Gambar 2. Denah Lokasi Pemeliharaan

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS HARGA POKOK PRODUKSI TELUR PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) YANG DIBERI SUPLEMEN OMEGA-3 SKRIPSI ANDIKA WIDHI JIWANDONO

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Puyuh (Coturnix-coturnix japonica)

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Materi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Frekuensi dan Awal Pemberian Pakan terhadap

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap dalam ransum

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam jangka waktu tertentu. Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh tingkat

MATERI DAN METODE. Tabel 3. Komposisi Nutrisi Ransum Komersial.

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16

PENDAHULUAN. mempunyai potensi yang cukup besar sebagai penghasil telur karena

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh

MATERI DAN METODE. Materi

BAB III METODE PENELITIAN. Ayam Pedaging dan Konversi Pakan ini merupakan penelitian penelitian. ransum yang digunakan yaitu 0%, 10%, 15% dan 20%.

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. tetas dan ruang penyimpanan telur. Terdapat 4 buah mesin tetas konvensional dengan

MATERI DAN METODE. Materi

BAB III METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian Zat Makanan Jumlah (%)

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan September - Desember 2015 di

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Limbah Ikan Bandeng (Chanos

I. TINJAUAN PUSTAKA. memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat, konversi

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Kandang Peralatan dan Perlengkapan Pakan dan Air Minum

MATERI DAN METODE. Materi

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang dijadikan objek percobaan adalah puyuh betina yang

PENDAHULUAN. komoditas utamanya adalah telur. Jenis puyuh peteur ini mayoritas diternakan di

I. PENDAHULUAN. dan diusahakan sebagai usaha sampingan maupun usaha peternakan. Puyuh

BAB III METODE PENELITIAN. selatan kota Gorontalo. Penelitian berlangsung selama dua bulan mulai dari bulan

MATERI DAN METODE. Materi

III. MATERI DAN METODE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler merupakan ayam yang berasal dari hasil genetik yang

VII. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat. Materi

PENDAHULUAN. Puyuh petelur Jepang (Coturnix coturnix japonica) merupakan penyedia telur

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Peternakan puyuh merupakan suatu kegiatan usaha di bidang budidaya

MATERI DAN METODE. Materi

Penyiapan Mesin Tetas

BAB III METODE PENELITIAN. yang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai pengaruh frekuensi dan periode pemberian pakan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang dihadapi di negara berkembang dalam. meningkatkan kualitas sumber daya manusianya adalah pada pemenuhan

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI TELUR BURUNG PUYUH

BAB III MATERI DAN METODE. protein berbeda pada ayam lokal persilangan selama 2 10 minggu dilaksanakan

I. PENDAHULUAN. Protein hewani memegang peran penting bagi pemenuhan gizi masyarakat. Untuk

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

MATERI DAN METODE. Materi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Puyuh

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kunyit dan Jahe Dalam

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada 20 Desember Januari 2015 di kandang

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan dalam penelitian adalah ayam kampung jenis sentul

KOMBINASI AZOLLA MICROPHYLLA DENGAN DEDAK PADI SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BAHAN PAKAN LOKAL AYAM PEDAGING

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap sebagai subsitusi

BAB III MATERI DAN METODE. Februari 2017 di kandang, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas

STUDI TEKNOLOGI PAKAN PADA USAHA TERNAK PUYUH PETELUR

HASIL DAN PEMBAHASAN. Puyuh mengkonsumsi ransum guna memenuhi kebutuhan zat-zat untuk

MATERI DAN METODE. Sumber : Label Pakan BR-611 PT. Charoen Pokphand Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III MATERI DAN METODE. berbeda terhadap tingkah laku burung puyuh petelur, dilaksanakan pada bulan

BAB I PENDAHULUAN. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan gizi hewani membuat

MATERI DAN METODE. Materi

Budidaya dan Pakan Ayam Buras. Oleh : Supriadi Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau.

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Penggunaan Tepung Daun Mengkudu (Morinda

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. ayam yang umumnya dikenal dikalangan peternak, yaitu ayam tipe ringan

I. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap

TINJAUAN PUSTAKA. Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler merupakan ayam penghasil daging dalam jumlah yang

METODE PENELITIAN. Materi

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. hari (DOC) sebanyak 38 ekor. Ayam dipelihara secara semiorganik sampai umur

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 minggu dari 02 April--23 April 2014, di

Sumber : 1) Hartadi et al. (2005)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Sektor peternakan sangat penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Sumber daya

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Coturnix coturnix japonica yang mendapat perhatian dari para ahli. Menurut

MATERI DAN METODE. Materi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret Juni 2016.Lokasi penelitian di

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. hidup sampai penelitian berakhir adalah 13 ekor jantan dan 10 ekor betina Itik

BAB III METODE PENELITIAN. energi metabolis dilakukan pada bulan Juli Agustus 2012 di Laboratorium Ilmu

KAJIAN KEPUSTAKAAN. japanese quail (Coturnix-coturnix Japonica) mulai masuk ke Amerika. Namun,

