BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) selalu merupakan beban

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yaitu dengue shock syndrome (DSS). Kewaspadaan dini terhadap. tanda-tanda syok pada penderita demam berdarah dengue (DBD)

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tropis dan subtropis di seluruh dunia. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Asia Tenggara termasuk di Indonesia terutama pada penduduk yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) sampai saat ini merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh virus dengue dengan gambaran klinis demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang berada pada periode triple

BAB I PENDAHULUAN. serotype virus dengue adalah penyebab dari penyakit dengue. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara serta Pasifik Barat (Ginanjar, 2008). Berdasarkan catatan World

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggi dan dalam waktu yang relatif singkat. Penyakit jenis ini masih

BAB I PENDAHULUAN. penyebarannya semakin meluas. DBD disebabkan oleh virus Dengue dan

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas 2013

1. BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. dewasa (Widoyono, 2005). Berdasarkan catatan World Health Organization. diperkirakan meninggal dunia (Mufidah, 2012).

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdarah Dengue (DBD). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. World Health

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

BAB 1 PENDAHULUAN. pada anak-anak. Indonesia merupakan negara dengan tingkat kejadian DBD

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

BAB I Infeksi dengue adalah suatu infeksi arbovirus yang ditularkan melalui

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I : PENDAHULUAN. menular yang disebabkan oleh virus dengue, virus ini ditularkan melalui

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejadian demam berdarah dengue (DBD) di dunia semakin meningkat setiap tahunnya. Data di seluruh dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran epidemiologi..., Lila Kesuma Hairani, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang menyebar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Penyakit yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. tropis. Pandangan ini berubah sejak timbulnya wabah demam dengue di

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus. Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dalam pasal 152

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat karena menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian (Profil

BAB 1 PENDAHULUAN. di Indonesia yang cenderung jumlah pasien serta semakin luas. epidemik. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahunnya. Salah satunya Negara Indonesia yang jumlah kasus Demam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Penyakit demam berdarah adalah penyakit menular yang di

BAB. I Pendahuluan A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Flaviviridae dan ditularkan melalui vektor nyamuk. Penyakit ini termasuk nomor dua

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO), juta orang di seluruh dunia terinfeksi

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERBEDAAN MANIFESTASI KLINIS DAN LABORATORIS ANTARA PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DENGAN IgM+IgG+ DAN PASIEN DBD DENGAN IgM-IgG+ SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. sekitar 90 % dan biasanya menyerang anak di bawah 15 tahun. 2. Demam berdarah dengue merupakan masalah kesehatan masyarakat karena

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I LATAR BELAKANG

PREVALENSI DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TUMINTING TAHUN Ronald Imanuel Ottay

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) 1. Incidence Rate dan Case Fatality Rate Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. telah menjadi masalah kesehatan internasional yang terjadi pada daerah tropis dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan daerah tropis yang banyak berkembang nyamuk Aedes. kepadatan penduduk (Kementerian Kesehatan RI, 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, dengan ciri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes

HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOYOLALI I

BAB I PENDAHULUAN. Waktu survival (survival time) merupakan salah satu penelitian yang digunakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dengue adalah penyakit infeksi virus pada manusia yang ditransmisikan

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau yang disebut Dengue

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. 10 juta kematian terjadi setiap tahunnya pada anak-anak yang berumur di bawah lima

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

Penyakit DBD merupakan masalah serius di Provinsi Jawa Tengah, daerah yang sudah pernah terjangkit penyakit DBD yaitu 35 Kabupaten/Kota.

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN. kejadian luar biasa dengan kematian yang besar. Di Indonesia nyamuk penular

BAB I PENDAHULUAN. dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk demam berdarah (Aedes

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular

BAB I PENDAHULUAN UKDW. DBD (Nurjanah, 2013). DBD banyak ditemukan didaerah tropis dan subtropis karena

BAB 1 PENDAHULUAN. derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Upaya perbaikan kesehatan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. dengue, yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini ditemukan di daerah

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai risiko tinggi tertular Demam Dengue (DD). Setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. (DHF) merupakan penyakit infeksi tropik yang disebabkan oleh virus dengue dan

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes aegypti dan Aedes

Transkripsi:

