BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terdapat sekitar 2500 jenis senyawa bioaktif dari laut yang telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi, dan 93 % diantaranya diperoleh dari rumput laut (Kardono, 2004). Beberapa jenis rumput laut memiliki potensi kandungan fitokimia yang kaya akan alkaloid, flavonoid, saponin, polifenol, dan terpenoid (Angka dan Suhartono 2000). Rumput laut mengandung bahan-bahan organik seperti polisakarida, hormon, vitamin, mineral dan juga beberapa senyawa bioaktif (Putra 2006 dalam Titi 2011). Polisakarida dapat memodifikasi beberapa komponen sistem imun pada ikan dan meningkatkan proteksi terhadap infeksi bakteri (Castro dkk, 2006). Sargassum crassifolium merupakan rumput laut dari kelas Phaeophyceae. Menurut penelitian Roswiem (1991) dalam Titi (2011) Sargassum sp. mengandung senyawa dengan jumlah relatif sedikit seperti laminaran, fukoidan, selulosa, manitol, fenolat, kompleks diterpenoid, terpenoid aromatik, saponin dan flavonoid. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa fukoidan mempunyai aktivitas sebagai imunomodulator (Zapopozhets, 1995 ; Choi, 2005 dalam Titi 2011). Udang windu (Penaeus monodon) merupakan salah satu komoditas ekonomi budidaya perikanan dan salah satu komoditas unggulan sektor perikanan di Indonesia. Hal ini dikarenakan keunggulan yang dimiliki oleh udang windu, yaitu ukurannya besar dan cita rasa yang nikmat saat disajikan sebagai bahan pangan (Hidayat, 2011). Selain itu juga udang windu merupakan produk perikanan asli Indonesia. Vibriosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri kelompok Vibrio yang menyerang udang pada stadia larva dan jenis bakteri ini yang menyerang sistem imun atau sistem kekebalan tubuh dari udang windu (Agung, 2010). Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi penyakit pada udang windu, antara lain dengan menggunakan obat-obatan kimia dan antibiotik. Penanggulangan penyakit dengan menggunakan obat-obatan kimia dan antibiotik 1
2 dapat membawa dampak yang serius karena masalah residu bahan antimikroba pada udang dan timbulnya resistensi bakteri terhadap antibiotik (Muliani, et al, 2003). Sehingga perlu adanya penelitian mengenai sumberdaya hayati laut berupa rumput laut yang menjadi alternatif alami sebagai imunomodulator pada udang windu dan mengenai efektifitas konsentrasi yang tepat dari ekstrak dari rumput laut Sargassum crassifolium untuk meningkatkan daya tahan tubuh dari udang windu yang dapat mencegah penyakit vibriosis yang disebabkan oleh bakteri Vibrio harveyi. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang dapat diidentifikasi adalah sejauh mana efektifitas ekstrak metanol rumput laut Sargassum crassifolium melalui penambahan pakan yang dapat digunakan sebagai imunomodulator pada udang windu untuk mencegah penyakit bakteri Vibrio harveyi. 1.3 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk a. Mengetahui peran ekstrak rumput laut Sargassum crassifolium sebagai imunomodulator udang windu. b. Mendapatkan konsentrasi ekstrak rumput laut Sargassum crassifolium yang efektif sebagai imunomodulator pada udang windu dalam mencegah penyakit bakteri Vibrio harveyi. 1.3 Kegunaan Memberikan informasi kepada instansi terkait (pembudidaya udang windu), mengenai konsentrasi paling efektif dari ekstrak rumput laut Sargassum crassifolium dalam meningkatkan daya tahan tubuh pada udang windu. Serta menjadi salah satu alternatif imunomodulator alami dalam meningkatkan sistem imun pada hewan budidaya.