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas ayam buras salah satunya dapat dilakukan melalui perbaikan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kelinci lokal dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Suhu Kandang Selama Lima Minggu Penelitian Pengukuran Suhu ( o C) Pagi Siang Sore 28-32

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. adalah Day Old Duck (DOD) hasil pembibitan generasi ke-3 sebanyak 9 ekor itik

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Usaha peternakan ayam saat ini cukup berkembang pesat. Peredaran daging ayam cukup besar di pasaran sehingga menyebabkan

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

TINJAUAN PUSTAKA. Subphylum : Vertebrata. : Galiformes

BAB III METODE PENELITIAN. konversi pakan ayam arab (Gallus turcicus) ini bersifat eksperimental dengan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Blok B Unit Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang terletak di Jl. Kayu Manis, RT 05 RW 10 Desa Babakan, Dramaga, Bogor. Lokasi yang digunakan memiliki akses yang cukup jauh dari jalan raya, sehingga tingkat kebisingan serta polusi dari asap kendaraan yang akan berpengaruh pada udara dan air dapat diminimalkan. Kandang yang digunakan tidak berdekatan dengan pemukiman penduduk, sehingga tidak terjadi penyebaran polusi udara yang ditimbulkan dari aktivitas di lokasi kandang. Suprijatna (2005) menyatakan bahwa jarak kandang dengan pemukiman penduduk dan jalan raya harus diperhatikan untuk mencegah adanya polusi udara, mencegah penyebaran penyakit dan bau ternak ke penduduk, serta meminimalkan polusi suara dari kendaraan di jalan raya. Denah lokasi pemeliharaan dengan dua skala perbesaran dengan tanda lingkaran berwarna merah dapat dilihat pada Gambar 2. Sumber: http://maps.google.com/institutpertanianbogor Gambar 2. Denah Lokasi Pemeliharaan Keadaan di sekitar kandang yang digunakan untuk penelitian memiliki kondisi nyaman dan sejuk dengan masih adanya pepohonan dan rerumputan yang masih mendominasi area kosong di sekitar kandang. Kandang yang digunakan merupakan kandang postal seluas 8 m 2. Kandang postal ini digunakan sebagai tempat untuk meletakkan dua kandang puyuh jenis battery. Penggunaan kandang postal ini bertujuan menghindari ancaman predator di sekitar kandang seperti kucing liar. Kandang postal yang digunakan dilengkapi dengan kawat kasa besi pada bagian tembok dan bagian bawah atap, sehingga predator seperti kucing liar tidak dapat

masuk ke dalam kandang. Kondisi seperti ini juga bertujuan untuk menjaga aliran udara tetap nyaman di dalam kandang tersebut. Kandang battery yang merupakan kandang utama puyuh diletakkan di dalam satu ruangan kandang postal, sedangkan ruangan lainnya digunakan untuk meletakkan pakan, telur, timbangan, dan alat kebersihan kandang. Kandang utama puyuh jenis battery terbuat dari kayu dan kawat kasa dengan desain bertingkat lima dan masing-masing lantai disekat dua. Alas setiap lantai adalah kawat kasa dengan kemiringan sekitar 5 o yang bertujuan untuk memudahkan dalam pengambilan telur puyuh. Keamanan keseluruhan lingkungan kandang penelitian ini terjamin dari ancaman pencurian dengan adanya penjagaan 24 jam dari petugas keamanan kampus. Keseluruhan infrastruktur lokasi perkandangan ini cukup baik dengan adanya instalasi air yang lancar, instalasi listrik yang sudah terpasang, dan akses ke kandang yang mudah dijangkau. Terdapat juga dua bangunan rumah yang merupakan tempat tinggal dari penanggung jawab lokasi kandang penelitian ini, serta tiga mess yang diperuntukkan bagi pegawai dan teknisi kandang, sehingga manajemen pemeliharaan dapat selalu dikontrol. Keseluruhan keadaan umum baik dari manajemen perkandangan, infrastruktur, dan keamanan merupakan hal yang harus diperhatikan untuk mencapai produktivitas telur puyuh yang optimal. Manajemen Budidaya Puyuh Manajemen budidaya merupakan semua proses kegiatan produksi yang dilakukan untuk memproduksi hasil-hasil ternak sesuai dengan tujuannya. Puyuh (Coturnix-coturnix japonica) memiliki beberapa keunggulan sebagai ternak. Puyuh betina dapat mulai menghasilkan telur pada umur 40 hari, dalam satu tahun seekor puyuh betina mampu menghasilkan 250-300 butir telur dengan berat rata-rata 10 gram per butir, tidak memerlukan investasi lahan dan kandang yang besar, kandungan gizi pada telur yang cukup tinggi, toleran terhadap pakan serat kasar tinggi dibandingkan dengan ayam ras, dan mampu dikembangkan dengan skala usaha yang beragam (Permentan, 2008). Proses manajemen pemeliharaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut 1) persiapan kandang, 2) pemberian pakan dengan tambahan suplemen omega-3 dan air minum, 3) pengambilan telur dan penimbangan, 4) penyimpanan dan pengemasan, dan

