Dr. Guntur Budi Wanarto, M.S. PENILAIAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN OLEH PELANGGAN



dokumen-dokumen yang mirip
KUALITAS LAYANAN KESEHATAN MENURUT PERSEPSI KONSUMEN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan perpindahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui. Kotler, 2000) dalam bukunya (Tjiptono, 2007:2)

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KERANGKA TEORITIS. Webster s 1928 Dictionary, dalam Lupiyoadi (2013), menyatakan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pasar menjadi semakin luas dan peluang ada dimana-mana, namun sebaliknya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kesannya terhadap kinerja suatu produk dan harapan-harapannya. Sedangkan

BAB II LANDASAN TEORI. tempat, organisasi dan gagasan (Kotler, 2001:347). Dari definisi diatas. 1. Intangibility (tidak dapat dilihat, dirasakan).

BAB II KAJIAN PUSTAKA. keunggulan atau keistimewaan suatu produk atau layanan secara menyeluruh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Meningkatnya taraf hidup masyarakat, menyebabkan terjadinya peningkatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRAGEN SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Parasuraman et al. (1988) menyatakan bahwa kualitas pelayanan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau perilaku kepada atau untuk individu atau kelompok melalui antisipasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ageng Tirtayasa Banten terhadap Pelayanan SPP Online Bank BTN Cabang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pasien

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang word of mouth

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan (preventif) untuk meningkatkan kualitas hidup serta memberikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perpustakaan Perguruan Tinggi adalah perpustakaan yang terdapat pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepuasan pasien adalah suatu perasaan pasien yang timbul akibat kinerja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Jasa pada umumnya memiliki karakteristik yang berbeda jika

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap perusahaan bertujuan agar perusahaannya mendapat keuntungan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pelayanan Kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian yang dilakukan Selvy Normasari dkk (2013) mengenai Pengaruh

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. serta memberikan kepuasan bagi pasien selaku pengguna jasa kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. dihindari dalam industri. Hal ini ditandai dengan perubahan perubahan yang

BAB II URAIAN TEORITIS. Krisviyanti (2007) melakukan penelitian dengan judul Analisis pengaruh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Semakin terbukanya akses informasi termasuk di bidang kesehatan dan kedokteran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Bagi siswa/i SMU yang baru saja lulus, melanjutkan pendidikan ke

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Pelanggan. membandingkan kinerja (hasil) yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pelanggan terbagi menjadi dua jenis, yaitu: fungsi atau pemakaian suatu produk. atribut yang bersifat tidak berwujud.

yang akan datang (Anderson et al.,1994). Menurut Hoffman dan Bateson (1997) kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh kualitas layanan dari suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG KEPUASAN PELANGGAN, KUALITAS PELAYANAN, PENGARUH DIMENSI KUALITAS PELAYANAN TERHADAP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bisma, Vol 1, No. 8, Desember 2016 KEPUASAN KONSUMEN PADA DIVISI SERVICE PT ANZON AUTO PLAZA DI PONTIANAK

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini kesehatan merupakan hal yang paling berharga dan telah. menjadi kebutuhan pokok. Semakin tinggi tingkat pendidikan, ilmu

LANDASAN TEORI. 2.1 Pengertian Pemasaran dan Konsep Pemasaran. Menurut (Kotler, 2007), pemasaran adalah :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Layanan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. tersebut mempengaruhi kondisi perkembangan dunia bisnis. Setiap

I. PENDAHULUAN. tetapi juga mencakup pelayanan yang bersifat pencegahan (preventif) untuk

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pelayanan menurut Kotler dan Keller (2007:42) merupakan setiap

BAB II LANDASAN TEORI

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepuasan Konsumen

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dan penghasilan masyarakat menambah kesadaran pelanggan untuk mendapatkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan di dunia bisnis telah semakin ketat. Setiap perusahaan saling

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas yang didukung kemampuan dan mental yang sehat, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Pada Era Otonomi Daerah dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan, dan meningkatkan kepuasan pelanggan.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era persaingan global yang berkembang saat ini, muncul berbagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Faizah, Nadia Rizqiyatul. & Suryoko, Sri. & Saryadi. Dengan judul Pengaruh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Parasuraman dalam Lupiyoadi (2001:6), kondisi fisik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. revolusi mutu melalui pendekatan manajemen mutu terpadu menjadi tuntutan

PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. pendukung dan acuan penelitian. Teori-teori ini menjadi bahan rujukan

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan sektor pariwisata merupakan salah satu upaya yang

BEBERAPA MODEL KEBUTUHAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud, Rumah Sakit mempunyai. dengan standart pelayanan Rumah Sakit.

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kecenderungan menuntut kualitas pelayanan yang lebih baik.

Transkripsi:

Dr. Guntur Budi Wanarto, M.S. PENILAIAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN OLEH PELANGGAN Diterbitkan Oleh: Forum Ilmiah Kesehatan (FORIKES) Jl. KH Dewantara II/6 Magetan, Jatim 2013 i

FORIKES PENILAIAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN OLEH PELANGGAN ISBN: 978-602-14605-0-4 Oleh: dr. Guntur Budi Wanarto, M.S. Diterbitkan oleh Forum Ilmiah Kesehatan (Forikes) 2013 Forum Ilmiah Kesehatan (Forikes) Jalan S KH Dewantara II/6 Magetan, Jawa Timur E-mail: forikes@gmail.com Telepon: 085235004462 Editor Desain kulit muka : Heru Santoso Wahito Nugroho : Heru Santoso Wahito Nugroho Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip, memperbanyak dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Cetakan Pertama: 2013 ii

