BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ANTARA BANK DENGAN NASABAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II ASPEK HUKUM PARA PIHAK DALAM TRANSAKSI PERBANKAN. A. Pengertian Hukum Perbankan dan Jenis-Jenis Transaksi Perbankan

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum..., Pramita Dyah Hapsari, FH UI, 2011.

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam sistem perekonomian. Menurut Undang Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. di dalam mewujudkan cita-cita atau tujuan pembangunan nasional, sub sektor ini

PERLINDUNGAN dan PEMBERDAYAAN NASABAH BANK DALAM ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA 1

BAB I PENDAHULUAN. khususnya dalam menunjang pertumbuhan ekonomi negara. Bank adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN. iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb).

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat

BAB I PENDAHULUAN. dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan efisien pada

II. Tinjauan Pustaka. Kata Bank dalam kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan hal yang asing lagi. Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, yang telah memiliki beberapa Undang-undang yang mengatur tentang

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. A. Pembiayaan Konsumen dan Dasar Hukumnya

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

(Staf Pengajar FISE Universitas Negeri Yogyakarta)

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

BAB II PERJANJIAN ANTARA NASABAH DAN BANK DIKAITKAN DENGAN HUKUM PERBANKAN. A. Pengertian Bank dan Nasabah Dalam Hukum Perbankan

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian yang dimuat secara sah mengikat para pihak sebagai Undang-undang.

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK. keuangan (Financial Intermediary) antara debitur dan kreditur

STIE DEWANTARA Perlindungan Konsumen Bisnis

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Bank selaku lembaga penyedia jasa keuangan memiliki peran penting

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP NASABAH BANK DI INDONESIA

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

TINJAUAN HUKUM TENTANG PENGAWASAN BANK DAN PERLINDUNGAN NASABAH OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN CHAIRIL SUSANTO / D

BAB I PENDAHULUAN. akan berkaitan dengan istri atau suami maupun anak-anak yang masih memiliki

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB IV UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. A. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Yang Mengalami

ASURANSI DAN KREDIT PERBANKAN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI BANK DAN NASABAH

Tanggung Jawab Penjual/ Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Terhadap Kelebihan Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia.

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan, perkembangan, dan kemajuan internasional yang terjadi

ekonomi Kelas X BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK KTSP & K-13 A. Pengertian Bank Tujuan Pembelajaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tidak terlepas dari kaitannya dengan uang. Sebab untuk menjalankan

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI MENGGUNAKAN MEDIA SOSIAL

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

BAB I PENDAHULUAN. dampak terhadap munculnya peluang peluang diberbagai bidang usaha yang

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan mempunyai peranan penting dalam menjalankan. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diatur bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. adalah untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan hal

BAB II LANDASAN TEORI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan

BAB I PENDAHULUAN. melindungi segenap Bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undangundang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Guna mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

BAB I PENDAHULUAN. melayani masyarakat yang ingin menabungkan uangnya di bank, sedangkan

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERJANJIAN PADA PROGRAM INVESTASI

BAB I PENDAHULUAN. roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB II PELANGGARAN TERHADAP HAK KONSUMEN ATAS PEMBATALAN KONSER OLEH PROMOTOR SELAKU PELAKU USAHA

BAB I PENDAHULUAN. Bank memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

I. PENDAHULUAN. perekonomian. Kebutuhan masyarakat yang tinggi terhadap sektor masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Peran bank sangat besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

BAB I PENDAHULUAN. Melihat dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa kegiatan pinjam-meminjam

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan Nomor 10 Tahun Menurut Pasal 1 ayat 2

Bab IV PEMBAHASAN. A. Hubungan Hukum dalam Perjanjian Penyimpanan Barang di SDB pada

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS PADANG

BAB I PENDAHULUAN. inovatif dalam mengembangkan dan memperoleh sumber-sumber dana. baru. Dengan liberalisasi perbankan tersebut, sektor perbankan

BAB I PENDAHULUAN. jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

Implementasi Psak No. 31 Tentang Akuntansi Perbankan Untuk Pengakuan Pendapatan Dan Beban Bunga Pada PT. Bank Bjb Kantor Cabang Majalengka

BAB I PENDAHULUAN. dan atau bentuk-bentuk lainnya, dalam rangka meningkatkan taraf hidup. kepada masyarakat yang kekurangan dana (Abdullah, 2005:17).

