GUBERNUR SULAWESI BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PENAATAN HUKUM LINGKUNGAN

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

I. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TANA TORAJA PROVINSI SULAWESI SELATAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI LUWU PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 14 TAHUN 2012

WALIKOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURANDAERAH KOTA MAKASSAR NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PELINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 810 TAHUN : 2011

PERENCANAAN PERLINDUNGAN

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

-1- BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

WALIKOTA TIDORE KEPULAUAN

BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN KENDAL

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

BUPATI SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

WALIKOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI PANGANDARAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANGANDARAN NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Peraturan...

PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 23 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 5 TAHUN 2013

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MUARA ENIM PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI TOLITOLI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 10 TAHUN 2013 T E N T A N G PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG NOMOR 02 TAHUN 2012

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

BUPATI PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN PEMALANG

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2016 SERI E. 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR TAHUN 2014 SERI E NOMOR TAHUN 2014

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO

Mata Ajaran : Manajemen Lingkungan Rumah Sakit Topik : Lingkungan Hidup & Sistem Manajemen Lingkungan RS Minggu Ke : II

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Departemen Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN TAHUN: 2011 NOMOR : 2 SERI : E PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 4..TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 066 TAHUN 2017

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU SELATAN NOMOR : 09.TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2012

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR : 02 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 19

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 87 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG,

H. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI GROBOGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 116 TAHUN 2016 T E N T A N G

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN

LEMBARAN DAERAH KOTA PEKALONGAN TAHUN 2010 NOMOR 6

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 49 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI KANTOR LINGKUNGAN HIDUP KOTA BATU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR : 7 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN TASIKMALAYA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

GUBERNUR SUMATERA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG IZIN LINGKUNGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

-1- DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

SALINAN GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI BARAT, Menimbang Mengingat : a. bahwa merupakan tanggung jawab bersama Pemerintah dan Masyarakat untuk menciptakan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai tuntutan sekaligus hak asasi setiap Warga Negara Indonesia seperti diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa agar tidak terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup di Sulawesi Barat yang disebabkan oleh perilaku masyarakat dan pelaku usaha atau kegiatan yang cenderung tidak mentaati ketentuan yang berlaku, maka diperlukan perencanaan, pemanfaatan,pengendalian, pemeliharaan dan pengawasan lingkungan hidup yang berkesinambungan; c. bahwa pemanfaatan Sumber Daya Alam secara berlebihan dalam penyelenggaraan pembangunan dapat menimbulkan kerugian terhadap lingkungan hidup, sehingga untuk mencegahnya diperlukan pengaturan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup; d. bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 11 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah tidak sesuai lagi, sehingga perlu diganti; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan d, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4422); 1

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4844); 4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725) ; 5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); 6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 5059); 7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3815) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3910); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3853); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161); 2

11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pernerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285); 13. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 6 Tahun 2009 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi Sulawesi Barat (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2009 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 39); 14. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2014-2034 (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2014 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Barat Nomor 68). Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT dan GUBERNUR SULAWESI BARAT MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Provinsi Sulawesi Barat. 2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah Provinsi Sulawesi Barat. 4. Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Barat. 5. DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Barat. 6. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota di 3

Provinsi Sulawesi Barat. 7. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota di Provinsi Sulawesi Barat. 8. Badan adalah Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Barat. 9. Kepala Badan adalah Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Barat. 10. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. 11. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. 12. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. 13. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. 14. Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tamping lingkungan. 15. Pencemaran Lingkungan Hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia, sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. 16. Perusakan Lingkungan Hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup, sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 17. Kerusakan Lingkungan Hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup, yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 18. Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang selanjutnya disebut KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. 19. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. 20. Daya Tampung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. 21. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang selanjutnya 4

disebut Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 22. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut UKL-UPL adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 23. Baku Mutu Lingkungan Hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumberdaya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. 24. Perubahan Iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. 25. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. 26. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disebut B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. 27. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disebut Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3. 28. Pengelolaan Limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan limbah B3. 29. Organisasi Lingkungan Hidup adalah kelompok orang yang terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup. 30. Audit Lingkungan Hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah. 31. Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. 32. Hukum Lingkungan adalah serangkaian norma yang mengatur kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. 33. Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan diantara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah 5