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue. Virus ini ditularkan dari orang ke orang oleh nyamuk Aedes aegypti. Penyakit DBD banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan bahwa Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Penyakit DBD termasuk penyakit menular akut karena transmisinya yang cepat dan sering menimbulkan kematian dan kejadian luar biasa (KLB). Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan yang serius di Indonesia hingga saat ini (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI, 2010). Penyakit DBD umumnya ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang hidupnya di sekitar rumah, dan dapat juga ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus yang hidup di kebun-kebun. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut. Munculnya penyakit ini seringkali ditandai dengan demam mendadak 2 sampai 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda perdarahan berupa bintik perdarahan (petechiae), lebam atau ruam, kadang-kadang terjadi mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun atau renjatan (shock). Sampai saat ini penyakit DBD lebih banyak menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi penderita DBD pada orang dewasa (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI, 2010). Insidensi DBD selama 30 tahun terakhir telah meningkat 30 kali lipat dengan ekspansi geografis yang meningkat ke negara-negara baru dengan perkiraan sebanyak 50 juta infeksi dengue terjadi tiap tahunnya, dan sebanyak 2,5 milyar orang yang hidup di negara endemis DBD. Sebanyak 1,8 milyar penduduk (lebih dari 70%) yang berisiko tertular DBD tersebut berada di regional Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Sejak tahun 2000, epidemi dengue telah menyebar ke banyak area baru di kawasan Asia Tenggara, dan terjadi peningkatan kasus pada 1

2 daerah yang sebelumnya telah terinfeksi dengue. Sebanyak 8 negara melaporkan terjadinya KLB DBD pada tahun 2003, diantaranya Bangladesh, India, Indonesia, Myanmar, Maladewa, Sri Langka, Thailand dan Timor Leste. Pada tahun 2004, Negara Bhutan melaporkan terjadinya KLB DBD untuk pertama kalinya. Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) menerapkan respons global di Timor Leste terkait angka kematian akibat DBD yang tinggi mencapai 3,55%. Pada tahun 2006, Nepal melaporkan kasus indigenous dengue pertama kali di negara tersebut. Indonesia termasuk ke dalam 4 negara bersama Thailand, Myanmar, dan Sri Langka, yang termasuk dalam zona negara tropis di garis khatulistiwa yang memiliki masalah penyebaran dengue yang serius, baik di wilayah urban atau rural (WHO, 2009). Berdasarkan data jumlah rata-rata kasus DBD yang dilaporkan ke WHO dalam kurun waktu tahun 2004-2010, dari 30 negara yang endemis DBD, Indonesia berada di peringkat kedua dengan jumlah kasus rata-rata sebanyak 129.435 kasus, dibawah Brazil yang menempati peringkat pertama dengan 447.446 kasus, sehingga Indonesia merupakan negara yang paling tinggi kasus DBD se-asia (WHO, 2012). Sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya, penyakit DBD semakin meluas ke seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007, seluruh provinsi di pulau Jawa, Bali, dan pulau Kalimantan kecuali Kalimantan Selatan, berisiko tinggi terjadi DBD. Berawal dari 2 provinsi dan 2 kota yang endemis DBD, kemudian mengalami peningkatan menjadi 32 provinsi dan 382 kabupaten/kota endemis pada tahun 2009. Jumlah kasus DBD pada tahun 2012 telah mencapai 90.245 penderita dengan jumlah kematian 816 orang, sedangkan pada tahun 2013 mengalami peningkatan dengan 112.511 kasus dengan jumlah kematian mencapai 871 orang (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI, 2010; Kurniati, 2013; Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI, 2014). Penyakit DBD masih menjadi permasalahan serius di Provinsi Jawa Tengah, terbukti sebanyak 35 kabupaten/kota sudah pernah terjangkit penyakit DBD. Angka kesakitan atau incidence rate (IR) DBD di Provinsi Jawa Tengah