Kata Pengantar Sering kita mendengar pepatah: Pelanggan adalah raja. Ini mengandung makna yang mendalam. Jika pelanggan dianggap raja, maka penentu baik atau buruknya pepelayanan (termasuk pepelayanan kesehatan) adalah pelanggan. Ini sangatlah rasional, karena kalau pelanggan adalah raja, maka seluruh pepelayanan kesehatan diarahkan untuk memuaskan sang raja yakni pelanggan. Dengan demikian, mutu pepelayanan kesehatan seharusnya dinilai oleh pelanggan, meskipun metode penilaian lainnya tak boleh dikesampingkan begitu saja. Akhirnya kita bisa mengatakan bahwa realitas mutu pepelayanan kesehatan adalah kepuasan pelanggan itu sendiri. Buku ini menyajikan beragam metode penilaian mutu pepelayanan kesehatan oleh pelanggan. Di dalamnya juga lengkapi dengan contoh-contoh praktis dari masing-masing metode penilaian, sehingga lebih mudah digunakan sebagai pedoman praktik penilaian mutu pepelayanan kesehatan di berbagai tatanan, misalnya rumah sakit, puskesmas, posyandu, dan sebagainya. Oktober 2013 Penulis iii

Daftar Isi Isi Hal. Sampul luar Sampul dalam Kata Pengantar Daftar Isi Bab 1 Mengenal Mutu Pelayanan Kesehatan 1 Bab 2 Kepuasan Pelanggan Sebagai Indikator Mutu Pelayanan 9 Kesehatan A. Pengukuran Mutu Pelayanan Kesehatan 9 B. Pentingnya Kepuasan Pelanggan 13 C. Langkah-Langkah Pengukuran Kepuasan Pelanggan 15 Bab 3 Survei Kepuasan Pelanggan dengan Pernyataan Langsung 20 A. Pengukuran Kepuasan Pelanggan Menggunakan Pernyataan 20 Langsung B. Contoh Aplikasi Pengukuran Kepuasan Pelanggan 25 Menggunakan Pernyataan Langsung Bab 4 Survei Kepuasan Pelanggan Berdasarkan Penilaian Harapan dan Kinerja Sebagai Metode Penilaian Mutu Pelayanan Kesehatan A. Pengukuran Kepuasan Pelanggan Berdasarkan Penilaian Harapan dan Kinerja B. Praktik Pengukuran Kepuasan Pelanggan Berdasarkan Penilaian Harapan dan Kinerja Bab 5 Survei Kepuasan Pelanggan Berdasarkan Penilaian Tingkat Kepentingan dan Kinerja Sebagai Metode Penilaian Mutu Pelayanan Kesehatan A. Pengukuran kepuasan pelanggan berdasarkan penilaian tingkat kepentingan dan kinerja B. Contoh Aplikasi Pengukuran Kepuasan Pelanggan Berdasarkan Penilaian Tingkat Kepentingan dan Kinerja 33 33 38 57 57 59 Bab 5 Penutup 73 Daftar Pustaka 74 iv

Bab 1 MENGENAL MUTU PELAYANAN KESEHATAN Mutu atau kualitas merupakan tingkat baik buruknya sesuatu (Moeliono dkk, 1997). Dengan demikian, jika suatu obyek dalam keadaan baik, maka dapat dikatakan bermutu tinggi, sebaliknya jika obyek tersebut dalam keadaan buruk, maka dapat dikatakan bermutu rendah. Obyek tersebut dapat bersifat konkret maupun abstrak. Mutu obyek konkret contohnya gedung puskesmas yang kokoh, megah, dan berhawa sejuk. Ciri-ciri tersebut menunjukkan bahwa obyek konkrit (gedung puskesmas) ini dikatakan berkondisi baik, sehingga dapat dikatakan bermutu tinggi. Sebaliknya jika gedung puskesmas tersebut berwarna kusam, hampir runtuh, pengab, serta kotor, maka banyak yang mengatakan bahwa puskesmas ini berada dalam kondisi buruk, oleh karena itu dianggap bermutu rendah. Sedangkan contoh dari mutu dari obyek yang bersifat abstrak adalah keramahan bidan desa dalam melayani pelanggan di ponkesdes. Bidan desa yang melayani ibu hamil dengan sangat ramah akan dinilai bermutu tinggi dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. Sebaliknya jika bidan desa lain yang ketus, tidak pernah tersenyum, maka akan dinilai bermutu rendah oleh pelanggan. Selain keramahan tentunya masih banyak obyek lain yang bersifat abstrak, misalnya kecekatan, ketekunan, empati, dan sebagainya. Berikut ini disampaikan beberapa definisi lain tentang mutu yang senada dengan pengertian menurut kamus sebagaimana dijelaskan di atas, yaitu: 1) kesesuaian dengan persyaratan/tuntutan, 2) kecocokan untuk pemakaian, 3) perbaikan/penyempurnaan berkelanjutan, 4) ebas dari kerusakan/cacat, 5) pemenuhan kebutuhan pelanggan semenjak awal dan setiap saat, 6) melakukan segala sesuatu secara benar semenjak awal, 7) Sesuatu yang bisa membahagiakan pelanggan (Tjiptono, 2005). Banyak sekali subyek yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan, misalnya: pasien, masyarakat, organisasi masyarakat, profesi pelayanan kesehatan, dinas kesehatan, pemerintah daerah, dan lain-lain, yang dalam hal ini mereka memiliki pandangan berbeda-beda tentang unsur apa saja yang penting dalam pelayanan kesehatan. Mereka memiliki perbedaan pandangan, karena 1

