BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia. Melalui alat inderalah manusia dapat memperoleh pengetahuan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

ABSTRAK Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan secara fisik. Sebagian orang harus menderita penyakit yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia diciptakan dan terlahir di dunia dengan segala kekurangan dan

BAB I PENDAHULUAN. manusia menggunakan fungsi panca indera dan bagian-bagian tubuh lainnya, tetapi

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Unsur jasmani manusia terdiri dari badan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia. Menurut Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Definisi sehat sendiri ada beberapa macam. Menurut World Health. produktif secara sosial dan ekonomis.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Holmes dan Rahe tahun 1967 dengan menggunakan Live Event Scale atau biasa

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi.

LAMPIRAN A. Alat Ukur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

BAB I PENDAHULUAN. Difabel atau kecacatan banyak dialami oleh sebagian masyarakat, baik

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN...i. KATA PENGANTAR.ii. ABSTRAK..v. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR DIAGRAM.xi. DAFTAR LAMPIRAN..

BAB I PENDAHULUAN. Semua manusia pasti berharap dapat terlahir dengan selamat dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Penyakit kronis merupakan penyakit yang berkembang secara perlahan selama bertahuntahun,

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Manusia terlahir di dunia dengan kekurangan dan kelebihan yang berbedabeda.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. Memiliki anak yang terlahir sempurna merupakan dambaan setiap orangtua yang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. melihat sisi positif sosok manusia. Pendiri psikologi positif, Seligman dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. (affective atau mood disorder) yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu penyakit mematikan di dunia yang kemudian menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pengalaman positif maupun negatif tidak dapat dilepaskan dalam. kehidupan seseorang. Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB 5 Simpulan, Diskusi, Saran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. Fakultas Psikologi merupakan salah satu fakultas unggulan di Universitas

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari ( Ryff, 1995). Ryff (1989) mengatakan kebahagiaan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki masa pensiun merupakan salah satu peristiwa di kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KEMANDIRIAN ACTIVITY OF DAILY LIVING ANAK LOW VISION SEKOLAH DASAR KELAS IV DI SLB NEGERI A KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Putri Shalsa Novita, 2013

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

Studi Deskriptif Psychological Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Penderita Autism yang Bersekolah Di SLB-C YPLB Bandung

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Akan

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. Menurut (Nugroho. T, 2010: 94) Aquired Immune Deficiency Syndrome

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan setiap ibu (UNICEF,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN survei rutin yang dilakukan rutin sejak tahun 1991 oleh National Sleep

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki rasa minder untuk berinteraksi dengan orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2014), terlebih bagi individu yang sudah bekerja dan hanya memiliki latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, baik jasmani maupun rohani. Kondisi ini adalah kesempurnaan yang

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. penutup dalam rentang hidup seseorang yaitu suatu periode dimana seseorang

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua merupakan sosok yang paling terdekat dengan anak. Baik Ibu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Panca indera memegang peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Melalui alat inderalah manusia dapat memperoleh pengetahuan dan semua kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia. Salah satu indera yang paling dominan dalam kehidupan manusia adalah indra penglihatan, karena sebagian besar informasi diperoleh melalui mata, selain itu mata juga membantu manusia untuk beraktivitas secara mandiri dalam kehidupan sehari-hari. Kesehatan panca indera merupakan syarat penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang cerdas, produktif, maju, mandiri dan sejahtera lahir batin. Hal ini tercantum pula dalam Undang-Undang no.23 tahun 1992 tentang kesehatan. Disana tertulis bahwa pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dengan demikian, terjadinya gangguan pada penglihatan merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat berdampak pada kualitas hidup dan produktivitas seseorang yang dapat mengurangi kesejahteraan hidupnya. Saat ini gangguan penglihatan dan kebutaan masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang menjadi perhatian dunia, khususnya di Asia dan Afrika. Gangguan penglihatan berada pada urutan keenam di dunia sebagai penyebab hilangnya kesejahteraan hidup dibawah HIV/AIDS (Centre for Eye Research

