Partisipasi LSM..., Firsty Husbani, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia. Mundurnya Demokrasi di Indonesia. Demos.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi diawal 1998 dapat dikatakan tonggak perubahan bangsa Indonesia.

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

I. PENDAHULUAN. diperlukan sikap keyakinan dan kepercayaan agar kesulitan yang kita alami. bisa membantu semua aspek dalam kehidupan kita.

AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI LSM: Perspektif Pemerintah Daerah

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA PAPUA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. terhadap pengelolaan pemerintahan yang baik. Salah satu agenda reformasi yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good

BAB I PENDAHULUAN. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Namun karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah yaitu: Undang-

PANDUAN AKUNTABILITAS POLITIK

SAMBUTAN KUNCI MENTERI KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM DAN KEAMANAN PADA PERTEMUAN BAKOHUMAS TINGKAT NASIONAL DAN ANUGERAH MEDIA HUMAS TAHUN 2013

ABSTRAK (RINGKASAN PENELITIAN)

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan

Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyatakan: Negara Indonesia adalah negara hukum.

PEMBINAAN ORGANISASI MITRA PEMERINTAH

BAB I PENDAHULUAN. teknik-tekniknya, kerangka dasar konseptual ini terdiri dari standar (teknik,

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

APA ITU DAERAH OTONOM?

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR..TAHUN.. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

PARTISIPASI PUBLIK DALAM PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

Struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial suatu masyarakat dapat menciptakan atau melanggengkan demokrasi, tetapi dapat pula mengancam dan mele

BAB I PENDAHULUAN. langsung dalam pemelihan presiden dan kepala daerah, partisipasi. regulasi dalam menjamin terselenggaranya pemerintahan

BAB II DASAR TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD)

kliping ELSAM KLP: RUU KKR-1999

M E M U T U S K A N :

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah. Di samping sebagai strategi untuk menghadapi era globalisasi,

Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa idealnya mempunyai peran

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);

BAB I PENDAHULUAN. sebuah organisasi yang tidak berpenghasilan tetapi justru mengeluarkan

BAB I PENDAHULUAN. peraturan perundang-undangan baik berupa Undang-Undang (UU) maupun

POLITICS AND GOVERNANCE IN INDONESIA:

HAK AKSES INFORMASI PUBLIK. Oleh: Mahyudin Yusdar

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak

BAB I PENDAHULUAN. membuat isu-isu semacam demokratisasi, transparansi, civil society, good

BAB 1 PENDAHULUAN. selaku pejabat publik dengan masyarakat. Dan komunikasi tersebut akan berjalan

IMPLEMENTASI PRINSIP GOOD GOVERNANCE DI PEMERINTAHAN DESA (Studi Kasus di Kantor Kepala Desa Gedongan Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen)

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. politik sangat tergantung pada budaya politik yang berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan pemekaran kabupaten Simalungun. Adanya pergantian anggota dewan untuk 5 tahun ke depan pasca

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

RANCANGAN PERATURAN KPU TENTANG SOSIALISASI, PENDIDIKAN PEMILIH, DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam memberantas

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia telah memasuki masa pemulihan akibat krisis ekonomi yang

Kontroversi UU Tanpa Pengesahan Presiden: Tinjauan Hukum dan Politik

Materi Teknis RTRW Kabupaten Pidie Jaya Bab VIII

VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

BAB I PENDAHULUAN. demokrasi, desentralisasi dan globalisasi. Jawaban yang tepat untuk menjawab

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

proses perjalanan sejarah arah pembangunan demokrasi apakah penyelenggaranya berjalan sesuai dengan kehendak rakyat, atau tidak

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1945 disebutkan bahwa negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang

BAB I PENDAHULUAN. fungsi-fungsi tersebut. Sebagaimana lembaga legislatif DPRD berfungsi

BAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program

MODEL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE (STUDI DI KOTA SALATIGA) PERIODE

IDENTIFIKASI MATERI RUU ORMAS YANG DIPERKIRAKAN BERKAITAN DAN BERPOTENSI DISHARMONISASI DENGAN RUU PERKUMPULAN DAN UU YAYASAN

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi dewasa ini, kita dihadapkan pada perubahan arah

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. memburuk, yang berdampak pada krisis ekonomi dan krisis kepercayaan serta