mempunyai latar belakang yang berbeda di antaranya: tingkat pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, pengalaman, lingkungan, serta kepentingan. Oleh karena itulah maka, mutu pelayanan kesehatan dapat dinilai berdasarkan standar dan/atau karakteristik yang berbeda-beda (Pohan, 2006). Seorang ahli ilmu alam yang menjadi pelanggan rumah sakit, mungkin lebih cepat mengetahui bahwa fasilitas ventilasi dan pencahayaan di ruang perawatan kurang memenuhi syarat kesehatan, sehingga ia akan menilai bahwa ruang perawatan tersebut kurang bermutu. Sementara para pelanggan yang berpendidikan rendah sangat mungkin tidak memahami tentang hal seperti ini. Bisa saja mereka sudah sangat senang ketika petugas cepat menanggapi kebutuhan mereka, melayani dengan ramah, dan murah senyum. Inilah yang mereka sebut sangat bermutu, padahal masih ada kelemahan dalam hal lain yang kebetulan belum bisa teridentifikasi oleh mereka. Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa hanya karena faktor petugas saja, pelayanan kesehatan bisa dinilai bermutu tinggi oleh pelanggan. Kita harus memahami bahwa penilaian dari pasien atau pelanggan lainnya adalah hal utama, tetapi bukan berarti penilaian dari perspektif lain tidak perlu diperhatikan. Masih banyak perspektif lain yang perlu menjadi perhatian pula yaitu mutu menurut perspektif pemberi pelayanan kesehatan, penyandang dana, pemilik sarana pelayanan kesehatan serta administrator pelayanan kesehatan. Dengan demikian mutu pelayanan kesehatan tidak hanya berdasarkan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan masyarakat sebagai pelanggan. Hal ini ditegaskan oleh Pohan (2006) dalam mendefinisikan pelayanan kesehatan yang bermutu yaitu: suatu pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, dalam hal ini akan ditentukan oleh profesi pelayanan kesehatan, dan sekaligus diinginkan baik oleh pasien/konsumen ataupun masyarakat serta terjangkau oleh daya beli masyarakat. Mowen dan Minor (2002) mendefinisikan mutu produk (barang maupun jasa) sebagai evaluasi menyeluruh pelanggan atas kebaikan kinerja barang atau jasa. Isu utama dalam menilai kinerja produk adalah dimensi apa yang digunakan oleh konsumen untuk melakukan evaluasi terhadap mutu produk tersebut. Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1988) menentukan lima dimensi mutu jasa yaitu: Tangible 2

(Bukti Langsung/Benda Berwujud), Reliability (Keandalan), Responsibility (Daya Tanggap), Assurance (Jaminan), dan Empathy (Empati), yang selanjutnya diuraikan sebagai berikut: 1. Dimensi Bukti Langsung (Berwujud) Termasuk di dalam dimensi berwujud antara lain fasilitas fisik, peralatan, sarana komunikasi, termasuk karyawan. 2. Dimensi Keandalan Keandalan adalah kemampuan pemberi pelayanan untuk memberikan pelayanan jasa yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan. 3. Dimensi Daya Tanggap Daya tanggap mengandung arti apakah konsumen telah diberikan pelayanan dengan segera. 4. Dimensi Jaminan Jaminan mencakup pengetahuan, etika, kemampuan, serta sifat yang dapat dipercaya dari para pegawai untuk membangkitkan kepercayaan dan keyakinan pelanggan. Dalam hal ini pelanggan dijamin bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. 5. Dimensi Empati Empati adalah kepedulian akan kemampuan pegawai dan perhatian individu. Empati meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, serta memahami kebutuhan pelanggan. Menurut Kotler (2008) jika disusun berdasarkan tingkat kepentingannya, maka urutan kelima dimensi tersebut adalah: 1) kendalan, 2) daya tanggap, 3) jaminan, 4) empati, dan 5) benda berwujud. Ketika pelanggan sedang menilai mutu fasilitas ruang KIA puskesmas, maka dimensi tangible-lah yang sedang dievaluasi. Pada saat pelanggan menyampaikan pengaduan bahwa petugas laboratorium klinik kurang cekatan dalam memberikan pelayanan, maka mereka sedang melakukan evaluasi terhadap dimensi assurance. Demikian seterusnya, sehingga akan dijumpai banyak komponen di dalam masing-masing dimensi tersebut. Tentunya di tempat pelayanan kesehatan yang berbeda, meskipun dalam dimensi yang sama, namun akan ditemukan komponen yang berbeda-beda. Sebagai contoh, dimensi tangible di puskesmas tentu akan berbeda dengan di apotek. Agar jasa pelayanan kesehatan dinilai bermutu tinggi oleh pelanggan, maka kelima dimensi mutu jasa harus diperhatikan 3

secara berimbang. Ada kemungkinan lembaga pelayanan lebih memperhatikan dimensi emphaty tetapi kurang memperhatikan dimensi lain misalnya assurance. Yang lebih ekstrim adalah terlampau banyak mengeluarkan dana untuk membeli sarana dan prasana, sedangkan di sisi lain kompetensi petugas kesehatan tidak diperhatikan, padahal ini mungkin memakan biaya yang lebih sedikit. Pandangan lain tentang dimensi jasa, disampaikan oleh Brown et. al. (1998) bahwa ada 8 dimensi mutu khusus untuk jaminan mutu pelayanan kesehatan di negara yang sedang berkembang, yaitu: 1. Technical Competence (Kompetensi Teknis) 2. Access to Services (Akses/Keterjangkauan Terhadap Pelayanan) 3. Effectiveness (Efektifitas) 4. Interpersonal Relations (Hubungan Interpersonal) 5. Efficiency (Efisiensi) 6. Continuity (Kesinambungan) 7. Safety (Keamanan) 8. Amenities (Kenyamanan/Kenikmatan) 1. Dimensi Kompetensi Teknis Dimensi kompetensi teknis mencakup skill (keterampilan), capability (kapabilitas/kemampuan) dan actual performance (penampilan aktual) dari pemberi pelayanan, para manajer serta staf pendukung pelayanan kesehatan. Sebagai contoh, untuk memberikan pelayanan dengan kompetensi yang unggul secara teknis, tenaga kesehatan di desa harus memiliki keterampilan dan pengetahuan (kapabilitas) untuk menyelesaikan tugas spesifik dan untuk bertindak secara konsisten dan akurat (penampilan aktual). Kompetensi teknis berhubungan dengan seberapa baik pemberi pelayanan kesehatan memberikan pedoman praktis dan standar untuk dependability (keterpercayaan), accuracy (akurasi/ ketepatan), reliability (reliabilitas/keandalan), and consistency (konsistensi/keajegan). Dimensi ini relevan untuk semua pelayanan yang diberikan baik pelayanan klinik maupun non klinik. Bagi para pemberi pelayanan kesehatan, dimensi ini mencakup tindakan preventif, diagnosis, perawatan, dan konseling kesehatan. Kompetensi dalam manajemen kesehatan membutuhkan keterampilan mengenai supervisi, pelatihan, dan pemecahan masalah. Keterampilan yang harus dimiliki oleh staf pendukung tergantung kepada uraian tugas masing-masing. 4

