BAB I PENDAHULUAN. Dalam Islam pernikahan memiliki makna dan tujuan yang sangat. penting. Di samping untuk memperoleh keturunan yang sah juga sebagai



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda:

Munakahat ZULKIFLI, MA

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S.Adz-Dzariyat: 49).

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIMPIN. 1) Mengetahui atau mengepalai, 2) Memenangkan paling banyak, 3)

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

Biografi Singkat Empat Iman Besar dalam Dunia Islam

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

BAB IV ANALISIS PENDAPAT HUKUM TENTANG IDDAH WANITA KEGUGURAN DALAM KITAB MUGHNI AL-MUHTAJ

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON

Berpegang kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan tidak bertaqlid kepada seseorang

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan perkawinan sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Quran dan

BAB IV ANALISIS GUGATAN SUAMI DALAM HAL MENGINGKARI KEABSAHAN ANAK YANG DILAHIRKAN ISTRINYA

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang disebut dengan lembaga perkawinan. merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam). 2

BAB I PENDAHULUAN. bermakna perbuatan ibadah kepada Allah SWT, dan mengikuti Sunnah. mengikuti ketentuan-ketentuan hukum di dalam syariat Islam.

BAB I PENDAHULUAN. Poligami merupakan masalah yang kontroversial dalam Islam. Para ulama ortodoks

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 17 Tahun 2013 Tentang BERISTRI LEBIH DARI EMPAT DALAM WAKTU BERSAMAAN

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu persoalan berada pada tangan beliau. 2. Rasulullah, penggunaan ijtihad menjadi solusi dalam rangka mencari

BAB III PENDAPAT DAN ISTINBAT HUKUM IBNU QODAMAH TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN UNTUK TIDAK BERISTRI LEBIH DARI SATU

BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan. 2 Sedangkan Ijbar

Membaca Sebagian Al-Quran Dalam Khutbah Jum'at

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama

Di antaranya pemahaman tersebut adalah:

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

Mengenal Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah

BAB I PENDAHULUAN. tidak mau seorang manusia haruslah berinteraksi dengan yang lain. Agar kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. 1

BAB I PENDAHULUAN. Sungguh, al-quran ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus... (Q.S. Al-Israa /17: 9) 2

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian dalam Islam menjadi hal yang harus dipatuhi, hal ini

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

KAIDAH FIQHIYAH. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

Halal Guide.INFO - Guide to Halal and Islamic Lifestyle

BAB I PENDAHULUAN. neraca keagamaan perkawinan menjadi dinding yang kuat, yang memelihara

BAB I PENDAHULUAN. Fitrah manusia bahwa mereka diciptakan oleh Allah dengan bersukusuku. dan berbangsa-bangsa sehingga satu sama lain saling mengenal.

PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

BAB III PROSES IJMA MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI

BAB I. Pendahuluan. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

Kekeliruan Sebagian Umat Islam di Bulan Rajab

PERSATUAN DAN KERUKUNAN

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

Berpegang Teguh dengan Alquran dan Sunnah

BAB I PENDAHULUAN. kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tumbuhan maupun hewan. Perkawinan

BAB IV. dalam perkara nomor : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda mengenai penolakan gugatan

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ. sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang

BAB I PENDAHULUAN. lainnya dalam menyalurkan kebutuhan biologisnya. diliputi rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga.

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

BAB 1 PENDAHULUAN. yang berlainan jenis antara laki-laki dan perempuan serta menjadikan hidup

MATAN. Karya Syaikh Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Ada laki-laki, ada pula

BAB I PENDAHULUAN. mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG IMPLIKASI TEKNOLOGI USG TERHADAP IDDAH

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH

Hubungan Hadis dan Al-Quran Dr. M. Quraish Shihab

Warisan Wanita Digugat!

BAB IV KUALITAS MUFASIR DAN PENAFSIRAN TABARRUJ. DALAM SURAT al-ahzab AYAT 33

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan merupakan sunnah Rasul yang dilakukan oleh kaum muslim

ANALISIS PENDAPAT YUSUF QARADAWI TENTANG MENYERAHKAN ZAKAT KEPADA PENGUASA YANG ZALIM DALAM KITAB FIQHUZ ZAKAT

SIAPAKAH MAHRAMMU? Mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab atau hubungan susuan atau karena ada ikatan perkawinan1)

F A T W A MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA ACEH NOMOR : 01 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi

Apakah Kawin Kontrak Itu?

BAB I PENDAHULUAN. suci atau jalinan ikatan yang hakiki antara pasangan suami istri. Hanya melalui

Menyoal Poligami dan Kendalanya Jumat, 26 Nopember 04

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 23 Tahun 2012 Tentang MENYEMIR RAMBUT

BAB III KERANGKA TEORITIS. serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai dari satu generasi kepada generasi

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SHAFI I TERHADAP. A. Komparasi Pendapat Imam Malik dan Imam Shafi i terhadap Ucapan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan-kebutuhan lainnya diharapkan terpenuhi, yaitu kebutuhan untuk

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENDAPAT MAŻHAB ANAK LUAR NIKAH

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB I PENDAHULUAN. Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Tanah Wakaf di Negara Kita, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 2. 2

A. Analisis Terhadap Praktek Perubahan Harga Secara Sepihak dalam Jual Beli Rak Antara. Produsen dan Pedagang Pengecer di Jalan Dupak No. 91 Surabaya.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu fitrah manusia adalah adanya perasaan saling suka antara lawan