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 Pendahuluan L IHA PEMILIHAN UMUM

Regulasi Tahapan dalam Siklus Akuntansi. Contoh Hasil Regulasi Publik Sektor Publik. Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap

PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH (Suatu Studi pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro)

konsil lsm indonesia

BAB 14 PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. melaluinya masyarakat dapat menyalurkan, menitipkan mandat dan harapan.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial,

Antara Harapan dan Kecemasan Menyusup di Celah Sempit Pemilu 2004

BAB I PENDAHULUAN. sistem tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang ditandai

LAPORAN SINGKAT =============================================================

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perubahan politik di Indonesia saat ini mewujudkan administrasi negara yang

Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Warga negara sangat berperan dalam menentukan masa depan negara.

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Berlakunya Undang-Undang no 22 tahun 1999 dan Undang-Undang no 25

DEMOKRASI : TEORI DAN PRAKTIK

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebuah hasil penelitian menyebutkan bahwa setelah jatuhnya rejim Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, Indonesia kemudian menjadi Negara demokrasi baru yang terbesar di dunia, disamping Amerika Serikat dan India 1. Demokrasi merujuk pada kontrol masyarakat melalui keputusan kolektif yang mengikat dalam permasalahan yang menjadi perhatian bersama 2. Dalam era demokrasi baru ini, Indonesia telah membuktikan terjadinya proses pemilu demokratis yang telah terjadi pada tahun 1999, 2004 serta yang baru saja berlangsung pada 2009 ini. Proses pemilu yang telah berlangsung secara damai itu, menyajikan beragam pilihan politik yang tersedia bagi warga. Hal ini ditunjukan dengan sejumlah partai politik peserta pemilu yang semakin meningkat bila dibandingkan dengan masa orde baru yang hanya diikuti oleh 3 partai politik (Pada Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik; pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik, dan pada pemilu 2009 ini diikuti oleh 38 partai politik. Dalam ruang demokrasi, beragamnya pilihan yang tersedia telah memberikan pembelajaran politik yang sangat berharga bagi warga. Selain itu, era demokrasi baru juga terlihat dari adanya pengalihan kekuasaan pemerintahan ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Hal ini ditandai dengan adanya kebijakan desentralisasi yang telah dimulai pada tahun 1999 yang kemudian diperbaiki pada tahun 2004 3. Pemberlakuan Undang-undang Pemerintahan Daerah pada tahun 1999 telah mendelegasikan sebagian kewenangan dari pemerintah pusat pada pemerintah tingkat kabupaten. Pemberian kewenangan otonomi daerah ini, secara konseptual, dipercaya akan memberikan kemampuan bagi pemerintah daerah 1 Laporan Eksekutif Survey Nasinal Demos 2007-2008. (2008). Satu Dekade Reformasi: Maju dan Mundurnya Demokrasi di Indonesia. Demos. 2 Priyono, A.E., et.al. (2003). Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto. Demos. Hal. XII- XV 3 saat ini undang-undang tentang otonomi daerah, yaitu Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tengah dalam proses revisi. Revisi ini dilakukan mengingat mekanisme pemilihan kepala daerah langsung dipindahkan menjadi bagian dari UU pemilu. Proses revisi ini tampaknya membagi UU 32/2004 menjadi 3 RUU, yaitu pasal-pasal mengenai pemilihan kepala daerah akan menjadi bagian dari UU pemilu, satu RUU mengenai pemerintahan daerah yang mengatur pemerintahan daerah tingkat propinsi, kabupaten, dan kecamatan; serta satu RUU yang khusus mengatur mengenai desa serta hubungannya dengan pemerintahan di tingkat atasnya.