Sebagai contoh, seorang staf di bagian rekam medik harus memiliki kompetensi teknis dalam bidang teknologi informasi (komputer). Kompetensi teknis juga berkaitan dengan sumbersumber material, misalnya sebuah mesin Sinar-X harus menghasilkan radiasi yang secara konsisten sesuai dengan standar yang berlaku. Rendahnya kompetensi teknis dapat menyebabkan pergeseran mulai dari penyimpangan minor dari prosedur standar hingga kesalahan mayor yang dapat menurunkan efektifitas atau meningkatkan resiko terhadap keamanan pasien. 2. Dimensi Akses Terhadap Pelayanan Akses atau keterjangkauan mengandung arti bahwa pelayanan tidak dibatasi oleh rintangan geografis, ekonomis, sosial, kultural (budaya), organisasional, atau bahasa. Keterjangkauan geografis dapat diukur dari jenis transportasi, jarak, waktu tempuh, dan rintangan-rintangan fisik lain yang dapat diatasi oleh klien. Keterjangkauan ekonomi berkaitan dengan affordability (kemampuan) membayar produk dan pelayanan yang diberikan. Keterjangkauan sosial dan kultural berhubungan dengan tingkat penerimaan atau penolakan terhadap pelayanan kesehatan. Hal ini terkait dengan nilai budaya, kepercayaan, dan sikap konsumen. Sebagai contoh, pelayanan keluarga berencana mungkin tidak diterima jika terdapat hal-hal yang tidak selaras dengan kebudayaan setempat. Keterjangkauan organisasional berkaitan dengan bagaimana pelayanan kesehatan diorganisir dengan baik agar memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi konsumen. Contoh yang terkait dengan keterjangkauan organisasional antara lain tanggapan terhadap isu-isu appoinment system (sistem penjanjian), waktu tunggu dan sebagainya. Keterjangkauan bahasa mengandung arti bahwa pelayanan dapat diterima oleh bahasa atau dialek lokal. Dengan demikian pihak pemberi pelayanan kesehatan harus mampu memberikan pelayanan dengan bahasa yang mudah diterima oleh masyarakat lokal sebagai konsumen. Sebagai contoh, Puskesmas di daerah Madura seyogyanya memiliki sumber daya manusia yang mampu memberikan pepelayanan dengan bahasa yang mudah diterima oleh masyarakat lokal yaitu Bahasa Madura. 5

3. Dimensi Efektifitas Mutu pelayanan kesehatan tergantung kepada efektifitas service delivery norms (aturan pemberian pelayanan) dan clinical guidelines (panduan klinik). Untuk dapat mengkaji dimensi efektifitas, kita harus menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah prosedur atau penanganan, ketika sudah dilakukan dengan benar, memberikan hasil sesuai dengan keinginan? Apakah penanganan yang direkomendasikan adalah penanganan yang kebanyakan tepat secara teknologis untuk setting yang diberikan? Efektifitas adalah dimensi penting dari mutu pada tingkat sentral di mana aturan dan spesifikasi didefinisikan. Isu-isu efektifitas seharusnya juga dipertimbangkan pada tingkat lokal, yaitu tempat manajer memutuskan bagaimana cara melaksanakan aturan dan bagaimana menyesuaikan aturan tersebut pada kondisi lokal. Strategi yang perlu dijalankan untuk menjamin efektifitas adalah potensi kerugian akibat prosedur harus dibandingkan dengan potensi keuntungan dari prosedur tersebut. 4. Dimensi Hubungan Interpersonal Dimensi hubungan interpersonal berkaitan dengan interaksi antara pemberi pelayanan kesehatan dengan klien, manajer dengan pemberi pelayanan kesehatan, dan tim kesehatan dengan masyarakat. Hubungan interpersonal yang baik menumbuhkan kepercayaan dan kredibilitas yang diperoleh melalui sikap hormat, confidentiality (kerahasiaan), courtesy (kesopanan), responsiveness (daya tanggap) dan empathy. Komunikasi dan mendengar efektif juga merupakan hal penting. Hubungan interpersonal berkontribusi terhadap efektifitas konseling kesehatan dan untuk mendapatkan raport positif dari pasien. Hubungan interpersonal yang inadekuat dapat mengurangi efektifitas pelayanan yang kompeten secara teknis. 5. Dimensi Efisiensi Efisiensi pelayanan kesehatan adalah dimensi penting dari mutu karena: 1) efisiensi mempengaruhi afordabilitas (kemampuan) membayar produk dan pelayanan, 2) sumber-sumber pelayanan kesehatan biasanya terbatas. Pelayanan kesehatan yang efisien lebih cenderung memberikan pelayanan yang optimal, ketimbang pelayanan yang maksimal bagi pasien dan masyarakat. Efisiensi memberikan keuntungan paling besar dengan sumberdaya yang 6