berdampak pada lingkungan hidup. 34. Masyarakat Hukum Adat adalah komunitas antropologis yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar sebagai berasal dari satu nenek moyang yang sama, serta mempunyai identitas dan budaya yang khas, yang ingin dipelihara dan dilestarikan untuk kurun sejarah selanjutnya, serta tidak mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan sistem politik yang ada. BAB II ASAS, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP Bagian Kesatu Asas Pasal 2 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilaksanakan berdasarkan asas : a. tanggung jawab Pemerintah Daerah; b. kelestarian dan keberlanjutan; c. keserasian dan keseimbangan; d. keterpaduan; e. manfaat; f. kehati-hatian; g. keadilan; h. ekoregion; i. keanekaragaman hayati; j. pencemar membayar; k. partisipatif; l. kearifan lokal; m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan n. otonomi daerah; Bagian Kedua Tujuan Pasal 3 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bertujuan untuk : a. mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan masyarakat Sulawesi Barat seutuhnya yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. menumbuhkan kesadaran masyarakat dan pelaku usaha/kegiatan untuk mentaati Hukum Lingkungan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; c. mencegah dan menanggulangi perilaku masyarakat dan pelaku usaha/kegiatan terhadap tindakan atau kegiatan yang berdampak negatif pada kelestarian lingkungan hidup; d. membina dan meningkatkan kemampuan, keahlian, dan keterampilan aparat Pemerintah Daerah dalam upaya perlindungan lingkungan hidup; dan 6

e. mendukung, membina dan mengawasi upaya-upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Bagian Ketiga Ruang Lingkup Pasal 4 Ruang lingkup Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup meliputi : a. perencanaan; b. pemanfaatan; c. pengendalian; d. pemeliharaan; e. pengawasan; dan f. penegakan hukum. BAB III KEWENANGAN Pasal 5 (1) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah Daerah berwenang : a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi; b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH provinsi; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL- UPL; e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi; f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan; g. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas kabupaten/kota; h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota; i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; j. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; k. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antarkabupaten/ antarkota serta penyelesaian sengketa; l. melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang program dan kegiatan; m. melaksanakan standar pelayanan minimal; n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi; o. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat provinsi; p. mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup; 7

q. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; r. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat provinsi; dan s. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat provinsi. (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewenangan pemerintah daerah lainnya disesuaikan dengan kewenangan dalam Perda Nomor 6 Tahun 2009 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi Sulawesi Barat. BAB IV PERENCANAAN Bagian Kesatu Umum Pasal 6 Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan : a. inventarisasi, pengumpulan data dan informasi; b. penyusunan RPPLH; Bagian Kedua Inventarisasi, Pengumpulan Data dan Informasi Pasal 7 (1) Gubernur melakukan inventarisasi Lingkungan Hidup tingkat provinsi yang telah ditetapkan oleh pejabat berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Inventarisasi Lingkungan Hidup tingkat provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengumpulan dan analisis untuk memperoleh data dan informasi Lingkungan Hidup yang disajikan dalam bentuk geospasial dan non-geospasial. (3) Data dan informasi Lingkungan Hidup yang disajikan dalam bentuk geospasial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperlukan untuk penyusunan RPPLH provinsi yang disajikan dalam bentuk peta dengan skala 1 : 250.000. (4) Data dan informasi Lingkungan Hidup yang disajikan dalam bentuk non geospasial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperlukan untuk penyusunan RPPLH provinsi yang disajikan dalam bentuk bukan peta. (5) Data dan informasi Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi: a. potensi ketersediaan dan sebaran Sumber Daya Alam; b. jenis Sumber Daya Alam yang dimanfaatkan; c. bentuk penguasaan Sumber Daya Alam; d. pengetahuan pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam; e. bentuk pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup; f. gas rumah kaca; g. kerentanan terhadap Perubahan Iklim; h. jasa Ekosistem; i. keragaman karakter dan fungsi ekologis; dan j. aspek lainnya yang terkait dengan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. 8

