BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meskipun globalisasi memberikan berbagai dampak baik, namun tidak dapat dipungkiri proses ini juga menimbulkan pengaruh buruk dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk pada bidang kesehatan. Sebagai suatu dampak buruk, perkembangan zaman ke arah globalisasi mengakibatkan terjadinya pergeseran pola penyakit dari penyakit menular (communicable disease) ke penyakit tidak menular (non-communicable disease) (Wulandari dan Martini, 2013). Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya perubahan gaya hidup yang tidak sehat, lingkungan serta faktor genetik yang dimiliki oleh masing-masing individu. Diabetes melitus (DM) menjadi salah satu penyakit tidak menular yang berkembang berdasarkan pengaruh negatif pada faktor-faktor tersebut. Hingga saat ini, DM masih menjadi masalah kesehatan yang utama di dunia baik di negara maju maupun negara berkembang. Berdasarkan data WHO (2012), DM merupakan penyakit mematikan kedelapan dengan prosentase sebanyak 2,7 % dari seluruh penyebab kematian di dunia. Pada negara maju seperti Amerika Serikat, DM menduduki peringkat ketujuh dari seluruh penyebab kematian yaitu sebanyak 69.071 orang meninggal karena diabetes pada tahun 2010 (National Diabetes Statistic Report, 2014). Tidak hanya di negara maju, negara berkembang yaitu salah satunya Indonesia juga mengalami peningkatan prevalensi DM yang sangat tinggi (Yarisman, 2014). 1
2 Prevalensi penyakit DM di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun dan merupakan negara keempat dengan jumlah penderita DM terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat (Perkeni, 2011). Pada tahun 2014, sekitar sembilan juta penduduk di Indonesia menderita DM (International Diabetes Federation, 2014). Prevalensi DM di Bali sebanyak 5,9% dan diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan perubahan gaya hidup dan pola makan masyarakat (Trisnawati, Widarsa, Suastika, 2013). Dinkes Provinsi Bali (2012) melaporkan penyakit DM menduduki 10 besar penyakit terbanyak di Kota Denpasar dengan jumlah 8.543 orang. Peningkatan prevalensi DM menyebabkan peningkatan biaya pengobatan dan kerugian ekonomi yang ditanggung oleh individu, keluarga, masyarakat maupun oleh negara. Di samping prevalensinya yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, permasalahan DM akan menjadi semakin sulit bila terjadi komplikasi. Komplikasi DM dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi akut diantaranya adalah kondisi hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, non-ketogenic hyperosmolar syndrome. Komplikasi kronik yaitu berupa aterosklerosis, retinopati, neuropati, nefropati, dan luka/ulkus diabetik (Pizzorno dan Murray, 2003). Ulkus diabetik merupakan luka yang khas terjadi pada penderita DM. Adapun faktor yang menyebabkan terjadinya luka diabetik adalah iskemia pembuluh darah dan neuropati perifer (Pizzorno dan Murray, 2003). Kelainan ini mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
3 berpotensi besar terjadinya luka. Luka diabetik mudah berkembang menjadi infeksi karena masuknya kuman atau bakteri dan adanya gula darah yang tinggi menjadi tempat yang strategis untuk pertumbuhan kuman (Hastuti, 2008). Dengan adanya luka yang terinfeksi, maka resiko amputasi menjadi lebih besar (Waspadji, 2007). Luka diabetik merupakan penyebab tersering dilakukannya amputasi yang didasari oleh kejadian tanpa trauma. Risiko dilakukan amputasi 15-40 kali lebih sering pada penderita DM dibandingkan yang bukan penderita DM. Komplikasi ini juga menyebabkan lama rawat penderita DM menjadi lebih panjang (Decroli et al, 2008). Menurut Sheehan (2003) di Amerika Serikat sekitar 2,5 % dari penderita DM berkembang timbulnya luka diabetes pertahun dan 15 % dari penderita luka DM tersebut berujung pada amputasi. Selain karena kadar glukosa yang