tersedia. Efisiensi adalah memberikan pelayanan yang tepat atau sesuai dengan kebutuhan. Perawatan yang kurang bermutu akibat dari aturan-aturan yang tidak efektif atau pelayanan yang tidak tepat seharusnya dapat diminimalisir atau dihilangkan. Dengan cara ini, mutu dapat ditingkatkan sekaligus menghemat biaya. Perawatan yang ceroboh dapat memberikan dampak negatif antara lain: 1) menimbulkan atau meningkatkan resiko bagi pasien, 2) membuat pasien menjadi tidak nyaman, 3) pelayanan menjadi lebih mahal, 4) ketidaktepatan masa penanganan. Melalui analisis efisiensi, manajer program kesehatan dapat memilih intervensi yang paling efektif dengan mempertimbangkan biaya. 6. Dimensi Kesinambungan Kesinambungan mengandung arti bahwa klien menerima pelayanan kesehatan (diagnosis maupun perawatan) dalam rentang waktu yang lengkap sesuai dengan kebutuhan, tanpa interupsi, cessation (istirahat), atau pengulangan yang tak diperlukan. Klien harus bisa menjangkau pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang telah mengetahui riwayat kesehatan mereka. Klien juga harus dapat menjangkau pelayanan spesialis dan juga folow up (pemantauan) sampai komplit. Kontinuitas kadang-kadang dapat dicapai dengan menjamin bahwa klien selalu mendapati pemberi pepelayanan kesehatan primer yang sama; dalam situasi lain, kontinuitas tercapai dengan menjaga akurasi rekam medik, sehingga pemberi pelayanan yang baru akan mengetahui riwayat kesehatan klien sehingga dapat meneruskan dan melengkapi diagnosis dan perawatan yang diberikan oleh pemberi pelayanan sebelumnya. Tak adanya kontinuitas dapat mengganggu efektifitas, menurunkan efisiensi dan mengurangi mutu hubungan interpersonal. 7. Dimensi Keamanan Keamanan berarti menurunkan resiko injuri, infeksi, serta efek samping atau bahaya lain yang berhubungan dengan pemberian pelayanan. Di samping keamaan klien, keamanan pemberi pelayanan juga tak kalah pentingnya. Sebagai contoh, keamanan adalah dimensi mutu yang penting untuk transfusi darah, khususnya sejak ditemukannya AIDS. Pasien harus dilindungi 7

dari infeksi, dan tenaga kesehatan yang memegang darah dan jarum suntik harus terlindungi melalui prosedur yang aman. Isuisu yang terkait dengan transfusi darah di antaranya mempertahankan kondisi aseptik dan menggunakan teknik yang tepat dalam memberikan transfusi darah. Ruang-ruang tunggu di pusat pelayanan kesehatan juga dapat menjadi tempat penularan infeksi antar pasien jika upaya penurunan resiko tidak dilakukan. Contoh lain adalah, jika tenaga kesehatan tidak memberikan petunjuk yang benar tentang pembuatan larutan rehidrasi oral, mungkin seorang ibu akan memberikan larutan dengan konsentrasi garam yang terlalu tinggi yang dapat membahayakan anaknya. 8. Dimensi Kenyamanan Kenyamanan adalah fitur pelayanan kesehatan yang tidak secara langsung berhubungan dengan efektifitas klinik, tetapi dapat menimbulkan kepuasan klien dan hasrat untuk kembali memanfaatkan pelayanan kesehatan tersebut jika sedang membutuhkan. Kenyamanan juga penting karena dapat mempengaruhi harapan klien dan kepercayaan terhadap aspek lain dari pelayanan kesehatan. Kenyamanan berhubungan dengan penampilan fisikal dari fasilitas, personil, dan material; seperti kenyamanan lingkungan, kebersihan dan privasi yang selalu terjaga dan lain-lain. Unsur kenyamanan yang lain adalah fitur yang membuat orang bisa menunggu dengan rasa nyaman, seperti adanya suara musik, video pendidikan dan rekreasi, serta bahan-bahan yang dapat dibaca. 8

Bab 2 KEPUASAN PELANGGAN SEBAGAI INDIKATOR MUTU PELAYANAN KESEHATAN A. Pengukuran Mutu Pelayanan Kesehatan Pengukuran mutu pelayanan kesehatan lebih kompleks dibandingkan dengan penilaian mutu barang. Ketika membeli barang, banyak unsur wujud (tangible) yang dapat digunakan oleh pelanggan untuk menilai mutu barang tersebut antara lain: tekstur, warna, bentuk dan sebagainya. Berbeda halnya jika kita membeli jasa. Ketika membeli jasa pelayanan perawatan di rumah sakit misalnya, hanya sedikit dimensi tangible yang dapat digunakan oleh pelanggan untuk menilai mutu pelayanan. Biasanya yang terlihat adalah fasilitas fisik, peralatan dan personil pemberi pelayanan itu sendiri. Sedangkan yang lebih banyak adalah dimensi intangible yang umumnya lebih sulit untuk dinilai, misalnya: keramahan, tanggung jawab dan sebagainya. Karakteristik-karakteristik yang ada pada pelayanan jasa membuat para peneliti mengalami kesulitan untuk menentukan apa saja yang menjadi determinan (penentu) mutu jasa. Menurut Tjiptono (2006), mutu jasa dapat diukur dengan beraneka ragam cara, meskipun sulit untuk dilaksanakan. Langkah pertama dalam setiap program penilaian mutu adalah menentukan apa yang hendak diukur. Ini dilakukan karena efisiensi pengukuran hanya dapat diperoleh jika telah dipahami terlebih dahulu apa yang akan diukur. Setelah itu barulah ditanyakan bagaimanakah cara mengukurnya. Dalam hal ini, setiap perusahaan jasa tentu memiliki pandangan sendiri-sendiri tentang hal-hal apakah yang akan diukur. Ada beberapa ahli yang mengemukakan dimensi mutu jasa yang hendak diukur dari aspek output, proses dan citra perusahaan (result and process oriented). Pertama adalah Lehtinen dan Lehtinen (1982) dalam Tjiptono (2006) mengemukakan bahwa ada dua dimensi mutu jasa yakni: 1. Process quality (mutu proses). Mutu proses dinilai oleh pelanggan selama jasa tersebut diberikan kepada mereka. 2. Output quality (mutu hasil) 9