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah

BAB IV. A. Mekanisme Penundaan Waktu Penyerahan Barang Dengan Akad Jual Beli. beli pesanan di beberapa toko di DTC Wonokromo Surabaya dikarenakan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SELURUH HARTA KEPADA ANAK ANGKAT DI DESA JOGOLOYO KECAMATAN SUMOBITO KABUPATEN JOMBANG

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS PERNIKAHAN SIRRI SEORANG ISTRI YANG MASIH DALAM PROSES PERCERAIAN

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan adalah suatu perjanjian perikatan antara laki-laki dan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

Istiqomah. Khutbah Pertama:

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah wa rahmah. 3 Agar

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Islam pernikahan memiliki makna dan tujuan yang sangat penting. Di samping untuk memperoleh keturunan yang sah juga sebagai pemenuhan biologis. Pernikahan dalam hukum Islam merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan dalam hubungan suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Dalam pembicaraan tentang pernikahan, ada kecenderungan al-qur'an memperlakukan laki-laki sebagai pihak yang aktif, khususnya dalam memilih jodoh dan meminang, sementara perempuan diposisikan sebagai pihak yang pasif atau pihak yang menunggu untuk dikawini. Karena itu, hampir semua perintah dalam pembicaraan tentang perkawinan ditujukan kepada kaum laki-laki. Implikasinya dalam kehidupan sosial adalah bahwa pihak laki-laki selalu menjadi pihak pengambil inisiatif, pihak yang meminang atau melamar, sementara perempuan hanya menunggu dipinang. Seiring dengan perjalanan waktu, banyak hal yang berubah dalam tatanan masyarakat kita sesuai dengan tuntutan dinamika masyarakat dan sebagai akibat dari kemajuan di bidang teknologi dan informatika. 2 1 UU. Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan, Pasal 1 (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986), 7. 2 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), 14-17. 1

Setiap pernikahan dalam dirinya mengandung serangkaian perjanjian di antara dua pihak, yakni suami dan istri. Kedamaian dan kebahagiaan suami istri sangat bergantung pada pemenuhan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut. Kemudian dalam al-qur'an menyebut perkawinan sebagai mîtsâqan ghalîzhâ (perjanjian yang kokoh): $Zà Î=xî $ ) sv ÏiΒ Νà6ΖÏΒ šχõ yzr&uρ <Ù èt/ 4 n<î) öνà6àò èt/ 4 Óøùr& ô s%uρ çµtρρä è{ù's? y#ø x.uρ Artinya: Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (istriistrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. al-nisâ': 21) 3 Dja'far al-shâdiq, mufassir terkemuka pada periode awal Islam, menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan perjanjian yang kokoh dalam ayat tersebut adalah perjanjian antara Allah dengan para suami. Sebagaimana dalam al-qur'an: 7 ρã èoÿï3 èδθãmîh ρr& > ρá èoÿï3 èδθä3å øβr'sù Artinya: "Istri harus diperlakukan dengan baik, tetapi jika tidak hendaknya diceraikan dengan baik pula." (QS. al-baqarah: 231) Ayat ini menegaskan bahwa hanya ada dua pilihan bagi suami, hidup bersama istri dan memperlakukannya dengan baik atau menceraikannya dengan cara yang baik pula. Karena itu memilih hidup bersama istri, tetapi menyengsarakannya tidak dikenal dalam Islam. Sebaliknya, Islam juga mengutuk suami yang menceraikan pasangannya tanpa alasan yang 3 Fahd Ibn 'Abdu al-'azis al-sa'ud, al-qur'an al-karîm wa tarjamatu ma'ânîhi ila al-lughat al-andunisiyyah (Madinah al-munawwarah: Mujamma' al-mâlik Fahd Li thibâ'at al-mushhaf al- Syarîf, 2005), 120. 2

dibenarkan syara'. Oleh karena hal tersebut, Dja'far al-shâdiq menyatakan bahwa setiap calon suami seharusnya mengucapkan janji akan berlaku baik terhadap calon istrinya saat melangsungkan pernikahan. 4 Selanjutnya dari uraian tersebut dengan alasan yang bermacam-macam seperti istri khawatir jika dia dipoligami maka dia cemburu buta, dari sini tidak menutup kemungkinan bagi istri dalam pernikahannya untuk mensyaratkan agar tidak dipoligami. Karena dalam hal ini Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/madharat daripada manfaatnya, karena manusia itu fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. 5 Dengan demikian poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga. Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisir sifat cemburu, iri hati dan suka mengeluh. 6 Mengenai nikah yang mensyaratkan agar tidak dipoligami ini, seluruh ulama sepakat, ketika istri mengajukan syarat untuk tidak dipoligami, maka nikahnya adalah sah. Namun yang menjadi permasalahannya adalah wajib atau tidak bagi suami untuk memenuhi syarat yang diajukan oleh istri atas suami tersebut. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Perbedaan pendapat di kalangan ulama ini selain dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di mana ulama tersebut hidup, juga disebabkan karena 4 Mulia, Islam, 18-19. 5 Masyfuk Zuhdi, Masa'il Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, cet. Ke-1 (Jakarta: PT. Gita Karya, 1988), 12. 6 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), 131. 3