2 Australia, 2007). Berdasarkan data WHO di tahun 2002, diperkirakan sebanyak 285 juta penduduk dunia mengalami gangguan penglihatan. Dari jumlah tersebut, 39 juta orang mengalami totally blind dan 246 juta orang mengalami low vision. Data tersebut menunjukan bahwa jumlah penyandang low vision di dunia jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah totally blind. Bahkan 90% diantaranya berada di negara berkembang, termasuk Indonesia (http://rsmataaini.co.id). Berdasarkan hasil penelitian penelitian Departemen Kesehatan tahun 2002, jumlah gangguan penglihatan di Indonesia mencapai 5,8 juta orang. Angka ini meliputi gangguan penglihatan berat, yaitu sebanyak 2,2 juta orang dan 3,6 juta orang dengan gangguan sedang. Penyebab paling tinggi dari gangguan kesehatan indera penglihatan tersebut adalah; katarak (52%), glukoma (13,4%), kelainan refraksi (9,5%), gangguan retina (8,5%), kelainan kornea (8,4%) serta gangguan mata lainnya (http://www.depkes.go.id). Jumlah tersebut tersebar di seluruh Indonesia, salah satunya di Jawa Barat. Meskipun belum terdapat data statistik yang pasti untuk menunjukan jumlah penyandang low vision, namun diperkirakan jumlahnya cukup tinggi. Informasi tersebut didukung oleh hasil survey yang dilakukan oleh mahasiswa Pendidikan Luar Biasa FIP UPI Bandung, yaitu bahwa di beberapa kecamatan provinsi Jawa Barat ditemukan peningkatan jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) setiap tahunnya. Peningkatan tersebut berkisar antara 50-75 anak dari setiap kecamatan, dimana sekitar 5-7 orang anak diantaranya mengalami low vision (Nawawi, 2010).

3 Istilah low vision masih cukup asing di masyarakat, oleh karena itu banyak sekali yang mengabaikan gejalanya dan baru melakukan tindakan pengobatan apabila sudah tergolong parah. Kondisi demikian salah satunya disebabkan karena kurangnya sosialisasi tentang low vision. Menurut seorang pemerhati low vision, dr. Ine Renata Musa, Sp.M., selama ini masyarakat hanya mengenal istilah tunanetra (blind), padahal tunanetra terdiri dari low vision dan totally blind (www.syamsidhuhafoundation.org). Selanjutnya, ketua Yayasan Pusat Pelayan Terpadu Low Vision Wyata Guna Bandung, Irham Hosni mengatakan bahwa low vision berbeda dengan totally blind. Penyandang low vision tidak kehilangan seluruh penglihatannya. Hanya saja, selama ini penyandang low vision sering dianggap buta dan disamakan dengan totally blind, sehingga penanganannya menjadi kurang optimal. Beban psikologis yang dialami penyandang low vision pun menjadi lebih besar dibandingkan dengan totally blind. Kondisi tersebut disebabkan karena mereka seperti hidup di antara dua dunia, yaitu mereka bukan orang yang dapat melihat secara normal namun mereka juga bukan orang yang buta. Low vision merupakan salah satu bentuk gangguan penglihatan yang tidak dapat diperbaiki meskipun telah dilakukan penanganan secara medis, seperti dengan menggunakan kaca mata, lensa kontak atau operasi. Ketajaman penglihatan para penyandang low vision kurang dari 6/18 meter sampai dengan persepsi cahaya, dengan luas penglihatan kurang dari 10 derajat dari titik fiksasi. Penyandang low vision masih memiliki sisa penglihatan yang dapat digunakan untuk beraktivitas sehari-hari, hanya saja sangat terbatas (WHO, 1992). Kondisi