tinggi sebagai tempat berkembangnya bakteri, infeksi juga dapat terjadi karena memanjangnya fase inflamasi pada luka kronik (Purwaningsih, 2014). Inflamasi merupakan reaksi yang pertama kali terjadi apabila tubuh terkena luka. Pada respon seluler, ciri-ciri fase inflamasi adalah sel neutrofil dalam jumlah besar berpindah dari kapiler menuju jaringan luka, kemudian jumlah neutrofil menurun dan digantikan dengan makrofag pada jaringan luka. Makrofag berperan penting dalam pengaturan sel seperti fungsi fagositosis, memakan dan mencerna serta membunuh organisme patogen, membersihkan debris jaringan dan merusak sisa netrofil, menarik fibroblas ke jaringan luka dan memicu pembuluh darah baru ( Li et al, 2007). Dalam fase inflamasi ini, neutrofil dan makrofag menghasilkan sejumlah besar anion superoksida radikal. Kemudian sel lain seperti fibroblas dirangsang oleh sitokin pro inflamasi untuk memproduksi reactive oxygen spesies
4 (ROS). ROS merupakan suatu bagian dari sistem imun untuk membantu mempercepat pembersihan luka dari serangan bakteri. Tetapi selain memiliki efek positif, ROS juga memiliki banyak dampak negatif diantaranya menghambat migrasi dan propliferasi dari berbagai tipe sel, merusak jaringan dan bahkan dapat merubah jaringan menjadi neoplasma (Keller et al., 2006). Lebih lanjut, kondisi hiperglikemia yang mendasari kondisi DM, juga dapat menyebabkan produksi ROS. Hal ini akan menimbulkan terjadinya stress oksidatif, yaitu suatu keadaan dimana jumlah radikal bebas yang diproduksi melebihi kapasitas penangkalan (scavenging) antioksidan endogen (Wiryana, 2008). Hal inilah yang menyebabkan ROS dapat menghambat penyembuhan luka. Berdasarkan hal tersebut, peran antioksidan menjadi sangat signifikan dalam penanganan luka diabetes. Dari penelitian Mittler (2002) menjelaskan bahwa hasil metabolisme aerobik yang bersifat toksik seperti ROS dapat ditekan dengan antioksidan. Salah satu antioksidan yang kuat adalah flavonoid (Heim et al, 2002). Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang terdapat dalam tanaman yang memiliki berbagai efek biologis secara in vitro dan in vivo. Flavonoid memiliki efek antimikroba, antivirus, anti-ulcerogenic, anti-neoplastik, antioksidan, antihepatotoksik, antihipertensi, hipolipidemik, antiplatelet dan aktivitas anti-inflamasi. Aktivitas anti-inflamasi flavonoid terjadi di kedua fase inflamasi yaitu fase proliferasi dan eksudatif (Rathee et al, 2009). Flavonoid berpotensi menghambat produksi prostaglandin. Penelitian telah menunjukkan bahwa efek ini disebabkan penghambatan enzim yang terlibat dalam biosintesis
5 prostaglandin (misalnya, lipoksigenase, fosfolipase, dan siklooksigenase) (Manthey, 2000). Flavonoid banyak didapatkan dari tanaman. Indonesia merapakan negara tropis yang memiliki banyak potensi yang dapat dimanfaatkan. Salah satu wujud dari pemanfaatan potensi alam tersebut adalah dengan menjadikan flora Indonesia sebagai bahan dasar untuk memperbaiki kualitas kesehatan manusia. Telah banyak penelitian yang dilakukan mengenai pemanfaatan tanaman obat untuk penyembuhan luka diabetik. Beberapa tanaman tersebut diantaranya adalah lidah buaya (Atiba, dkk., 2011; Yante, 2010), daun mengkudu (Ambiyani, 2013), daun sirih merah (Mun im, dkk., 2011) dan lain-lain. Salah satu tanaman obat tradisional yang berpotensi dalam mengatasi masalah luka diabetes yaitu daun kembang sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.). Daun kembang sepatu mengandung kandungan bioaktif seperti flavonoid, triterpenoid, tanin dan saponin (Faten et al, 2012). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat aktivitas daun kembang sepatu sebagai agen antidiabetes. Moqbel et al (2011) menyatakan bahwa ekstrak daun kembang sepatu dengan fraksi tertentu memiliki aktivitas insulinotropik dan efek protektif pada tikus diabetes. Mamun et al (2013) menjelaskan ekstrak etanol daun kembang sepatu yang diberikan selama 1 minggu secara signifikan menurunkan glukosa darah pada tikus yang diinduksi dengan aloksan. Aktivitas ini lebih baik dibandingkan dengan metformin dalam aktivitas menurunkan kadar gula darah dan lemak darah. Salah satu metode aplikasi daun kembang sepatu dalam penatalaksanaan luka diabetes adalah secara topikal dikombinasikan dengan balutan luka. Balutan luka yang bersifat lembab merupakan kondisi yang dapat memberikan lingkungan