adanya perbedaan menggunakan dalil-dalil dan cara berijtihad diantara mereka, sehingga perbedaan dalam berijtihad mengakibatkan berbeda dalam fiqh sebagai hasil ijtihad. 7 Imam Al-Syâfi î dalam kitabnya al-umm menyatakan jika seseorang menikahi wanita dengan permintaannya dia boleh keluar rumah kapan saja, dia tidak ingin dimadu, tidak ingin dikeluarkan dari negaranya atau setiap syarat yang diajukan wanita ketika akad nikah baik itu untuk dikerjakan atau ditinggalkan, maka hukum nikah disini adalah boleh dan syarat tersebut batal. karena Rasulullah membatalkan setiap syarat yang tidak ada dalam kitab Allah atau syarat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah, di mana seorang laki-laki boleh menikah sampai empat istri, maka istri tidak boleh melarang tentang sesuatu kebolehan atau keluasan yang diberikan untuk lakilaki. 8 Pada dasarnya pendapat ini sama dengan pendapatnya Imam Abu Hanîfah dan Imam Mâlik, yakni jika seorang wanita mau dinikahi dengan syarat tidak dimadu (poligami) maka pernikahan tersebut adalah sah, tetapi syarat yang diajukan tidak wajib dipenuhi oleh suami, sebab syarat-syarat tersebut mengharamkan sesuatu yang halal. 9 Mereka mengambil dalil-dalil untuk alasan-alasan dari Hadîts: ا ل م س ل م و ن ع ل ى ش ر و ط ه م إ لا ش ر ط ا أ ح ل ح ر ام ا أ و ح ر م ح لا لا 7 A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Sebuah Pengantar (Bandung: Orta Sakti, 1992), 102. 8 Abî Abdillah Ibn Idrîs al-al-syâfi î, al-umm, Jilid V (Beirut: Daar al-kutub al- ilmiyyah, tt), 107-108. 9 Ach. Khudori Sholeh, Fiqh Kontekstual: (Perspektif Sufi Salafi), (Jakarta: PT. Pertja, 1999), 20. 4

Artinya: "orang-orang Islam itu pada syaratnya, kecuali syarat yang menghalalkan perkara haram dan mengharamkan perkara yang halal". Mengenai hadîts ini (kasus istri yang mensyaratkan untuk tidak dipoligami) mereka berpendapat syarat ini termasuk syarat yang mengharamkan perkara yang halal, di mana hukum menikah di sini adalah halal. Dalam hal ini Allah berfirman: yì t/â uρ y] n=èouρ 4 o_ WtΒ Ï!$ ÏiΨ9$# z ÏiΒ Νä3s9 z>$sû $tβ (#θßså3ρ$sù Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. (QS. al-nisa': 3) Kemudian dari sabda Rasullullah yang diriwayatkan oleh al-bazzar dan Imam Thabrâni: 10 ط ل ي ل شر آ س فى آ تا ب ا الله ف ه و با ط ل Artinya: "Setiap syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah, maka itu adalah hal yang batal" Mereka berpendapat bahwa syarat seperti ini tidak ada dalam kitab Allah, karena syarî'at Islam tidak menuntut untuk tidak boleh poligami. 11 Dalam hadits di atas, ungkapan kitâbullah bukan berarti al-qur'an saja, akan tetapi berbagai persoalan yang telah diwajibkan oleh Allah, baik yang tertera dalam al-qur'an maupun hadîts Nabi SAW, yang kemudian dikenal dengan istilah Syarî'atullah. Sebaliknya yang dimaksud dengan penyimpangan dari kitâbullah adalah segala hal yang memuat penyelewengan dari dasar-dasar 10 Abdul Hâq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh Telaah kaidah fiqh Konseptual, buku dua, cet. II (Surabaya: Khalista, 2006), 242. 11 Sayyid Sabîq, Fiqh al-sunnah, jilid.2 (Beirut: Daar Al-Fikr, 1992), 44. 5

syarî'at, baik al-qur'an maupun hadîts. 12 Penetapan syarat tidak boleh menikah lagi jelas merupakan bentuk mengharamkan sesuatu yang halal. Apa yang diriwayatkan dari sebagian sahabat di antaranya Ibnu Abbas bahwa mereka menetapkan sahnya aqad yang semisal itu. Adapun status syaratnya adalah gugur dan tidak harus dipenuhi. Ulama Hanafîyah berpendapat bahwasannya syarat yang diajukan istri untuk tidak dipoligami tersebut merupakan syarat yang tidak berfungsi apaapa (percuma), dan akad nikah yang dilakukan tersebut tetaplah sah. Sementara ulama Mâlikîyah memandang syarat tersebut adalah makruh sehingga tidak wajib dipenuhi oleh suami, namun bagi suami disunnahkan (dianjurkan) untuk memenuhi syarat yang diajukan istri tersebut. Ulama Syâfi'îyah berpendapat bahwa syarat tersebut merupakan syarat yang batal dan nikahnya tetaplah di hukumi sah walaupun tanpa adanya syarat tersebut. 13 Menurut Wahbah al-zuhaylî seluruh ulama sepakat terhadap sahnya syarat yang sesuai dengan tuntutan akad, dan batalnya syarat yang menafikan maksud dari tujuan pernikahan atau syarat tersebut bertentangan dengan syari'at agama. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai syarat yang tidak sesuai dengan tuntutan akad. Sebagaimana syarat yang diajukan istri ini, menurut Wahbah al-zuhaylî syarat ini termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tuntutan dari akad nikah, tetapi tidak menafikan hukum dari hukumnya menikah, yakni manfaatnya kembali kapada salah satu dari suami 12 Muhammad Shidq bin Ahmad Al-Burnu, Al-Wajîz fi idlah Qawa'id al-fiqh al-kullîyah, cet.1 (Beirut: Muassasah al-risalah, 1983), 280. 13 Wahbah al-zuhaylî, al-fiqh al-islamî wa Adillatuh, jilid,vi (Beirut: Daar al-fikr, tt), 59. 6