(6) Data dan informasi Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didasarkan pada jenis, sifat, dan karakteristik Sumber Daya Alam Daerah. (7) Data dan informasi dianalisis melalui kegiatan: a. tumpang susun informasi geospasial tematik; b. pengolahan data statistik; c. pengukuran indeks kualitas Lingkungan Hidup; dan/atau d. analisis lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. (8) Dalam melakukan analisis data dan informasi, memperhatikan: a. sebaran penduduk; b. aspirasi masyarakat; c. kearifan lokal; d. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan Sumber Daya Alam; dan e. aspek lainnya yang terkait dengan Lingkungan Hidup. (1) RPPLH disusun oleh Gubernur. Bagian Ketiga Penyusunan RPPLH Pasal 8 (2) Penyusunan RPPLH bertujuan untuk: a. mengarahkan kegiatan; b. memberikan pedoman bagi pelaksanaan kegiatan yang ditujukan kepada pencapaian suatu perkiraan; c. memberikan suatu perkiraan terhadap pelaksanaan yang akan dicapai; d. memberi kesempatan untuk memilih berbagai alternatif tentang cara terbaik atau kesempatan untuk memilih kombinasi cara yang terbaik; e. melakukan penyusunan skala prioritas dengan memilih uruturutan dari segi pentingnya suatu tujuan, sasaran maupun kegiatan upayanya; dan f. adanya suatu alat pengukur atau standar untuk mengadakan pengawasan atau evaluasi. (3) Materi muatan RPPLH meliputi rencana: a. pemanfaatan dan/atau pencadangan Sumber Daya Alam; b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi Lingkungan Hidup; c. pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian Sumber Daya Alam; dan d. adaptasi dan mitigasi terhadap Perubahan Iklim. (4) Pemanfaatan dan/atau pencadangan Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a didasarkan pada Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup, karakteristik dan fungsi Ekosistem. (5) Pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan terhadap fungsi Ekosistem dan/atau media Lingkungan Hidup. (6) Pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan terhadap daya dukung dan daya tampung, karakteristik dan fungsi Ekosistem, serta peruntukan media Lingkungan Hidup. 9

(7) Adaptasi dan mitigasi terhadap Perubahan Iklim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilakukan terhadap Ekosistem dan Usaha dan/atau Kegiatan (8) Fungsi Ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (7) yang telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan wajib dijadikan acuan dalam revisi RTRWP. Pasal 9 (1) RPPLH sebagaimna dimaksud dalam Pasal 8 disusun oleg Gubenrur sesuai dengan keeangannya. (2) Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah tersendiri dengan memperhatikan: a. keragaman karakter dan fungsi ekologis; b. sebaran penduduk; c. sebaran potensi sumber daya alam; d. kearifan lokal; e. aspirasi masyarakat; dan f. perubahan iklim. (3) RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang daerah dan rencana pembangunan jangka menengah daerah. BAB V PEMANFAATAN Pasal 10 (1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH. (2) Selain berdasarkan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, dengan memperhatikan : a. keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup; b. keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan; c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat. (3) Gubernur menetapkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup provinsi. (4) Penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Peraturan Gubernur. (5) Dalam pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Gubernur dapat menetapkan kuota yang terdiri atas: a. kuota pemanfaatan; dan b. kuota pencadangan 10

Pasal 11 (1) Kuota pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) huruf a merupakan kuota dari masing-masing jenis Sumber Daya Alam yang akan dieksploitasi dalam kurun waktu perencanaan. (2) Kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun dengan memperhatikan sebaran, potensi, dan ketersediaan, dan bentuk penguasaan dari masing-masing jenis Sumber Daya Alam serta aspirasi masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Alam. Pasal 12 (1) Kuota pencadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) huruf b merupakan kuota dari masing-masing jenis Sumber Daya Alam yang tidak akan dieksploitasi dalam kurun waktu perencanaan. (2) Kuota yang dicadangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan memperhatikan sebaran, potensi, ketersediaan, bentuk penguasaan serta kebutuhan penduduk terhadap masing-masing jenis Sumber Daya Alam untuk jangka panjang. BAB VI PENGENDALIAN Bagian kesatu Umum Pasal 13 (1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. (2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a. Pencegahan air, udara, tanah dan laut; b. Penanggulangan air, udara, tanah dan laut; dan; c. Pemulihan air, udara, tanah dan laut. (3) Setiap pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan usaha di Daerah, wajib melaksanakan pengendalian sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggungjawab masing-masing, dengan ketentuan melaporkan pelaksanaannya kepada Kepala Badan. Paragraf 1 KLHS Pasal 14 (1) KLHS wajib dilaksanakan dalam penyusunan dan evaluasi: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), RPJPD dan RPJMD; dan b. kebijakan, rencana dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan. 11