4 low vision dapat disebabkan oleh banyak hal, diantaranya karena faktor bawaan (kelahiran atau trauma setelah kelahiran, genetis atau kelainan perkembangan), hereditas atau kondisi lain seperti; infeksi atau penyakit, trauma serta faktor perubahan usia (Freeman, 2007). Kehilangan sebagian atau seluruh fungsi penglihatan merupakan suatu peristiwa yang tidak mudah untuk dihadapi oleh seseorang. Terutama jika kehilangan penglihatan tersebut terjadi secara tiba-tiba. Situasi ini sering diidentikkan dengan kehilangan segalanya yang kemudian dapat membuat seseorang merasa bahwa hidupnya telah berakhir. Fenomena inilah yang kemudian melatarbelakangi salah satu yayasan di Bandung untuk membuat program, Care For Low vision. Program ini bertujuan untuk memberikan pendampingan bagi para penyandang low vision dan keluarganya, serta memberikan edukasi publik dengan tujuan agar para penyandang low vision lebih paham akan kondisinya, sehingga mereka lebih siap menghadapi konsekuensi/dampak dari gangguan penglihatan tersebut. Salah satu divisi yang dikelola oleh X bagi para penyandang low vision adalah pendampingan atau support group. Aktivitas tersebut ditujukan agar para penyandang low vision mempunyai perasaan sepenanggungan sehingga tidak merasa sendiri. Selain itu, diharapkan para penyandang low vision mendapatkan informasi yang benar dan up to date mengenai gangguan yang dialaminya. Adanya aktivitas tersebut pun membuat para pengurus lebih mengetahui kebutuhan mereka dalam membuat berbagai program baru untuk mengembangkan potensi atau keterampilan para penyandang low vision, sehingga kualitas hidup mereka dapat terjaga.

5 Low vision pada umumnya terjadi karena faktor usia, namun dapat juga terjadi pada mereka yang masih berada di usia produktif. Dari jumlah penyandang low vision yang terdaftar di Yayasan X Bandung, rata-rata mereka berusia 20-30 tahun atau berada pada tahap perkembangan dewasa awal. Seperti telah disebutkan diatas, bahwa gangguan penglihatan merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menurunkan kesejahteraan psikologis penyandangnya. Terlebih ketika gangguan penglihatan tersebut terjadi pada saat seseorang mulai memasuki masa dewasa, masa ini dikatakan juga sebagai masa produktif yaitu masa-masa dimana seseorang memiliki tanggung jawab yang besar untuk menyelesaikan pendidikannya, bekerja dan membina keluarga. Selain adanya dampak dari kondisi fisik, peyandang low vision juga mengalami tekanan secara psikologis seiring dengan kondisinya. Beberapa kondisi psikologis yang harus dihadapi oleh para penyandang low vision, diantaranya adalah terjadinya ketidakseimbangan mental pasca menjadi penyandang low vision, keputuasaan, kecemasan dan ketidakpastian sebagai akibat minimnya informasi tentang low vision, kesulitan dalam mengidentifikasi atau memiliki konsep diri positif, antara melihat dan tidak melihat, kesulitan penyesuaian diri dan penyesuaian sosial ketika menggunakan alat bantu, ketidakmampuan mengkomunikasikan berbagai kendala yang dihadapi akibat kondisi low vision yang dialaminya, serta merasa rendah diri dan merasa tidak mampu bersaing dengan orang lain (http://rehsos.kemsos.go.id). Kehilangan penglihatan yang terjadi di usia dewasa, memunculkan lebih banyak tantangan psikologis dibandingkan dengan yang terjadi pada awal masa