atau istri. 14 Lebih terperinci lagi kaitannya perkawinan, dalam Islam perkawinan merupakan suatu akad atau transaksi. Maka untuk akad nikah yang dikaitkan dengan beberapa syarat, ada syarat yang sesuai dengan tujuan akad dan ada pula yang berlawanan dengan tujuan akad. Demikian juga ada syarat yang manfaatnya kembali kepada pihak perempuan, ada pula syarat yang dilarang syara'. Masing-masing syarat itu mempunyai konsekuensi hukum tersendiri. 15 Dari beberapa pendapat tersebut imam Ibn Taymîyah berpendapat bagi suami wajib untuk memenuhi syarat yang diajukan oleh istri tersebut. Ibn Taymîyah memandang bahwa syarat tersebut sah dan harus dipenuhi oleh suami selama pasangan tersebut tidak membatalkan persyaratan tersebut. Dalam kitab Majmû' al-fatâwâ al-kubrâ, 16 beliau pernah ditanyai mengenai syarat dalam pernikahan, bahwasannya seorang istri mensyaratkan agar suami tidak boleh poligami atau tidak boleh mengeluarkan dari rumahnya atau negaranya, maka apabila suami disyaratkan seperti itu sebelum akad dan mereka berdua sepakat terhadap syarat tersebut, namun tidak disebutkan dalam akad nikah, apakah syarat tersebut sah dan wajib dipenuhi oleh suami? Dalam hal ini kemudian Ibn Taymîyah menjawab, bahwa syarat itu sah dan harus ditunaikan selama pasangan itu tidak membatalkan syarat tersebut 14 ibid, 60. 15 Namun syarat disini menurut Sa'îd bin Abdullah bin Thâlib al-hamdani, bahwa diantara perbedaan para ulama tersebut, Dia lebih condong kepada pendapat yang mewajibkan dipenuhinya syarat yang bermanfaat bagi perempuan, sebagai perlindungan bagi kaum perempuan. Dia juga membantah pendapat yang mengatakan bahwa syarat tersebut mengharamkan yang halal, sebab syarat itu tidak mengharamkan yang halal, tetapi hanya memberikan pilihan bagi istri untuk menuntut fasakh apabila syarat itu tidak dipenuhi. Sa'îd bin Abdullah bin Thalib al-hamdanî, Risalah al-nikah, terj. Agus Salim, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 73. 16 Ibn Taymîyah, Majmû' min al-fatawâ al-kubrâ, juz.3 (Beirut: Dar Al-Fikr,1993), 316. 7

4 walaupun syarat itu disertakan lagi dalam akad nikah. Beliau telah menjelaskan dalil-dalil dalam permasalahan ini dari al-qur'an, Hadits dan Ijma' salaf. Sebagaimana perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara Nabi SAW dan orang lain. Seperti akad bai'at yang terjadi antara beliau dengan orang-orang anshâr pada malam 'aqâbah, akad hudnah 17 antara beliau dengan orang Quraisy 18 pada tahun hudaibîyah dan lainnya. Mereka semua sepakat dengan syarat-syarat yang ada. Kemudian mereka berakad dengan lafadz yang mutlak. Demikian pula keumuman (lafadz am) nash-nash al-qur'an dan hadîts memerintahkan kepada manusia untuk menuaikan akad, perjanjian dan syarat serta melarang untuk menghianatinya. Akad, perjanjian, dan syarat adalah satu kesatuan. Ahli bahasa dan adat sepakat dengan penamaan tersebut dan makna secara terminologipun sesuai dengan hal tersebut. 19 Pendapat ini berdasarkan dari al-qur'an adalah dalam surat al-maidah ayat satu. ÏŠθà)ãèø9$Î/ (#θèù ρr& (#þθãψtβ#u š Ï%!$# $yγ ƒr' tƒ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. 20 Dan Surat al-isra ayat 34: 17 Akad hudnah adalah perdamian yang dilakukan dua Negara yang berperang untuk menghentikan peperangan dalam jangka waktu tertentu, baik dengan konsesi ganti rugi atau tanpa ganti rugi. Dalam bahasa Indonesia disebut Gencatan Senjata. Perpusatakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), 567. 18 Nabi Muhammad SAW telah menyebutkan bahwa diantara tanda-tanda munâfîq adalah ketika berjanji, maka inkar. bahkan Rasullullah SAW memenuhi perjanjian dengan kaum musyrikin. Abu Abdillah Mushtafâ bin al 'Adawî, Ahkam Al-Nikah wa al-zifâf, terj. Aris Munandar dan Eko Haryono, Tanya Jawab Masalah Nikah dari A Sampai Z (Yogyakarta: Media Hidayah, 2005), 229. 19 Taymîyah, Majmû', 316. 20 Aqad (perjanjian) mencakup janji setia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Fahd Ibn 'Abdu al-'azis al-sa'ud, al-qur'an al-karîm wa tarjamatu ma'ânîhi ila al-lughat al-andunisiyyah (Madinah al-munawwarah: Mujamma' al- Mâlik Fahd Li thibâ'at al-mushhaf al-syarîf, 2005), 156. 8