(2) Penyelenggaraan KLHS untuk RTRWP, RPJPD, RPJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penyusunan KLHS untuk kebijakan rencana dan program yang menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat diprakarsai oleh Kepala Badan, pemrakarsa program atau organisasi lain yang berkepentingan. (4) Hasil KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibahas dan diverifikasi oleh forum yang dikoordinasikan oleh Kepala Badan. (5) Hasil pembahasan dan verifikasi KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dipublikasikan secara luas dan menjadi dasar bagi Gubernur dalam penetapan keputusan. (6) Dengan mempertimbangkan luasnya dampak dan adanya alternatif atas suatu proyek, sebelum memberikan persetujuan atau rekomendasi, Gubernur dapat menetapkan agar suatu proyek yang telah disertai Amdal dikaji ulang dengan KLHS. (7) KLHS dikecualikan terhadap : a. penyusunan kebijakan, rencana dan/atau program untuk menanggulangi keadaan darurat bencana; atau b. penyusunan atau evaluasi kebijakan, rencana dan/atau program yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara Pasal 15 (1) Dalam pelaksanaan KLHS, Pemerintah Daerah wajib melibatkan masyarakat dan para pemangku kepentingan, meliputi : a. perseorangan dan/atau kelompok masyarakat yang mempunyai informasi dan keahlian; dan b. perseorangan dan/atau kelompok masyarakat yang terkena dampak penerapan kebijakan, rencana dan/atau program. (2) Pelibatan masyarakat dan para pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memperoleh informasi, saran, pertimbangan dan/atau pendapat dalam : a. perumusan lingkup KLHS, identifikasi pemangku kepentingan, serta identifikasi isu-isu pembangunan berkelanjutan, yang meliputi aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup; b. pelaksanaan kajian pengaruh kebijakan, rencana dan/atau program atau rancangannya terhadap kondisi lingkungan hidup; c. perumusan alternatif bagi penyempurnaan kebijakan, rencana dan/atau program atau rancangannya; dan d. penyusunan rekomendasi perbaikan kebijakan, rencana dan/atau program atau rancangannya. (3) Pelibatan masyarakat dan para pemangku kepentingan dilaksanakan melalui dialog, diskusi, konsultasi publik dan/atau secara tertulis. 12

Paragraf 2 Tata Ruang Pasal 16 (1) Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS. (2) Pencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Paragraf 3 Baku Mutu Lingkungan Hidup Pasal 17 (1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup, diukur dari baku mutu lingkungan hidup. (2) Baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a. baku mutu air; b. baku mutu air limbah; c. baku mutu air laut; d. baku mutu udara ambien; e. baku mutu emisi; f. baku mutu gangguan; dan g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (3) Setiap orang dilarang membuang limbah ke media lingkungan hidup, kecuali : a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan b. mendapat izin Gubernur sesuai dengan kewenangannya, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 4 Kriteria Baku Kerusakan Lingkugan Hidup Pasal 18 (1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. (2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim. (3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi : a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa; b. kriteria baku kerusakan terumbu karang; c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan 13

kebakaran hutan dan/atau lahan; d. kriteria baku kerusakan mangrove; e. kriteria baku kerusakan padang lamun; f. kriteria baku kerusakan karst; g. kriteria baku kerusakan gambut; dan h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (4) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan parameter, meliputi : a. kenaikan temperatur; b. kenaikan muka air laut; c. badai; dan/atau d. kekeringan. Paragraf 5 Amdal Pasal 19 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki Amdal. (2) Pemerintah Daerah berwenang melaksanakan : a. penilaian Amdal bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup di Daerah, sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah; b. pembinaan dan pengawasan terhadap penilaian Amdal di Kabupaten/Kota; dan c. pengawasan terhadap pengelolaan RKL/RPL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi Amdal dalam wilayah provinsi dalam rangka uji petik. (3) Dokumen Amdal disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat, berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap, serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan. (4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), meliputi : a. yang terkena dampak; b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal berikut tatacara penyusunannya, berpedoman pada ketentuan peraturan perundang undangan. Pasal 20 (1) Gubernur membentuk Komisi Penilai Amdal. (2) Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menilai dokumen Amdal untuk usaha dan/atau kegiatan yang : 14

a. bersifat strategis provinsi; dan/atau b. berlokasi di : 1. Lintas wilayah Kabupaten/Kota; dan/atau 2. Wilayah laut antara 4 (empat) sampai dengan 12 (dua belas) mil laut, diukur dari garis pantai ke arah laut lepas, sesuai ketentuan peraturan perundang undangan. (3) Komisi Penilai Amdal menyampaikan hasil penilaian akhir dokumen Amdal dan RKL-RPL yang dituangkan dalam rekomendasi hasil penilaian Amdal kepada Gubernur. (4) Komisi Penilai Amdal Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang akan diterbitkan lisensinya harus terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi dari Kepala Badan. Pasal 21 (1) Berdasarkan rekomendasi Komisi Penilai Amdal, Gubernur menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya. (2) Gubernur dapat mendelegasikan penetapan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sebagaimanaa dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Badan. Pasal 22 (1) Pembinaan teknis dan pengawasan terhadap komisi Penilai Amdal Kabupaten/Kota dan konsultan Amdal dilaksanakan oleh Badan, sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah. (2) Rekomendasi dan keputusan kelayakan lingkungan hidup yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Badan. (3) Pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan berkewajiban menyampaikan pelaporan pelaksanaan RKL-RPL kepada Kepala Badan setiap 6 (enam) bulan. (4) Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan pengawasan terhadap implementasi RKL-RPL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi Amdal di Daerah. Paragraf 6 UKL-UPL Pasal 23 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal, wajib memiliki UKL-UPL atau SPPL. (2) Gubernur menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, meliputi usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di : a. lintas wilayah Kabupaten/Kota; dan/atau b. wilayah laut antara 4 (empat) sampai dengan 12 (dua belas) mil laut, diukur dari garis pantai ke arah laut lepas, sesuai ketentuan peraturan perundang undangan. 15

