KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 613/Kpts-II/1997 TENTANG PEDOMAN PENGUKUHAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERAIRAN

dokumen-dokumen yang mirip
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 399/Kpts-II/1990 TENTANG PEDOMAN PENGUKUHAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR. P.47/Menhut -II/2010 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI LAMPUNG BARAT

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

Draft 0 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. /Menhut -II/2014 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.25/Menhut -II/2014 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.93/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2016 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN. NOMOR : 900/Kpts-II/1999 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR : 900/Kpts-II/1999 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 618/KPTS-II/1996 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 32/Kpts-II/2001 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 146 Tahun 1999 Tentang : Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 32/Kpts-II/2001. Tentang : Kriteria Dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 335/KPTS-II/1997 TENTANG RENCANA KARYA PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI (RKPHTI) MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.38/Menhut-II/2014 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 44/Menhut-II/2012 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG

Menteri Kehutanan Dan Perkebunan,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 44 TAHUN 2005 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 91 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN JANGKA PANJANG TAMAN HUTAN RAYA R.

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR KEP.65/MEN/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.62/Menhut-II/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

GubernurJawaBarat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 19 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENATAAN BATAS KAWASAN HUTAN DI JAWA BARAT

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 104/Kpts-II/2000 TENTANG TATA CARA MENGAMBIL TUMBUHAN LIAR DAN MENANGKAP SATWA LIAR

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 249/KPTS-II/1998 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR : 070/Kpts-II/2000 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI ACEH TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN ACEH TENGAH NOMOR 07 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM Nomor : P. 01/IV- SET/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 201/KPTS-II/1998. Tentang

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

2 Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lem

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 1996 TENTANG DEWAN KELAUTAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor: P.50/Menhut-II/2011 P. /Menhut II/2011 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

this file is downloaded from

MENTERI KEHUTANAN, MENTERI PERTANIAN DAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor. 333/ Kpts-II/1999 TENTANG PEDOMAN PEMELIHARAAN DAN PENGAMANAN BATAS HUTAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.67/Menhut-II/2006 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR INVENTARISASI HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

MENTEIU KRIIUTANAN REPUJJLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1998 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 665/Kpts-II/2002 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.35/MEN/2011 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 063/KPTS-II/2000 TENTANG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.64/Menhut-II/2006 TENTANG

BUPATI BIMA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 6 TAHUN 2012 T E N T A N G

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG DEWAN KELAUTAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6188/Kpts-II/2002. Tentang

2014, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 429 /KPTS/013/2016 TENTANG

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 865/KPTS-II/1999 TENTANG

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

Transkripsi:

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 613/Kpts-II/1997 TENTANG PEDOMAN PENGUKUHAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERAIRAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekositemnya terdapat kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, baik di darat maupun di perairan, yang dikelola sesuai dengan fungsinya; b. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 telah ditetapkan Ketentuan-ketentuan tentang Perencanaan Hutan; c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 399/Kpts-II/1990 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 634/Kpts-II/1996 telah ditetapkan Pedoman Pengukuhan Hutan; d. bahwa ketentuan tentang Pengukuhan Kawasan Suaka Lam dan Pelestarian Alam Perairan belum diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 399/Kpts-II/1990 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 634/Kpts-II/1996; e. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, maka dipandang perlu untuk menetapkan Pedoman Pengukuhan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Perairan dengan Keputusan menteri Kehutanan. Mengingat : 1. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria; 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan; 3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan; 4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah; 5. Undang-Undang nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; 6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan; 7. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982; 8. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; 9. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; 10. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tantang Perairan Indonesia; 11. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 12. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan; 13. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan;

14. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; 15. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembanguanan VI; 16. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.173/AL.401/Phb-84 tentang Berlakunya "The IALA Maritime Buoyage System" untuk "Region A" dalam Tatanan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran di Indonesia; 17. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 677/Kpts-II/1993 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan; 18. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 399/Kpts-II/1990 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 634/Kpts-II/1996 tentang Pedoman Pengukuhan Hutan; 19. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 400/Kpts-II/1990 jo. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 635/Kpts-II/1996 tentang Pembentukan Panitia Tata Batas. M E M U T U S K A N : Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PEDOMAN PENGUKUHAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERAIRAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan : 1. Kawasan suaka alam di perairan adalah kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan suaka alam diperairan terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa. 2. Cagar alam di perairan adalah kawasan suaka alam di perairan yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan dan/atau satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. 3. Suaka margasatwa di perairan adalah kawasan suaka alam di perairan yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. 4. Kawasan pelestarian alam di perairan adalah kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam di perairan terdiri dari taman nasional dan taman wisata alam. 5. Taman nasional di perairan adalah kawasan pelestarian alam di perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman nasional ini terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lainnya. 6. Taman wisata alam di perairan adalah kawasan pelestarian alam di perairan yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. 7. Penunjukan adalah penetapan awal peruntukan suatu wilayah tertentu yang berada di perairan sebagai wilayah kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam dengan Keputusan Menteri Kehutanan.