Mutu hasil dinilai oleh pelanggan setelah jasa tersebut diberikan kepada mereka. Dari sudut pandang lain, mereka juga mengemukakan tiga dimensi mutu jasa yaitu: 1. Physical quality (mutu fisik) Mutu fisik berkaitan dengan produk dan pendukungnya. 2. Interactive quality (mutu interaktif) Mutu interaktif berkaitan dengan interaksi atau hubungan antara pelanggan dengan perusahaan jasa. 3. Corporate quality (mutu perusahaan) Mutu perusahaan berhubungan dengan citra perusahaan di mata pelanggan. Sementara itu Gronroos (1983) dalam Tjiptono (2006) mengemukakan tiga dimensi mutu jasa yaitu: 1. Technical quality (mutu teknis) Mutu teknis berhubungan dengan apa yang diterima oleh pelanggan. 2. Functional quality (mutu fungsional) Mutu fungsional dengan bagaimana cara jasa tersebut diberikan kepada pelanggan. 3. Corporate quality (mutu perusahaan) Mutu perusahaan berkaitan dengan citra perusahaan itu sendiri. Selain result and process oriented sebagaimana dijelaskan di atas, ada pula yang memandang mutu jasa dari aspek sumbersumber mutunya saja (customer and process oriented). Dalam hal ini, Gummesson (1987) dalam Tjiptono (2006) menyatakan bahwa ada empat sumber mutu yang menjadi penentu mutu jasa, yaitu: 1. Design quality (mutu rancangan) Mutu rancangan mengandung arti bahwa mutu jasa ditentukan pada saat pertama kali jasa dirancang untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. 2. Production quality (mutu produksi) Mutu produksi mengandung arti bahwa mutu jasa ditentukan oleh kerjasama departemen manufaktur dan departemen pemasaran. 3. Delivery quality (mutu pemberian jasa) Mutu pemberian jasa mengandung arti bahwa mutu jasa ditentukan oleh janji perusahaan kepada pelanggan. 4. Relationship quality (mutu hubungan) 10

Mutu hubungan mengandung arti bahwa mutu jasa ditentukan oleh hubungan profesional dan hubungan sosial antara perusahaan dengan stakeholder (pelanggan, pemasok, agen, dan pemerintah, serta karyawan perusahaan). Selain semua penjelasan di atas, sesungguhnya masih banyak aneka paparan mengenai dimensi mutu jasa yang hendak diukur, tetapi yang jelas untuk mutu jasa secara umum, yang sering digunakan adalah dimensi mutu jasa menurut Parasuraman, Zeithaml & Berry (1988) yaitu tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan empathy. Kelima dimensi ini telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Karena pembahasan di dalam buku ini lebih diarahkan pada mutu jasa pelayanan kesehatan, maka dalam pengukuran mutu, bagus pula jika menggunakan dimensi mutu jasa yang secara khusus terfokus pada pelayanan kesehatan, misalnya delapan dimensi menurut Brown et. el. (1998) yaitu technical competence, access to services, effectiveness, interpersonal relations, efficiency, continuity, safety, dan amenities, sebagaimana telah dijelaskan pula pada bab sebelumnya. Mengukur mutu jasa adalah membandingkan kinerja jasa dengan seperangkat standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Perbandingan antara standar dan kinerja tersebut dapat memanfaatkan formula-formula sebagai berikut: Skor Mutu Jasa Skor Kinerja Skor Mutu Jasa Skor Kinerja Skor Harapan Skor Mutu Jasa Skor Tingkat Kepentingan Skor Kinerja Skor Mutu Jasa Skor Tingkat Kepentingan Skor Kinerja Skor Harapan 11

Berdasarkan empat formula di atas, standar dan kinerja jasa diukur menurut sudut pandang pelanggan. Bila yang menjadi standar adalah harapan, maka harapan tersebut adalah harapan yang dikemukakan oleh pelanggan. Jika yang menjadi standar adalah tingkat kepentingan, maka tingkat kepentingan adalah derajat pentingnya unsur-unsur jasa menurut pelanggan. Sebagaimana halnya standar (harapan dan tingkat kepentingan), kinerja dari jasa yang diberikan juga dinilai oleh pelanggan. Karena yang hendak memanfaatkan jasa adalah pelanggan, maka mereka diberi kesempatan membuat standar yaitu menentukan tingkat kepentingan maupun harapan terhadap jasa yang hendak mereka terima tersebut. Setelah itu, mereka diberi kesempatan untuk menilai atau melakukan evaluasi terhadap kinerja dari jasa tersebut. Mestinya pelanggan akan puas jika ternyata kinerja dari jasa tersebut dapat menyamai tingkat kepentingan atau harapan mereka. Jika kinerja dari jasa bisa melebihi harapan mereka, berarti pelanggan merasa sangat puas. Sebaliknya jika kinerja dari jasa tidak memenuhi harapan pelanggan, maka pelanggan akan kecewa atau tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan. Jika pelanggan merasa sangat puas, mereka akan mengatakan bahwa jasa yang diberikan bermutu sangat tinggi. Sebaliknya, jika mereka merasa tidak puas, mereka akan mengatakan bahwa jasa yang diberikan bermutu rendah. Berarti, semakin tinggi tingkat kepuasan pelanggan, maka semakin tinggi mutu jasa yang diberikan, sebaliknya semakin rendah tingkat kepuasan pelanggan, maka semakin rendah mutu jasa yang diberikan. Maka dapat dikatakan bahwa mutu jasa menurut persepsi pelanggan identik kepuasan pelanggan itu sendiri. Jadi tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa mutu jasa (termasuk jasa pelayanan kesehatan) ditentukan melalui pengukuran tingkat kepuasan pelanggan. Banyak ahli yang menyatakan bahwa dalam pengukuran mutu produk jasa ataupun barang, yang terpenting adalah mutu menurut persepsi pelanggan (kepuasan). Mengapa demikian? Selengkap apapun fasilitas yang dimiliki oleh penyedia jasa kesehatan, setinggi apapun tingkat pendidikan para karyawan, secanggih apapun peralatan kedokteran yang dimiliki, jika para pelanggan mengatakan Saya tidak puas, maka penyedia jasa pelayanan kesehatan tersebut tidak bermutu. Jadi yang menjadi realita dalam hal ini bukanlah tersedianya fasilitas yang lengkap, para karyawan yang berpendidikan tinggi atau kecanggihan 12