5) distribusi. Proses ini dilakukan untuk memaksimalkan produksi dalam budidaya puyuh. Persiapan Kandang Proses pemeliharaan puyuh diawali dengan persiapan kandang yang terdiri dari dua kandang, yaitu kandang postal dan kandang battery. Pembersihan awal pada kandang postal dilakukan dengan membersihkan seluruh lantai kandang dari kotoran dengan sapu lidi, kemudian disikat dengan air biasa yang dicampur dengan cairan pembersih lantai dan dikeringkan. Pembersihan berikutnya dilakukan pengapuran ke seluruh lantai dan tembok kandang yang terjangkau dengan campuran air dengan bubuk kapur, kemudian dibiarkan mengering selama satu hari. Kandang battery terbuat dari kayu dan kawat ram dengan alas masing-masing lantai tingkat terbuat dari kawat ram. Tempat penampungan kotoran diletakkan di bawah lantai. Hal ini bertujuan untuk memudahkan dalam menjaga kebersihan sekitar kandang dan mencegah kotoran puyuh jatuh pada puyuh yang berada di lantai bawah (Listiyowati dan Roospitasari, 2005). Kandang battery berjumlah dua blok dengan masing-masing 5 tingkat dimodifikasi terlebih dahulu. Modifikasi dilakukan dengan memberi sekat papan pada masing-masing tingkat. Kapasitas kandang 300 ekor per dua blok kandang battery. Kedua kandang battery yang sudah dibersihkan dimasukkan ke dalam kandang postal dan diletakkan berdekatan. Pemberian lampu pijar diletakkan di antara kedua kandang battery sebagai penerangan ketika malam hari, sehingga puyuh dapat tetap makan pada malam hari. Gordon (1994) menyatakan bahwa pemberian cahaya pada unggas ditujukan agar unggas mendapatkan kesempatan untuk makan, minum serta aktivitas lainnya, selain itu cahaya juga penting dalam proses reproduksi. Pemberian Pakan dengan Tambahan Suplemen Omega-3 dan Air Minum Pemberian pakan dibatasi sebanyak 20 g/ ekor/ hari dengan frekuensi pemberian satu kali dalam sehari pada pukul 08.00 WIB. Pakan yang digunakan adalah ransum puyuh komersial dengan kode P0023652 untuk puyuh berumur mulai 5 minggu dengan kadar protein 20% yang berupa butiran komplit atau crumble. Prosedur pemberian pakan dalam penelitian ini diberikan tambahan suplemen omega-3 yang dicampur dengan pakan. Suplemen omega-3 yang digunakan

merupakan limbah dari pengalengan ikan Lemuru (Sardinella longiceps) dengan filler ampas tahu yang telah difermentasi (Komari, 1996). Tambahan suplemen omega-3 diberikan dengan taraf masing-masing 0% (P 1); 1,5% (P 2); 3% (P 3); 4,5% (P 4); dan 6% (P 5) dari total berat pakan pada masing-masing perlakuan. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Suripta dan Astuti (2007), menggunakan perlakuan berupa campuran minyak sawit dan minyak Lemuru dengan komposisi yang diberikan pada puyuh berumur 10 minggu. Komposisi penggunaan khusus untuk minyak Lemuru pada penelitian terdahulu adalah 0, 2, 4, 6, dan 8% dari total pakan yang diberikan, namun pengolahan minyak Lemuru sebagai perlakuan ini tidak dijelaskan. Hasil penelitian mengenai analisis kandungan kadar omega-3 pada telur puyuh, mengalami peningkatan dari 0,0044% (kontrol) menjadi 1,703% pada perlakuan 8%. Pemberian air minum pada penelitian ini disesuaikan dengan kapasitas wadah minum yang digunakan. Wadah air minum yang digunakan tidak cukup besar dan sangat sederhana, sehingga pemberian air minum harus dilakukan terus menerus agar puyuh tidak kekurangan air minum. Pemberian vitamin pada air minum hanya dilakukan pada awal pemeliharaan sebelum perlakuan diberikan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi stres dan merangsang produksi telur, namun tidak dilanjutkan pada minggu berikutnya. Pengambilan Telur dan Penimbangan Prosedur pengambilan telur pada pemeliharaan ini dilakukan satu kali dalam sehari setiap pukul 17.00 WIB. Periode pengambilan telur ini dilakukan untuk mencegah puyuh menjadi stres akibat terlalu sering terdapat aktivitas manusia di dalam kandang. Waktu pengambilan telur disesuaikan pada keadaan ketika puyuh menghasilkan telur terbanyak per harinya, yaitu sore hari. Menurut Rasyaf (1991), sebanyak 75% puyuh Jepang (Coturnix-coturnix japonica) bertelur pada pukul 15.00 sampai 18.00 WIB. Telur yang sudah diambil langsung dilakukan penimbangan sesuai dengan kelompok perlakuan dan ulangannya dengan menggunakan timbangan digital O-Hause. Penimbangan ini bertujuan untuk mendapatkan data berat telur per butir pada masing-masing perlakuan yang berbeda. Telur disimpan sesuai dengan