2 untuk dapat menyerap aspirasi warga agar sesuai dengan tuntutan daerah masingmasing. Reformasi desentralisasi merupakan perwujudan dari komitmen Indonesia menuju pemerintahan daerah yang demokratis dan pembangunan yang berkelanjutan. Kebijakan desentralisasi juga menjadi penanda terbukanya ruang yang lebih luas bagi usaha pembangunan daerah dan ruang partisipasi warga yang lebih besar dalam kepemerintahan. Dalam perjalanannya, penyempurnaan terhadap kebijakan otonomi daerah yang mulai berlaku sejak 1999, sebagaimana dilakukan melalui Undang-undang nomor 32 tahun 2004 cukup memberikan keseimbangan pada pelaksanaan otonomi daerah. Keseimbangan ini terlihat dengan diberikan kewenangan propinsi untuk bertindak sebagai wakil pemerintah pusat di daerah; yang bertindak sebagai pengawas pemerintah kabupaten. Perubahan kebijakan ini dilakukan setelah mengalami betapa ruang desentralisasi ternyata lebih banyak dimanfaatkan oleh kelompok elit daerah sehingga memunculkan adanya raja-raja lokal; yang justru kurang memberikan ruang partisipasi bagi warga pada umumnya. Koreksi yang dilakukan dengan undang-undang 32 tahun 2004 telah memperbaiki sistem kepemerintahan di tingkat lokal, yang lebih memberi ruang partisipasi. Berbagai proses kepemerintahan di tingkat lokal saat ini telah memberi ruang yang cukup demi menghindari munculnya raja-raja kecil. Sistem perencanaan pembangunan daerah misalnya, telah memberikan ruang yang cukup bagi terbukanya komunikasi berbagai pihak terkait sehingga proses pembangunan di daerah menjadi kepentingan dan isu bersama. Proses reformasi juga membuka ruang bagi munculnya kebebasan pers dan kebebasan mengemukakan pendapat. Diberlakukannya Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999 ini telah memberikan kebebasan bagi media untuk berekspresi dan beropini. Disamping itu, terbitnya undang-undang keterbukaan informasi publik juga memberikan jaminan akses informasi penting bagi publik. Kedua undangundang ini merupakan ruang-ruang penting yang dihasilkan dari reformasi. Dengan adanya jaminan kebebasan pers, media dapat memainkan peran sebagai media kontrol baik bagi pemerintah maupun bagi warga. Dalam ruang kebebasan ini, media memainkan peran penting sebagai corong. Dalam kerangka

3 kebebasan, peran corong ini tidak lagi mengeluarkan berita-berita seragam. Beragamnya informasi yang tersedia, merupakan media pembelajaran politik yang baik bagi warga, sehingga warga menjadi terasah untuk mampu membaca dan memilah informasi-informasi yang diterimanya. Ruang kebebasan pers ini juga menuntut pertanggungjawaban media untuk dapat menyajikan informasi yang faktual. Dengan mekanisme pertanggungjawaban langsung kepada publik, maka media pun mau tidak mau dintuntut untuk bertindak professional, dengan tidak mengeluarkan informasi-informasi tidak berdasar yang justru akan menyesatkan. Bagi warga, beragamnya pilihan informasi juga akan meningkatkan kecerdasan dalam memilah dan memilih informasi. Informasiinformasi inilah yang kemudian akan menjadi bekal bagi terciptanya partisipasi warga yang lebih bermakna. Kebijakan informasi publik yang dapat diakses juga akan memberikan bekal tambahan bagi warga untuk dapat berpartisipasi secara lebih bermakna. Sebelum era reformasi, informasi-informasi publik misalnya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, sangatlah sulit untuk bisa diakses oleh warga. Bahkan, untuk memperoleh dokumen Undang-undang pun, ada proses berbelit yang harus dilalui oleh warga untuk dapat mengaksesnya. Dengan adanya kebijakan ini, ada kemudahan bagi warga untuk memperoleh informasi-informasi yang memang bersifat publik. Adanya undang-undang keterbukaan informasi publik, yaitu Undang-undang nomor 14 tahun 2008, masyarakat menjadi memiliki hak untuk dapat mengakses dokumen-dokumen publik, seperti dokumen perencanaan pembangunan, dokumen keuangan daerah, dokumen tata ruang, dan lain-lain. Akses terhadap dokumendokumen ini, membuat warga mampu mengetahui apa yang tengah direncanakan oleh pemerintah yang juga pada akhirnya akan membekali masyarakat untuk memberikan saran dan pendapat atas rencana yang tengah disusun oleh pemerintah. Berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan pada dasarnya telah membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga untuk terlibat dalam proses kepemerintahan. Ruang partisipasi ini merupakan perwujudan dari partisipasi politik warga, dimana politik yang dimaksud disini adalah politik dalam pengertian daily politics. Nie dan Verba (1978:1) merujuk pada kajian klasik partisipasi