6 yang mendukung epitelisasi sel untuk mencegah kerusakan atau trauma lebih lanjut (Baroroh, 2011). Perawatan luka yang didesain menciptakan suasana lembab guna mendukung dalam penyembuhan luka (World International, 2013). Sediaan farmasi yang sering digunakan dalam perawatan luka dengan konsep moist wound adalah sediaan gel. Gel merupakan sediaan semipadat yang digunakan pada kulit, umumnya sediaan tersebut berfungsi sebagai pembawa pada obat-obat topikal, sebagai pelunak kulit, atau sebagai pelindung (Lachmann et al, 2008). Sediaan gel memiliki keuntungan diantaranya sangat baik dipakai untuk area berambut, tidak lengket, kemampuan penyebaran yang baik pada kulit, efek dingin karena impermeable terhadap air dan pelepasan obat yang baik (Panjaitan, dkk., 2012, Lachman et al, 2008; Voight, 1994). Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat adanya analogi antara khasiat dari daun kembang sepatu dan lingkungan lembab yang kondusif untuk luka dengan sediaan gel. Peneliti ingin membuktikan bahwa terdapat pengaruh antara sediaan gel ekstrak daun kembang sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.) terhadap proses penyebuhan luka pada hewan coba tikus putih galur wistar sebagai model diabetes mellitus melalui identifikasi waktu penyembuhan luka yang dihitung dalam hitungan hari.
7 1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah penelitian adalah Apakah terdapat pengaruh sediaan gel ekstrak daun kembang sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.) terhadap waktu penyembuhan luka pada tikus putih galur wistar dengan diabetes mellitus? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh sediaan gel ekstrak daun kembang sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.) terhadap waktu penyembuhan luka pada tikus putih galur wistar dengan diabetes mellitus. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi dan menganalisis waktu penyembuhan luka pada kelompok I yang diberikan gel ekstrak daun kembang sepatu pada tikus putih galur wistar dengan diabetes mellitus. b. Mengidentifikasi dan menganalisis waktu penyembuhan luka pada kelompok II yang diberikan gel plasebo pada tikus putih galur wistar dengan diabetes mellitus. c. Menganalisis perbedaan waktu penyembuhan luka antar kelompok pada tikus putih galur wistar. d. Menganalisis pengaruh sediaan gel ekstrak daun kembang sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.) terhadap waktu penyembuhan luka pada tikus putih galur wistar dengan diabetes mellitus.
8 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan khususnya keperawatan terutama keperawatan medikal bedah dalam perawatan luka diabetes melalui pendekatan konsep moist wound dengan sediaan gel daun kembang sepatu (Hibiscus rosa sinensis Linn.) terhadap proses penyembuhan luka diabetes. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan di lapangan antara lain: a. Digunakan penelitian selanjutnya sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan riset lanjutan ke tingkat yang lebih tinggi tentang efektivitas daun kembang sepatu sebagai aternatif perawatan luka dengan konsep moist wound yang dikombinasikan dengan produk alam dan konsep antioksidan dalam penatalaksanaan luka diabetes. b. Digunakan oleh masyarakat sebagai acuan pemanfaatan daun kembang sepatu sebagai alternatif dalam penanganan luka diabetes secara efektif dan efesien.