klasifikasi berat per perlakuannya dan diletakkan sementara pada egg tray khusus telur puyuh. Penyimpanan dan Pengemasan Standar penyimpanan telur puyuh menurut Permentan (2008) adalah tempat penampungan yang sejuk, tidak lembab dan terlindung dari predator, serta tidak berdekatan langsung dengan kandang pemeliharaan. Hal ini dapat meminimalkan produk telur yang cepat rusak akibat lokasi penyimpanan yang tidak sesuai standar. Telur puyuh pada penelitian ini masih diletakkan di ruangan sebelah kandang pemeliharaan, namun tidak berhubungan langsung dengan kandang pemeliharaan. Pengemasan telur pada penelitian ini dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar, yaitu penjualan dengan isi 20 butir telur puyuh per kemasan. Kemasan yang digunakan adalah plastik mika berukuran kecil. Penggunaan label juga diberikan pada kemasan untuk memberikan informasi mengenai produk dan tempat produksinya. Distribusi Distribusi dilakukan setelah adanya pengemasan produk dan disesuaikan dengan permintaan pasar. Distribusi produk telur puyuh menurut Elvira et al. (1994), yaitu distribusi panjang (1), distribusi menengah (2), dan distribusi pendek (3) seperti terlihat pada Gambar 1. Pengecer Peternak Grosir Pengecer Konsumen (2) (1) (3) Gambar 3. Rantai Distribusi Telur Puyuh di Kota Bogor (Elvira et al., 1994) Distribusi telur puyuh hasil produksi pada penelitian ini dilakukan melalui rantai menengah dan pendek ke dua pasar yang berbeda, yaitu pengumpul atau pengecer khusus telur puyuh dan langsung ke konsumen. Distribusi dilakukan menggunakan kendaraan bermotor dengan frekuensi dua kali setiap minggu.

Penggunaan Input Produksi Input produksi yang digunakan dalam penelitian budidaya puyuh ini terdiri dari input produksi tetap dan input produksi variabel. Menurut Mulyadi (2009), input produksi tetap adalah input yang jumlahnya tidak berubah-ubah dan tidak terpengaruh oleh perubahan volume produksi. Input produksi variabel merupakan input yang penggunaannya akan berubah sesuai dengan perubahan volume produksi. Input Produksi Tetap Input produksi tetap yang digunakan selama pemeliharaan puyuh ini adalah pengadaan kandang dan timbangan O-Hause. Pengadaan kandang merupakan salah satu sarana dan modal tetap dalam budidaya puyuh. Tipe kandang yang digunakan dalam budidaya puyuh pada umumnya adalah tipe kandang battery. Kandang battery yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari peternakan puyuh di Sukabumi sebanyak dua buah blok kandang dengan harga beli sebesar Rp 500.000,00 per unit. Umur pemakaian kandang ini mencapai lima tahun. Kandang battery ini terdiri dari lima tingkat dan memiliki kapasitas 40 ekor per tingkat dengan luasan 0,5 m 2 tiap tingkatnya, namun kandang ini disesuaikan dengan metode penelitian yang digunakan, yaitu pemberian lima perlakuan dengan masingmasing empat ulangan. Metode ini membutuhkan 20 ruang dengan kapasitas per ulangan yaitu 15 ekor, sehingga pada setiap tingkat dibagi menjadi dua ruangan dengan sekat papan dengan luasan tiap perlakuan adalah 0,25 m 2. Berdasarkan Permentan (2008), kepadatan kandang dan daya tampung kandang untuk puyuh berumur di atas 4 minggu pada penelitian ini sudah ideal. Perlengkapan yang dibutuhkan di kandang adalah timbangan O-Hause. Timbangan ini dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan, seperti menimbang telur tiap perlakuan, menimbang suplemen omega-3 yang digunakan, dan menimbang bobot badan puyuh. Timbangan ini memiliki harga beli sebesar Rp 200.000,00 dengan umur pemakaian mencapai dua tahun. Input Produksi Variabel Input produksi variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari pengadaan puyuh umur 80 hari, penggunaan pakan, penggunaan suplemen omega-3,