3 pada tahun 2012 sebesar 19,29 per 100.000 penduduk, meningkat bila dibandingkan tahun 2011 (15,27 per 100.000 penduduk). Angka kesakitan tertinggi di Kabupaten Blora sebesar 88,77 per 100.000 penduduk, dan terendah di Kabupaten Wonogiri sebesar 1,37 per 100.000 penduduk. Angka kematian atau case fatality rate (CFR) akibat DBD tahun 2012 sebesar 1,52, lebih tinggi dibanding tahun 2011 dengan 0.93. Angka kematian tertinggi terdapat di Kabupaten Wonogiri sebesar 23,08 dan tidak ada kematian di 10 kabupaten/kota, sedangkan kabupaten/kota dengan angka kematian lebih dari 1% yaitu sebanyak 20 kabupaten/kota (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012). Kota Semarang merupakan salah satu daerah endemis DBD di provinsi Jawa Tengah. Kasus DBD terjadi berulang kali di daerah ini setiap tahunnya, padahal tiap tahun pula para petugas kesehatan berupaya untuk memberantas penyakit ini melalui program penanggulangan DBD. Berdasarkan data dari seksi penanggulangan penyakit bersumber binatang (P2B2) Dinas Kesehatan Kota Semarang, insidensi DBD pada tahun 2013 yaitu sebanyak 132,4 per 100.000 penduduk, mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2012, dengan insidensi 70,9 per 100.000 penduduk, dan angka kematian menurun menjadi 1,14 dari angka kematian tahun 2012 sebesar 1,76. Insidensi DBD pada tahun 2014 sebanyak 92,43 per 100.000 penduduk, atau turun dari tahun 2013 dan angka kematian sebesar 1,66 atau mengalami peningkatan dari tahun 2013 (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2014). Berdasarkan laporan tahunan Seksi Penanggulangan Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2014, jumlah kasus DBD berdasarkan golongan umur terbanyak pada golongan umur 5-9 tahun yaitu sebanyak 436 kasus (27%) dari total 1628 kasus, dan terendah pada golongan umur diatas 60 th, sebanyak 3 kasus (0,7%). Jumlah kejadian DSS yang dilaporkan oleh rumah sakit ke Dinas Kesehatan Kota Semarang selama tahun 2014 yaitu sebanyak 153 kasus. Sedangkan jumlah kematian berdasarkan golongan umur terbanyak pada golongan umur 1-4 tahun dengan 11 kematian atau 41% dan kelompok usia 5 9 tahun yaitu 7 kematian atau 26%, dari total 27 kasus kematian pada tahun 2014.

4 Peningkatan angka kejadian DBD disebabkan oleh sulitnya mengendalikan penularan penyakit tersebut, karena transmisinya yang tergolong cepat, sulitnya pengendalian vektor penular virus dengue yaitu nyamuk Aedes aegypti, belum ada obat yang secara efektif dapat mengobati DBD, dan secara universal belum ditemukannya vaksin untuk pencegahan terjadinya DBD tersebut. Perubahan iklim juga berkontribusi terhadap pola persebaran nyamuk Aedes aegypti, perubahan perilaku nyamuk untuk menggigit, dan juga mempengaruhi variabel lingkungan yang mendukung sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk. Kesadaran masyarakat yang masih rendah untuk melakukan pemberantasan sarang nyamuk dalam mengendalikan perkembangbiakan jentik, merupakan hal yang juga harus diperhatikan, karena kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dinilai efektif untuk mengurangi populasi nyamuk. sehingga memerlukan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk terlibat dalam kegiatan pencegahan penyakit DBD (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI, 2010). Komisi Determinan Sosial Kesehatan WHO (Commission on Social Determinants of Health) menyatakan bahwa ketidaksetaraan kesehatan manusia adalah suatu ketidakadilan dan perbedaan tersebut dapat dihindari. Perbedaan angka keparahan dan angka kematian akibat penyakit tergantung pada keadaan sosial dan ekonomi masyarakat seperti kelas sosial, gender, etnis, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Keadaan sosial tersebut memiliki pengaruh terhadap status kesehatan seseorang melalui keadaan materi, faktor biologis dan perilaku, dan faktor psikologis. Upaya memahami determinan sosial kesehatan dalam penyakit DBD merupakan langkah yang diperlukan dalam menentukan intervensi sebelum mengambil tindakan dalam mencegah penularan penyakit DBD, mencegah keparahan lebih lanjut seperti terjadinya sindrom syok, dan mencegah terjadinya kematian (Arauz dkk., 2015; Carey & Crammond, 2015). Kematian akibat DBD dipengaruhi oleh banyak faktor, dimulai dari pengambilan keputusan untuk dibawa ke fasilitas kesehatan dan dirawat di rumah sakit yang dapat terjadi di tingkat individu dan keluarga, kecepatan diagnosis pada tingkat primer maupun tingkat rujukan di rumah sakit, serta tatalaksana kasus di tingkat rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan rujukan lain.

