II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. ekonomi tinggi, serta hutan ikutan seperti getah, rotan, madu, buah-buahan. Selain

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan yang berada di sebuah desa atau kota harus dilestarikan oleh

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

BAB II PENGATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN [LN 1999/167, TLN 3888]

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah

I. TINJAUAN PUSTAKA. pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

I. PENDAHULUAN. Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu satuan pertahanan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN. Oleh: Esti Aryani 1 Tri Wahyu Widiastuti 2. Abstrak

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana terhadap kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN HUTAN

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah Bumi, air dan kekayaan alam yang

Ahmad Afandi /D Kata Kunci : Penyertaan Dalam Tindak Pidana Perusakan Hutan

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai bangsa yang percaya dan meyakini kemahakuasaan Tuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati di dunia. Indonesia dijuluki sebagai Megadiversity Country,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Hutan dan Penguasaan Hasil Hutan. olehberbagai jenis tumbuh-tumbuhan, di antaranya tumbuhan yanh lebat dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana dan bersifat melawan hukum (formil, materil), serta tidak ada alasan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang

I. PENDAHULUAN. pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan kegiatan

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

Lex et Societatis, Vol. II/No. 2/Februari/2014

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan

I. PENDAHULUAN. berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban. Berkaitan dengan

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 1967, merek merupakan karya intelektual yang memiliki peranan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai tiga arti, antara lain : 102. keadilanuntuk melakukan sesuatu. tindakansegera atau di masa depan.

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

I. PENDAHULUAN. Indonesia saat ini sedang melaksanakan pembangunan nasional yang dilaksanakan

II.TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis

I. PENDAHULUAN. pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Ada yang menyebutkan istilah tindak pidana tersebut sebagai

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PEMBALAKAN LIAR

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 013/PUU-III/2005 (Perbaikan I tgl. 21 Juni 2005)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

I. PENDAHULUAN. alat transportasi yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan, dari berbagai

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

II TINJAUAN PUSTAKA. mencari untung. Sedangkan penipuan sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa

BAB I PENDAHULUAN. lain, terpengaruh obat-obatan dan lain-lain. yang memiliki kekuasaan dan ekonomi yang tinggi.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi ini mungkin

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan tindak pidana. Tapi meskipun melakukan tindak pidana, tidak selalu dia dapat dipidana. Orang yang tidak dapat dipersalahkan melanggar sesuatu tindak pidana tidak mungkin dikenakan pidana, meskipun orang tersebut dikenal buruk perangainya, kikir, tidak suka menolong orang lain, sangat ceroboh, selama dia tidak melanggar larangan pidana. Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada kesalahan pembuat dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur dalam tindak pidana. Dalam hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan atau tidak, melainkan pada apakah si terdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak pidana. Seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia mempunyai kesalahan. Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan dimintai pertanggungjawaban apabila perbuatan

tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya orang yang mampu bertanggung jawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. Menurut Roeslan Saleh (1982:86) seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab dapat dilihat dari beberapa hal yaitu: 1. Keadaan Jiwanya a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara; b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (Idiot, gila, dan sebagainya); c. Tidak terganggu karena terkejut (Hipnotis, amarah yang meluap dan sebagainya). 2. Kemampuan Jiwanya a. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya; b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah dilaksanakan atau tidak; c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. Menentukan pertanggungjawaban pidana kepada seseorang harus ada dua hal menurut Tri Andrisman (2006 : 107 ) yaitu : 1. Dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van het feit) 2. Dapat dipidananya orang atau perbuatannya (strafbaarheid van der person) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan batasan, KUHP hanya merumuskan secara negatif yaitu mempersyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan. Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan karena dua alasan yaitu : 1. Jiwanya cacat dalam pertumbuhan; 2. Jiwanya terganggu karena penyakit. Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, oleh karena itu untuk membuktikan unsur kesalahan tersebut, maka unsur pertanggungjawaban harus dibuktikan,