biaya tenaga kerja, pengadaan egg tray, biaya kemasan dan label, dan biaya penggunaan penerangan. 1. Puyuh Umur 80 Hari Puyuh yang digunakan dalam penelitian ini merupakan puyuh petelur dengan spesies Coturnix-coturnix japonica yang didapatkan dari peternakan puyuh di Sukabumi. Harga puyuh saat itu Rp 4.000,00 per ekor. Puyuh ditimbang terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam kandang perlakuan. Bobot rata-rata puyuh yang digunakan dalam penelitian ini adalah 143,52 gram per ekor. Terdapat beberapa ciri puyuh yang berkualitas baik menurut Nugroho dan Mayun (1986), yaitu kondisi fisik yang sehat, kaki normal dan dapat berdiri tegak, aktif dan tampak segar, bebas dari penyakit, dan memiliki berat badan berkisar antara 140-150 gram. 2. Pakan Pakan yang digunakan dalam penelitian ini hanya pakan khusus puyuh dengan umur di atas 35 hari. Jenis pakan yang digunakan adalah pakan puyuh komersial SP 22 dengan kode P0023652 dengan bentuk ransum berupa crumble atau remah. Kandungan ransum jenis SP 22 berdasarkan kebutuhan protein, lemak, dan serat kasar dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kandungan Ransum SP 22 Kandungan Nilai -------------- % ------------ Protein 20 22 Lemak 4 7 Serat kasar 7 Sumber: PT Sinta Prima Feedmill (2011) Kandungan pakan SP 22 yang diberikan selama penelitian sudah sesuai dengan ketentuan mutu pakan dengan standar SNI untuk puyuh petelur dewasa. Ketentuan mutu pakan yang ditetapkan oleh Permentan (2008) berdasarkan SNI 01-3907-2006 diperlihatkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Mutu Pakan Puyuh Petelur Dewasa Nomor Kandungan Nilai --------------- % -------------- 1 Protein kasar Minimal 17 2 Lemak kasar Minimal 7 3 Serat kasar Maksimal 7 Sumber: Permentan (2008) Pakan yang diberikan dibatasi 20 g/ ekor/ hari dan diberikan satu kali dalam sehari. Pemberian pakan dilakukan setiap pukul 08.00 WIB dan tidak berubah dalam waktu pemberian pakannya. Waktu pemberian pakan konsisten setiap hari untuk menjaga kestabilan produksi telurnya. Harga beli pakan SP 22 pada awal pemeliharaan adalah Rp 225.000,00 per 50 kg, namun mengalami kenaikan harga pakan pada akhir penelitian menjadi Rp 250.000,00 per 50 kg. 3. Suplemen Omega-3 Penambahan suplemen omega-3 pada penelitian ini merupakan perlakuan yang diberikan pada pakan puyuh. Pemberian suplemen omega-3 dilakukan dengan mencampurkan secara merata dengan taraf yang berbeda-beda pada pakan yang diberikan. Suplemen omega-3 yang digunakan merupakan limbah hasil pengalengan ikan Lemuru. Limbah hasil pengalengan ikan Lemuru yang hasilnya berupa minyak ini merupakan salah satu alternatif minyak yang dapat dijadikan pakan sumber energi yang tidak bersaing dengan manusia. Menurut Setiabudi (1990), dari proses pengalengan ikan Lemuru dapat diperoleh rendeman berupa minyak sebesar 5% dan dari proses penepungan sebesar 10%, sehingga satu ton ikan Lemuru menghasilkan 50 kg limbah berupa minyak ikan dan selanjutnya dari satu ton bahan mentah sisa-sisa penepungan akan diperoleh 100 kg hasil samping berupa minyak ikan Lemuru. Minyak ikan Lemuru diemulsi dan dispersikan menjadi ekstrak lemak pekat, lalu dicampur dengan ampas tahu yang telah difermentasi menggunakan kapang Rhizopus sp. dan dihaluskan. Perbandingan penggunaan minyak ikan Lemuru dengan ampas tahu adalah 1:1 (b/b) (Komari, 1996). Suplemen omega-3 diperoleh dengan harga Rp 15.000,00 per kg.

4. Tenaga Kerja Tenaga kerja pada pemeliharaan puyuh ini memiliki kesibukan utama pada waktu tertentu, seperti pada saat pemberian pakan yang harus ditambahkan suplemen omega-3 sesuai dengan taraf pemberiannya, pemberian air minum, penimbangan bobot awal sebelum perlakuan, pengambilan telur, penimbangan telur, dan penyimpanan telur. Kebutuhan pekerja dan sistem pembayaran pekerja disesuaikan dengan skala produksi. Penelitian ini hanya menggunakan jumlah total puyuh sebanyak 300 ekor, sehingga kebutuhan jumlah pekerja cukup satu orang dengan sistem pembayaran Rp 45.000,00 per satu setengah bulan. Hal ini disesuaikan dengan standar sistem pembayaran pekerja pada peternakan puyuh pada umumnya dalam satu bulan yaitu Rp 100.000,00 untuk menangani 1000 ekor puyuh. 5. Egg Tray Egg tray pada pemeliharaan puyuh digunakan sebagai tempat penyimpanan telur sementara sebelum dilakukan pengemasan. Egg tray yang digunakan berbeda dengan egg tray untuk telur ayam atau telur itik, karena ukuran dari telur puyuh itu sendiri yang lebih kecil daripada telur ayam atau itik. Bahan yang digunakan juga bukan berbahan dasar plastik, namun terbuat dari daur ulang kertas yang memiliki kapasitas 100 butir per egg tray. Pengadaan egg tray pada penelitian ini disesuaikan dengan produksi telur per hari. Biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan egg tray ini sebesar Rp 10.000,00 per 5 unit egg tray. 6. Kemasan dan Label Penggunaan kemasan pada penelitian ini merupakan salah satu input produksi variabel yang berperan pada hasil akhir produk telur puyuh yang siap dijual. Fungsi kemasan menurut Malik (2008) ada dua, yaitu melindungi produk dari produsen hingga ke konsumen dengan tetap menjaga keutuhan produk yang berada di dalamnya, serta menambah nilai produk dan mendorong pemasaran sesuai segmen pasar yang dituju. Kemasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah plastik mika berukuran kecil seharga Rp 130,00 per unit yang sanggup diisi 20 butir telur puyuh per satuan kemasannya. Kemasan yang digunakan harus disertai dengan label produk yang bertujuan untuk memperkenalkan nama produk, serta sebagai jaminan atas produk tersebut bagi konsumen. Biaya