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sebuah kontribusi nyata dari sektor perbankan. Sesungguhnya dalam

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. kembali dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit.

Makan Kamang Jaya. : KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan tersebut. BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Air tawar bersih yang layak minum kian langka di perkotaan. Sungai-sungai

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ANTARA BANK DENGAN NASABAH A. Pengertian Bank dan Nasabah Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan suatu Negara. Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik Negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya. Setelah mengumpulkan dana, maka bank menyalurkan dana tersebut melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan oleh bank. Bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bank adalah usaha dibidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang dimasyarakat, terutama pemberian kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Rumusan mengenai pengertian bank yang lain, dapat juga kita temui dalam kamus istilah hukum Fockema Andreae yang mengatakan bahwa bank adalah suatu lembaga atau orang pribadi yang menjalankan perusahaan dalam menerima dan memberikan uang dari dan kepada pihak ketiga 16. G. M. Verryn Stuart dalam bukunya Bank Politik, berpendapat bahwa: bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang 16 Hermansyah, log.cit.

yang diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral. 17 Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa bentuk badan hukum suatu bank umum dapat berupa : 1. Perseroan terbatas; 2. Koperasi; 3. Perusahaan daerah. Dari ketiga bentuk badan hukum dari suatu bank tersebut dapat disimpulkan bahwa bank umum wajib berbentuk sebagai badan hukum. Oleh karena itu, tunduk dan berlaku doktrin-doktrin hukum badan hukum. Doktrin hukum mengemukakan adanya 4 (empat) unsur suatu badan hukum dianggap sebagai badan hukum, yaitu sebagai berikut 18 : 1. Harus ada kekayaan yang terpisah, lepas dari kekayaan anggotanya; 2. Mempunyai tujuan tertentu; 3. Adanya kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum; 4. Adanya organisasi yang teratur. Dalam menjalankan fungsinya sebagai perantara keuangan (financial intermediary) yaitu usaha menghimpun dan menyalurkan dana tersebut, bank harus menjalin kerjasama dengan berbagai pihak. Pihak-pihak yang bekerjasama dengan bank tersebut disebut sebagai nasabah. Bank harus bisa menjaga kepercayaan masyarakat karena bank merupakan suatu lembaga yang sangat 17 Ibid. 18 Thy Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan Di Indonesia, (Bogor:Ghalia Indonesia, 2006), hlm.30.

bergantung kepada kepercayaan dari masyarakat, terutama nasabahnya dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Pada tahun 1998 melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diintroduksilah rumusan masalah nasabah dalam pasal 1 angka 16, yaitu pihak yang menggunakan jasa bank. Rumusan ini kemudian diperinci pada angka berikutnya, sebagai berikut : Nasabah penyimpan dana adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. (Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998). Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan (Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998). Dilihat dari jenis subjek hukum dari pihak nasabah, maka terdapat dua jenis subjek hukum, yakni dapat berupa orang dan badan hukum. Dalam istilah perbankan, terdapat istilah yang dipersamakan, yakni perorangan. Termasuk nasabah perorangan adalah usaha dagang, toko dan sebagainya. Sedangkan aspek hukum dari pihak bank hanya berupa badan usaha. Hal ini dikarenakan tidak ada lembaga perbankan yang berbentuk orang atau perorangan.