namun demikian untuk membuktikan adanya unsur kemampuan bertanggung jawab itu sangat sulit dan membutuhkan waktu dan biaya, maka dalam praktek dipakai faksi yaitu bahwa setiap orang dianggap mampu bertanggung jawab kecuali ada tanda-tanda yang menunjukan lain. Untuk dapat dipidanakan pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Berdasarkan uraian diatas, menurut Tri Andrisman (2006 : 106): Kesalahan mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat dalam arti keadaan jiwa si pembuat harus normal; b. Adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang merupakan kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa). Ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf Akan tetapi kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian. Maka dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pertanggungjawaban pidana yaitu kemampuan seseorang untuk menerima resiko dari perbuatan yang diperbuatnya sesuai dengan undang-undang. B. Pengertian Tindak Pidana Illegal Logging Illegal logging dalam peraturan Perundang-undangan yang ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun, terminologi illegal logging dapat dilihat dari pengertian secara harfiah, illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, dan log adalah kayu gelondongan, logging artinya menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian. Illegal Logging adalah rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengolahan hingga kegiatan eksport kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang

sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena itu dipandang sebagai suatu perbuatan yang merusakan hutan (IGM Nurjana, Teguh Prasetyo dan Sukardi (2005 : 15)). Illegal logging mengandung makna kegiatan di bidang kehutanan atau yang merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga kegiatan jual beli (termasuk ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, atau perbutan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan. Essensi yang paling penting dalam praktek penebangan liar ( illegal logging) adalah perusakan hutan yang akan berdampak pada kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya dan lingkungan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari fungsi hutan yang pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang didalamnya mengandung tiga fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi) serta fungsi sosial. Berdasarkan pada aspek sosial, penebangan liar (illegal logging) menimbulkan berbagai konflik hak atas hutan, konflik kewenangan mengelola hutan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta masyarakat adat setempat. Aspek budaya seperti ketergantungan masyarakat terhadap hutan juga ikut terpengaruh yang pada akhirnya akan merubah perspektif dan prilaku masyarakat adat setempat terhadap hutan. Dampak kerusakan ekologi (lingkungan) akibat penebangan liar ( illegal logging) bagi lingkungan dan hutan adalah bencana alam, kerusakan flora dan fauna serta punahnya spesies langka. Prinsip pelestarian hutan sebagaimana diindikasikan oleh tiga fungsi pokok tersebut, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, pemanfaatan dan pelestarian sumber daya hutan perlu dilakukan melalui suatu sistem

pengolahan yang dapat menjaga serta meningkatkan fungsi dan peranannya bagi kepentingan generasi masa kini maupun generasi dimasa yang mendatang. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi aktifitas illegal logging antara lain dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Indonesia dan mengularkan Surat Edaran Nomor 01 Tahun 2008 tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan. Upaya tersebut merupakan payung hukum dalam pemberantasan penebangan liar ( illegal logging) yang diharapkan kelangsungan hutan di Indonesia dapat terselamatkan. Tindak pidana illegal logging adalah masalah yang kompleks bagi pembangunan kehutanan namun menyadari arti pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup umat manusia pada umumnya dan bangsa Indonesia pada khususnya, maka sudah seharusnya kita harus melakukan pelestarian hutan serta melindungi keberadaannya demi kelangsungan hidup manusia itu sendiri sehingga dapat mencegah aksi para pelaku illegal logging yang hanya mencari keuntungan pribadi semata. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 mengartikan illegal logging adalah setiap perbuatan manusia atau badan hukum yang melanggar ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan kata lain, berdasarkan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Setiap perbuatan manusia atau badan hukum yang melanggar ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nommor 41 Tahun 1999 merupakan tindak pidana dibidang kehutanan atau dikenal dengan istilah illegal logging. C. Dasar-dasar dan Unsur-unsur Tindak Pidana Illegal Logging