( 4 Zωθä ó tβ šχ%x. y ôγyèø9$# βî) Ï ôγyèø9$î/ (#θèù ρr&uρ Artinya: Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya. 21 Kemudian hadîts Nabi: 22 أ ن الن ب ي ص لى ال له ع ل ي ه و س لم ق ا ل: أ ر ب ع م ن آ ن ف ي ه آ ان م ن ا ف ق ا خ ا ل ص ا و م ن آ ان ت ف ي ه خ ص ل ة م ن ه ن آ ان ت ف ي ه خ ص ل ة م ن الن ف اق ح تى ي د ع ه ا : إ ذ ا اؤ ت م ن خ ان و إ ذ ا ح دث آ ذ ب و إ ذ ا ع اه د غ د ر و إ ذ اخ اص م ف ج ر. Artinya: Empat hal yang apabila terkumpul dalam diri seseorang maka dia adalah seorang munâfiq sejati. Barang siapa yang terdapat dalam dirinya salah satu dari keempat hal tersebut maka berarti dia sedang berada dalam salah satu cabang kemunâfiqkan sampai dia meninggalkannya: Apabila diberi amanat dia khianat, apabila bicara dia berdusta, apabila berjanji dia mengingkari dan apabila berselisih dia akan bermusuhan. Ayat dan hadîts ini jelas memerintahkan untuk memenuhi janji, aqad dan juga syarat serta apapun yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Termasuk dalam hal ini adalah syarat yang ditetapkan seorang istri kepada suaminya agar tidak memadunya. 23 Dalam asas-asas perjanjian Islam, dianut apa yang disebut dalam ilmu hukum sebagai asas kebebasan berkontrak. Dalam asas kebebasan berkontrak, dimaksudkan kebebasan seseorang untuk membuat perjanjian apapun dan berisi apa saja sesuai dengan kepentingannya dalam batas-batas kesusilaan 21 Ibid., 429. 22 Abî Abdillah Muhammad Bin Ismâ'îl al-bukhârî, Shahîh al-bukhârî, cet I (Beirut: Daar Ihyâ al-turâts al-arabî, 2001), 31-32. 23 Abu Ishaq http://jacksite.wordpress.com/2007/08/02/istri-mensyaratkan-untuk-tidakdipoligami/ diakses pada tanggal 13 Juni 2009 pukul 15.06 WIB 9

dan ketertiban umum. 24 Kompilasi Hukun Islam di Indomesia juga mengatur tentang perjanjian perkawinan, yang mana dalam hal ini diatur dalam Bab VII pasal 45, yang isinya adalah kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk ta liq thalaq dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. 25 Kebebasan berkontrak lebih nampak jelas dalam sabda Nabi SAW bahwa orang-orang Islam itu pada syaratnya, kecuali syarat yang menghalalkan perkara haram dan mengharamkan perkara yang halal. ا ل م س ل م و ن ع ل ى ش ر و ط ه م إ لا ش ر ط ا أ ح ل ح ر ام ا أ و ح ر م ح لا لا 26 Di sini kaum muslimin dibenarkan memperjanjikan syarat-syarat dan perjanjian itu mengikat untuk dipenuhi dalam batas ketentuan halal dan haram. Lafadz syurûth adalah bentuk jama' yang diidlâfahkan kepada kata ganti "mereka". Kasus ini menunjukkan bahwa dia termasuk lafadz umum, sehingga hal itu berarti bahwa kaum muslimin dapat mengisikan syarat apa saja ke dalam perjanjian mereka dalam batas-batas ketentuan halal dan haram, artinya dalam batas-batas ketentuan umum syara'. 27 Para ulama dalam kebebasan berkontrak khususnya dalam memperjanjikan syarat-syarat secara garis besar terbagi dalam dua kutub yang berlawanan. Yang paling tidak mengakui asas kebebasan berkontrak adalah 24 Subekti, Hukum Perjanjian, cet, ke-6. (Jakarta: PT. Intermasa, 1979), 13. 25 Instruksi Presiden R.I Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi hukun Islam Di Indonesia (Departemen Agama R.I: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000),29. 26 Abu Îsâ Muhammad bin Îsâ bin Sûrah bin Mûsâ al-tirmîdzî, al-jâmi Sunan al-tirmîdzî (Beirut: Daar Ihya al-turats al- Arabî, 1999), 390. 27 Rahmani Timorita Yulianti, http://journal.uii.ac.id/index.php/jei/article/viewfile/164/129. diakses pada tanggal 11 Agustus 2009 waktu 22.29 WIB. 10