Adapun pihak-pihak yang termasuk sebagai nasabah adalah 19 : 1. Orang Nasabah bank terdiri dari orang yang telah dewasa dan orang yang belum dewasa. Nasabah orang dewasa hanya diperbolehkan untuk nasabah kredit dan atau nasabah giro. Sedangkan nasabah simpanan dan atau jasa-jasa bank lainnya dimungkinkan orang yang belum dewasa, misalnya nasabah tabungan dan atau nasabah lepas (working customer) untuk transfer dan sebagainya. Terhadap perjanjian yang dibuat antara bank dengan nasabah yang belum dewasa tersebut telah disadari konsekuensi hukum yang diakibatkannya. Konsekuensi hukum tersebut adalah tidak dipenuhinya salah satu unsur sahnya perjanjian seperti yang termuat dalam pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh pihak yang dapat mewakili anak yang belum dewasa itu, yaitu orang tua atau walinya melalui acara gugatan pembatalan. Dengan kata lain, selam orang tua atau wali dari orang yang belum dewasa tersebut tidak melakukan gugatan, maka perjanjian tersebut tetap berlaku dan mengikat terhadap para pihak. Nasabah kredit dan rekening giro bisaaanya diwajibkan bagi nasabah yang telah dewasa. Hal ini disababkan karena resiko bank yang sangat besar jika dalam pemberian kredit dan atau pembukaan rekening giro diperbolehkan bagi nasabah yang belum dewasa. 19 Ibid., hlm.24.

2. Badan Hukum 20 Untuk nasabah berupa badan, perlu diperhatikan aspek legalitas dari badan tersebut serta kewenangan bertindak dari pihak yang berhubungan dengan bank. Hal ini berkaitan dengan aspek hukum perseorangan. Berkaitan dengan kewenangan bertindak bagi nasabah yang bersangkutan, khususnya bagi badan, termasuk apakah untuk perbuatan hukum tersebut perlu mendapat persetujuan dari komisaris dan/atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) agar diperhatikan anggaran dasar dari badan yang bersangkutan. Subjek hukum yang berbentuk badan, tidak otomatis dapat berhubungan dengan bank. Untuk dapat berhubungan dengan bank, harus juga dilihat peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bagaimana ketentuan internal yang berlaku pada bank yang bersangkutan. Dari segi kacamata hukum, hubungan antara bank dengan nasabah terdiri dari 2 (dua) bentuk, yaitu 21 : 1. Hubungan Kontraktual Hubungan yang paling utama atau lazim antara bank dengan nasabah adalah hubungan kontraktual. Hal ini berlaku hampir terhadap semua nasabah, baik nasabah debitur, nasabah deposan, ataupun nasabah non debitur-non deposan. Terhadap nasabah debitur, hubungan kontraktual tersebut berdasarkan atas suatu kontrak yang dibuat antara bank sebagai kreditur (pemberi dana) dengan pihak debitur (peminjam dana). 20 Ibid. 21 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, ( Bandung:PT. Citra Aditya bakti, 1999), hlm.102.

Hukum kontak yang menjadi dasar terhadap hubungan bank dan nasabah debitur bersumber dari ketentuan-ketentuan KUH Perdata tentang kontrak (buku ketiga). Sebab, menurut pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berkekuatan sama dengan undang-undang bagi kedua belah pihak. Selain itu, sebagian sarjana berpendapat bahwa perjanjian kredit bank diatur juga oleh ketentuan khusus mengenai pinjam pakai habis (Verbruiklening) vide Pasal 1754 sampai pasal 1769 KUHPerdata. Berbeda dengan nasabah debitur, maka untuk nasabah deposan atau nasabah non debitur-non deposan, tidak terdapat ketentuan yang khusus mengatur untuk kontrak jenis ini, karena itu kontrak-kontak ini tunduk kepada ketentuanketentuan umum dari KUHPerdata mengenai kontrak. Disamping itu, berbeda dengan kontrak untuk nasabah debitur, kontrak kredit yang sering sekali diatur cukup komprehensif, maka untuk kontrak antara bank dengan nasabah deposan atau nasabah non debitur - non deposan, lazimnya hanya diatur dalam bentuk kontrak yang sangat simpel/sederhana. Itupun sama seperti kontrak kredit, diberlakukan kontrak dalam bentuk kontrak standar (kontrak baku) yaitu kontrak yang klausul-klausulnya telah ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak 22. Dalam kontrak baku bisaaanya terdapat ketentuan-ketentuan yang berat sebelah, dimana pihak bank seringkali lebih diuntungkan. Ada tiga tingkatan dari pemberlakuan hubungan kontraktual kepada hubungan antara nasabah penyimpan dana dengan pihak bank, yaitu sebagai berikut : 22 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, (Jakarta:PT Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 39.

