dan kinerja. Erlena, Cerasi dan Daltung (2005) menyatakan bahwa kolaborasi lembaga

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan meningkatnya pendapatan ekonomi masyarakat membuat rasa

Fungsi, Peran dan Perkembangan Daya saing BPR/BPRS

I. PENDAHULUAN. bentuk investasi kredit kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. domestik bruto (PBD) serta banyak menyerap tenaga kerja. Peran usaha

PEDOMAN UMUM LINKAGE PROGRAM ANTARA BANK UMUM DENGAN KOPERASI

BAB I PENDAHULUAN. Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sangat berperan penting dalam

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB VI ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA (API)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai financial

BAB 1 PENDAHULUAN. Bank pada hakikatnya merupakan lembaga perantara (intermediary) yaitu. menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. perantara jasa keuangan (financial intermediary), memiliki tugas pokok yaitu

BAB I PENDAHULUAN. sektor riil yang sangat penting keberadaannya adalah Usaha Mikro Kecil dan

I. PENDAHULUAN. negaranya, yaitu sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan progres

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga keuangan perbankan mempunyai peranan penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. sejak adanya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

BAB I PENDAHULUAN. Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dapat dipandang sebagai tulang punggung

BAB I PENDAHULUAN. Usaha Micro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu sektor

Dr. Harry Azhar Azis, MA. WAKIL KETUA KOMISI XI DPR RI

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PERLUASAN KREDIT USAHA RAKYAT DENPASAR, 20 APRIL 2011

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan dunia ekonomi di Indonesia semakin meningkat. Hal ini tidak

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah dalam beberapa tahun belakangan ini mengalami. perkembangan yang signifikan terutama di bidang perbankan.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan-pembiayaan yang dapat membantu masyarakat dalam

BAB I PENDAHULUAN. tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh dan salam sejahtera untuk. kita semua

BAB I PENDAHULUAN. Usaha Menengah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (KSP), UMKM mampu menyerap 99,9 persen tenaga kerja di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. ekonominya. Untuk meningkatkan perekonomian, fokus pemerintah. Indonesia salah satunya pada sektor keuangan dan sektor riil.

PERATURAN DIREKSI LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH NOMOR 009/PER/LPDB/2011 T E N T A N G

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini Indonesia memiliki dua jenis lembaga perbankan, yaitu perbankan

memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No.20 Tahun 2008.

PENDAHULUAN. 7% dari total UMKM berhasil meningkatkan statusnya, baik dari mikro menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. hidupnya. Untuk melakukan kegiatan bisnis tersebut para pelaku usaha

BAB I PENDAHULUAN. oleh negara-negara sedang berkembang tetapi juga di negara-negara maju.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai peranan penting dalam perekonomian. Keberadaan perbankan

BAB I PENDAHULUAN. bagi hasil. Balas jasa atas modal diperhitungkan berdasarkan keuntungan atau

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tabel 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan UMKM di Indonesia dilihat dari tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan adalah mekanisme pembagian keuntungannya. Pada bank syariah,

SEKTOR MONETER, PERBANKAN DAN PEMBIAYAAN BY : DIANA MA RIFAH

BAB I PENDAHULUAN. Bank dalam menjalankan usahanya menghimpun dana dari masyarakat dan

KEBIJAKAN OTORITAS JASA KEUANGAN STIMULUS PERTUMBUHAN EKONOMI NASIONAL DAN PENINGKATAN SUPPLY VALUTA ASING DI SEKTOR JASA KEUANGAN 7 OKTOBER 2015

I. PENDAHULUAN. Menengah) di Indonesia sangat penting dan strategis. UMKM telah lama diyakini

BAB I PENDAHULUAN. koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas. kekeluargaan (Sholahuddin dan Hakim, 2008: 179).