ulama Zahiri, khususnya Ibn Hazm, menurutnya akad dan syarat itu haram dipenuhi kecuali yang diperintahkan oleh nash agar dipenuhi. Ibn Hazm berpendapat bahwa setiap syarat yang tidak ditegaskan keabsahannya oleh nash merupakan syarat yang tidak terdapat dalam kitab Allah. Dan yang paling luas mengakui kebebasan dalam perjanjian (asas kebebasan berkontrak) serta paling banyak mentashih syarat-syarat adalah ulama Hanâbilah, khususnya Ibn Taymîyah. Ibn Taymîyah yang mewakili madzhab Hanbalî telah membawa perkembangan madzhab dalam hal kebebasan dalam perjanjian yang sejajar atau hampir sejajar dengan hukum barat. Bagi Ibn Taymîyah tidak hanya sah dalam perjanjian-perjanjian kebendaan bahkan juga sah syarat-syarat dalam perjanjian pernikahan. Menurut Ibn Taymîyah syarat yang terdapat dalam kitab Allah adalah syarat yang tidak bertentangan dengan kitab Allah sekalipun tidak disinggung oleh nash. 28 Interprestasi antara pendapat kedua imam tersebut menjadi menarik ketika kita bawa pada kenyataan sekarang ini. Mayoritas masyarakat Islam Indonesia menganut madzhab syafi iyah, otomatis dalam hal pernikahan yang berlaku adalah tata aturan menurut Imam al-syâfi î. Dalam situasi sekarang ini, banyak fenomena-fenomena menarik, di Pengadilan Agama seorang perempuan boleh menjabat sebagai seorang Hakim bahkan di Indonesia pernah dipimpin oleh seorang presiden perempuan. Dalam pernikahan boleh 28 Rahmani Timorita Yulianti, http://journal.uii.ac.id/index.php/jei/article/viewfile/164/129. diakses pada tanggal 11 Agustus 2009 waktu 22.29 WIB. 11

mengadakan perjanjian perkawinan yang dalam hal ini dari pihak istri mengajukan syarat kepada suami sebelum pernikahan. 29 Berangkat dari permasalahan ini, penulis mencoba membahas lebih mendalam dan mencoba mengungkapkan perbedaan-perbedaan dari pemikiran Imam Ibn Taymîyah dan Imam al-syâfi î mengenai syarat yang diajukan oleh istri yang tidak ingin dimadu. Untuk memudahkan dalam penelitian ini, maka akan penulis sajikan dalam bentuk skripsi dengan judul "SYARAT TIDAK DIMADU DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN PERSPEKTIF IBN TAYMÎYAH DAN IMAM AL-SYÂFI Î". B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pendapat dan istinbath Ibn Taymîyah tentang istri yang mensyaratkan untuk tidak dimadu dalam perjanjian perkawinan? 2. Bagaimana pendapat dan istinbath Imam al-syâfi î tentang istri yang mensyaratkan untuk tidak dimadu dalam perjanjian perkawinan? 3. Apa persamaman dan perbedaan pendapat Ibn Taymîyah dan Imam al- Syâfi î mengenai istri yang mensyaratkan untuk tidak dimadu dalam perjanjian perkawinan? C. Penegasan Istilah Syarat tidak dimadu dalam perjanjian perkawinan yang dimaksudkan adalah bahasan tentang syarat dalam perkawinan tidak sama dengan syarat perkawinan yang dibicarakan dalam semua kitab fiqh karena yang dibahas dalam syarat perkawinan itu adalah syarat-syarat untuk 29 Siti Qomariyah, Kedudukan dan Kriteria Wali Nikah Menurut Imam Hanafi dan Imam Al- Syâfi î (Skripsi, STAIN, Ponorogo, 2003), 4. 12

sahnya suatu perkawinan. Kaitan antara syarat dalam perkawinan dengan perjanjian dalam perkawinan adalah karena perjanjian itu berisi syaratsyarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang melakukan perjanjian, dalam arti pihak-pihak yang berjanji untuk memenuhi syarat yang ditentukan. D. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menjelaskan pendapat dan istinbath hukum nikah dengan syarat tidak dipoligami menurut Ibn Taymîyah dan dasar hukumnya. 2. Untuk menjelaskan pendapat dan istinbath hukum nikah dengan syarat tidak dipoligami menurut Imam Al-Syâfi î dan dasar hukumnya. 3. Untuk menjelaskan persamaan dan perbedaan pendapat dan istinbath Ibn Taymîyah dan Imam Al-Syâfi î. E. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini meliputi dua hal, yaitu kegunaan ilmiah dan kegunaan terapan. Adapun kegunaannya adalah sebagai berikut: 1. Untuk memberikan kontribusi dalam memperkaya khazanah keilmuan dan berpartisipasi dalam penyumbangan pemikiran, khususnya dalam bidang hukum Islam. 2. Sebagai bahan kajian untuk dikembangkan lebih lanjut dalam penelitian berikutnya mengenai pemikiran Ibn Taymîyah dan Imam al-syâfi î. 3. Penelitian ini diharapkan menjadi wawasan bagi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat Islam supaya mereka mengetahui hukum syarat tidak ingin dimadu yang diajukan oleh calon istri pada waktu akad nikah. 13