a. Sebagai hubungan bank dan nasabah penyimpan; b. Sebagai hubungan kontraktual lainnya yang lebih luas dari hanya sekedar hubungan debitur-kreditur; c. Sebagai hubungan implied contract, yaitu hubungan kontrak yang tersirat. Karena pada prinsipnya hubungan antara nasabah penyimpan dana dengan bank adalah hubungan kontraktual tersebut (hubungan kreditur-debitur), maka tidak mengherankan jika dalam praktek, sering sekali pihak nasabah, terutama nasabah penyimpan dana tidak mendapatkan perlindungan yang sewajarnya oleh sektor hukum. 2. Hubungan Non Kontraktual Selain dari hubungan kontraktual, ada enam jenis hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya, yaitu 23 : a. hubungan fidusia (fiduciary relation), b. hubungan konfidensial, c. hubungan Bailor-Bailee, d. hubungan Principal-Agent, e. hubunkgan Mortgagor-Mortgagee, dan f. hubungan Trustee-Beneficiary. Akan tetapi, berhubung hukum di Indonesia tidak tegas mengakui hubungan-hubungan tersebut, maka hubungan- hubungan tersebut baru dapat dilaksanakan jika disebutkan dengan tegas dalam kontrak untuk hal tersebut. Atau 23 Munir Fuady, op.cit., hlm.102.

setidak-tidaknya ada kebisaaaan dalam praktek perbankan untuk mengakui eksistensi kedua hubungan tersebut. Selain hubungan tersebut, terdapat juga beberapa hubungan lainnya seperti hubungan moral. Hubungan moral antara bank dengan nasabahnya tercipta disaat nasabah telah memberikan kepercayaannya kepada suatu bank. Atas kepercayaan itu, maka bank harus menjaga kepercayaan nasabah dan masyarakat dalam melakukan segala bentuk dan produk jasa dari bank bersangkutan. Kepercayaan nasabah terhadap bank dapat dilihat dari formulir-formulir yang diisi oleh nasabah dan disetujui oleh bank. Formulir-formulir tersebut berisi tentang permohonan atau perintah atau kuasa kepada bank. Nasabah yang mengisi formulir tersebut pada dasarnya merupakan tindak lanjut dari kepercayaan masyarakat kepada bank. Hubungan antara bank dengan nasabah yang terdapat pada formulir-formulir yang diisi oleh nasabah dan disetujui oleh bank disebut sebagai hubungan formil 24. Hubungan hukum antara nasabah dengan bank dalam pembukaan rekening terdapat empat ketentuan yang berlaku: a. Ketentuan yang terdapat dalam aplikasi; b. Ketentuan yang terdapat pada syarat-syarat umum pembukaan rekening; c. Ketentuan yang terdapat pada produk yang digunakan oleh nasabah; d. Peraturan yang berlaku (sebagaimana dijelaskan dan dirumuskan diatas). Pada kenyataannya, formulir-formulir dan aplikasi-aplikasi yang diisi oleh nasabah bisaaanya berbentuk perjanjian baku yang telah disediakan oleh bank, 24 Thy Widiyono, op.cit., hlm.21.

sehingga hal ini sering sekali mengakibatkan perbedaan kedudukan antara bank dengan nasabah. Hubungan hukum tersebut dapat dikualifikasikan dalam 2 (dua) bentuk. Pertama, hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan disebut perjanjian simpanan. Kedua, hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitor disebut perjanjian kredit bank. Kedua bentuk hubungan hukum tersebut sangat erat kaitannya dengan jaminan sebagai unsur pengaman. Dalam bentuk hubungan hukum yang pertama, dana yang disimpan oleh nasabah penyimpan harus dapat dijamin keamanannya oleh bank. Bentuk jaminan untuk melindungi dana nasabah penyimpan diatur dalam Lembaga Penjaminan Simpanan, sedangkan bentuk jaminan untuk melindungi bank sebagai pemberi kredit adalah lembaga jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Hubungan antara nasabah penyimpan dana dengan nasabah tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai hubungan hukum melainkan hubungan moral. Sebagai hubungan moral, maka pertanggungjawabannya lebih tinggi di mata hukum. Moral menjadi sumber dan sekaligus jembatan etis dalam tonggak hukum perbankan. Dengan demikian, dalam pelaksanaan fungsi perbankan terdapat 2 (dua) hubungan hukum dan 1 (satu) hubungan moral 25. Bila digambarkan, maka bentuk hubungan hukum antara bank dengan nasabah deposan dan nasabah kreditur adalah sebagai berikut : 25 Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah, disampaikan pada pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dihadapan Rapat Terbuka, Medan, 2 September 2006, hlm. 7.