(3) Pemeriksaan UKL-UPL dan penerbitan rekomendasi UKL-UPL dilakukan oleh Kepala Badan, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UKL-UPL di Daerah. (5) Rekomendasi UKL-UPL yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Badan. Paragraf 7 Perizinan Pasal 24 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL- UPL wajib memiliki izin lingkungan. (2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Gubernur berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL UPL sesuai persyaratan yang tercantum dalam rekomendasi UKL-UPL. (3) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. (4) Gubernur sesuai dengan kewenangannya wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan Amdal atau UKL-UPL. (5) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibatalkan apabila : a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi; b. penerbitannya tidak memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Keputusan Komisi Penilai Amdal tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL; atau c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan. (6) Dalam hal izin lingkungan dicabut, maka izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. (7) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengajukan permohonan perubahan izin lingkungan. (8) Tatacara pencabutan dan pembatalan izin lingkungan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 8 Peraturan Perundang Undangan Berbasis Lingkungan Hidup Pasal 25 Setiap penyusunan ketentuan peraturan perundang-undangan di Daerah 16

wajib memperhatikan fungsi serta prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 9 Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup Pasal 26 (1) Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai : a. kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;; b. program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup; dan c. pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan/atau kerusakan. (2) Gubernur memberikan insentif kepada Kabupaten/Kota yang memiliki kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. (3) Tata cara pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Gubernur. Paragraf 10 Analisis Risiko Lingkungan Hidup Pasal 27 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan, dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia, wajib melakukan analisis risiko lingkungan hidup. (2) Analisis risiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a. pengkajian risiko; b. pengelolaan risiko; dan/atau c. komunikasi risiko. Paragraf 11 Audit Lingkungan Hidup Pasal 28 (1) Pemerintah Daerah mendorong penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kinerja lingkungan hidup. (2) Pelaksanaan audit lingkungan hidup terhadap kegiatan tertentu yang berisiko tinggi dilakukan secara berkala, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Auditor lingkungan hidup yang telah memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup. (4) Untuk melaksanakan audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk Tim Audit yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. 17

Bagian kedua Pengendalian Pencemaran Air Pasal 29 Pengendalian Pencemaran Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a meliputi: a. pencegahan Pencemaran Air; b. penanggulangan Pencemaran Air; dan c. pemulihan Pencemaran Air. Paragraf 1 Pencegahan Pencemaran Air Pasal 30 Pencegahan Pencemaran Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a dilakukan melalui upaya: a. penetapan kelas Air pada Sumber Air; b. penetapan Baku Mutu Air Daerah; c. penetapan Baku Mutu Air Limbah Daerah; d. pemberian izin pembuangan Air Limbah ke Sumber Air; e. penyediaan prasarana dan sarana pengolahan Air Limbah; dan f. pemantauan kualitas air pada sumber air. Pasal 31 (1) Penetapan kelas Air pada Sumber Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a yang berada dalam dua atau lebih wilayah kabupaten/kota didasarkan pada hasil pengkajian kelas Air yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. (2) Pengkajian kelas Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan mengenai penetapan kelas Air pada Sumber Air yang berada dalam dua atau lebih wilayah kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Daerah tersendiri. Pasal 32 (1) Penetapan Baku Mutu Air Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b dapat dilakukan lebih ketat dari kriteria mutu Air untuk kelas Air nasional. (2) Selain penetapan Baku Mutu Air Daerah lebih ketat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditetapkan tambahan parameter dari yang ada dalam kriteria mutu Air yang diatur dalam peraturan perundangundangan. (3) Ketentuan mengenai Baku Mutu Air dan tambahan parameter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah tersendiri. Pasal 33 18