Kasus illegal logging yang menjadi dasar dalam tindak pidananya berpedoman pada Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan didalamnya sudah jelas dianggap suatu perbuatan yang melanggar hukum dan mendapatkan hukuman pidana seperti yang terdapat dalam Pasal 50 ayat (1) dan (2) dan Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Isi Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagai berikut: (1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan; (2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatn jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Pengertian setiap orang ditafsirkan sebagai individu juga badan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pengertian dengan sengaja dan tanpa hak dapat ditafsirkan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang dan tindakan melakukan yang diancam dengan hukuman. Didalam pasal ini tidak perlu dibuktikan akibat dari perusakan hutan, yang terpenting bahwa secara formal illegal logging telah mengandung muatan-muatan yang dilarang oleh Undang-Undang. Unsur-unsur yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terdapat kejahatan penebangan liar ( illegal logging) yaitu : 1. Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan. Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan; 2. Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang, dan pantai yang ditentukan Undang-Undang; 3. Menebang pohon tanpa izin;

4. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui patut diduga sebagai hasil hutan illegal; 5. Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH); 6. Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa izin. Rumusan unsur-unsur pidana diatas sangat efektif untuk diterapkan kepada pelaku terutama masyarakat yang melakukan pencurian kayu tanpa izin atau masyarakat yang diupah oleh pemodal untuk melakukan penebangan kayu secara illegal dan kepada pelaku pengusaha yang melakukan pelanggaran konsesi penebangan kayu ataupun yang tanpa izin melakukan operasi penebangan kayu. Akan tetapi perkembangan kasus penebangan liar ( illegal logging) saat ini justru diindikasikan banyak melibatkan oknum pejabat pemerintah termasuk oknum pejabat pemerintah daerah oknum PNS, oknum TNI, oknum pejabat penyelenggara Negara lainnya yang justru menjadi bagian dari pelaku intelektual dalam penebangan liar ( illegal logging) namun belum dapat terjangkau oleh ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. D. Dasar Pertimbangan Hakim Seseorang tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana (Criminal Liability) dengan dijatuhi sanksi pidana karena telah melakukan sautu tindak pidana apabila tindak pidana, telah melakukan perbuatan tersebut dengan tidak disengaja atau bukan karena kelalaiannya. (Sutan Remy Sjahdeni,2007:33). Pemidanaan adalah suatu proses. Sebelum proses itu berjalan, peranan hakim penting sekali. Hakim mengkonkretkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu. Dalam Pasal 55 ayat (1) Konsep RUU KUHP 2005 disebutkan pedoman pemidanaan yang wajib dipertimbangkan hakim, antara lain:

1. Kesalahan pembuat tindak pidana; 2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana; 3. Cara melakukan tindak pidana; 4. Sikap batin pembuat tindak pidana; 5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana; 6. Sikap dan tindakan pembuat setelah melakukan tindak pidana; 7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; 8. Tindak pidana dilakukan dengan berencana; 9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; 10. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau; 11. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Pedoman pemidanaan ini akan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, sehingga hal ini akan memudahkan hakim dalam menerapkan takaran pemidanaan. Selain itu, hakim dalam menjatuhkan pidana sangatlah banyak hal-hal yang mempengaruhi, yaitu yang bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan putusan pemidanaan baik yang terdapat di dalam maupun di luar undang-undang. Hakim mempunyai substansi untuk menjatuhkan pidana, akan tetapi dalam menjatuhkan pidana tersebut hakim di batasi oleh aturan-aturan pemidanaan, masalah pemberian pidana ini bukanlah masalah yang mudah seperti perkiraan orang, karena hakim mempunyai kebebasan untuk menetapkan jenis pidana, cara pelaksanaan pidana dan tinggi rendahnya pidana.

KUHP tidak memuat pedoman pemberian pidana yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana, yang ada hanyalah aturan pemberian pidana.