5 Kematian yang berhubungan dengan DBD sebenarnya dapat dicegah, karena kebanyakan kasus DBD yang meninggal melewati fase sindrom syok terlebih dahulu. Belum adanya vaksin dan pengobatan anti-viral dan masih adanya keterbatasan dalam kegiatan pengendalian vektor menyebabkan penyakit DBD masih banyak terjadi dan mengancam kesehatan masyarakat. Pencegahan pada tingkat sekunder dengan meningkatkan manajemen kasus klinis terbukti dapat menurunkan jumlah kematian akibat DBD dari 10-20% hingga < 1% selama lebih dari dua dekade terakhir, sehingga pada dasarnya kematian akibat DBD dapat diturunkan melalui penerapan diagnosis lebih awal dan penanganan kasus yang cepat dan tepat pada kasus DBD yang parah (Karunakaran dkk., 2014). Faktor risiko kejadian dengue shock syndrome (DSS) yang pernah diteliti sebelumnya yaitu faktor individu seperti umur, jenis kelamin, dan riwayat infeksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa umur penderita DBD pada kategori balita merupakan kelompok umur dengan proporsi paling besar yang mengalami sindrom syok. Hasil penelitian yang berbeda terdapat pada kejadian DSS pada jenis kelamin tertentu. Riwayat infeksi sekunder atau pernah menderita DBD sebelumnya akan lebih berisiko mengalami sindrom syok dibanding infeksi primer. Kejadian DSS juga dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD dalam mendapat pertolongan yang adekuat oleh tenaga kesehatan akibat kurangnya pengetahuan dan kewaspadaan dini individu dan keluarga dalam mengenali gejala awal penyakit DBD, atau persepsi individu yang kurang baik dalam memahami penyakit DBD yang dianggap seperti demam biasa, sehingga pada akhirnya terlambat dibawa ke fasilitas kesehatan dan dirujuk ke rumah sakit (Harisnal, 2012). Determinan lain yang berkaitan dengan kejadian DSS yaitu faktor sosial demografi penderita, seperti tinggal di daerah pedesaan atau pinggir kota, yang dihubungkan dengan akses ke fasilitas kesehatan. Akses ke fasilitas kesehatan dengan jarak yang jauh dan waktu tempuh yang lama berhubungan dengan waktu rujukan dan kemungkinan terjadinya keterlambatan penderita DBD untuk mendapatkan pengobatan yang adekuat. Faktor pelayanan kesehatan seperti kecepatan diagnosis oleh dokter di tingkat primer, lama demam sebelum dirawat di rumah sakit, kepemilikan jaminan kesehatan, dan status rujukan ke rumah sakit

6 merupakan faktor penting yang harus diperhatikan. Pelayanan kesehatan yang memadai dan pengobatan yang adekuat di rumah sakit juga merupakan komponen penting dalam manajemen kasus DBD di rumah sakit agar penderita DBD tidak mengalami tingkat keparahan yang lebih berat sebagai bagian dari upaya mencegah terjadinya kematian (Arauz dkk., 2015). Penelitian mengenai determinan DSS secara klinis telah banyak dilakukan. Namun, belum ada yang mengkaji tentang determinan sosial dan hubungannya terhadap kejadian DSS. Upaya memahami determinan sosial pada DSS merupakan hal yang sangat penting untuk menentukan intervensi yang komprehensif dan strategi pencegahan yang tepat oleh para stakeholders terkait, seperti pengambil kebijakan, dinas kesehatan, dan masyarakat umum. Determinan sosial pada penderita DSS dapat memberikan informasi terkait penyebab langsung maupun tidak langsung yang berkontribusi terhadap terjadinya keparahan penyakit pada penderita DBD. B. Rumusan Masalah Determinan sosial apa saja yang berhubungan dengan kejadian DSS di Kota Semarang? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui determinan sosial yang berhubungan dengan kejadian DSS di Kota Semarang. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui hubungan determinan individu (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama sakit, dan riwayat pernah menderita DBD) dengan kejadian DSS di Kota Semarang. b. Mengetahui hubungan determinan sosial demografi (tingkat penghasilan, zona tempat tinggal, jarak dan waktu tempuh ke fasilitas kesehatan) dengan kejadian DSS di Kota Semarang. c. Mengetahui hubungan determinan sistem kesehatan (jaminan kesehatan dan status rujukan) dengan kejadian DSS di Kota Semarang.