3 1.4 Kerangka Pemikiran Keberhasilan budidaya udang merupakan salah satu faktor pendukung ketahanan pangan nasional. Permintaan udang untuk wilayah domestik mulai dari tahun 2004-2007 terus mengalami peningkatan sebesar 35,80 % pertahunnya. Saat ini produksi udang nasional untuk tahun 2008 diperkirakan mencapai 470.000 ton (Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, 2009). Peningkatan hasil produksi budidaya tambak udang dilakukan dengan cara mengatasi kendala-kendala yang dapat menghambat kelancaran proses produksi budidaya udang, diantaranya mengatasi serangan virus dan bakteri yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan udang di tambak (Agung, 2007). Dalam perkembangannya, masalah utama yang mengancam keberhasilan budidaya udang adalah kualitas lingkungan perairan tambak yang tercemar limbah organik dari sisa pakan yang berlebihan dan gagal panen yang disebabkan oleh penyakit bakterial atau viral (Rachmansyah, 2001). Banyaknya penyakit bakteri pada udang biasanya disebabkan oleh bakteri kelompok Vibrio. Penyakit vibriosis dikenal pembudidaya sebagai penyakit yang menyerang bagian kulit udang. Penyakit ini disebabkan oleh berbagai spesies dari jenis Vibrio yang berbeda-beda dan setiap spesies Vibrio memiliki intensitas serangan yang berbeda-beda. Penularan penyakit vibriosis ini tergolong cepat sehingga dapat meningkatkan nilai mortalitas pada suatu tambak. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini dapat menyebabkan kematian larva udang sampai 100% dalam waktu 1-2 hari (Agung, 2010). Penggunaan obat-obatan dan antibiotik merupakan suatu metode pencegahan dan penanggulangan penyakit udang (Tendencia 2004 dalam Hidayat 2011). Penggunaan antibiotik dan bahan kimia tidak efektif lagi karena tidak memberikan hasil yang memuaskan karena pada dosis tertentu justru berdampak negatif dengan meningkatkan resistensi bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik (Thahjadi 1994 dalam Hidayat 2011). Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan menggunakan antibiotik dan disinfektan. Bahan antibiotik yang digunakan misalnya berupa oksitetrasiklin (OTC) (Noguire-Lima et al. 2006). Namun menurut Reed et al. (2003)
4 penggunaan antibiotik pada budidaya udang mempunyai dampak negatif pada lingkungan akuatik dan residunya dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Selain itu pula penggunaan antimikrobial dapat menyebabkan berkembangnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik (Williams et al. 1992; Brown, 1989; Tendencia and dela Pena, 2001 dalam Jasmanindar 2009). Penggunaan disinfektan pada budidaya udang tidak bisa menjamin kolam bebas dari patogen, dimana Vibrio harveyi dapat bertahan pada sedimen dasar kolam yang telah diberi disinfektan (Jory 1996 dalam Jasminandar 2009). Vaksinasi merupakan metode yang efektif untuk mengendalikan penyakit pada ikan, namun tidak bagi udang, karena udang tidak memiliki antibodi dan antibodi spesifiknya sangat sedikit (Jory 1997 dalam Jasmanindar 2009). Sistem pertahanan udang berdasarkan hanya pada imunitas innate. Strategi udang yang digunakan pembudidaya udang dalam mengendalikan penyakit pada budidaya udang adalah dengan menggunakan imunostimulan (Dugger dan Jory 1999 dalam Jasmanindar 2009). Penggunaan imunostimulan sebagai pakan suplemen dapat meningkatkan pertahanan alami sehingga resisten terhadap patogen. Imunostimulan tidak memperlihatkan efek samping yang negatif sebagaimana antibiotik terhadap lingkungan (Kumari dan shoo 2006 dalam Jasmanindar 2009). Pada saat terjadinya serangan patogen, yang pertama kali berperan dalam sistem pertahanan tubuh udang adalah kutikula yang memiliki kemampuan antimikroba melalui lendir yang dihasilkan. Pertahanan selanjutnya adalah hemosit yang memiliki peranan penting dalam sistem pertahanan internal udang (Supamattaya et al., 2000; Van de Braak, 2002 dalam Fariedah 2010). Hemosit adalah sel darah udang yang memiliki fungsi sama seperti sel darah putih (leukosit) pada hewan vertebrata. Hemosit pada udang dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu sel hyaline, semigranular dan granular (Effendy et al., 2004 dalam Fariedah 2010 ). Sel-sel hemosit yang terdapat pada udang windu memiliki fungsi tersendiri. Sel hyaline berperan dalam proses fagositosis dan aktifitas seperti halnya makrofage pada ikan dan binatang berdarah panas lainnya. Sel ini memiliki sedikit sekali granula pada sitoplasmanya (Lio-Po et al., 2001 dalam Fariedah 2010).
5 Imunomodulator merupakan senyawa atau zat yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh dari serangan penyakit, yang fungsinya memperbaiki sistem imun (Djauzi, 2003). Beberapa golongan senyawa yang dapat berperan sebagai imunomodulator, yaitu golongan karbohidrat, terpen, steroid, flavonoid, glikoprotein, alkaloid dan beberapa senyawa organik lain yang mengandung nitrogen (Collegate 1993 dalam Syarifah 2006). Obat golongan imunomodulator bekerja menurut tiga cara, yaitu melalui imunorestorasi, imunostimulasi dan imunosupresi (Baratawidjadja, 2002). Alga coklat mengandung alginat yang mampu meningkatkan sistem ketahanan udang vaname dan resistensinya terhadap bakteri patogen. Fukoidan yang berasal dari alga coklat mampu meningkatkan respon imun udang windu (Cheng dan Soderhall, 2004). Fukoidan merupakan polisakarida tersulfatasi yang memiliki rata-rata berat molekul 20000 Da dan banyak ditemukan pada beberapa jenis alga coklat. Kandungan Sargassum sp. dari perairan Pangandaran terdapat senyawa zat aktif berupa flavonoid, saponin dan tanin (Hidayat, 2011). Ekstrak etanol Sargassum crassifolium JG Argadh memiliki aktivitas imunomodulator. Aktivitas imunomodulator ditunjukkan oleh adanya peningkatan poliferasi sel limfosit pada mencit yang diberikan ekstrak dosis 250mg/gr BB dilihat pada hari ke-5, ke-10 dan ke-14. Adanya peningkatan poliferasi sel limfosit akan meningkatkan pembentukan sistem imun spesifik tubuh (Titi, 2011). 1.5 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas dapat dirumuskan hipotesis bahwa senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak rumput laut Sargassum crassifolium dapat berperan sebagai imunomodulator dengan cara imunostimulan dalam meningkatkan ketahanan tubuh pada udang windu untuk mencegah penyakit bakteri Vibrio harveyi.