4 politik dari Nie dan Verba dari tahun 1972 (hal:2) mendefinisikan partisipasi politik sebagai legal acts by private citizens that are more or less directly aimed at influencing the selection of governmental personnel and/or the actions that they take (kegiatan legal oleh warga yang secara langsung atau tidak langsung ditujukan untuk mempengaruhi proses pemilihan aparat pemerintahan dan/atau tindakan yang akan diambil oleh pemerintah) 4. Sedangkan kajian yang dilakukan oleh the British Council dan New Economics Foundation (2001: 1-6) yang merujuk pada Parry, Mosley, dan Day (1992:16) mendefinisikan partisipasi politik sebagai keikutsertaan dalam proses formulasi, pengesahan dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan 5. Ruang partisipasi yang dibuka sejak era reformasi semakin dikuatkan dengan diterbitkannya undang-undang tentang tata cara penyusunan peraturan perundangundangan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004) yang memberikan ruang partisipasi warga untuk ikut terlibat dalam proses penyusunan perundangundangan, baik ditingkat nasional maupun di tingkat lokal (tingkat propinsi, kabupaten, dan desa). Ruang yang terbuka ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk terus menerus berusaha agar kepentingan mereka dapat terealisasi dalam suatu kebijakan. Hak masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya ini telah mendapat jaminan perlindungan hukum. 1.2. Perumusan Masalah Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan, mekanisme partisipasi publik dalam proses penyusunan perundang-undangan telah diakui secara formal. Ruang partisipasi ini diatur dalam bab tersendiri, yaitu Bab X tentang partisipasi masyarakat. Bab ini hanya berisi satu pasal (tanpa ayat), yaitu Pasal 53 yang menyebutkan bahwa Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang- 4 Verba, Sidney; Nie, Norman H.; & Kim, Jae-On. (1978). Participation and Political Equality: A Seven-Nation Comparison. Cambridge. Cambridge University Press. Hal. 1 5 Mewujudkan Partisipasi: 21 Teknik Partisipasi Masyarakat untuk Abad 21. (2001). The British Council & New Economics Foundation. Hal. 1-6

5 undangan dan rancangan peraturan daerah. Jadi, menurut Undang-undang ini, partisipasi dalam penyusunan peraturan adalah hak masyarakat. Pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme berjalannya partisipasi ini diatur lebih lanjut dalam tata tertib DPR/DPRD 6. Selama masa sidang DPR periode 2004-2009, ada beberapa perundangundangan yang telah dibahas dan beberapa diantaranya juga telah diterbitkan. Diantara peraturan tersebut, yang terkenal dikalangan LSM 7 adalah rancangan undang-undang terkait pemilu, undang-undang mengenai keterbukaan informasi publik, beberapa rancangan perundang-undangan tentang pemekaran daerah dan pembentukan daerah baru, rancangan undang-undang mengenai pelayanan publik, rancangan undang-undang terkait otonomi daerah, undang-undang terkait pertambangan, undang-undang tentang antipornografi. Kalangan LSM yang mengetahui adanya hak berpartisipasi ini tentu saja memanfaatkan ruang publik yang tersedia tersebut untuk terlibat dalam proses penyusunan perundanganundangan, sesuai dengan ketertarikan minat dan latar belakang pengetahuan mereka. Keterlibatan kalangan LSM ini tidak terlepas dari kepentingan mereka dalam rangka memberikan jaminan perlindungan hukum bagi kelompok-kelompok masyarakat, terutama kelompok yang termarjinalkan. Yappika bersama Koalisi MP3 terlibat aktif dalam proses perancangan RUU Pelayanan Publik dengan mendorong agar ada perhatian terhadap kelompok diffable. Disisi yang lain, tujuan dari partisipasi publik dalam proses penyusunan perundangan-undangan adalah demi tercapainya cita-cita hukum dan sesuai dengan harapan masyarakat. Dalam perjalanan kehidupan bernegara ini, telah dialami beberapa rancangan peraturan yang dinilai tidak sesuai dengan kondisi sosial masyarakat sehingga mendapatkan penolakan dari masyarakat. Kasus terakhir yang mengemuka dalam berita berbagai media adalah kontroversi terhadap rancangan undang-undangan antipornografi 8. 6 Penjelasan Pasal 53 UU 10/2004 menyebutkan bahwa Hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat/dewan, perwakilan rakyat daerah. 7 LSM seperti Yappika, ICW, ICEL, VAB, YLBHI, Imparsial, FITRA, IPW, LBH Apik, dll. 8 Kalangan LSM pada saat proses advokasi terhadap rancangan undang-undang tentang tata cara penyusunan perundang-undangan (yang kemudian menjadi undang-undang nomor 10 tahun 2004)