pembuatan label secara sederhana pada penelitian ini adalah Rp 2.000,00 per 15 label. 7. Penerangan Penerangan yang dibutuhkan pada penelitian budidaya puyuh ini termasuk ke dalam input variabel, karena biaya yang dikeluarkan untuk penerangan disesuaikan dengan besar kecilnya skala produksi. Penerangan yang digunakan pada penelitian ini hanya satu buah lampu pijar 40 watt yang diletakkan di antara dua blok kandang battery. Lama pemberian penerangan pada kandang puyuh ini sekitar 12 jam dalam sehari, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk penerangan selama pemeliharaan ini sebesar Rp 10.080,00. Harga Pokok Produksi Harga pokok produksi (HPP) merupakan jumlah biaya untuk memproduksi suatu barang untuk jangka waktu tertentu ditambah dengan biaya lainnya sehingga barang itu berada di pasar (Mulyadi, 2009). Penentuan nilai HPP dilakukan dengan cara memperhitungkan unsur-unsur biaya yang telah disesuaikan pada penelitian ini ke dalam analisis biaya HPP tersebut. Metode yang dilakukan untuk menentukan nilai HPP adalah metode full costing dan metode variable costing. Metode full costing merupakan metode penentuan HPP yang memperhitungkan seluruh biaya produksi, baik biaya tetap maupun biaya variabel (Mulyadi, 2009). Komponen biaya tetap pada penelitian ini adalah biaya overhead tetap yang meliputi biaya pengadaan kandang dan perlengkapan pemeliharaan, yaitu timbangan telur O-Hause. Biaya pengadaan kandang dan timbangan dihitung secara overhead tetap karena masa penggunaannya hanya selama 6 minggu, sedangkan untuk pengadaan kandang umur pemakaiannya mencapai 5 tahun dan timbangan mencapai 2 tahun. Komponen biaya variabel yang dihitung pada penelitian ini terdiri dari biaya pengadaan puyuh umur 30 hari, penggunaan pakan, penggunaan suplemen omega-3, biaya tenaga kerja, penggunaan penerangan, dan biaya overhead variabel yang terdiri dari pengadaan egg tray, penggunaan kemasan dan label. Metode variable costing tidak berbeda jauh dengan perhitungan pada metode full costing. Menurut Mulyadi (2009), perbedaan pada metode variable costing yaitu hanya memperhitungkan biaya produksi yang bersifat variabel. Biaya variabel yang dihitung adalah biaya pengadaan puyuh umur 80 hari, penggunaan pakan, taraf