6 kehidupan. Hal ini disebabkan karena mereka pernah bergantung pada penglihatannya untuk mengenal dan berhubungan dengan dunia, sehingga keadaan ini berdampak pada caranya mempersepsi banyak hal, mobilitasnya, pekerjaannya, hubungan pribadinya, dan berbagai kegiatan sehari-harinya. Perubahan yang sangat dramatis ini menuntut usaha yang cukup besar untuk dapat menyesuaikan diri. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa gangguan penglihatan sering mengakibatkan tekanan psikologis yang signifikan. Tingginya derajat stres dan depresi pada orang-orang yang mengalami gangguan penglihatan telah dilaporkan dalam banyak penelitian. Beberapa penelitian juga menemukan penurunan kualitas hidup yang signifikan akibat kehilangan penglihatan (Gillman, Simmel, & Simon, 1986; Baik, 2008). Kehilangan penglihatan juga dapat mengakibatkan perasaan malu (Nemshick, McCay & Ludman, 1986), hilangnya integritas diri (Taylor & Upton, 1988), dan penurunan rasa percaya diri (Tolman, Hill, Kleinschmidt & Gregg, 2005), serta harga diri yang rendah (Roy & Mackay, 2002). Dampak dari kehilangan penglihatan telah terbukti sangat mengancam persepsi seseorang terhadap identitas dirinya karena mungkin tidak mampu lagi bekerja pada profesi yang dipilihnya, sehingga merasa tidak dapat diandalkan untuk keluarganya dan tidak dapat berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang memberikan kontribusi untuk dirinya (Duponsel 2012). Berdasarkan wawancara terhadap beberapa orang penyandang low vision yang tergabung di Yayasan X Bandung, pada saat divonis mengalami low vision mereka merasa hidupnya telah hancur dan tidak memiliki harapan untuk

7 mewujudkan cita-citanya. Pada umumnya mereka menolak untuk menerima kenyataan dan menganggap bahwa diagnosa yang dokter salah. Mereka tetap yakin bahwa penglihatan mereka masih dapat disembuhkan. Reaksi penolakan ini muncul dalam berbagai bentuk, beberapa dari mereka ada yang tidak mau memeriksakan kembali dirinya ke dokter dan lebih memilih untuk melakukan pengobatan alternatif, ada juga yang memeriksakan kondisi matanya berulangulang ke sejumlah dokter. Kebanyakan dari mereka juga tidak bersedia mengikuti anjuran dokter untuk segera mengikuti rehabilitasi agar mereka lebih mudah untuk menyesuaikan diri ketika penglihatannya semakin menurun atau bahkan mengalami totally blind. Hal ini disebabkan karena pada umumnya para penyandang low vision masih memiliki sisa penglihatan meskipun sangat terbatas. Sebagian besar penyandang low vision menghayati keterbatasan penglihatan membuat mereka sangat tergantung kepada keluarga dan lingkungan saat beraktivitas, misalnya bepergian, membaca dan menulis. Padahal beberapa dari mereka masih berstatus sebagai mahasiswa, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam menjalani studinya, diantaranya kesulitan untuk mendapatkan informasi, kesulitan untuk mengikuti ujian karena mereka harus mencari orang yang bersedia membantu membacakan materi ujian, bahkan beberapa dari mereka harus drop out dari kuliahnya dan pindah ke perguruan tinggi lain yang menyediakan fasilitas untuk penyandang low vision. Berbagai keterbatasan yang ada membuat mereka merasa tidak memiliki kelebihan didalam dirinya dan tidak dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal yang membuat

8 mereka sulit untuk menerima bahwa mereka mengalami low vision. Tidak hanya mereka namun keluarganya pun sulit untuk menerima, sehingga keluarganya tetap memperlakukan dan menuntut mereka seperti layaknya orang yang memiliki penglihatan normal. Hal ini pun kemudian sering menjadi pemicu stres dan frustrasi terhadap kondisi yang mereka alami. Terjadinya penurunan penglihatan yang terus menerus, membuat para penyandang low vision selalu diliputi rasa cemas akan kehilangan penglihatannya secara total. Saat penglihatannya benar-benar mengalami penurunan yang drastis, pada umumnya mereka marah dan menyalahkan Tuhan. Mereka terus bertanyatanya mengapa saya?. Berbagai gangguan emosi mulai muncul, mereka menjadi mudah marah, mudah tersinggung, mudah menangis dan putus asa dengan keadaannya. Mereka juga mulai mengurung diri dan mengasingkan diri dari lingkungan hingga waktu yang berbeda-beda pada setiap penyandang low vision. Mereka takut keluarga dan lingkungannya akan akan memandang mereka tidak bisa apa-apa. Mereka juga takut kondisi low vision yang dialaminya akan merepotkan dan membuat keluarganya malu karena memiliki anggota keluarga yang tunanetra. Pandangan negatif dari masyarakat merupakan permasalahan lain yang harus mereka hadapi. Kebanyakan masyarakat berpikir bahwa mereka masih dapat melihat dan mampu melakukan aktivitas sendiri atau sebaliknya memperlakukan mereka seperti orang buta, sehingga mereka merasa minder dan tidak percaya diri saat berinteraksi dengan orang yang dapat melihat dengan normal. Beberapa dari mereka memilih untuk merahasiakan kondisi low vision