(1) Penetapan Baku Mutu Air Limbah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf c dapat dilakukan lebih ketat dari Baku Mutu Air Limbah nasional. (2) Dalam hal belum ditetapkan Baku Mutu Air Limbah Daerah lebih ketat dari Baku Mutu Air Limbah nasional, berlaku Baku Mutu Air Limbah nasional. (3) Dalam hal telah ditetapkan Baku Mutu Air Limbah Daerah lebih ketat dari Baku Mutu Air Limbah nasional, berlaku Baku Mutu Air Limbah Daerah. (4) Setiap Orang yang membuang Air Limbah ke Sumber Air wajib menaati Baku Mutu Air Limbah sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. (5) Ketentuan mengenai Baku Mutu Air Limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah tersendiri Pasal 34 (1) Pemberian izin pembuangan Air Limbah ke Sumber Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf d dilakukan oleh bupati/walikota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pemegang izin pembuangan Air Limbah ke Sumber Air wajib menaati persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam izin pembuangan Air Limbah ke Sumber Air. Pasal 35 (1) Penyediaan prasarana dan sarana pengolahan Air Limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf e dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah. (2) Setiap Orang yang membuang Air Limbah ke prasarana dan sarana pengolahan Air Limbah yang disediakan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan retribusi. (3) Ketentuan mengenai retribusi pembuangan Air Limbah ke prasarana dan sarana yang disediakan oleh Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Daerah tersendiri. Pasal 36 (1) Pemantauan kualitas Air pada Sumber Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf f yang berada dalam dua/atau lebih Daerah kabupaten/kota dalam satu provinsi dilaksanakan oleh masing-masing pemerintah kabupaten/kota dan dikoordinasikan oleh Kepala Badan. (2) Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas Air pada Sumber Air yang berada dalam 1 (satu) wilayah provinsi dilaksanakan paling sedikit 6 (enam) bulan sekali. (3) Dalam hal hasil pemantauan kualitas Air pada Sumber Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan kondisi cemar, Kepala Badan mengoordinasikan pemerintah kabupaten/kota dalam upaya penanggulangan Pencemaran Air dan pemulihan kualitas Air dengan menetapkan mutu Air sasaran. (4) Dalam hal hasil pemantauan kualitas Air pada Sumber Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan kondisi baik, Kepala Badan 19

mengoordinasikan pemerintah kabupaten/kota dalam upaya mempertahankan atau meningkatkan kualitas Air. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan kualis Air diatur dalam Peraturan Gubernur. Pasal 37 Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan Pencemaran Air diatur dalam Peraturan Gubernur. Paragraf 2 Penanggulangan Pencemaran Air Pasal 38 (1) Penanggulangan Pencemaran Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b wajib dilakukan oleh Setiap Orang yang melakukan Pencemaran Air. (2) Setiap Orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib membuat rencana penanggulangan Pencemaran Air pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya. (3) Dalam hal terjadi keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Setiap Orang wajib melakukan penanggulangan Pencemaran Air. (4) Penanggulangan Pencemaran Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara: a. pemberian informasi peringatan Pencemaran Air kepada masyarakat; b. pengisolasian Pencemaran Air; c. pembersihan Air yang tercemar; d. penghentian sumber Pencemaran Air; dan/atau e. cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (5) Dalam hal Setiap Orang tidak melakukan penanggulangan Pencemaran Air dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadinya Pencemaran Air diketahui, Kepala Badan mengoordinasikan pemerintah kabupaten/kota untuk melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga guna melakukan penanggulangan Pencemaran Air atas beban biaya Setiap Orang. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan Pencemaran Air diatur dalam Peraturan Gubernur. Paragraf 3 Pemulihan Pencemaran Air Pasal 39 (1) Pemulihan Pencemaran Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf c wajib dilakukan oleh Setiap Orang yang melakukan Pencemaran Air. (2) Pemulihan Pencemaran Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara: 20