BANK Hubungan Hukum Hubungan Hukum Nasabah Deposan Nasabah Kreditur Hubungan Moral B. Sahnya Hubungan Hukum Antara Bank dan Nasabah Pada dasarnya hubungan hukum antara bank dengan nasabah adalah hubungan yang bersifat kontraktual yang berdasarkan pada hukum perjanjian. Hubungan hukum antara nasabah dengan bank terjadi setelah kedua belah pihak menandatangani perjanjian untuk memanfaatkan produk jasa yang ditawarkan bank. Dengan adanya persetujuan dari nasabah terhadap formulir perjanjian yang dibuat oleh bank, berarti nasabah telah menyetujui isi serta maksud perjanjian dan demikian berlaku facta sun servanda yaitu perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak sebagai undang-undang. Azas ini terdapat dalam pasal 1338 KUHPerdata 26. Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur : 26 Ibid., hlm.18.

a. Perbuatan, Penggunaan kata Perbuatan pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan; b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum. c. Mengikatkan dirinya, Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. Asas kebebasan berkontrak tersebut tidak berarti para pihak bebas untuk melakukan perjanjian apa saja menurut kepentigan dan kehendak para pihak. Kebebasan tersebut tetap memiliki batas-batas tertentu. Batas-batas tersebut terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut: 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; mengenai sepakat mereka yang mengikat dirinya diatur dalam KUHPerdata pada pasal 1321 sampai 1328. Maksud dari kata sepakat adalah, kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai halhal yang pokok dalam kontrak. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan

yang diucapkan atau ditulis. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum anatara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menunutut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Maka hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Hal ini jelas, bahwa hukum perjanjian tidak boleh dibuat dengan adanya paksaan kepada salah satu atau kedua belah pihak. 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; mengenai kecakapan untuk melakukan perikatan diatur lebih lanjut dalam pasal 1329 KUHPerdata yang menyatakan setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan,jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat, menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki,dan 19 tahun bagi wanita. Sedangkan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dewasa adalah mereka yang sudah berusia 19 tahun bagi laki-laki dan berusia 16 tahun bagi wanita. Meski dalam undang-undang perkawinan ditetapkan usia dibawah itu. Acuan hukum yang kita pakai adalah KUHPerdata karena berlaku secara umum. Menurut Pasal 1330 KUH Perdata, yang tidak cakap hukum : a. Orang-orang yang belum dewasa.

b.orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan. c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan putusan Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW). 3. suatu hal tertentu; mengenai sesuatu hal tertentu, diatur dalam KUHPerdata pasal 1332, pasal 1333, dan pasal 1334. Dari pasal-pasal diatas dapat disimpulkan perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas. 4. suatu sebab yang halal. mengenai suatu sebab yang halal diatur dalam KUHPerdata pasal 1334, pasal 1335, pasal 1336, dan pasal 1337. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal,

atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. Misalnya perjanjian jual beli narkoba atau jual beli senjata gelap. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. Setiap perjanjian atau kontrak harus memperhatikan syarat-syarat sahnya perjanjian seperti yang telah diuraikan diatas, tidak terkecuali terhadap perjanjian yang dilakukan oleh nasabah dan bank. Baik perjanjian-perjanjian yang berbentuk formulir-formulir atau aplikasi-aplikasi yang diisi oleh nasabah dan disetujui oleh bank. Jika kita berangkat dari rumusan kebebasan berkontrak dan sahnya perjanjian dalam meneropong permasalahan hukum berkaitan dengan hubungan hukum antara nasabah dengan bank, maka jelas bahwa hubungan hukum antara bank dengan nasabah tersebut sah dan berlaku sebagai undang-undang serta sekaligus telah memenuhi rasa keadilan 27. Bank harus memperhatikan apakah nasabah yang akan melakukan perjanjian terhadap bank tersebut telah memenuhi syarat kecakapan. Selain itu, perjanjian harus dibuat dengan adanya kesepakatan para pihak, para pihak yang akan menentukan hal-hal apasaja yang akan diperjanjikan. Namun pada 27 Ibid., hlm.19.

kenyataanya, sering sekali perjanjian yang dibuat cenderung mengabaikan hal ini. Seperti halnya nasabah pada suatu bank, kadang kala merupakan orang yang belum dewasa untuk melakukan suatu perjanjian sehingga perlu izin dari wali. Selain itu, kecenderung perjanjian yang dibuat berbentuk perjanjian baku yang dibuat secara sepihak oleh pihak bank. Hal ini menyebabkan kedudukan yang berbeda antara bank dengan nasabah. Kedudukan bank menjadi lebih tinggi dibandingkan kedudukan nasabah. Kondisi yang seperti ini dapat memposisikan nasabah sebagai pihak yang lemah yang cenderung dirugikan. C. Perlindungan Nasabah Selaku Konsumen Lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang sangat bergantung kepada kepercayaan dari masyarakat. Oeh karena itu,tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat, tentu suatu bank tidak akan mampu menjalankan usahanya dengan baik. Sebagai pengguna jasa dan produk dari bank, maka nasabah dari suatu bank dapat dikatakan sebagai konsumen. Seiring dengan pesatnya perkembangan perbankan yang didukung oleh cepatnya laju ilmu pengetahuan dan teknologi, bank telah menghasilkan berbagai produk dan jasa-jasa yang dapat dikonsumsi oleh nasabah. Jasa-jasa atau produk yang dihasilkan oleh bank saat ini sangat bervariasi seperti ATM, SMS banking, phone banking, sampai internet bangking, dan lain sebagainya. Di satu pihak, perkembangan ini sangat menguntungkan karena dapat mempermudah nasabah untuk melakukan transaksi-transaksi keuangan. Nasabah bebas untuk memilih produk atau jasa bank yang akan dikonsumsi. Namun seiring

perkembangan ini, maka semakin terbuka peluang terjadinya masalah atau sengketa diantara para pihak. Hubungan hukum antara bank dengan nasabah yang terjadi bersifat kontraktual, yang berupa kontrak baku yang dibuat oleh bank 28. Karena hubungan ini, maka kedudukan nasabah menjadi lebih rendah dari pada bank. Untuk mengatasi masalah ini, maka diperlukan adanya suatu peraturan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap konsumen yang dapat menjamin dipenuhinya hak-hak konsumen sebagai pemakai suatu hasil produksi. Untuk itu, pemerintah mensahkan suatu undang-undang yang melindungi konsumen, yaitu Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. UU Perlindungan Konsumen yang mewajibkan adanya kesetaraan hubungan antara pelaku usaha (bank) dengan konsumen (nasabah). Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Sedangkan yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Mengacu kepada pasal ini, maka nasabah dapat kita sebut sebagai konsumen dan bank disebut sebagai produsen. Nasabah memanfaatkan berbagai 28 Munir Fuady, op.cit., hlm.102.

produk dan fitur-fitur yang disediakan oleh pihak perbankan yang dalam hal ini adalah bank. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo membagi konsumen kedalam dua jenis, yaitu 29 : a. Konsumen akhir, yakni pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk. b. Konsumen antara, yakni konsumen yang memakai suatu produk atau sebagian dari proses produksi suatu peoduk lainnya. Sebagai konsumen, maka nasabah memiliki hak dan kewajiban. Hak dari konsumen terurai dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu: a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 29 Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,2004), hlm. 7.