8. Pengukuhan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan adalah kegiatan yang berhubungan dengan penataan batas suatu wilayah tertentu yang telah ditunjuk sebagai kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam di perairan guna memperoleh kepastian hukum mengenai status, batas, dan luas kawasannya. 9. Penataan batas adalah kegiatan yang meliputi survei dan pemetaan perairan, proyeksi batas, dan termasuk pemasangan tanda batas serta pembuatan Berita Acara Tata Batas. 10. Tanda batas kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan adalah suatu tanda batas tetap yang terletak di darat, di perairan, dan di peta. Khusus tanda batas yang terletak di perairan mengacu pada spesifikasi teknis yang berlaku secara internasional yang disebut Sistem Pelampungan IALA. 11. Sistem Pelampungan IALA adalah merupakan Tatanan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran yang telah ditetapkan oleh IALA dalam sidangnya yang ke-x tahun 1980 di Tokyo. 12. IALA (International Association of Light House Authorities) adalah suatu badan international yang menangani masalah-masalah sarana bantu navigasi pelayaran di seluruh Indonesia. 13. Tanda tangan basah adalah pembubuhan tanda tangan langsung dengan tinta atau ballpoint. 14. Berita Acara Tata Batas adalah berita acara tentang penataan batas yang disusun oleh Panitia Tata Batas dengan dilampiri peta tata batas, surat-surat bukti yang diperlukan serta penjelasannya. 15. Rekonstruksi batas adalah pengembalian dan/atau pemasangan ulang tanda batas sesuai dengan posisi yang telah ditetapkan. 16. Pemeliharaan tanda batas adalah kegiatan yang bertujuan untuk menjaga keadaan tanda batas agar tetap berfungsi dengan baik. 17. Penetapan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, batas, dan luas suatu kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam di perairan menjadi kawasan suaka alam tetap dan kawasan pelestarian tetap. BAB II TUJUAN PENGUKUHAN Pasal 2 Pengukuhan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan bertujuan untuk terwujudnya kepastian hukum wilayah kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam di perairan dengan status, batas, dan luas wilayah yang tetap. BAB III PROSEDUR DAN TATA KERJA PENGUKUHAN Pasal 3 Pengukuhan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan didasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan wilayah tertentu yang berada di perairan menjadi kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Pasal 4 (1) Dalam pelaksanaan pengukuhan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan oleh Panitia Tata batas.

(2) Pembentukan dan tugas Panitia Tata Batas sebagaimana dimasud dalam ayat (1) diatur sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 400/Kpts-II/1990 jo Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 635/Kpts-II/1996. Pasal 5 (1) Dalam pelaksanaan pengukuhan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan, Panitia Tata Batas dibantu oleh Tim Pemantapan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Perairan dengan susunan anggota sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini. (2) Tim Pemantapan bertanggung jawab kepada Menteri Kehutanan. (3) Tugas Tim Pemantapan adalah : a. Menentukan koordinat atau kedudukan rencana titik-titik batas kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam yang bersumber pada peta penunjukan, dan selanjutnya dituangkan dalam peta kerja. b. Menetapkan spesifikasi teknis tanda batas dan pemetaan. Pasal 6 (1) Dalam melaksanakan tugasnya Tim Pemantapan dibantu oleh Tim Teknis Persiapan Pemantapan yang dibentuk oleh Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan. (2) Sususan keanggotaan Tim Teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diketuai oleh pejabat eselon II instansi teknis yang bersangkutan dengan anggota terdiri dari pejabat eselon III instansi yang terkait. (3) Tim Teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertugas : a. Membuat peta kerja; b. Menentukan jenis kegiatan; c. Menyusun spesifikasi teknis. Pasal 7 Kegiatan pengukuhan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut: a. Persiapan yang terdiri dari pembuatan peta kerja, penyusunan spesifikasi teknis, dan penyusunan rencana kerja; b. Penyelenggaraan rapat koordinasi antar instansi terkait dan rapat pembahasan dengan Panitia Tata Batas; c. Survei dan pemetaan perairan serta pemasangan tanda batas; d. Pembuatan dan penandatanganan Berita Acara Tata Batas; e. Penetapan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan; f. Pembuatan hasil survei dan pemetaan perairan, dan tanda batas dalam dokumen nautis resmi. Pasal 8