F. Telaah Pustaka Setelah penulis menelaah dari beberapa literatur-literatur yang penulis temukan, pembahasan mengenai syarat tidak dipoligami yang diajukan istri dari suami dalam pernikahan telah banyak dilakukan dalam kitab-kitab fiqh, seperti wahbah al-zuhaylî dalam kitabnya al-fiqh al-islamî wa Adillatuh yang menjelaskan tentang beberapa madzhab para fuqoha mengenai syarat yang disyaratkan dalam pernikahan. Secara umum Wahbah membahas beberapa perbedaan pendapat di antara para fuqoha mengenai syarat yang tidak termasuk tuntutan dari akad nikah, yang mana dalam syarat tersebut manfaatnya kembali pada salah satu pihak dari suami istri. Seperti syarat tidak boleh dipoligami, tidak boleh mengajaknya bepergian, tidak boleh mengeluarkan istri dari rumah atau negaranya. 30 Dalam kitab Fiqh al-sunnah, Sayyid Sâbiq menjelaskan shighat akad nikah yang disertakan dengan syarat. Dalam kitab ini Sayyid Sâbiq menguraikan permasalahan apabila akad nikah disertai dengan syarat maka syarat di sini, adakalanya syarat yang termasuk dari tuntutan akad nikah atau syarat yang bukan termasuk dari tuntutan akad. Syarat tersebut manfaatnya kembali kepada istri, atau syarat tersebut dilarang oleh syari'at. Dari pembagian tersebut, masing-masing mempunyai konsekuensi hukum sendirisendiri. Untuk syarat yang wajib dipenuhi oleh suami, yakni syarat yang termasuk tuntutan dari akad dan tujuan akad serta tidak mengandung syarat yang merubah hukum yang ditentukan Allah dan Rasullullah SAW, Seperti 30 Wahbah al-zuhaylî, al-fiqh al-islam, 59. 14

syarat untuk menggauli istri dengan baik. Syarat yang tidak wajib dipenuhi namun akad nikahnya tetap dipandang sah yakni, syarat yang bukan termasuk tuntutan akad nikah, seperti syarat untuk tidak dinafkahi, atau syarat tidak boleh disetubuhi. Syarat yang manfaat dan faedahnya kembali kepada istri seperti istri tidak boleh dipoligami, tidak boleh mengajaknya bepergian, tidak boleh mengeluarkan dari rumahnya atau negaranya, maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat antara ulama. Ulama syâfi'îyyah, Mâlikîyah, Hanafîyah dan banyak para ulama lagi menyatakan syarat tersebut tidak berfaedah apa-apa dan tidak wajib dipenuhi oleh suami. Kemudian kalangan Shahabat Umar Ibn Khatthab, Sa'ad Ibn Abi Waqâsh, Muawwîyah, Amr Ibn Ash, Umar Ibn 'Abdul 'Azis, Jabir Ibn Zaid, Thâwus, al-auza'îy, Ishaq dan ulama Hanâbilah mewajibkan untuk dipenuhinya syarat yang diajukan oleh istri. 31 Dalam kitab risalah nikah yang ditulis oleh ustadz Sa'id bin Abdullah bin Thalib al-hamdâni yang diterjemahkan oleh Agus Salim, menjelaskan mengenai syarat tidak dipoligami yang diajukan istri sama persis dengan apa yang telah dipaparkan oleh Sayyid Sabîq, yakni akad nikah yang dikaitkan dengan beberapa syarat, ada syarat yang sesuai dengan tujuan akad, ada pula yang berlawanan dengan tujuan akad. Ada syarat yang manfaatnya kembali kepada pihak perempuan, ada pula syarat yang dilarang syara'. Masing-masing syarat itu mempunyai hukum tersendiri. 32 31 Sayyid Sabîq, Fiqh al-sunnah, 43-44. 32 Sa'îd bin Abdullah, Risalah Nikah, 70. 15

Dalam bentuk skripsi, penelitian tentang syarat dalam pernikahan telah dibahas oleh Sunarti dalam skripsinya yang berjudul "Perjanjian Perkawinan Sebagai Alasan Perceraian". Dalam skripsi tersebut dia membahas Hukum perjanjian dalam perkawinan, akad perjanjian perkawinan, syarat-syarat perjanjian perkawinan dan akibat kukumnya. Ia menyinggung sedikit tentang pembagian syarat-syarat yang disebutkan dalam akad nikah, ia membagi tiga bagian, yakni syarat yang wajib dipenuhi, syarat yang tidak wajib dipenuhi dan syarat yang menguntungkan pihak istri, yang mana penjelasannya sama yang telah ada dalam kitab fiqh al-sunnah. Kemudian ia hanya menyimpulkan bahwa perjanjian perkawinan termasuk kategori syarat yang wajib dipenuhi sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, karena sangat ketatnya dalam membuat surat perjanjian dalam pernikahan. 33 Ibnu Mujahidin dalam skripsinya "Perbandingan Hak Ijbar Wali Nikah Perspektif Ibnu Taymîyah dan Imam al-syâfi'î", di sana ia membahas pendapatnya Ibn Taymîyah mengenai hak ijbar wali nikah, yang mana Ibn Taymîyah memandang bahwa ayah tidak berhak memaksa anaknya untuk menikah dengan wanita pilihannya atau pilihannya sendiri serta faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan mereka, Baik dalam mengambil dasar Hukumnya ataupun sebab-sebab gugurnya hak ijbar wali nikah tersebut. 34 33 Sunarti, Perjanjian Perkawinan Sebagai Alasan Perceraian (Studi Terhadap Kompilasi Hukum Islam Pasal. 45 ayat 2), (Skripsi, STAIN, Ponorogo, 2003). 34 Ibnu Mujahidin, Hak Ijbar Wali Nikah Perspektif Ibn Taymîyah dan Imam al-syafi'i, (Skripsi, STAIN, Ponorogo, 2007). 16