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Adapun kewajiban konsumen diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu: a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Sementara itu, bank yang dalam hal ini bertindak sebagai produsen harus memberikan perlindungan terhadap nasabah sebagai konsumen. Adapun yang menjadi hak diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah: a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Dalam penjelasan pasal 2 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, telah ditetapkan bahwa perlindungan konsumen didasarkan pada 5 (lima) asas, yaitu: 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Selain dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dapat dilakukan beberapa cara untuk melindungi nasabah. Berkaitan dengan perlindungan hukum bagi nasabah ini, Marulak Pardede mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia, mengenai perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana, dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu 30 : Perlindungan secara implisit (implicit deposit protection), yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat menghindari terjadinya kebangkrutan bank. Perlindungan ini diperoleh melalui: a. Peraturan perundang-undangan dibidang perbankan, b. Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia, c. Upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya, d. Memelihara tingkat kesehatan bank, e. Melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian 30 Hermansyah, op.cit., hlm. 133.

Selain itu juga dilakukan perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit protection), yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut. Perlindungan ini diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI no.26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Bank Umum 31. Pada dasarnya, perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dana ini merupakan salah satu upaya dalam rangka menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank. Hal ini berhubungan dengan kelangsungan bank yang tidak bisaa terlepas dari kepercayaan masyarakat, seperti nasabah penyimpan dan lain sebagainya. Dalam rangka perlindungan nasabah bank, maka terdapat beberapa mekanisme perlindungan nasabah, yaitu: 1) Pembuatan peraturan baru 32 Lewat pembuatan peraturan baru dibidang perbankan atau merevisi peraturan yang sudah ada merupakan salah satu cara untuk memberikan perlindungan kepada nasabah suatu bank. Banyak peraturan baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertujuan untuk melindungi nasabah. Akan tetapi lebih banyak lagi diperlukan seperti itu dari apa yang terdapat dewasa ini. 31 Ibid. 32 Munir Fuady, op.cit., hlm.106.

2) Pelaksanaan peraturan yang ada Salah satu cara lain untuk memberikan perlindungan terhadap nasabah adalah dengan melaksanakan peraturan yang telah ada di bidang perbankan secara lebih ketat oleh pihak otoritas moneter, khususnya peraturan mengenai perlindungan nasabah sehingga dapat dijamin law enforcement yang baik. Peraturan perbankan tersebut harus ditegakkan secara objektif tanpa melihat siapa direktur, komisaris, atau pemegang saham dari bank tersebut. 3) Perlindungan nasabah deposan lewat lembaga asuransi deposito Perlindungan nasabah, khususnya nasabah deposan melalui lembaga asuransi deposito yang adil dan predictable ternyata juga dapat membawa hasil yang positif. 4) Memperketat perizinan bank Memperketat pemberian izin untuk suatu pendirian bank baru adalah salah satu cara agar bank tersebut kuat dan kualified sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi nasabahnya. UUP menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi apabila suatu bank akan didirikan berupa persyaratan dalam hal-hal sebagai berikut: a. Susunan organisasi; b. Permodalan; c. Kepemilikan; d. Keahlian di bidang perbankan; dan e. Kelayakan rencana kerja.

5) Memperketat peraturan dibidang kegiatan bank Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan bank banyak juga yang bertujuan secara langsung dan tidak langsung untuk melindungi pihak nasabah. Peraturan-peraturan tersebut khususnya yang menyangkut dengan kegiatan bank mengatur tentang hal-hal sebagai berikut : a. Ketentuan menganai permodalan. Antara lain mengenai kecukupan modal atau yang disebut juga dengan capital adequate ratio (CAR) yang diukur dari persentase tertentu terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). b. Ketentuan mengenai manajemen, yang dalam hal ini merupakan penilaian kualitatif mengenai manajemen permodalan, manajemen renthabilitas, dan manajemen likuiditas. c. Ketentuan mengenai kualitas aktiva produktif, yang dalam hal ini diukur tingkat kemampuan pengembaliannya dengan kategori lancar, kurang lancar, diragukan atau macet. d. Ketentuan mengenai likuiditas. Dalam hal ini seringkali dilakukan pengukuran lewat cash ratio atau minimum reserve requirement. Juga harus dihindari adanya kesulitan likuiditas yang bisaaanya terjadi karena adanya tindakan yang disebut mismatch. e. Ketentuan mengenai rentabilitas. Dalam hal ini sering diukur dengan cara penilaian kuantitatif melalui resiko perbandingan laba selama 12 bulan terakhir terhadap volume usaha dalam periode yang sama, dan