peralatan yang dimiliki, meskipun tampaknya secara obyektif komponen-komponen tersebut benar-benar ada. Yang menjadi realita yang sesungguhnya justru persepsi pelanggan. Perusahaan pelayanan jasa berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki produknya adalah semata-mata untuk dipersembahkan kepada pelanggan. Lalu apa gunanya jika usaha tersebut tidak didasarkan atas harapan atau tingkat kepentingan yang ditentukan oleh pelanggan? Apakah para pengelola langsung mengetahui bahwa pelanggan ingin dilayani dengan sarana dan prasarana lengkap, tenaga kesehatan berpendidikan tinggi atau peralatan medis yang canggih? Belum tentu. Para pengelola tidak mengetahui apa yang dipikirkan oleh pelanggan. Maka, idealnya harus dilakukan survei terlebih dahulu, sehingga bisa diketahui apa saja harapan pelanggan saat ini. Mungkin saja benar bahwa pelanggan ingin dilayani dengan sarana dan prasarana yang lengkap, namun bisa juga tidak benar. Mungkin saja pelanggan hanya ingin dilayani dengan ramah dan simpatik, sedangkan kelengkapan sarana dan prasarana tidak menjadi prioritas bagi mereka. B. Pentingnya Kepuasan Pelanggan Menurut Simamora (2001), pelanggan yang puas akan bercerita kepada dua orang lainnya mengenai kepuasannya, sedangkan konsumen yang kecewa akan bercerita kepada sepuluh orang lainnya tentang kekecewaannya. Orang sangat tanggap terhadap kekecewaan orang lain. Sebagai contoh, sangat besar pengaruh kekecewaan yang dimuat di dalam surat pembaca. Ribuan konsumen dan calon konsumen lainnya akan terpengaruh. Kalau kawan bercerita tentang keburukan merek yang dibelinya, maka Anda akan berpikir dua kali untuk membeli merek yang sama kecuali terpaksa, atau jika tidak yakin terhadap cerita kawan tersebut. Misalnya teman Anda berkata: Saya datang ke rumah sakit A karena nyeri sendi. Katanya buka jam tujuh pagi, ternyata jam delapan lebih baru dibuka, setelah dilayani ternyata saya masih harus pergi ke sana-sini, sehingga pelayanan menjadi lebih lama. Setelah mendengar keluhan teman Anda tersebut, Anda yang semula sudah bersiap-siap hendak berangkat ke rumah sakit A menjadi ragu-ragu. Jangan-jangan Saya akan mendapatkan pengalaman yang sama dengan teman saya. Lebih baik saya pergi ke rumah sakit lain saja. Dapat kita simpulkan bahwa institusi pelayanan kesehatan harus berusaha memuaskan pelanggan. Keluhan pelanggan yang 13

diceritakan (devil advocate) harus dihindari oleh penyedia jasa. Bahkan harus diusahakan sebaliknya, karena pelanggan dapat dijadikan pemasar tanpa biaya alias cuma-cuma atau gratis. Dalam dunia pemasaran lazim disebut word of mouth communication (komunikasi dari mulut ke mulut). Para pelanggan yang berada di dalam kelompok ini biasanya memiliki loyalitas yang sudah tidak perlu diragukan lagi. Aaker (1991) dalam Simamora (2001) menyebutnya sebagai comitted buyer, sedangkan Kotler (2000) dalam Simamora (2001) menyebutnya sebagai hardcore loyal. Mempertahankan para pelanggan yang loyal lebih berharga dibandingkan dengan mengejar pelanggan yang belum tentu loyal. Dalam era global yang penuh dengan persaingan, sangat penting memperhatikan kepuasan pelanggan. Penyedia jasa pelayanan kesehatan harus berusaha memuaskan pelanggan jika ingin tetap bisa bertahan. Memang pada dasarnya jasa pelayanan kesehatan, khususnya dari pemerintah memiliki orientasi sosial (bukan mencari keuntungan semata) atau disebut sebagai organisasi nirlaba. Namun dari waktu ke waktu, sebagian dari institusi pelayanan kesehatan ini juga harus mengarah kepada profit oriented (berorientasi kepada keuntungan), karena keuntungan inilah yang menjadi sumber dana bagi pengembangan institusi, yang pada akhirnya dimanfaatkan untuk peningkatan mutu pelayanan juga. Dengan demikian, institusi-institusi ini mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, juga harus terjun ke dalam dunia persaingan di era global. Meskipun kepuasan pelanggan sangat besar artinya untuk mempertahankan eksistensi dalam iklim persaingan era global, namun bukan berarti penyedia jasa pelayanan kesehatan yang bersifat nirlaba tidak perlu memperhatikan kepuasan pelanggan. Banyak kita dapati institusi pemberi jasa pelayanan kesehatan nirlaba yang sama sekali tidak mencari keuntungan material. Contoh yang banyak dikenal adalah Posyandu (Pos Pepelayanan Terpadu) baik yang melayani ibu dan anak maupun yang melayani masyarakat berusia lanjut. Selain itu ada pula Ponkesdes (Pondok Kesehatan Desa), Puskesmas dan Puskesmas Pembantu serta masih banyak lagi. Institusi-institusi nirlaba ini perlu juga memperhatikan kepuasan para pelanggan sebagai indikator mutu pelayanan kesehatan yang diberikan. Pelanggan harus bisa dipertahankan agar tetap loyal terhadap pelayanan nirlaba ini. Dengan demikian, pemerintah maupun pihak non pemerintah penyedia jasa kesehatan 14