6 Keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan perundang-undangan dapat mengurangi potensi masalah sosial yang akan timbul dengan adanya peraturan tersebut. Seperti yang telah terlihat dalam kasus undang-undang pornografi, dengan adanya keterlibatan masyarakat, baik itu masyarakat yang pro atas UU antipornografi maupun masyarakat yang menolak UU antipornografi, masing-masing pihak pada akhirnya dapat menerima UU tersebut. Sejalan dengan paparan diatas, menjadi menarik untuk mengkaji keberadaan ruang publik ini serta siapa saja yang berkesempatan memanfaatkan ruang publik tersebut. Secara lebih detail, permasalahan yang ingin dilihat adalah: A. Bagaimanakah mekanisme pelaksanaan partisipasi publik yang telah dijamin oleh UU no. 10 tahun 2004? a. Bagaimanakah proses sosialisasi yang telah dilakukan terhadap adanya hak partisipasi publik tersebut? b. Bagaimanakah DPR merancang dan mengembangkan ruang publik dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan? B. Bagaimanakah pemanfaatan ruang publik yang disediakan UU no. 10/2004 tersebut oleh kalangan civil society, dalam hal ini LSM? Bagi kalangan LSM, apa sajakah alasan atau faktor pendorong untuk berpartisipasi? Apa sajakah cara-cara, strategi-strategi, serta tujuan yang ingin dicapai dengan memanfaatkan ruang publik tersebut? Bagaimanakah bangunan mekanisme partisipasi yang dibangun LSM dalam menggalang partisipasi publik yang lebih luas dari masyarakat? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu: a) Mendeskripsikan mekanisme partisipasi publik dalam proses penyusunan kebijakan publik dalam proses penyusunan perundang-undangan di DPR setelah berlakunya UU nomor 10 tahun 2004. b) Mendapatkan gambaran dan menganalisa pemanfaatan ruang publik dalam proses penyusunan perundang-undangan oleh kalangan civil society. Secara mengajukan contoh rancangan undang-undang tentang keadaan bahaya yang menimbulkan reaksi keras dari masyarakat.

7 lebih spesifik, analisa difokuskan pada cara-cara, strategi yang dilakukan kalangan LSM dalam memanfaatkan ruang publik ini. Dari sisi ini, dapat dilihat pola pemanfaatan ruang publik oleh LSM, serta melihat pola hubungan antara LSM dengan masyarakat dalam proses pemanfaatan ruang publik tersebut. Secara tidak langsung, penelitian ini juga akan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi apa saja yang bisa dilakukan agar masyarakat bisa berpartisipasi secara aktif. Dari dua hal diatas, pada intinya, tujuan besar yang ingin dicapai dengan penelitian ini adalah merekomendasikan model partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan. 1.4. Signifikansi Penelitian Dengan dilakukannya penelitian ini: a) dari segi teoritis/akademis; Hasil penelitian melihat bagaimana partisipasi publik dalam pemanfaatan ruang publik dalam proses penyusunan perundang-undangan. Partisipasi publik yang dirujuk disini adalah partisipasi publik yang merupakan bagian dari partisipasi politik. Selama ini partisipasi politik lebih sering diterjemahkan sebagai partisipasi dalam kegiatan pemilu. Dari penelitian ini, bisa dilihat bahwa partisipasi politik tidak hanya menyangkut pemilu saja, melainkan lebih luas lagi, yaitu bagaimana partisipasi dalam kepemerintahan, dalam hal ini adalah partisipasi dalam proses penyusunan kebijakan publik. b) dari segi praktis: ada dua hal yang menjadi perhatian, yaitu: dari hasil analisa terhadap proses pemanfaatan ruang publik yang menjadi pendorong partisipasi publik, penelitian ini merekomendasikan proses pembelajaran politik yang seperti apakah yang bisa dilakukan agar masyarakat dapat memanfaatkan ruang publik yang telah disediakan oleh undang-undang dari segi sistem, penelitian ini memberikan rekomendasi bagi perbaikan sistem ruang publik yang akan diterjemahkan dalam tata tertib DPR maupun