rasio biaya operasional terhadap perdapatan operasional terhadap pendapatan operasional dalam periode satu tahun. f. Ketentuan mengenai solvabilitas. g. Ketentuan mengenai kesehatan bank. Dalam hal ini sering dipergunakan sebagai ukuran adalah capital, posisi devisa netto, batas maksimum pemberian kredit. 6) Memperketat pengawasan bank. Dalam rangka meminimalkan resiko yang ada dalam bisnis bank, maka pihal otoritas, khususnya Bank Indonesia harus melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap bank-bank yang ada, baik terhadap bank-bank pemerintah maupun terhadap bank swasta. Bank Indonesia merupakan bank sentral yang paling berpengaruh di dunia perbankan. Karena kedudukannya sebagai bank sentral, maka Bank Indonesia memiliki tugas dalam hal pengawasan dan pembinaan bank. Dalam hal perlindungan nasabah, Bank Indonesia telah memasukkannya dalam program kerjanya. Sejak diluncurkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) pada tanggal 9 Januari 2004, Bank Indonesia memformasikan 6 (enam) pilar utama sebagai sasaran yang ingin dicapai, yaitu: (i) struktur perbankan yang sehat, (ii) sistem pengaturan yang efektif, (iii) sistem pengawasan yang independen dan efektif, (iv) industri perbankan yang kuat, (v) infrastruktur yang mencukupi, dan (vi) perlindungan nasabah. Soedrajad dalam makalahnya yang berjudul Menuju Sistem Perbankan untuk Mendukung Pembangunan, yang menyatakan bahwa API adalah kerangka menyeluruh, meliputi arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan Indonesia

dalam jangka lima sampai sepuluh tahun kedepan, yang berlandaskan pada visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional 33. Bank Indonesia sejak awal tahun 2002 mulai menyusun cetak biru sistem perbankan nasional yang salah satu aspek didalamnya tercakup upaya untuk melindungi dan memberdayakan nasabah. Upaya ini kemudian berlanjut dan dituangkan menjadi Pilar ke VI dalam API yang mencakup empat aspek, yaitu mekanisme pengaduan nasabah, pembentukan lembaga mediasi independen, transparansi informasi produk, dan edukasi nasabah. Keempat aspek tersebut dituangkan kedalam empat program API, yaitu: 1. Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah, 2. Pembentukan lembaga mediasi perbankan independent, 3. Penyusunan standar transparansi informasi produk, 4. Peningkatan edukasi untuk nasabah. Keempat program di atas saling terkait satu sama lain dan secara bersamasama akan dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak nasabah. Secara ideal, implementasi program-program di atas seharusnya dimulai dengan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai kegiatan usaha dan produkproduk keuangan dan perbankan. Edukasi ini selain untuk memperluas wawasan masyarakat mengenai industri perbankan juga ditujukan untuk mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat melalui pengenalan perencanaan keuangan. 33 Hermansyah, op.cit., hlm. 178.

Langkah selanjutnya setelah edukasi adalah dilaksanakannya transparansi mengenai karakteristik produk-produk keuangan dan perbankan 34. Transparansi ini penting dilakukan agar masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi nasabah (calon nasabah) bank mendapatkan informasi yang cukup memadai mengenai manfaat, risiko, dan biaya-biaya yang terkait dengan suatu produk tertentu sehingga keputusan untuk memanfaatkan produk tersebut sudah melalui pertimbangan yang matang dan sesuai dengan kebutuhan calon nasabah 35. 34 Muliaman D. Hadad, op.cit., 2006, hlm. 3-4. 35 Ibid.