DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

dokumen-dokumen yang mirip
DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

ISTILAH DI NEGARA LAIN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya)

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

II. TINJAUAN PUSTAKA

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: ( Print) A-572

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

PERUBAHAN LUAS DAN KERAPATAN EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Citra Satelit IKONOS

2. TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Jatinangor, 10 Juli Matius Oliver Prawira

JENIS CITRA

PENELITIAN FISIKA DALAM TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS DI WILAYAH PESISIR PERAIRAN KABUPATEN KENDAL)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ix

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Satelit Landsat

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12


2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

PEDOMAN PEMANTAUAN PERUBAHAN LUAS PERMUKAAN AIR DANAU MENGGUNAKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lalu Wima Pratama dan Andik Isdianto (2017) J. Floratek 12 (1): 57-61

KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR

RIZKY ANDIANTO NRP

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung

Transkripsi:

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS Oleh : Tresna Sukmawati Suhartini C64104020 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 1

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Oleh: Tresna Sukmawati Suhartini C64104020 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

SKRIPSI Judul Skripsi Nama Mahasiswa Nomor Pokok : DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS : Tresna Sukmawati Suhartini : C64104020 Disetujui, Dosen pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Ir. Ita Carolita, M.Si NIP. 131 471 372 NIP. 300 001 380 Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799 Tanggal lulus : 12 September 2008

KATA PENGANTAR Puji dan syukur pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia, yang selalu membimbing setiap langkah penulis sehingga skripsi dengan judul Deteksi Ekosistem Mangrove di Cilacap, Jawa Tengah dengan Citra Satelit ALOS dapat terselesaikan. Skripsi ini dibuat agar dapat mengkaji daerah Ekosistem Mangrove di Cilacap, Jawa Tengah berdasarkan data komposit Citra Satelit ALOS dan data survey lapangan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan kesabaran kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 2. Orangtua, kakak-kakak (A yudi dan A iman) serta adik-adikku tercinta Riani dan Trini atas semua do a, semangat dan dukungannya. 3. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Ir. Ita Carolita, M. Si selaku komisi pembimbing yang selalu bersabar dalam membimbing dan memberikan pengetahuannya. 4. Teman-teman seperjuangan (mas guruh, mas edi dan mbak nita dari UNDIP), Agus, Bang Ganjar, Hary, Afif atas saran, kritik dan kerjasamanya. 5. Bapak Arief dari BPKSA atas bantuan dan sarannya selama di lapangan. 6. Sahabat sahabatku Ikeu, Fitri, Intan, Die2, Dini, Afin, Mita dan Ndari atas semua dukungannya serta kenangan indah yang tak terlupakan. 7. Andia Yudha Pranata atas semua motivasi dan kasih sayangnya. 8. Teman-teman ITK 41 dan Warga Departemen ITK serta semua pihak yang telah memberi masukan, dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna bagi pihak pihak yang berkepentingan, dan dapat digunakan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Bogor, September 2008

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... vi vii ix xi xiii 1. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar belakang... 1 1.2 Tujuan... 2 2. TINJAUAN PUSTAKA... 3 2.1 Pengertian ekosistem... 3 2.2 Ekositem mangrove... 3 2.3 Sistem penginderaan jauh... 6 2.4 Penginderaan jauh vegetasi mangrove... 10 2.5 Analisis indeks vegetasi... 11 2.6 Citra Satelite ALOS (Advanced Land Observing Satellite)... 14 2.6.1. Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM)... 16 2.6.2. Advanced Vicible and Near-Imfrared Radiometer type-2 (AVNIR-2)... 17 2.7.3. Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)... 18 2.7 Citra Satelit SPOT-5... 19 3. METODE PENELITIAN... 21 3.1 Keadaan umum lokasi penelitian... 21 3.1.1. Kondisi geografis... 21 3.2 Alat dan bahan... 22 3.3 Metode... 23 3.4 Pengolahan Citra Satelit... 26 3.4.1 Pre-processing... 26 3.4.2 ALOS data fusion... 26 3.4.2.1 ALOS Pan-Sharpen... 26 3.4.3 Penajaman citra... 28 3.4.3.1 Optimum Index Factor (OIF)... 29 3.4.3.2 Penajaman citra untuk vegetasi mangrove... 29