a. penghentian sumber pencemar; b. pembersihan unsur pencemaran; c. remediasi; dan/atau d. cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (3) Dalam hal Setiap Orang tidak melakukan pemulihan Pencemaran Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak terjadinya Pencemaran Air diketahui, Kepala Badan mengoordinasikan pemerintah kabupaten/kota untuk melakukan atau menugaskan pihak ketiga guna melakukan pemulihan kualitas Air atas beban biaya Setiap Orang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemulihan Pencemaran Air diatur dalam Peraturan Gubernur. Bagian ketiga Pengendalian Pencemaran udara Umum Pasal 40 Pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a meliputi: a. pencegahan pencemaran udara; b. penanggulangan pencemaran udara; dan c. pemulihan kualitas udara sesuai dengan standar kesehatan manusia dan Lingkungan Hidup. Paragraf 1 Pencegahan Pencemaran udara Pasal 41 Pencegahan pencemaran udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a dilakukan melalui upaya: a. penetapan baku mutu udara Daerah; b. penetapan baku mutu emisi dan Baku Mutu Gangguan Daerah; c. penetapan baku mutu kebisingan dan baku mutu emisi gas buang; d. uji berkala kebisingan dan emisi gas buang; e. pemeriksaan dan perawatan kendaraan; dan f. koordinasi dan pemantauan kualitas Udara Ambien. Pasal 42 (1) Penetapan baku mutu udara Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a dilakukan lebih ketat dari baku mutu udara nasional. (2) Dalam hal baku mutu udara Daerah lebih ketat sebagaimana diamaksud pada ayat (1) belum ditetapkan, berlaku baku mutu udara nasional. (3) Dalam hal baku mutu udara Daerah lebih ketat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah ditetapkan, berlaku baku mutu udara Daerah. 21

(4) Ketentuan mengenai Baku Mutu Udara Daerah diatur dalam Peraturan Gubernur. Pasal 43 (1) Penetapan baku mutu emisi dan Baku Mutu Gangguan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf b dilakukan lebih ketat dari baku mutu emisi dan Baku Mutu Gangguan nasional. (2) Dalam hal baku mutu emisi dan baku mtu gangguan Daerah lebih ketat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditetapkan, berlaku baku mutu emisi dan Baku Mutu Gangguan nasional. (3) Dalam hal baku mutu emisi dan Baku Mutu Gangguan Daerah lebih ketat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah ditetapkan, berlaku baku mutu emisi dan Baku Mutu Gangguan Daerah. (4) Setiap Orang yang melakukan Usaha dan/atau Kegiatan yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib mentaati baku mutu emisi dan Baku Mutu Gangguan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu emisi dan Baku Mutu Gangguan diatur dalam Peraturan Gubernur. Pasal 44 (1) Penetapan baku mutu kebisingan dan baku mutu emisi gas buang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf c dilaksanakan sesuai dengan baku mutu kebisingan dan baku mutu emisi gas buang nasional. (2) Baku mutu kebisingan dan baku mutu emisi gas buang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi kendaraan bermotor yang dioperasikan di darat, Air dan udara yang mengeluarkan kebisingan dan emisi gas buang. (3) Setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di darat, Air dan udara yang mengeluarkan kebisingan dan emisi gas buang wajib memenuhi baku mutu kebisingan dan baku mutu emisi gas buang. Pasal 45 (1) Uji berkala kebisingan dan emisi gas buang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf d berlaku bagi setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di darat. (2) Uji berkala kebisingan dan emisi gas buang kendaraan bermotor bagi mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kendaraan khusus, dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Uji berkala kebisingan dan emisi gas buang bagi kendaraan bermotor pribadi dapat dilaksanakan oleh bengkel umum yang mempunyai akreditasi dan kualitas tertentu yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Kendaraan bermotor pribadi yang dinyatakan lulus uji berkala emisi dan kebisingan kendaraan bermotor diberi kartu uji dan tanda uji emisi dan kebisingan kendaraan bermotor oleh petugas yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Tata cara dan metode uji berkala kebisingan dan emisi gas buang 22

kendaraan bermotor pribadi sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 46 (1) Pemeriksaan dan perawatan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf e wajib dilaksanakan oleh setiap pemilik dan/atau pengemudi kendaraan bermotor. (2) Pemeriksaan dan perawatan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap kendaraan bermotor yang sistem pembakarannya kurang atau tidak sempurna. Pasal 47 (1) Koordinasi dan pemantauan kualitas Udara Ambien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf f dilaksanakan oleh Kepala Badan. (2) Koordinasi dan pemantauan kualitas Udara Ambien terdiri atas: a. penyusunan rencana pemantauan kualitas Udara Ambien di masingmasing kabupaten/kota; b. pelaksanaan pemantauan kualitas Udara Ambien oleh bupati/walikota; dan c. evaluasi hasil pemantauan kualitas Udara Ambien di kabupaten/kota. (3) Koordinasi dan pemantauan kualitas Udara Ambien dilaksanakan paling sedikit 6 (enam) bulan sekali. Pasal 48 Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan pencemaran udara diatur dalam Peraturan Gubernur. Paragraf 2 Penanggulangan Pencemaran udara Pasal 49 (1) Penanggulangan pencemaran udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b wajib dilakukan oleh Setiap Orang yang menyebabkan terjadinya pencemaran udara. (2) Setiap Orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib membuat rencana penanggulangan pencemaran udara pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya. (3) Dalam hal terjadi keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Setiap Orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan penanggulangan pencemaran udara. (4) Penanggulangan pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara: a. mengurangi dan/atau menghentikan emisi dan kebisingan untuk mencegah perluasan pencemaran Udara Ambien; b. merelokasi penduduk/masyarakat ke tempat yang aman; c. menetapkan prosedur operasi standar untuk penanggulangan pencemaran udara; dan d. cara lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 23

