan tinggi serta geosintetik permeabilitas rendah. Material permeabilitas rendah untuk menahan air dan membatasinya agar tidak menembus zone limbah. Material permeabilitas tinggi digunakan untuk mengalihkan air agar tidak ada perkolasi ke dalam sistem barier. Material lain diperlukan untuk meningkatkan stabilitas lereng. Penghalang bawah permukaan (subsurface barrier) sangat penting untuk membatasi pergerakan kontaminan radioaktif dan non-radioaktif menuju media geologi sekitar dan air tanah. Tersedia banyak teknologi penghalang bawah permukaan yang secara komersial dapat diperoleh dengan beraneka model perkembangan. Tujuan dan fungsi sistem pengungkungan harus ditentukan berdasarkan desain dan konstruksi barier. Karakterisasi tapak merupakan bagian utama dalam pemilihan barrier yang memadai. 99

Gambar 3. Lapisan penutup, limbah dan lapisan bawah sebagai penghalang buatan Beberapa hal yang wajib dipertimbangkan dalam perancangan subsurface barrier adalah meliputi : 1. Penting untuk dipertimbangkan dalam penetapan kriteria penempatan barrier, meliputi lokasi, kedalaman dan ketebalan; 2. Analsisi tekanan-deformasi perlu dilakukan untuk mengkaji dampak potensial terhadap konstruksi barrier; 3. Uji kompatibilitas diperlukan untuk memilih bahan barier yang paling efektif, dan bila perlu dikombinasi campurannya; 4. Penting untuk menentukan metode konstruksi yang paling efektif dan layak; 5. Jaminan/kendali mutu konstruksi merupakan hal yang krusial dalam penempatan barrier bawah permukaan. Konstruksi penghalang bawah permukaan dapat dikelompokkan menjadi tiga teknologi dasar, yaitu : 1. Penggantian material galian dengan material yang permeabilitasnya lebih rendah; 2. Displacement dengan material permeabilitas lebih rendah; 3. Menurunkan permeabilitas tanah. Lapisan kedap air terdiri dari lempung atau semen dan campuran lempung digunakan secara luas dalam konstruksi landfill baru. Lempung ditujukan untuk melawan secara kimia produk pelindian dari limbah yang dapat mendegradasi barrier dan menyebabkan peningkatan infiltrasi dan penyebaran kontaminan. Kandungan lengas air dalam lempung harus dijaga agar supaya tidak terjadi retakan. Perkembangan baru 100