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari bahasa latin credere atau credo yang berarti kepercayaan

BAB I PENDAHULUAN. besar mengalami kebangkrutan dan memberikan beban berat bagi negara

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Pertumbuhan Pembiayaan Bank Syariah dan Kredit Bank Konvensional

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pada awal periode 1980 an, diskusi mengenai Bank Syariah sebagai

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan suatu lembaga atau badan usaha yang saat ini mulai

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

BAB I PENDAHULUAN. juga mengalami penurunan yaitu industri perbankan Indonesia. Dengan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka

BAB I PENDAHULUAN. 1 Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta : Kencana, 2011), 32

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

pengiriman uang. Piter dan Suseno (2003) menyatakan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. perantara jasa keuangan (financial intermediary), memiliki tugas pokok yaitu

commit to user 89 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Usaha Besar Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai negara dengan kuantitas penduduk mus\im terbesar di dunia, institusi

Tinjauan Terhadap Penyaluran Pembiayaan Aliansi Dengan Pola Channeling Pada Bank Syariah Mandiri, Kantor Cabang Pembantu Ujungberung

GUBERNUR BANK INDONESIA,

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 113 TAHUN 2015 TENTANG

II TINJAUAN PUSTAKA Perbedaan Syariah dengan Konvensional

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan kelembagaan perbankan syariah di Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian daerah. Dinas Koperasi dan UKM DIY mencatat hingga

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dana dari pihak yang berkelebihan untuk kemudian di salurkan kepada pihak yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia umumnya

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan Nomor 10 Tahun Menurut Pasal 1 ayat 2

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaku bisnis di Indonesia sebagian besar adalah pelaku usaha mikro, kecil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

INDUSTRI BPR BPRS SEBAGAI PILAR EKONOMI DAERAH DALAM MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT

BAB I PENDAHULUAN. mengelola dana masyarakat secara baik dan benar.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (UMKM) dalam pertumbuhan perekonomian suatu negara sangat penting. Ketika

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bank merupakan salahsatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan, yaitu: (i) murabahah, (ii) salam dan salam paralel (iii) istishna

BAB I PENDAHULUAN. bagi pembangunan, juga sebagai upaya untuk memeratakan hasil-hasil. pembangunan yang telah dicapai. Di sektor-sektor penting dalam

PERATURAN MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA. NOMOR 22/Per/M.KUKM/IX/2015 TENTANG KOPERASI SKALA BESAR

Tabel 1. Perkembangan Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Menurut Skala Usaha Tahun Atas Dasar Harga Konstan 2000

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk penyimpanan dana, pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini hampir semua kegiatan perekonomian. dilakukan oleh lembaga keuangan, misalnya bank, lembaga keuangan non bank,

BAB I PENDAHULUAN. terutama untuk membiayai investasi perusahaan. 1 Di Indonesia terdapat dua jenis

I. PENDAHULUAN. menggerakan roda perekonomian (Undang-Undang No.7 tahun 1992 pasal 1).

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kerja yang baru, jumlah unit usaha bordir yang tercatat selama tahun 2015 adalah

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tuntut untuk menempuh langkah-langkah yang strategik dalam kondisi apapun. Selain

1. PENDAHULUAN. dimana kegiatan utamanya adalah menerima simpanan giro, tabungan, dan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh suatu bangsa dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan dan

I. PENDAHULUAN. Pemerintah melalui Perbankan dan Lembaga Kredit Mikro (LKM) berusaha meningkatkan perekonomian di Indonesia. Bukti bahwa pemerintah

10,3% Perbankan Komersial dan UKM. Tinjauan Bisnis. Rp 164,7 triliun

Transkripsi:

CONTOH MENYAJIKAN RESEARCH GAP. PADA PENELITIAN TENTANG PENGEMBANGAN KOLABORASI ANTAR ORGANISASI PADA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH. Oleh Dr. Faqih Nabhan, MM 1.1... 1.2... 1.3 Research Gap Kolaborasi yang efektif dapat meningkatkan efisiensi operasi, efektifitas organisasi dan kinerja. Erlena, Cerasi dan Daltung (2005) menyatakan bahwa kolaborasi lembaga keuangan memungkinkan efisiensi mendapatkan informasi melalui sharing informasi sehingga meningkatkan kualitas piutang dan kinerja keseluruhan perusahaan. Mereka juga menyatakan bahwa alasan lembaga keuangan melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam meyalurkan dananya pada suatu perusahaan adalah untuk mendapatkan peningkatan pengawasan. Penyaluran dana bersama akan dapat menguntungkan apabila masing-masing lembaga keuangan memiliki informasi yang sama dan terjadi saling berbagi informasi sehingga meningkatkan efektifitas pengawasan terhadap perusahaan. Ann dan Steve (2006: 1176) menemukan bahwa kolaborasi dengan pertukaran informasi berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kinerja. Hal ini diperoleh melalui efisiensi biaya, fleksibilitas, kualitas layanan dan pengadaan produk. Kolaborasi struktural hanya berpengaruh terhadap peningkatan fleksibilitas dan pengadaan. Terdapat dukungan empiris bahwa semakin tinggi tingkat kolaborasi antar perusahaan semakin tinggi peningkatan kinerja. Ken dan Nigel (2007: 207) menemukan bahwa semakin tinggi kolaborasi akan meningkatkan keuntungan organisasi melalui peningkatan kinerja. Beberapa peneliti menemukan bahwa kolaborasi tidak selamanya mampu meningkatkan kinerja. Diamond (1984) menyatakan bahwa kolaborasi justru akan menurunkan kinerja karena pengawasan menjadi tidak efisien. Lebih lanjut dikatakan bahwa pengawasan dapat dilakukan dengan lebih efisien apabila dilakukan pendelegasian kepada

salah satu pihak saja. Kolaborasi lembaga keuangan mengakibatkan duplikasi pengawasan yang tidak efisien sehingga menurunkan kinerja. Hubungan lembaga keuangan dengan perusahaan secara ekslusif yang dilakukan dengan pengawasan tunggal menjadi bentuk penyaluran dana yang optimal, karena pengawasan oleh lembaga keuangan secara tunggal dapat dilakukan dengan menghindari duplikasi pengawasan. Dalam penelitiannya, Haris dan Raviv (1979) menemukan bahwa pengawasan yang dilakukan dengan beberapa lembaga keuangan memunculkan biaya yang lebih tinggi dibanding dengan yang dilakukan oleh lembaga keuangan secara individual. Hal ini terjadi karena adanya tumpang tindih pengawasan antara lembaga keuangan pertama dengan lembaga keuangan kedua. Bagian yang sudah diawasi oleh satu lembaga keuangan, menjadi bagian lembaga keuangan lain untuk diawasi. Apabila dilakukan oleh satu lembaga keuangan terhadap satu debitur maka tidak akan terjadi pemborosan biaya pengawasan. Pengawasan yang dilakukan secara tidak efisien mengakibatkan pengawasan oleh beberapa lembaga keuangan menyebabkan tidak efisien bagi lembaga keuangan dan debitur. Bolton dan Scharfstein (1996) menyatakan bahwa biaya pengawasan terhadap satu debitur yang dilakukan oleh beberapa bank akan mengakibatkan duplikasi pengawasan yang tidak efisien, dan renegosiasi hutang akan lebih kompleks apabila lebih banyak bank yang terlibat. Petersen dan Rajan (1994) menyatakan bahwa kolaborasi perbankan dalam penyaluran dana mengakibatkan peningkatan biaya pengawasan oleh bank dan debitur harus menanggung biaya bunga bank yang lebih tinggi akibat tidak efisiensinya penyaluran kredit oleh bank. Hal ini berarti dalam penyaluran dana beberapa bank, baik dari pihak bank maupun perusahaan (sebagai debitur) harus mengeluarkan biaya lebih banyak. Kolaborasi antar organisasi dilakukan untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya yang dimiliki sehingga memiliki daya saing yang unggul. Dalam pasar yang kompetitif, lembaga keuangan berusaha untuk memenangkan persaingan. Begitu pula dalam proses