nirlaba benar-benar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan tidak kalah dengan jasa yang berorientasi pada keuntungan. Kalau hal tersebut bisa diwujudkan, maka lapisan masyarakat bawah yang lebih banyak menggunakan pelayanan nirlaba ini diharapkan juga dapat menikmati pelayanan kesehatan yang bermutu. C. Langkah-Langkah Pengukuran Kepuasan Pelanggan Kotler (2008) menjelaskan bahwa puas atau tidak puasnya pembeli setelah melakukan pembelian (dalam hal ini produk berupa barang maupun jasa), tergantung kepada kinerja tawaran dalam pemenuhan harapan pembeli. Secara umum, kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan kinerja atau hasil produk yang dipikirkan terhadap kinerja atau hasil yang diharapkan. Jika kinerja berada di bawah harapan, maka pelanggan tidak puas. Jika kinerja melebih harapan, maka pelanggan amat puas atau senang. Bagaimana para pembeli membentuk harapan mereka? Dengan memerhatikan pengalaman pembelian mereka sebelumnya, nasehat teman serta kolega dan janji serta informasi para pemasar maupun pesaingnya, para pelanggan menaruh harapan terhadap penyedia produk. Sebagai contoh, jika para pemasar mempromosikan bahwa kondisi produk sangat baik padahal faktanya tidak sebaik itu, maka akan terbentuklah harapan pelanggan yang terlalu tinggi. Akibatnya, terjadilah kekecewaan para pelanggan ketika setelah membeli, mereka mendapatkan bahwa apa yang mereka peroleh ternyata tak tidak sesuai dengan harapan. Sebaliknya, jika pihak pemasar menciptakan harapan yang terlalu rendah, maka tidak akan ada yang tertarik menjadi pelanggan, meskipun jika ternyata benar-benar membeli mungkin saja akan terpuaskan. Menurut Kotler (1997) dalam Simamora (2001), terdapat empat metode pengukuran kepuasan pelanggan, yaitu: 1) sistem keluhan dan saran, 2) berpura-pura menjadi pembeli, 3) menganalisis pelanggan yang hilang, dan 4) survei kepuasan konsumen. 1. Sistem keluhan dan saran Setiap penyedia produk yang berorientasi kepada pelanggan harus memberi kesempatan seluas-luasnya kepada para pelanggan untuk menyampaikan saran, pendapat, dan keluhan 15

mereka. Pendapat dapat disampaikan melalui berbagai media misalnya kotak saran yang diletakkan pada tempat-tempat strategis, menyediakan kartu komentar, menyediakan saluran telepon khusus atau nomor khusus untuk SMS pelanggan, dan lain-lain. Informasi yang diperoleh dari pelanggan dapat menjadi sumber ide-ide baru dan masukan yang berharga bagi institusi supaya dapat memberikan respon secara cepat dan tanggap terhadap setiap masalah yang timbul. Kelemahan dari metode ini adalah bersifat pasif, sehingga sulit untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan. Tidak semua pelanggan yang tidak puas akan menyampaikan keluhan. Bisa saja mereka langsung beralih kepada penyedia produk lainnya, tanpa mengeluh atau memberitahu kekurangan-kekurangan yang membuat mereka kecewa. Upaya untuk mendapatkan saran, khususnya saran yang bermutu, juga sulit dilakukan dengan metode ini. Apalagi jika tidak diberikan imbal balik yang memadai kepada para pelanggan yang telah memberikan ide yang bermanfaat bagi institusi penyedia produk. 2. Berpura-pura menjadi pembeli Metode ini lazim disebut sebagai ghost shopping. Melalui metode ini penyedia produk (barang maupun jasa) mempekerjakan beberapa orang yang selanjutnya disebut sebagai ghost shopper yang harus berpura-pura menjadi pelanggan potensial untuk produk dari institusi tersebut dan juga produk dari institusi pesaing. Selanjutnya para ghost shopper menyampaikan temuan mereka tentang kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan produk institusi dan pesaing. Mereka juga dapat membandingkan cara menjawab pertanyaan pelanggan dan cara menangani setiap keluhan pelanggan. Jika para manajer bersedia menjadi ghost shopper, maka akan didapatkan hasil yang lebih baik. Dengan cara ini mereka dapat mengetahui secara langsung tentang bagaimana karyawan melakukan interaksi dengan pelanggan, juga perlakuan karyawan terhadap para pelanggan. Yang menjadi hambatan adalah apakah manajer benar-benar bisa menjadi ghost bagi karyawan. Jika karyawan mengetahui bahwa pelanggan tersebut adalah manajer atau atasan mereka yang sedang berpura-pura, maka dapat saja mereka merubah perilakunya seratus delapan puluh derajat, yang semula berperilaku semau gue terhadap 16