dari konsep barrier, material dan teknik konstruksi sedang berjalan untuk memenuhi atau menutup kekurangan yang ada. Stabilitas dan efektivitas jangka panjang terhadap bahan sintetis dan polimer baru sebagai sealant sedang dievaluasi. Inorganic grout juga sedang dikaji untuk digunakan dengan atau tanpa lempung. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil survey di lingkungan kerja beberapa perusahaan minyak untuk menentukan laju paparan gamma dan analisis TENORM untuk identifikasi kandungan radionuklida dan konsentrasi aktivitasnya, menunjukkan bahwa beberapa tapak telah terkontaminasi TENORM. Untuk melindungi pekerja, masyarakat dan lingkungan dari bahaya radiasi yang ditimbulkan dari limbah TENORM maka semua paket limbah dalam drum harus segera disimpan di suatu tempat yang memenuhi ketentuan sebagai berikut : 1) Jauh dari tempat kerja dan masyarakat; 2) Tempat penyimpanan (storage) harus dipagar secara memadai; 3) Tempat penyimpanan perlu ditandai dengan tulisan Tempat Penyimpanan Limbah TENORM, Selain Petugas Dilarang Masuk ; 4) Drum dengan limbah yang laju dosisnya lebih tinggi ditempatkan di bagian tengah; 5) Laju dosis yang dihasilkan oleh limbah TENORM yang tersimpan tidak boleh melebihi 10 µr/h di atas background daerah sekitar fasilitas, hal tersebut diharapkan akan membantu paparan radiasi bagi pekerja tidak lebih dari 100 mrem/tahun; 6) Perlu dilakukan survey radiasi berkala (tahunan) di lokasi sekitar storage yang terdokumentasi dalam form survey; dan 7) Departemen EHS regional harus dihubungi untuk memberikan bimbingan bila tingkat radiasi di sekitar lokasi storage melebihi batas yang ditentukan. Berbagai metode penyimpanan lestari limbah TENORM padat dan cair telah diterapkan di kalangan industri minyak dan gas bumi. Tinjauan peraturan, inspeksi, pengawasan dan pengendalian terhadap aktivitas dan metode disposal telah menunjukkan adanya kekurangan di masa lampau. Isu tentang pengelolaan limbah TENORM, khususnya disposal, telah teridentifikasi pada masa kini sebagai suatu area proteksi dan keselamatan radiasi yang perlu secara formal diatur oleh badan pengawas nasional. Proses pemilihan dan pengembangan metode disposal untuk limbah TENORM merupakan suatu bagian yang utama dari program pengelolaan limbah radioaktif. Berdasarkan studi pengkajian resiko direkomendasikan bahwa disposal limbah TENORM adalah landfill disposal, dan tidak direkomendasikan penyimpanan lestari dalam abandont well, deep well injection, dan salt cavern injection. Tujuan utama penyimpanan lestari limbah TENORM yang bersifat radiologis, non-radiologis dan kontaminasi campuran adalah untuk mengungkung limbah dari manusia dan lingkungan. Untuk tujuan itu maka perlu dibuat penghalang fisik yang berupa penghalang permukaan (surface barrier), barier insitu (in situ barrier) dan penghalang bawah permukaan (subsurface barrier). Penghalang bawah permukaan (subsurface barrier) sangat penting untuk membatasi pergerakan kontaminan radioaktif dan non-radioaktif menuju media geologi sekitar dan air tanah. Tujuan dan fungsi sistem pengungkungan harus ditentukan berdasarkan desain dan konstruksi barier. Karakterisasi tapak merupakan bagian utama dalam pemilihan barrier yang memadai. S a r a n Limbah TENORM wajib disimpan secara lestari dengan metode on-site landfill atau landfill terpusat, dengan ketentuan : 1) Pemilihan tapak dan desain landfill yang memadai, meliputi : Tata geologi dan hidrogeologi yang memenuhi kriteria, Cap design dan final cover (ketebalan, jenis, impermeable), Kontrol gas radon, Desain lapisan barrier dan leachate collector, Closure dan post-closure plans, Penempatan NORM dan kedalamannya, Pengamanan tapak; 2). Analisis keselamatan, untuk verifikasi desain landfill apakah memenuhi kriteria keselamatan; 3). Sistem pemantauan, meliputi aliran permukaan, leachate collection system, air tanah, gas radon dan laju dosis gamma; dan 4). Kontrol administrasi, yang mencakup keberlanjutan pendanaan, aspek penerimaan limbah TENORM dan prosedurnya. 101

DAFTAR PUSTAKA 1. TEPI, NORM Safety Standard Operational Procedure, Texaco Exploration and Production Inc., 1994. 2. INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY, Radiation Protection and the Management of Radioactive Waste in the Oil and Gas Industry, Safety Report Series No. 34, IAEA, Vienna, 2003. 3. REPORT, NORM Measurement in OIL and Gas Production Plant ConocoPhillips-Indonesia, Sumatra Operation, 2005. 4. REPORT on Radiological Assessment NORM/TENORM Total EP ndonesie. 5. NASSEN, E. P., and XU, X. G., A non Destructive Method to Determine the Depth of Radionuclides in Materials In- Situ, Health Physics 77(1) : 76-88, 1999. 6. AMERICAN PETROLEUM INSTITUTE, Bulletin on the Management of NORM in Oil and Gas Production, API Bulletin E2 1992. 7. NORM Waste Management Technical Committee. 8. SMITH, K.P., BLUNT, D.L., WILLIAMS, G.P., ARNISH, J.J., PFINGSTON, M., HERBERT, J. and R.A. HAFFENDEN, An Assessment of the Disposal of Petroleum Industry NORM in Non-Hazardous Landfills, National Petroleum Technology Office, U.S. Department of Energy, Tulsa, Oklahoma, 1999. 102