penyaluran dana, lembaga keuangan berkompetisi dengan pihak lain, baik sesama bank, lembaga keuangan mikro, pasar modal, perusahaan modal ventura dan perusahaan pembiayaan lain, untuk dapat menyalurkan dana dengan tingkat keuntungan yang diinginkan. Kegiatan pengawasan lembaga keuangan yang dilakukan secara eksklusif (satu debitur dilayani dan diawasi oleh satu lembaga keuangan) mampu menghasilkan keunggulan bersaing bagi lembaga keuangan. Kristiansen (2005) menunjukkan bahwa pengawasan intensif oleh bank akan menghasilkan dua keuntungan, pertama, pengawasan mengurangi masalah moral hazard debitur. Kedua, pengawasan menciptakan lock-in effects sehingga pesaing (bank lain) tidak dapat ikut masuk berkompetisi menyalurkan dana. Hughes (2000; 168-173) menemukan bahwa kolaborasi mampu meningkatkan keunggulan bersaing (competitive advantage) dengan berorientasi pasar dan alasan efisiensi produksi. Terdapat hubungan yang kuat antara komponen keunggulan bersaing dengan kolaborasi (internasional), dan antara bentuk-bentuk kolaborasi (licensing, equity joint venture, co-development, co-production) dan harapan dampak strategi pada keunggulan bersaing. Carleti et.al., (2005) menemukan bahwa kolaborasi lembaga keuangan meningkatkan daya jangkau layanan nasabah sehingga meningkatkan kualitas layanan dan daya saing dalam mendapatkan nasabah. Keuntungan yang diperoleh dari hubungan kerjasama antar lembaga keuangan ini akan meningkatkan kinerja secara keseluruhan. Lembaga keuangan mampu melayani nasabah yang berada diwilayah yang tidak dapat dijangkau oleh jaringannya sendiri. Hubungan kerjasama lembaga keuangan meningkatkan kemampuan dalam memasuki pasar baru lintas geografi dan sektoral. Sektor-sektor yang sebelumnya tidak dapat dilayani memungkinkan menjadi peluang pasar baru dengan menjalin hubungan kerjasama dengan lembaga keuangan lain. Hubungan kerjasama dengan lembaga keuangan lain juga akan meningkatkan pengawasan pada nasabah yang tidak dapat dijangkau oleh bank secara sendiri

karena adanya kendala lokasi, transportasi, sistem dan peraturan, perbedaan lembaga otoritas perbankan dan budaya. Kolaborasi dengan lembaga keuangan lain memungkinkan untuk melakukan lebih banyak diversifikasi dalam alokasi penyaluran dana. Chiesa (2001) menemukan bahwa kolaborasi lembaga keuangan memungkinkan lembaga keuangan untuk meningkatkan kemampuan diversifikasi dan daya saing. Keterbatasan dana yang dimiliki oleh sebuah lembaga keuangan membatasi lembaga keuangan untuk dapat menyalurkan dananya dengan tingkat diversifikasi yang tinggi. Diversifikasi yang tinggi mampu menurunkan resiko investasi dan meningkatkan daya saing yang berkelanjutan. Meskipun demikian terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa kolaborasi tidak selamanya berhasil. Zineldin dan Dodourova (2005:460), menyatakan bahwa tingkat kegagalan dari kolaborasi dalam bentuk aliansi mencapai 70 persen. Park dan Ungson (2001: 37), menyatakan bahwa lima puluh persen dari strategi aliansi mengalami kegagalan. Lebih lanjut Palakshappa dan Gordon (2007: 264) menemukan dalam penelitiannya bahwa perusahaan tidak mampu merealisasikan keuntungan dari kegiatan kolaborasi. Perusahaan yang melakukan kolaborasi juga tidak mampu mendapatkan ketrampilan dan kompetensi baru dari kegiatan kolaborasi. Tingginya tingkat kegagalan kolaborasi yang dilakukan dalam bentuk aliansi menimbulkan pertanyaan untuk diteliti lebih lanjut. Beberapa penelitian terdahulu menyatakan bahwa kolaborasi memerlukan koordinasi (Van de ven dan Ring, 1994; Oliver, 1990). Kegiatan koordinasi diantara partner yang berkolaborasi mendorong saling ketergantungan (Blankerburg, H., et al., 1999). Saling ketergantungan berarti derajat dapat digantikannya dan tergantungnya masing-masing perusahaan terhadap partner dalam hal investasi dan sumberdaya (Kauser dan Shaw, 2004). Penelitian empiris menemukan bahwa dalam kolaborasi aliansi saling ketergantungan