8 kebijakan lainnya. 1.5. Delimitasi dan Limitasi Penelitian Delimitasi pada penelitian ini terbatas pada ruang publik dalam proses pembuatan kebijakan publik, dalam hal ini pada proses penyusunan perundangundangan. Untuk melihat pelaksanaan hak masyarakat terlibat dalam proses penyusunan perundang-undangan, sangatlah tidak memungkinkan apabila hendak melihat seluruh RUU yang dibahas DPR. Oleh karenanya, dari sekian banyak perundang-undangan yang dibahas pada masa kerja DPR periode 2004-2009, yang dipilih pada penelitian ini adalah RUU tentang Keterbukaan Informasi Publik (disahkan pada akhir 2008 dan baru akan berlaku pada 2010) dan RUU Pelayanan Publik. Disamping itu, pada penelitian ini partisipasi politik yang dirujuk bukan sekedar partisipasi dalam urusan pemilu, melainkan partisipasi yang lebih luas lagi, yaitu partisipasi dalam suatu proses pembuatan kebijakan publik. Dari kedua RUU tersebut peneliti mengetahui proses yang terjadi, terutama proses pada masa-masa awal ketika kedua RUU tersebut mulai dibahas. Meski tidak terlibat secara langsung dalam proses kedua RUU tersebut, peneliti selalu berusaha untuk mendapatkan perkembangan informasi tentang kerja-kerja yang dilakukan oleh dua koalisi LSM yang bekerja untuk kedua RUU tersebut. Limitasi dalam penelitian ini adalah bahwa dengan beragamnya karakter publik, dalam hal ini masyarakat, maupun elemen civil society. Pada penelitian ini, fokus analisa adalah elemen lembaga swadaya masyarakat, sebagai salah satu bentuk dari civil society organization, yang sekaligus juga merupakan satu elemen saja dari civil society. Tentu saja, keterbatasan ini tidak dapat menjadi dasar dilakukannya generalisasi terhadap kondisi masyarakat yang seutuhnya; maupun generalisasi terhadap civil society itu sendiri.

9 1.6. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Penelitian intensif dilakukan pada periode: No. Kegiatan Maret April Mei Juni 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4 1. Kegiatan Lapangan Observasi Wawancara Studi Dokumen 2. Analisa Data 3. Penulisan Laporan 4. Colloqium 5. Sidang Tesis Matriks 1: Jadwal Penelitian 1.7. Teknik Penulisan Laporan BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Signifikansi Penelitian 1.5 Delimitasi dan Limitasi Penelitian 1.6 Jadwal Pelaksanaan Penelitian 1.7 Teknik Penulisan Laporan BAB II Partisipasi Publik Dalam Ruang Publik Untuk Proses Pembuatan Kebijakan Publik 2.1 Konteks Penelitian 2.2 Konsep Ruang Publik 2.3 Konsep Partisipasi Politik 2.4 Konsep Partisipasi Publik

10 2.5 Konsep Kebijakan Publik 2.6 Konsep Civil Society (CS) BAB III Metodologi Penelitian 3.1 Pengantar 3.2 Prosedur Pengumpulan Data 3.3 Model Analisis Data 3.4 Metode Verifikasi Data Bab IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Ruang Publik dalam Penyusunan Kebijakan Publik 4.1 Proses Penyusunan Perundang-undangan 4.2 Mekanisme Partisipasi dan Penyebarluasan Informasi pada Publik 4.3 Ruang Publik dan Akuntabilitas Politik BAB V Partisipasi Civil Society dalam Penyusunan Kebijakan Publik 5.1 Civil Society dan Ruang Publik 5.2 Pilihan Strategi yang dilakukan Civil Society dalam Mempengaruhi Proses Pembuatan Kebijakan Publik 5.3 Peran Civil Society dalam Kerangka Governance untuk Proses Pembuatan Kebijakan Publik BAB VI Kesimpulan dan Saran 6.1 Kesimpulan 6.2 Saran/Rekomendasi