(1) Peta keja dan spesifikasi teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a disusun dan dinilai oleh Tim Teknis serta disahkan oleh Tim Pemantapan, dan digunakan sebagai acuan bagi Panitia Tata Batas di dalam persiapan pelaksanaan penataan batas di lapangan. (2) Untuk menetapkan spesifikasi teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila tidak tersedia peta laut dengan skala memadai dan keterbatasan informasi yang disajikan dapat dilakukan dengan survei hidrooseanografi. Pasal 9 (1) Penyusunan rencana kerja sebagaimana dimasud dalam Pasal 7 huruf a disusun oleh Tim Teknis, dinilai oleh Tim pemantapan dan disahkan oleh Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan dengan mengacu dari hasil persiapan pelaksanaan penataan batas oleh Panitia Tata Batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). (2) Penyusunan rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman pada peta kerja dan spesifikasi teknis yang telah disepakati oleh Panitia Tata Batas. (3) Pengesahan rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah penilaian oleh Tim Pemantapan. Pasal 10 (1) Penyelenggaraan rapat koordinasi antar instansi terkait dan rapat pembahasan dengan Panitia Tata Batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b di koordinasikan oleh Kantor Wilayah Departemen Kehutanan setempat. (2) Apabila dalam pembahasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terdapat kesepakatan, maka Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan menyampaikannya kepada Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan selaku Ketua Tim Pemantapan. (3) Dalam hal masih belum tercapai penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan akan menyelesaikannya berdasarkan petunjuk Menteri Kehutanan. Pasal 11 Pelaksanaan survei dan penataan batas kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dapat dilakukan oleh rekanan mampu di bidang survei dan pemetaan perairan dan/atau sarana bantu navigasi pelayaran, atau instansi Pemerintah yang mempunyai tugas di bidang tersebut. Pasal 12 (1) Hasil pelaksanaan penataan batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, terlebih dahulu dibahas oleh Panitia Tata Batas untuk penyelesaian Berita Acara tata Batas dan peta lampirannya. (2) Panitia Tata Batas dapat memeriksa hasil pelaksanaan penataan batas di lapangan. Pasal 13

(1) Berita Acara Tata batas dibuat dan ditandatangani oleh Panitia Tata Batas. (2) Panandatanganan Berita Acara Tata Batas dan Peta Tata Batas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Ketua, Sekretaris, Kepala Distrik/Sub Distrik Navigasi, Kepala Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I, Kepala Kantor Wilayah Departemen Perhubungan, Kepala Unit Pelaksana teknis Departemen Kehutanan, diketahui dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan setempat dan Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, dan disahkan oleh Menteri Kehutanan. (3) Berita Acara Tata Batas beserta Peta Tata Batas dibuat dalam rangkap 7 (tujuh) dengan tanda tangan basah serta dibubuhi stempel instansi yang bersangkutan, dikirimkan oleh Kepala Kantor Wilayah Kehutanan setempat kepada Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Cq. Direktur Inventarisasi, Pengukuhan dan Pemetaan Hutan. (4) Sebelum pengesahan oleh Menteri Kehutanan, Berita Acara Tata batas beserta Peta Tata Batas dapat digandakan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan setempat untuk dipergunakan oleh Panitia Tata Batas. (5) Berita Acara Tata Batas dan Peta Tata Batas, setelah disahkan oleh Menteri Kehutanan disampaikan kepada: a. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. b. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan. c. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. d. Kepala Kantor Wilayah Departemen Perhubungan. e. Kepala Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL. Pasal 14 Hasil kegiatan penataan batas dilaporkan oleh Panitia Tata Batas kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. BAB IV PELAKSANAAN PENGUKUHAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERAIRAN Pasal 15 (1) Penetapan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan didasarkan pada Berita Acara Tata Batas dan Peta Tata batas yang luasnya sudah diketahui berdasarkan hasil pelaksanaan penataan batas di lapangan. (2) Keputusan tentang penetapan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan, dilampiri peta kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan yang mengacu pada Peta Tata Batas. (3) Keputusan tentang penetapan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan dan tanda batas beserta koordinatnya harus dimuat dalam dokumen nautis resmi, serta diberitahukan segera kepada Dunia Pelayaran. Pasal 16