9 yang dialaminya, mereka juga merasa tidak nyaman saat harus meminta bantuan kepada orang lain atau menggunakan alat-alat bantu penglihatan, terutama jika harus menggunakan tongkat karena mereka merasa bahwa mereka bukanlah orang buta, meskipun sesungguhnya mereka membutuhkannya. Seperti yang dialami oleh seorang penyandang low vision di Yayasan X, kehilangan penglihatannya terjadi secara drastis pada pertengahan masa perkuliahannya. Ketika itu ia tetap bertahan menjalani perkuliahan meskipun kondisi penglihatannya sudah sangat parah dan IPK-nya semakin menurun. Ia merasa tertekan dan sering menangis sendiri karena takut mengecewakan orang tuanya. Ia berusaha merahasiakan keadaannya kepada keluarganya, juga kepada teman-teman dan dosen dikampusnya. Pada akhirnya pihak kampus pun mengetahui kondisinya dan ia harus mengundurkan diri, karena di kampusnya tidak menyediakan layanan bagi mahasiswa berkebutuhan khusus. Pada saat itulah ia mengalami tekanan mental yang sangat berat. Ia sangat menyesal karena untuk bisa masuk ke universitas tersebut tidaklah mudah dan selama ini ia selalu memiliki prestasi yang baik. Ia sempat mengalami depresi, selama satu tahun mengurung diri dan kehilangan semangat untuk menjalani hidupnya. Semua citacita dan harapannya sirna begitu saja. Ia mulai bangkit kembali dan bersedia untuk menjalani kuliah kembali setelah bergabung di yayasan X dan mendapat motivasi dari sesama teman penyandang low vision. Berdasarkan wawancara, seorang pendamping yang juga sebagai penyandang low vision menyatakan bahwa para penyandang low vision masih memiliki sisa penglihatan yang berbeda-beda, sehingga mereka menolak

10 disamakan dengan tunanetra. Kondisi ini juga membuat para penyandang low vision memiliki harapan dan keinginan yang besar untuk hidup seperti orang normal. Terutama untuk para penyandang low vision yang berada pada usia produktif, mereka belum secara penuh menerima kondisinya, sehingga tetap berusaha untuk melakukan aktivitas sendiri tanpa bantuan orang lain. Apalagi untuk belajar menggunakan alat-alat bantu tunanetra, ia sendiri sampai saat ini tidak pernah mau belajar untuk menggunakan tongkat atau alat bantu lainnya. Meskipun ia menyadari hal itu akan sangat membantu dirinya untuk menjalankan aktivitas secara mandiri, namun tidak mudah untuk melakukannya karena takut mendapatkan penilaian negatif dari lingkungannya. Rasa takut mengalami bahaya di perjalanan membuatnya lebih memilih untuk berdiam diri di rumah, sedangkan ketakutan mendapatkan penilaian negatif dari lingkungan membuatnya lebih memilih untuk merahasiakan kondisi low vision yang dialaminya dan bersikap seperti orang-orang yang memiliki penglihatan normal. Banyaknya tekanan psikologis yang harus dihadapi oleh penyandang low vision berkaitan dengan keterbatasan penglihatan yang dialaminya dapat menurunkan kesejahteraan psikologisnya. Kesejahteraan psikologis atau yang dinamakan juga dengan psychological well-being merupakan konsep dasar dari level mikro yang membawa informasi mengenai evaluasi atau penilaian seseorang terhadap dirinya yang merupakan hasil evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya (Ryff, 1995). Psychological well-being yang selanjutnya disingkat dengan PWB, tersusun atas enam dimensi,