meningkatkan kinerja (Monckza et al., 1998). Sebaliknya penelitian yang dilakukan Kauser dan Shaw (2004), menemukan bahwa saling ketergantungan pemasaran dalam kegiatan kolaborasi tidak berhubungan dengan kinerja, bahkan berpengaruh negatif dengan kepuasan. Komunikasi dalam kolaborasi memberikan sarana bagi pertukaran informasi dan pencapaian kesepahaman. Komunikasi memungkinkan bagi masing-masing pihak menyatukan tujuan kolaborasi dan menyelesaikan masalah bersama. Zeybeck et al. (2003) menemukan bahwa komunikasi diantara pihak yang berkolaborasi berpengaruh positif terhadap kinerja. Sementara dalam penelitiannya Sarkar et al. (2001) menemukan bahwa pertukaran informasi dengan komunikasi tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Keinginan untuk melindungi perusahaaan sendiri yang berlebihan menyebabkan keengganan untuk menyampaikan informasi dan pengetahuan bagi partner kolaborasi. Hasil temuan di atas menunjukkan adanya ketidak konsistenan hasil temuan penelitian kolaborasi kinerja kolaborasi. Sekelompok penelitian menyatakan bahwa kolaborasi mampu mendorong peningkatan kinerja (Erlena et al., 2005; Dennis M. Garvis, 2000; Ann dan Steve,2006; dan Ken dan Nigel, 2007), tetapi terdapat kelompok penelitian lain yang menemukan bahwa kolaborasi justru akan menurunkan kinerja (Diamond, 1984; Haris dan Raviv, 1979; Bolton dan Scharfstein, 1996; dan Petersen dan Rajan, 1994). Bahkan dalam penelitiannya Zineldin dan Dodourova (2005) dan Park dan Ungson (2001) ditemukan bahwa kolaborasi banyak mengalami kegagalan. Dari telaah beberapa hasil temuan penelitian di atas maka ditemukan inkonsistensi hasil penelitian kolaborasi antar organisasi dan hasilnya. Berikut disarikan peneliti dan hasil temuannya yang menunjukkan adanya gap dalam tabel di bawah ini; Tabel 1.1 Temuan Research Gap Gap PENULIS TEMUAN Isu: Kolaborasi antar perusahaan dan kinerja