penggunaan suplemen omega-3, biaya tenaga kerja, penggunaan penerangan, dan biaya overhead variabel. Biaya overhead tetap dimasukkan dalam perhitungan biaya periode pada biaya non produksi untuk perhitungan harga pokok penjualan telur puyuh. Perhitungan yang menggunakan dua metode tersebut dilakukan terpisah sesuai dengan perlakuan taraf pemberian omega-3 yang diberikan pada pakan puyuh. Perhitungan HPP bertujuan untuk mengetahui tingkat efisiensi taraf pemberian suplemen omega-3 yang ditambahkan ke dalam pakan. Data hasil perhitungan HPP disajikan secara lengkap pada Tabel 7. Keseluruhan biaya produksi (Tabel 7) telah disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing perlakuan pada penelitian ini. Biaya pengadaan puyuh umur 30 hari merupakan biaya terbesar yang dikeluarkan, yaitu Rp 240.000,00 untuk 60 ekor puyuh pada masing-masing perlakuan. Biaya terbesar kedua adalah pengadaan pakan puyuh SP 22 yaitu sebesar Rp 235.000,00. Rasyaf (1991) menyatakan bahwa pengadaan bibit dan ransum merupakan biaya terbesar yang dikeluarkan pada sebuah peternakan puyuh. Biaya terbesar ketiga adalah penggunaan biaya overhead variabel yang meliputi pengadaan egg tray, pengadaan kemasan, dan label. Biaya overhead variabel pada perhitungan full costing dan variable costing meningkat sesuai dari taraf perlakuan 0% hingga taraf perlakuan 4,5%, sedangkan biaya overhead variabel terlihat menurun pada taraf perlakuan 6%. Hasil dari penelitian ini sedikit berbeda dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Suripta dan Astuti (2007), yaitu penambahan suplemen omega-3 berupa minyak lemuru pada penelitian tersebut menyebabkan setiap peningkatan taraf pemberian suplemen tersebut mengakibatkan produksi telur dan konsumsi pakan juga menurun. Hal disebabkan oleh kombinasi yang diberikan telah melewati ambang batas sinergisme puyuh. Menurut Leeson dan Atteh (1995), produksi telur dipengaruhi oleh kombinasi asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh dalam ransum, dimana sinergisme keduanya memberikan pengaruh biologis pada batas maksimum tertentu. Perbedaan oleh penelitian terdahulu adalah penggunaan minyak Lemuru yang diberi filler untuk mencegah penurunan produksi telur ketika diberikan sebagai perlakuan dan diberikan dengan kelipatan taraf yang lebih kecil, sehingga terlihat bahwa penurunan produksi telur hanya terjadi pada taraf perlakuan 6%. Jumlah produksi telur dan kemasan yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 7. Harga Pokok Produksi Telur Puyuh yang Diberi Tambahan Suplemen Omega-3 Taraf 0; 1,5; 3; 4,5; dan 6% dengan Metode Full Costing dan Variable Costing Macam Biaya Jumlah Biaya Produksi (Rp) Taraf 0% Taraf 1,5% Taraf 3% Taraf 4,5% Taraf 6% Variable Full Variable Full Variable Full Variable Full Costing Costing Costing Costing Costing Costing Costing Costing Full Costing Variable Costing Puyuh 240.000 240.000 240.000 240.000 240.000 240.000 240.000 240.000 240.000 240.000 Pakan Puyuh 235.000 235.000 235.000 235.000 235.000 235.000 235.000 235.000 235.000 235.000 Suplemen Omega-3 - - 11.340 11.340 22.680 22.680 34.020 34.020 45.360 45.360 Listrik 2.016 2.016 2.016 2.016 2.016 2.016 2.016 2.016 2.016 2.016 Tenaga Kerja 9.000 9.000 9.000 9.000 9.000 9.000 9.000 9.000 9.000 9.000 Langsung Overhead Variabel 21.750 21.750 22.013,33 22.013,33 22.276,67 22.276,67 23.066,67 23.066,67 20.433,33 20.433,33 Overhead Tetap 7.500-7.500-7.500-7.500-7.500 - Total HPP HPP/ butir HPP/ kemasan 515.266 507.766 526.869,33 519.369,33 538.472,67 530.972,67 550.602,67 543.102,67 559.309,33 551.809,33 342,37 337,39 347,08 342,14 348,98 344,12 342,41 337,75 398,65 393,31 6.870,21 6.770,21 6.932,49 6.833,81 6.993,15 6.895,75 6.882,53 6.788,78 7.990,13 7.882,99

Tabel 8. Jumlah Produksi Telur dan Kemasan Tiap Perlakuan Selama 6 Minggu Pemeliharaan Taraf Perlakuan (%) Jumlah Produksi Selama 6 Minggu Butir Kemasan per 20 Butir 0 1505 75 1,5 1518 76 3 1543 77 4,5 1608 80 6 1403 70 Penurunan produksi telur pada Tabel 8 yang terjadi pada taraf 6% menyebabkan biaya penggunaan egg tray, kemasan, dan label berkurang. Biaya penggunaan suplemen omega-3 meningkat sesuai dengan persentase taraf yang diberikan. Biaya overhead tetap yang meliputi biaya pembuatan kandang dan penggunaan timbangan O-Hause pada penelitian ini tidak terlihat tinggi, karena perhitungannya dilihat dari penyusutan. Biaya total untuk overhead tetap sebesar Rp 7.500,00 pada metode full costing. Biaya tenaga kerja pada penelitian ini hanya Rp 9.000,00, karena standar pekerja di peternakan puyuh yaitu Rp 100.000,00 untuk menangani 1000 ekor puyuh dalam satu bulan, sedangkan pada penelitian ini hanya menggunakan 300 ekor puyuh dengan 60 ekor tiap perlakuannya dan dilakukan selama satu setengah bulan. Hasil perhitungan HPP dibagi menjadi tiga, yaitu total HPP, HPP per butir telur puyuh, dan HPP per kemasan yang dihasilkan. HPP per butir telur puyuh dihitung berdasarkan total HPP yang diperoleh dibagi dengan jumlah produksi telur puyuh setiap perlakuannya, sedangkan HPP per kemasan diperoleh dari hasil pembagian antara total HPP dengan jumlah kemasan yang dihasilkan setiap perlakuannya. HPP akan meningkat sesuai dengan pemberian taraf suplemen omega- 3 yang ditambahkan. Penurunan produksi telur yang terjadi pada perlakuan taraf 6% menyebabkan HPP pada perlakuan ini berbeda jauh dengan taraf perlakuan 4,5%, sehingga penambahan omega-3 pada pakan sebesar 6% menjadi tidak efisien. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suripta dan Astuti (2007), pemberian suplemen omega-3 berupa limbah minyak ikan Lemuru yang diberikan secara