11 yang terdiri dari self-acceptance, positive relations with others, environmental mastery, autonomy, purpose in life, dan personal growth. Seseorang yang mempunyai PWB tinggi akan senantiasa berusaha menggunakan kemampuan terbaiknya untuk menghadapi tantangan dalam hidupnya, sehingga dapat menjalani hidup secara optimal. Mereka dapat menerima keadaan yang mereka alami, mereka juga dapat membina hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki tujuan hidup dan mampu memutuskan sesuatu yang penting berkaitan dengan diri mereka sendiri, mereka juga dapat menggunakan kesempatan yang ada di lingkungannya dan berusaha untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki. Sebaliknya, seseorang yang mempunyai PWB rendah, merasa tidak puas dengan kehidupan mereka, dimana mereka tidak dapat menerima keadaan mereka termasuk kekurangan yang ada pada diri mereka. Mereka juga tidak dapat membangun hubungan yang hangat dengan orang lain dan kurang mampu memanfaat kesempatan yang ada di lingkungan untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki, sehingga mereka kurang dapat menjalani hidup secara optimal dan tidak memiliki tujuan hidup. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indah (2013) terhadap 14 dewasa awal penyandang low vision di Yayasan X Bandung, didapatkan data bahwa sebanyak 8 orang (57.1%) memiliki derajat PWB yang rendah dan 6 orang (42.9%) lainnya memiliki derajat PWB yang tinggi. Berikut adalah gambaran persentase dari 8 orang penyandang low vision yang menunjukkan PWB rendah dari hasil penelitian tersebut;

12 8 orang responden (100%) belum dapat menerima keadaan low vision yang dialaminya. Mereka cenderung memandang keadaan low vision sebagai suatu kekurangan yang membuat mereka merasa tidak yakin pada diri mereka sendiri. Mereka juga merasa lebih banyak memiliki kekurangan jika dibandingkan orang lain, khususnya mereka yang dapat melihat dengan normal (self acceptance). 8 orang responden (100%) mengalami kesulitan untuk menggunakan segala daya dan kesempatan yang ada di lingkungan untuk menyelesaikan masalah yang mereka miliki. Mereka merasa tugas dan kewajiban yang harus mereka lakukan adalah sesuatu yang memberatkan. Keadaan matanya membuat mereka cepat lelah dan membutuhkan waktu yang lebih lama dalam melakukan suatu pekerjaan. Mereka juga sulit untuk mengatur waktu dan menyusun rencana kegiatan yang sudah mereka buat, terkadang mereka merasa frustrasi dan pada akhirnya menjalani hidup sebagaimana mereka dapat menjalaninya (environmental mastery). 5 orang responden (62.5%) mengalami kesulitan untuk membina dan mempertahankan hubungan dekat dengan orang lain. Mereka seringkali merasa sebagai orang luar dan tidak merasa terlibat dalam pembicaraan dan aktivitas yang dilakukan kelompoknya. Hal ini terkadang membuat mereka merasa terasing dan tidak nyaman di dalam lingkungan tersebut (positive relations with others). 4 orang responden (50%) merasa ragu untuk mengungkapkan pendapat. Mereka takut akan penilaian orang lain terhadap pendapat mereka,