Research Gap: Terdapat perbedaan hasil penelitian pengaruh kolaborasi antar perusahaan terhadap kinerja perusahaan Kolaborasi antar perusahaan berpengaruh menurunkan kinerja perusahaan Diamond, 1984 Haris dan Raviv, 1979 Bolton dan Scharfstein, 1996 Peterson dan Rajan, 1994 Zineldin, M. dan Dodourova, M., 2005 Park, S.H dan Ungson, G.R, 2001 Palakshappa, N. Dan Gordon, M.E, 2007 Kolaborasi mengakibatkan duplikasi pengawasan yang tidak efisien sehingga menurunkan kinerja Pengawasan yang dilakukan dengan beberapa bank memunculkan biaya yang lebih tinggi dibanding dengan yang dilakukan oleh bank secara individual. Kolaborasi penyaluran dana mengakibatkan renegosiasi yang komplek Kolaborasi perbankan menurunkan kinerja akibat terjadi duplikasi pengawasan yang tidak efisien Kolaborasi perbankan dalam penyaluran dana mengakibatkan biaya yang lebih tinggi Kolaborasi tidak memberikan dampak terhadap inovasi dan pencapaian sinerji Setengah dari strategi aliansi mengalami kegagalan. Perusahaan tidak mampu merealisasikan keuntungan dari kolaborasi. Perusahaan tidak mampu mendapatkan ketrampilan dan kompetensi baru Kolaborasi antar perusahaan berpengaruh meningkatkan kinerja Erlena, Cerasi dan Daltung, 2005 Dennis M. Garvis, 2000 Ann dan Steve, 2006 Ken dan Nigel, 2007 Kolaborasi perbankan memungkinkan efisiensi mendapatkan informasi melalui berbagi informasi sehingga meningkatkan kualitas piutang dan kinerja Kolaborasi berpengaruh positif tehadap kinerja keuangan dengan kepercayaan sebagai variabel intervening. Terdapat dukungan empiris yang kuat semakin tinggi tingkat kolaborasi antar perusahaan semakin tinggi peningkatan kinerja Semakin tinggi kolaborasi akan meningkatkan keuntungan organisasi melalui peningkatan kinerja. Salah satu hal utama dalam kolaborasi adalah kemampuan organisasi untuk melakukan koordinasi dan bekerjasama dalam satu tim yang terdiri dari orang-orang yang berasal lebih dari satu organisasi. Gomes (1999) menyatakan bahwa kolaborasi membutuhkan kemampuan internal (internal capability) perusahaan untuk mengelola kerjasama. Kolaborasi menghasilkan akses sumberdaya yang lebih luas dan membutuhkan kapabilitas untuk dapat menjalankan kolaborasi secara baik.

Kompetensi kolaborasi telah dianggap sebagai aset yang berharga. Miller dan Shamsie (1995) menyatakan bahwa sumberdaya berbasis pengetahuan (knowledge-based resources) dapat berwujud ketrampilan tertentu, termasuk ketrampilan kolaborasi dan kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan dan pembelajaran bersama secara efektif. Henderson dan Cockburn (1994) menyatakan bahwa fungsi kapabilitas perusahaan adalah untuk memanfaatkan sumberdaya, mencipta, memproduksi dan menawarkan hasil melalui pola tindakan yang berulang-ulang. 1.4 Fenomena empirik Koperasi di Indonesia telah lama diakui perannya sebagai salah satu elemen penting dalam perekonomian bangsa. Besarnya harapan terhadap peran koperasi ini tentu saja harus senantiasa diimbangi dengan upaya dari semua pihak untuk mendukung eksistensinya. Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) sebagai bagian dari koperasi yang beroperasi dengan prinsip syariah memiliki karakteristik yang khas dalam hal tuntunannya untuk melaksanakan kemitraan dalam akad mudharabah dan musyarakah. Akad ini berbeda dengan koperasi non syariah. Keadaan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) di Jawa Tengah dapat dijelaskan dari tabel 1.2. Dari tabel 1.2 tersebut dapat diketahui KJKS di Jawa Tengah ini memiliki asset yang cukup besar yaitu lebih dari Rp2 triliun dan mampu mencatatkan keuntungan SHU sebesar Rp134,6 milyar. KJKS di Jawa Tengah juga mampu menyerap tenaga kerja sedikitnya 5.000 orang. Beberapa indikator ini menunjukkan besarnya kontribusi KJKS bagi perekonomian daerah terutama di Jawa Tengah. Namun demikian dari 639 KJKS di Jawa Tengah yang termasuk sebagai koperasi berkategori sehat tidak mencapai 20%. Melihat keadaan KJKS di Jawa Tengah seperti ini maka perlu untuk terus-menerus didukung salah