(5) Dalam hal Setiap Orang tidak melakukan penanggulangan pencemaran udara dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadinya pencemaran udara diketahui, Kepala Badan mengoordinasikan pemerintah kabupaten/kota untuk melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga guna melakukan penanggulangan pencemaran udara atas beban biaya Setiap Orang. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan pencemaran udara diatur dalam Peraturan Gubernur. Paragraf 3 Pemulihan Pencemaran udara Pasal 50 (1) Pemulihan mutu udara sesuai dengan standar kesehatan manusia dan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf c wajib dilakukan oleh Setiap Orang yang menyebabkan terjadinya pencemaran udara. (2) Pemulihan mutu udara dilakukan terhadap pencemaran udara yang diakibatkan oleh sumber tidak bergerak dan sumber bergerak. (3) Pemulihan mutu udara yang diakibatkan oleh terjadinya pencemaran udara sumber tidak bergerak dilakukan dengan cara: a. inventarisasi sumber pencemaran udara sumber tidak bergerak diwilayahnya; b. perhitungan tingkat Kerusakan Lingkungan Hidup yang diakibatkan pencemaran udara sumber tidak bergerak; c. perhitungan biaya ganti rugi pencemaran udara yang diakibatkan pencemaran udara sumber tidak bergerak; d. rehabilitasi, remediasi dan restorasi yang diakibatkan oleh pencemaran udara sumber tidak bergerak; dan/atau e. cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (4) Dalam hal Setiap Orang tidak melakukan pemulihan kualitas udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak terjadinya pencemaran udara diketahui, Kepala Badan mengoordinasikan pemerintah kabupaten/kota untuk melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga guna melakukan pemulihan kualitas udara atas beban biaya Setiap Orang. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemulihan kualitas udara diatur dalam Peraturan Gubernur. Bagian keempat Pengendalian Pencemaran Tanah Umum Pasal 51 (1) Pengendalian pencemaran Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a meliputi: a. pencegahan pencemaran Tanah; b. penanggulangan pencemaran Tanah; dan 24

c. pemulihan kualitas Tanah. (2) Pencemaran Tanah bersumber dari: a. pemanfaatan Air Limbah untuk aplikasi pada Tanah; dan b. Pengelolaan Limbah B3 yang tidak sesuai dengan ketentuan teknis Pengelolaan Limbah B3. Paragraf 1 Pencegahan Pencemaran Tanah Pasal 52 Pencegahan pencemaran Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a dilakukan melalui upaya: a. penetapan izin pemanfaatan Air Limbah untuk aplikasi pada Tanah; dan b. pemantauan kualitas Tanah. Pasal 53 (1) Penetapan izin pemanfaatan Air Limbah untuk aplikasi pada Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf a dilakukan oleh bupati/walikota. (2) Setiap Orang yang memanfaatkan Air Limbah untuk aplikasi pada Tanah wajib memiliki izin dari bupati/walikota. (3) Setiap pemegang izin pemanfaatan Air Limbah untuk aplikasi pada Tanah wajib menaati persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam izin. Pasal 54 (1) Pemantauan kualitas Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b dilaksanakan oleh masing-masing pemerintah kabupaten/kota dan dikoordinasikan oleh Kepala Badan. (2) Koordinasi pemantauan kualitas Tanah yang berada dalam 1 (satu) provinsi dilaksanakan paling sedikit 6 (enam) bulan sekali. (3) Dalam hal hasil pemantauan kualitas Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan kondisi cemar, Kepala Badan mengoordinasikan pemerintah kabupaten/kota dalam upaya penanggulangan pencemaran Tanah dan pemulihan kualitas Tanah. (4) Dalam hal hasil pemantauan kualitas Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan kondisi baik, Kepala Badan mengoordinasikan pemerintah kabupaten/kota dalam upaya mempertahankan atau meningkatkan kualitas Tanah. Pasal 55 Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan pencemaran Tanah diatur dalam Peraturan Gubernur. Paragraf 2 Penanggulangan Pencemaran Tanah Pasal 56 25