(1) Keputusan tentang penetapan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan dibuat rangkap 9 (sembilan), diperuntukkan bagi: a. Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan. b. Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan. c. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. d. Direktur Jenderal Perhubungan Laut. e. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. f. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan. g. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional. h. Kepala Kantor Wilayah Departemen Perhubungan. i. Kepala Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL. (2) Salinan Keputusan tentang penetapan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan disampaikan kepada: a. Menteri Dalam Negeri. b. Menteri Pertahanan dan Keamanan. c. Menteri Perhubungan. d. Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. e. Menteri Pertanian. f. Menteri Negara Lingkungan Hidup. g. Menteri Pertambangan dan Energi. h. Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi. i. Ketua Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. (3) Salinan keputusan tentang penetapan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan dapat diberikan kepada instansi lain, selain instansi-instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), yaitu: a. Untuk instansi-instansi Pusat dilegalisasi oleh Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan. b. Untuk instansi-instansi Daerah dilegalisasi oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan setempat. BAB V PEMELIHARAAN DAN PENGAMANAN TANDA BATAS KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERAIRAN Pasal 17 (1) Pengamanan dan pemeliharaan tanda batas kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan diserahkan dan menjadi tanggung jawab pihak pengelola, segera setelah Berita Acara Tata Batas dan Peta Tata Batas ditandatangani oleh Panitia Tata Batas. (2) Rekontruksi batas kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan untuk wilayah di luar Pulau Jawa dan Pulau Madura dapat dilaksanakan secara periodik oleh Balai/Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan, sedangkan untuk wilayah Pulau Jawa dan Pulau Madura dilaksanakan oleh Direktorat Inventarisasi, Pengukuhan dan Pemetaan Hutan, Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan. BAB VI P E N U T U P

Pasal 18 (1) Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengukuhan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Perairan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan. (2) Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Organisasi, ttd. YB. WIDODO SUTOYO, SH, MM. NIP. 080023934 Salinan Keputusan ini disampaikan Kepada Yth. : Ditetapkan di : J A K A R T A Pada tanggal : 19 September 1997 MENTERI KEHUTANAN, ttd. DJAMALUDIN SURYOHADIKUSUMO 1. Sdr. Menteri Dalam Negeri. 2. Sdr. Menteri Pertahanan dan Keamanan. 3. Sdr. Menteri Perhubungan. 4. Sdr. Menteri Pertanian. 5. Sdr. Menteri Luar Negeri. 6. Sdr. Menteri Pertambangan dan Energi. 7. Sdr. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas. 8. Sdr. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. 9. Sdr. Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. 10. Sdr. Menteri Negara Lingkungan Hidup. 11. Sdr. Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunimasi. 12. Sdr. Ketua Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. 13. Sdr. Pejabat Eselon I lingkup Departemen Kehutanan. 14. Sdr. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia. 15. Sdr. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan di seluruh Indonesia. 16. Sdr. Kepala Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL. 17. Sdr. Kepala Kantor Wilayah Departemen Perhubungan di seluruh Indonesia. 18. Sdr. Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian di seluruh Indonesia. 19. Sdr. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di seluruh Indonesia. 20. Sdr. Bupati Kepala Daerah Tingkat II di seluruh Indonesia. 21. Sdr. Kepala Distrik Navigasi di seluruh Indonesia. 22. Sdr. Kepala Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan di seluruh Indonesia. 23. Sdr. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam di seluruh Indonesia. 24. Sdr. Kepala Balai Taman Nasional di seluruh Indonesia. 25. Sdr. Kepala Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan di seluruh Indonesia. 26. Sdr. Kepala Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam di seluruh Indonesia. 27. Sdr. Anggota Tim Yang Bersangkutan.

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 613/Kpts-II/1997 Tanggal : 19 September 1997 SUSUNAN TIM PEMANTAPAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERAIRAN 1. Ketua merangkap anggota 2. Wakil Ketua merangkap anggota 3. Sekretaris merangkap anggota 4. Wakil Sekretaris merangkap anggota : Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, Departemen Kehutanan : Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan : Direktur Inventarisasi, Pengukuhan dan Pemetaan Hutan, Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, Departemen Kehutanan : Kepala Direktorat Kenavigasian, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan 5. Anggota : 1. Direktur Bina Program, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan 2. Kepala Biro Hukum dan Organisasi, Departemen Kehutanan 3. Pembantu Asisten I Menteri Negara Lingkungan Hidup 4. Direktur Pembinaan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri 5. Direktur Bina Sumber Hayati Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian 6. Direktur Penatagunaan Tanah, Badan Pertanahan Nasional 7. Kepala Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL 8. Kepala Pusat Pemetaan Matra Laut dan Kedirgantaraan, Bakosurtanal 9. Kepala Pusat Pemetaan Dasar Rupa Bumi II (Tata Ruang), Bakosurtanal 10.Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I setempat 11.Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi setempat Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Organisasi, ttd. YB. WIDODO SUTOYO, SH, MM. NIP. 080023934 MENTERI KEHUTANAN, ttd. DJAMALUDIN SURYOHADIKUSUMO