satunya dengan cara penelitian untuk semakin memperkuat pengembangan bisnis koperasi syariah di Jawa Tengah. Tabel 1.2 Indikator Koperasi Jasa Keuangan Syariah di Jawa Tengah Tahun Buku 2010 NO INDIKATOR KETERANGAN 1 Jumlah 639 2 Tingkat kesehatan: Sehat 98 19.07% Cukup Sehat 352 68.48% Kurang Sehat 49 9.53% Tidak Sehat 15 2.92% 3 Jml Karyawan 5,125 4 Jml Asset 2,017,520,270,262 5 SHU 134,639,199,962 Sumber: Dinas Koperasi dan UMKM Propinsi Jawa Tengah, 2011 Kolaborasi kemitraan telah menjadi salah satu piranti strategik bagi hampir semua perusahaan yang beroperasi dalam jejaring sistem ekonomi saat ini. Kemitraan dapat membantu KJKS dalam mempercepat akses pembiayaan, mendapatkan akses ke pasar yang baru, berbagi resiko keuangan, pengembangan teknologi baru atau mendapatkan efisiensi dari skala ekonomi (SKKNI-KJK, 2008). Undang-Undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian telah mengatur bahwa koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan pinjam. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi. Dalam rangka melaksanakan peran koperasi tersebut maka telah dilakukan kerjasama antara koperasi dengan lembaga yang lain seperti bank, lembaga keuangan mikro dan BUMN. Beberapa bukti adanya kolaborasi kemitraan antara koperasi dengan perbankan melalui dorongan pemerintah khususnya kementerian negara koperasi dan usaha kecil menengah adalah adanya kredit usaha mikro dan kecil dengan dana Surat Utang Pemerintah (SUP) nomor SU-005/MK/1999 tanggal 29 Desember tahun 1999. Kolaborasi koperasi

dengan perbankan juga dilakukan pada program pembiayaan produktif koperasi dan usaha mikro (P3KUM) pola syariah serta program perkuatan permodalan koperasi dalam rangka program perempuan keluarga sehat dan sejahtera (PERKASA) pola syariah dan konvensional. Jumlah dana yang tersalurkan dari kegiatan program kolaborasi koperasi dan perbankan di atas selama periode tahun 2000 s.d 2006 adalah Rp2,41 triliun dengan melibatkan 10.593 unit koperasi (Kemenkop dan UKM, 2007). Pada tahun 2006 juga terjadi kolaborasi kemitraan dalam penyaluran kredit antara bank umum, BPR dan koperasi yang disebut dengan program kredit kepada lembaga keuangan (KKLK). Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara bank umum dengan BPR/S dan koperasi dengan pola executing. Meskipun demikian, Soetriono (2004, 2) mengemukakan bahwa saat ini koperasi secara umum sedang menghadapi permasalahan kurangnya kemitraan usaha yang saling menguntungkan. Permasalahan lain yang bersifat internal adalah permodalan kurang, penguasaan teknologi rendah, kurang tangap terhadap berbagai perubahan, organisasi dan manajemen belum berjalan baik, masih kurangnya kemitraan usaha yang saling menguntungkan, serta terbatasnya akses pasar. Kendala sumberdaya manusia, manajemen dan kendala kelembagaan juga menjadi masalah yang membebani koperasi pada umumnya. Sebagai lembaga intermediasi bank berkepentingan untuk dapat menyalurkan dana masyarakat pada sektor riil dengan tetap menjaga unsur-unsur prudential banking. Persaingan dan keterbatasan sumberdaya diantara lembaga intermediasi lain menambah semakin kompleks pertimbangan bank dalam meningkatkan kinerja penyaluran dananya. Pemerintah melalui Bank Indonesia mendorong upaya kolaborasi penyaluran dana antara Bank Umum dengan koperasi dan BPR/S melalui Linkage Program (Bank Indonesia, 2005). Linkage program adalah program yang disponsori Bank Indonesia untuk menjembatani kerjasama antara Bank Umum dengan koperasi dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank Indonesia melihat program ini sebagai strategi untuk mendorong intermediasi