7 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Semarang Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi dinas kesehatan dalam menentukan strategi pencegahan dan intervensi dalam menurunkan insidensi dan tingkat keparahan yang diakibatkan oleh penyakit DBD. 2. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan berkontribusi terhadap perkembangan pengetahuan bagi masyarakat, khususnya mahasiswa, tenaga kesehatan, pemerintah setempat dan para stakeholder lainnya mengenai determinan sosial yang berhubungan dengan DSS. 3. Bagi peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dan menambah rasa keingintahuan serta referensi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian selanjutnya.

E. Keaslian Penelitian Tabel 1. Penelitian lain yang berkaitan dengan Determinan Sosial Kejadian Dengue Shock Syndrome (DSS) No. Peneliti Judul Rancangan Variabel Hasil Penelitian 1 Moraes dkk., 2013 Determinants of Mortality from Severe Dengue in Brazil: A Population-Based Case-Control Study Case control 2 Anders dkk., 2011 Epidemiological factors associated with dengue shock syndrome and mortality in hospitalized dengue patients in Ho Chi Minh City, Vietnam 3 Shayo dkk., 2015 Social determinants of malaria and health care seeking patterns among rice farming and pastoral communities in Kilosa District in Central Tanzania Retrospective study Cross Sectional Umur Ras Tempat tinggal Pendidikan Rawat inap Riwayat dengue Gejala dan tanda bahaya Hasil laboratorium Umur Rumah sakit tempat dirawat Tempat tinggal Musim Tingkat pendidikan Pekerjaan Pengetahuan Perilaku Ketersediaan fasilitas kesehatan Faktor yang berhubungan yaitu: umur >50 tahun, tinggal di pinggiran kota, dirawat di RS, dan jumlah hematokrit tinggi. Faktor yang berhubungan yaitu umur dan jenis kelamin Faktor yang berhubungan yaitu jenis kelamin, tingkat pendidikan, ketersediaan fasilitas kesehatan, dan perilaku 8

No. Peneliti Judul Rancangan Variabel Hasil Penelitian 4 Harisnal, 2012 Faktor-faktor risiko kejadian dengue shock syndrome (DSS) pada pasien DBD di RSUD Ulin dan RSUD Ansari Saleh Kota Banjarmasin Tahun 2010-2012 Case control Usia Jumlah hematokrit Trombositopenia Leukopenia Lama sakit sebelum dirawat Rujukan Faktor yang berhubungan yaitu jenis kelamin, jumlah hematokrit, lama sakit 4 hari, dan rujukan dari puskesmas 5 Tantracheewathorn & Tantracheewathorn, 2007 Risk factors of dengue shock syndrome in children Retrospective study Umur Gejala Data laboratorium Faktor yang berhubungan yaitu perdarahan, riwayat infeksi, dan jumlah hematokrit 6 Saniathi, 2009 Obesitas sebagai faktor risiko sindrom syok dengue Case control Umur Riwayat infeksi Status gizi Faktor yang berhubungan yaitu status gizi Pada penelitian ini terdapat perbedaan pada beberapa variabel yang mengkaji determinan sosial apa saja yang berhubungan dengan kejadian dengue shock syndrome (DSS), selain determinan individu (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama sakit dan riwayat infeksi), juga dilihat dari determinan sosial demografi (tingkat penghasilan, zona tempat tinggal, jarak dan waktu ke fasilitas pelayanan kesehatan), dan determinan sistem kesehatan (jaminan kesehatan dan status rujukan). 9