berlebihan pada taraf tertentu akan menyebabkan pakan menjadi lengket dan bau amis dan dapat menyebabkan penurunan palatabilitas pada puyuh, sehingga produksi telur menjadi berkurang. Harga Jual Harga jual diperoleh dari perhitungan harga pokok penjualan yang dijumlahkan dengan laba yang diinginkan. Harga pokok penjualan sendiri merupakan hasil penjumlahan dari harga pokok produksi ditambahkan dengan harga non produksi. Harga jual yang didapatkan memiliki nilai yang sama untuk setiap metode perhitungan, baik dalam metode full costing maupun variable costing. Penentuan harga jual dihitung berdasarkan harga jual per kemasan dengan isi 20 butir telur puyuh. Harga jual per kemasan ditentukan untuk membandingkan harga jual telur puyuh yang diberi suplemen omega-3 dengan harga jual telur puyuh yang tidak diberi tambahan suplemen omega-3 di pasar. Hasil perhitungan terhadap harga jual telur puyuh per kemasan sesuai dengan taraf pemberian omega-3 dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Harga Jual Telur Puyuh per Kemasan dengan Taraf Pemberian Suplemen Omega-3 Uraian Harga Pokok Penjualan Taraf Pemberian Suplemen Omega-3 0% 1,5% 3% 4,5% 6% ----------------------------------- Rp ------------------------------------ 6950,21 7011,44 7071,07 6957,53 8075,85 Laba (10%) 695,02 701,14 707,11 695,75 807,58 Harga Jual 7645,23 7712,58 7778,18 7653,29 8883,43 Harga jual yang diperoleh pada Tabel 9 menunjukkan angka yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan persentase bertelur pada puyuh masih tergolong belum efisien jika dilihat dari segi ekonomisnya, yaitu berkisar antara 53,14-60,9%. Anugrah et al. (2009) menyatakan bahwa produksi telur dikatakan ekonomis apabila persentase bertelur dalam satu periode produksi minimal mencapai 75%, sehingga produk telur tersebut memiliki harga jual yang mampu bersaing dengan harga jual telur puyuh di pasar. Persentase bertelur yang tergolong rendah ini dapat disebabkan oleh puyuh yang masih belum mencapai umur puncak produksi. Sugiharto (2005)

menyatakan bahwa puncak produksi telur pada puyuh, yiatu ketika puyuh berumur 4-5 bulan dan mulai mengalami penurunan ketika umur 9 bulan. Perbedaan harga jual telur puyuh pada penelitian ini terlihat tinggi jika dibandingkan dengan harga jual di pasar, walaupun harga jual telur puyuh di pasar akan berbeda-beda sesuai dengan daerahnya masing-masing. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Disnak (2011), penjualan telur puyuh khususnya daerah Jawa Barat terbagi dua, yaitu pedagang kaki lima dan toko ritel. Kisaran harga yang ditentukan oleh pedagang kaki lima adalah Rp 250,00 per butir, sedangkan untuk toko ritel adalah Rp 6.000,00 hingga Rp 8.500,00 per kemasan. Menurut Anugrah et al. (2009), harga jual telur puyuh akan selalu berbeda setiap daerahnya, karena data perkembangan populasi serta usaha ternak puyuh relatif sulit ditemukan dalam instansi terkait di tingkat provinsi atau tingkat kabupaten, sehingga keterbatasan data dan informasi tentang populasi serta sebaran usaha tidak banyak diketahui secara umum. Hal ini menyebabkan perbedaan harga jual pada masing-masing daerah dan tidak terdapat Pusat Informasi Pasar (PINSAR) yang menentukan keseragaman harga jual telur puyuh di seluruh Indonesia. Harga jual telur puyuh (Tabel 9) memperlihatkan bahwa pemberian suplemen omega-3 yang dicampurkan ke dalam pakan sebesar 4,5% tidak berbeda jauh dengan harga jual telur puyuh tanpa penambahan suplemen omega-3. Taraf perlakuan 4,5% dapat dikatakan paling efisien, karena mampu menekan biaya produksi dan mampu menghasilkan produksi telur yang paling tinggi, walaupun terdapat tambahan biaya suplemen omega-3. Produk telur yang dihasilkan pada taraf perlakuan 4,5% diharapkan akan memiliki kandungan gizi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan produk telur kontrol. Penelitian terdahulu oleh Suripta dan Astuti (2007) melaporkan bahwa penambahan suplemen omega-3 yang berupa minyak ikan Lemuru pada taraf perlakuan 4% akan menurunkan kolesterol telur dari 120,32 menjadi 55,14 mg/100gr, serta meningkatkan kandungan omega-3 dalam telur dari 0,044 menjadi 1,648% dengan rasio yang lebih seimbang. Proses penjualan telur pada penelitian ini secara keseluruhan masih tetap mengikuti harga jual telur puyuh tanpa kandungan omega-3 di pasar, khususnya di daerah Bogor. Hal ini disebabkan belum terdapat hasil pengujian secara laboratorium terhadap nilai kandungan omega-3 pada telur puyuh yang dihasilkan.