dengan memberdayakan sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) kepada seluruh komponen dalam industri keuangan. Terkait pilar pertama Arsitektur Perbankan Indonesia (API), linkage program juga merupakan upaya untuk meningkatkan daya saing BPR sekaligus efisiensi pelaksanaan skim kredit Bank Umum (Deputi Gubernur Bank Indonesia, Maman H. Somantri, 2006). Melalui linkage program, keterbatasan jaringan yang dialami oleh bank umum dalam menyalurkan kreditnya dapat diatasi. Sedangkan keterbatasan pembiayaan yang dirasakan oleh BPR dapat pula diatasi melalui program ini, sehingga melalui linkage program dapat tercipta sinergi yang akhirnya mampu mengoptimalkan fungsi intermediasi perbankan dan mengembangkan potensi UMKM. Pada tabel 1.3 ditunjukkan perkembangan kolaborasi lembaga keuangan secara agregat yang semakin meningkat, hal ini ditandai dengan semakin bertambahnya bank umum dan BPR/S yang melakukan kolaborasi dan bertambahnya jumlah plafon kredit. Tabel 1.3 Jumlah Bank Umum, BPR/S dan Kredit Peserta Program Linkage di Indonesia Tanggal Tahap Jumlah Bank Umum Jumlah BPR/S Jumlah Kredit (Milyar) 24-8- 2005 I 10 37 Rp10 26-1- 2006 II 13 41 Rp199 20-9- 2006 III 14 117 Rp369 27-12-2006 IV 14 250 Rp549 Sumber: Bank Indonesia, www.bi.go.id, dan Sriwijaya Post, Kamis, 28 Desember 2006 (data diolah) Meskipun demikian penyaluran kredit perbankan ke segmen UMKM melalui BPR dan koperasi dengan skema linkage program belum diselenggarakan secara merata. Pada tahun 2011 hanya ada 20 bank umum yang membuat kesepakatan untuk melaksanakan linkage program dengan total nilai kredit Rp 979 miliar (Choir, 2011). Rusli Simanjuntak (2007) mengatakan bahwa masih ada keraguan dari perbankan melaksanakan linkage program, bahwa mereka hanya dapat fee based dan margin rendah.

Terdapat beberapa pendapat yang tidak setuju dengan kegiatan kolaborasi bank umum dengan BPR/S dalam bentuk linkage program ini. Hal ini menunjukan kekhawatiran terjadi resiko adverse selection terhadap bank umum. Walaupun terdapat kode etik yang telah diatur oleh Bank Indonesia, tapi menurutnya penyimpangan oleh oknum bank umum tidak bisa dibuktikan. Kekhawatiran BPR/S dan koperasi terhadap ancaman bank umum akan merebut segmen pasar yang dimiliki menjadi alasan yang cukup kuat terhadap kegiatan kolaborasi. Aviliani (2006) mengatakan bahwa sangat mungkin terjadi perebutan konsumen antara bank umum dengan BPR/S dan koperasi, oleh karena itu bank sentral perlu melakukan pengaturan mengenai pembagian segmentasi pasar yang dapat dilayani oleh bank umum, BPR/S dan koperasi. 1.5 Masalah Penelitian Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini dimulai dari adanya masalah perbedaan hasil temuan penelitian mengenai keberhasilan kolaborasi, belum ada kesamaan hasil penelitian konsep-konsep yang terkait dan dapat mendukung keberhasilan kolaborasi kemitraan seperti telah disajikan pada tabel 1.1. Penelitian terdahulu memberikan sinyalemen bahwa kapabilitas kolaborasi kemitraan merupakan sumberdaya yang penting dan mempunyai peran besar dalam mendorong keberhasilan kolaborasi. Oleh karena itu masalah penelitian yang diajukan dalam penelitian adalah: Bagaimana membangun suatu model kapabilitas kolaborasi yang dinamis, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kinerja bisnis bagi Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) di Jawa Tengah.