13 sehingga mereka cenderung berdiam diri. Para responden cenderung bergantung pada orang lain untuk membantu mereka didalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Hal ini menyebabkan tidak adanya keberanian untuk mencoba hal yang bisa dilakukan sendiri dan menciptakan suatu ketergantungan yang membuat mereka tidak bisa hidup secara mandiri (autonomy). 2 orang responden (25%) merasa adanya keterbatasan pada diri mereka dan pada batasan tertentu mereka tidak akan dapat bertumbuh dan berkembang. Mereka menyukai kegiatan yang menantang dan dapat mengembangkan diri namun mereka tidak melakukannya karena merasa memiliki keterbatasan penglihatan. Mereka merasa bahwa masalah penglihatan dapat mempengaruhi kompetensi mereka dalam beraktivitas (personal growth). 2 orang responden (25%) juga merasa bahwa keadaan low vision menghalangi pencapaian tujuan mereka. Mereka pernah mengalami masa dimana mereka dalam proses untuk mencapai tujuan, namun keadaan low vision yang mereka alami menghalangi mereka untuk dapat mencapai cita-cita. Keseharian yang dilakukan adalah kegiatan rutin sehari-hari yang dirasakan sepele dan tidak penting sehingga menutup adanya kemungkinan munculnya kesempatan yang lebih baik untuk mencapai tujuan mereka (purpose in life).

14 Berdasarkan hasil penelitian tersebut self acceptance dan environmental mastery merupakan dimensi yang paling signifikan pada dewasa awal penyandang low vision di Yayasan X Bandung yang memiliki derajat PWB rendah. Menurut Ryff (1989), dimensi self acceptance dan environmental mastery memiliki kaitan yang sangat erat. Ryff (1989) juga yang menyatakan bahwa self-acceptance merupakan key part dari PWB. Dengan demikin self acceptance merupakan dimensi yang penting dalam pembentukan PWB. Rendahnya self acceptance pada sebagian para penyandang low vision dewasa awal ini, membuat mereka mengalami kesulitan untuk dapat beradaptasi dengan kondisi low vision yang dialaminya, sehingga derajat PWB mereka menjadi rendah. McCracken dan Eccleston (2003 dalam Johnston, 2008) menggambarkan penerimaan sebagai melepaskan diri dari perjuangan rasa sakit, bersikap realistis tentang rasa sakit, dan terlibat dalam kegiatan sehari-hari yang bermanfaat. Penerimaan sangat membantu dalam hal penyesuaian karena digunakan untuk mempromosikan individu untuk menjalani kehidupan yang memuaskan meskipun sakit. McCracken dan Eccleston (2003) berpendapat bahwa penerimaan dapat diandalkan untuk menengahi upaya perubahan perilaku yang efektif. Semakin tinggi keberhasilan seorang mengadaptasikan dirinya dengan kondisi ketunanetraannya, akan semakin tinggi pula kemampuan fungsionalnya, harga dirinya, dan kepuasan hidupnya, serta akan semakin rendah tingkat depresinya (Elliott & Kuyk, 1994; Horowitz & Reinhardt, 1998). Berdasarkan

15 hasil penelitian yang dilakukan oleh The Arlene R. Gordon Research Institute (Lighthouse Internasional, 2007), terdapat beberapa strategi yang dapat membantu banyak orang tunanetra beradaptasi dengan ketunanetraannya. Penerimaan yang realistis terhadap kehilangan penglihatan, tidak menolak dan juga tidak membesar-besarkan dampaknya, merupakan salah satu langkah terpenting untuk mengatasi tantangan yang diakibatkan ketunanetraan (Tarsidi, 2008). Maka dibutuhkan usaha untuk membantu meningkatkan penerimaan dari penyandang low vision terhadap keadaan yang dialaminya. Salah satu intervensi yang dapat digunakan untuk mencapai penerimaan dan perubahan, adalah dengan menggunakan Acceptance and Commitment Therapy, selanjutnya disingkat dengan ACT yang dipopulerkan oleh Steven C. Hayes. ACT merupakan jenis psikoterapi yang membantu individu menerima kesulitan yang datang dalam kehidupannya. ACT mengaplikasikan proses kesadaran dan penerimaan, yang meyakini bahwa kesejahteraan lebih baik dapat dicapai dengan mengatasi pikiran dan perasaan negatif. Seluruh metode dari ACT berusaha untuk menciptakan fleksibilitas psikologis yaitu kemampuan untuk secara penuh berhubungan dengan situasi yang sekarang sedang dihadapi sebagai manusia yang sadar dan untuk berubah atau tidak sesuai dengan nilai yang mereka miliki (Hayes, 2006). Fleksibilitas psikologis merupakan satusatunya prediktor yang paling efektif dari PWB seseorang (Bond & Bunce, 2003). Dengan memediasi peran dari fleksibilitas psikologis, ACT dapat membantu penyandang low vision untuk meningkatkan derajat PWB yang