Dari kajian yang telah dipaparkan diatas, penyusun tidak menemukan kajian-kajian, baik dari kitab maupun literatur-literatur lain yang membahas syarat tidak dipoligami dalam pernikahan menurut Ibn Taymîyah dan Imam al-syâfi î, maka penulis memandang penelitian ini masih layak dilakukan. Dalam penelitian ini, penulis mencoba meneliti lebih lanjut mengenai syarat tidak dipoligami yang diajukan istri dengan mengkaji pendapat Ibn Taymîyah dan Imam Al-Syâfi î, seperti yang telah kami paparkan pada latar belakang masalah. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang sering disebut dengan studi pustaka (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber pustaka. 35 Semua sumber diambil dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan permasalahan penelitian dan literatur lainnya. Skripsi ini bersifat deskriptif analitik, yaitu suatu usaha untuk menyusun dan mengumpulkan data, kemudian diusahakan adanya analisa dan interpretasi atau penafsiran terhadap datadata tersebut. 2. Data Penelitian Dalam penulisan ini literatur atau data yang akan diteliti meliputi pemikiran pemikiran Ibn Taymîyah dan Imam al-syâfi î dalam masalah 35 Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Gajah Mada, 1980), 3. 17

nikah bersyarat untuk tidak dimadu, istinbâth Hukum Ibn Taymîyah dan Imam al-syâfi î serta literatur-literatur lain yang mendukung. Dalam Penelitian ini, penulis menggunakan dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder: a. Sumber data primer 36, adalah buku-buku yang dijadikan sumber data pertama, yaitu Majmû' al-fatâwâ al-kubrâ yang dikarang oleh Imam Ibn Taymîyah dan juga Kitab al-umm yang di karang oleh Imam al- Syâfi î. Artinya, dalam menjawab rumusan masalah diatas penulis banyak mengacu pada kitab tersebut. b. Sumber data sekunder, adalah buku-buku karya orang lain yang membahas Ibn Taymîyah dan Imam al-syâfi î yang penulis rujuk untuk melengkapi data-data yang tersedia dalam sumber data primer. 3. Teknik Pengolahan Data Adapun teknik analisa yang digunakan untuk mengolah dalam skripsi ini yaitu: a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh dari segi keserasian dan keselarasan antara yang satu dengan yang lainnya serta realitanya dan keseragamannya kelompok data itu. 37 Dalam hal ini, setelah penulis menemukan data-data mengenai masalah nikah dengan syarat tidak dipoligami, penulis memeriksa data itu, dan mengambil data yang sesuai guna menyelesaikan masalah-masalah diatas. 36 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, cet. 6 (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), 83. 37 Muhammad Teguh, Metodologi Penelitian Ekonomi "Teori dan Aplikasi" (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 173. 18

b. Organizing, yaitu menyusun data dari beberapa data yang diperoleh, mensistematiskan data-data yang diperoleh dalam rangka paparan yang sudah ada dan direncanakan sebelumnya yaitu sesuai dengan sistematika pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah, yaitu setelah penulis mengedit dari data-data yang ada, penulis lalu mensistematiskan atau menggolongkan data itu sesuai dengan rumusan masalah yang ada. c. Penemuan hasil, yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data-data yang menggunakan kaidah-kaidah, teoriteori, dalil-dalil, dan sebagainya sehingga diperoleh kesimpulan tertentu. 4. Analisis Data Dalam menganalisa data-data tersebut, penulis menggunakan deduksi, yaitu suatu metode penelitian dengan pola pikir yang berangkat dari penalaran yang bersifat umum kemudian ditarik pada kesimpulan yang bersifat khusus, metode tersebut digunakan untuk menganalisa dalildalil yang dipakai Ibn Taymîyah dan Imam al-syâfi î dalam menentukan hukum suami dalam memenuhi atau tidaknya syarat yang diajukan istri tersebut. 38 Kemudian data-data pustaka tersebut, diperlakukan sebagai sumber ide atau gagasan yang baru sebagai bahan dasar untuk melakukan deduksi dari pengetahuan yang telah ada, sehingga kerangka teori baru dapat 38 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004), 47. 19

dikembangkan atau sebagai dasar pemecahan masalah. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya kedalam unitunit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan. 39 Kemudian data-data tersebut akan penulis analisa dengan menggunakan teori ushûl fiqh agar bisa menemukan metode istinbath yang digunakan oleh kedua pendapat tersebut dan sesuai dengan teori ushûl fiqh. Metode analisa dengan ushûl fiqh ini akan penulis sajikan pada bab empat. Untuk mendapatkan kesimpulan yang valid dalam menganalisa data tersebut, penulis dalam penelitian ini menggunakan analisa komparatif, yaitu pola pikir dengan cara membandingkan pendapat yang satu dengan yang lain. Dalam penelitian ini penulis berusaha membandingkan pendapat Ibn Taymîyah dan Imam al-syâfi î mengenai istri yang mengajukan syarat tidak ingin dimadu dalam perjanjian perkawinan. H. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari bab dan sub bab sebagai berikut: BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan dari pada skripsi ini yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, penegasan istilah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Hal ini dimaksudkan untuk mengarahkan pembaca kepada substansi penelitian ini. 39 Pedoman Penulisan Skripsi STAIN Ponorogo, Jurusan Syari ah, Jurusan Tarbiyah, Jurusan Ushuluddin (Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2008), 63. 20