16 dimilikinya serta menjalani kehidupan yang lebih bermakna meskipun mengalami keterbatasan dalam penglihatannya. Beberapa hasil penelitian sebelumnya yang menggunakan ACT, hasilnya telah terbukti bahwa ACT dapat meningkatkan kesehatan mental dan wellbeingness. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Bergman (2010), menunjukkan bahwa intervensi ACT memiliki pengaruh positif terhadap peningkatan PWB pada ibu-ibu yang memiliki anak autis. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan adanya peningkatan dalam fleksibilitas psikologis, keterampilan mindfulness, penurunan tingkat depresi dan perubahan kualitas hidup. Setelah menjalani ACT para responden menjadi lebih mampu menerima pikiran dan perasaan mereka, mampu menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Lebih jauh lagi, para responden menjadi lebih menyadari masalah yang terjadi di dalam hidupnya dan mulai melakukan perubahan sesuai dengan nilai-nilai yang mereka miliki. Berdasarkan fakta diatas, maka peneliti tertarik untuk memberikan intervensi ACT kepada penyandang low vision usia dewasa awal di Yayasan X Bandung yang memiliki derajat PWB rendah. 1.2 Identifikasi Masalah Apakah penerapan ACT berpengaruh terhadap peningkatan derajat PWB pada penyandang low vision dewasa awal di Yayasan X Bandung?

17 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan ACT dalam meningkatkan derajat PWB pada penyandang low vision usia dewasa awal di Yayasan X Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan derajat PWB melalui penerapan ACT pada penyandang low vision usia dewasa awal di Yayasan X Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis - Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan khususnya dalam bidang psikologi klinis mengenai efektivitas ACT, yang dapat digunakan sebagai salah satu intervensi untuk meningkatkan derajat PWB pada penyandang low vision dewasa awal. - Menambah referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian sejenis ataupun penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan efektivitas ACT untuk menurunkan derajat PWB pada penyandang low vision.

18 1.4.2 Kegunaan Praktis - Bagi penyandang low vision, penerapan ACT diharapkan dapat memahami faktor-faktor psikologis yang berperan dalam meningkatkan derajat PWB yang dimilikinya, sehingga mampu mengembangkan seluruh potensi dirinya secara optimal dalam seluruh aspek kehidupannya. - Bagi pihak Yayasan X, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai intervensi yang dapat digunakan untuk meningkatkan derajat PWB para penyandang low vision yang tergabung di yayasan tersebut. - Bagi pihak pendamping atau keluarga, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai berbagai aspek psikologis yang berpengaruh terhadap peningkatan derajat PWB para penyandang low vision, sehingga dapat memberikan bantuan dan dukungan secara efektif. 1.5 Metodologi Penelitian Penelitian ini mencoba untuk mengetahui penerapan Acceptance and Commitment Therapy (ACT) dalam meningkatkan derajat Psychological Well- Being (PWB) pada penyandang low vision dewasa awal di Yayasan X Bandung. Subjek dalam penelitian ini adalah dua orang penyandang low vision yang memiliki derajat Psychological Well-Being (PWB) rendah. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu pemilihan sampel yang didasarkan pada kriteria tertentu sesuai dengan tujuan penelitian.

19 Rancangan penelitian yang digunakan adalah one group pre-test and posttest design, dimana kepada subjek penelitian dilakukan dua kali pengukuran yaitu sebelum dan sesudah dilakukan intervensi, yang dalam hal ini adalah Acceptance and Commitment Therapy (ACT). Data yang diperoleh pada penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan teknik analisis deskriptif, yaitu mencoba menggambarkan hasil penelitian dalam bentuk uraian deskriptif dan melakukan perbandingan secara kualitatif antara hasil pretest dan posttest. ***