3.4.4 Klasifikasi citra... 31 3.5 Analisis data lapangan... 31 3.5.1 Pengambilan data penutupan kanopi mangrove... 31 3.6 Analisis korelasi data citra terhadap data lapangan... 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 33 4.1 Karakteriristik fisik dan kimia perairan... 33 4.1.1 Suhu air... 34 4.1.2 Salinitas... 34 4.1.3 ph... 35 4.2 Pengolahan citra... 36 4.3 Pre-processing... 37 4.3.1 Koreksi geometrik... 37 4.4 ALOS Pan-Sharpening... 38 4.5 Klasifikasi terbimbing (Supervised Clasification)... 40 4.6 Penajaman citra untuk vegetasi mangrove... 41 4.6.1 Optimum Index Factor (OIF)... 41 4.6.2 Analisis vegetasi mangrove... 48 4.6.2.1 Analisis vegetasi mangrove ALOS AVNIR... 49 4.6.2.2 Analisis vegetasi mangrove ALOS Pan-Sharpen... 63 5.KESIMPULAN DAN SARAN... 77 5.1 Kesimpulan... 77 5.2 Saran... 78 DAFTAR PUSTAKA... 79 LAMPIRAN... 81 RIWAYAT HIDUP... 90

DAFTAR TABEL No. 1. Karakteristik satelit ALOS 15 2. Karakteristik sensor PRISM 16 3. Karakteristik sensor AVNIR 17 4. Karakteristik sensor PALSAR 18 5. Sensor HRG (High Resolution Geometric) 19 6. Sensor HRS (High Resolution Stereoscopic) 19 7. Sensor vegetasi 20 8. Pengelompokkan kerapatan vegetasi mangrove berdasarkan NDVI (Kadi, 1996 dalam Susilo, 2000) 30 9. Transformasi indeks vegetasi 30 10. Nilai karakteristik fisik dan kimia 32 11. Matriks korelasi antar kanal pada citra ALOS AVNIR 42 12. Standar deviasi tiap kanal pada citra ALOS AVNIR 42 13. Nilai OIF tiap kombinasi kanal citra ALOS AVNIR 44 14. Matriks korelasi antar kanal pada citra ALOS Pan-Sharpen 44 15. Standar deviasi tiap kanal pada citra ALOS Pan-Sharpen 44 16. Nilai OIF tiap kombinasi kanal citra ALOS Pan-Sharpen 46 17. Nilai histogram tiap kelas transformasi GNDVI ALOS AVNIR 50 18. Nilai histogram tiap kelas transformasi IPVI ALOS AVNIR 52 19. Nilai histogram tiap kelas transformasi RVI ALOS AVNIR 53 20. Nilai histogram tiap kelas transformasi DVI ALOS AVNIR 56 21. Nilai hasil indeks vegetasi ALOS AVNIR dari algorithma tiap stasiun 59

22. Hasil analisis ragam transformasi indeks vegetasi citra satelit ALOS AVNIR 62 23. Nilai histogram tiap kelas transformasi NDVI ALOS Pan-Sharpen 64 24. Nilai histogram tiap kelas transformasi GNDVI ALOS Pan-Sharpen 66 25. Nilai histogram tiap kelas transformasi IPVI ALOS Pan-Sharpen 68 26. Nilai histogram tiap kelas transformasi RVI ALOS Pan-Sharpen 69 27. Nilai hasil indeks vegetasi ALOS Pan-Sharpen dari algorithma tiap stasiun73 28. Hasil analisis ragam transformasi indeks vegetasi citra satelit ALOS Pan-Sharpen 75

DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Komponen dasar penginderaan jauh 9 2. Mekanisme reflektansi dalam penginderaan jauh 10 3. Satellite ALOS 15 4. Pencitraan dan satelit sensor PRISM 16 5. Pencitraan dan satelit sensor AVNIR 17 6. Pencitraan dan satelit sensor PALSAR 18 7. Satellite SPOT-5 19 8. Karakteristik spektral citra satelit ALOS dan citra lainnya 20 9. Peta lokasi penelitian 22 10. Diagram alir tahap penelitian 24 11. Diagram alir pengolahan citra untuk tutupan vegetasi mangrove 25 12. Titik pengambilan data tutupan mangrove di dalam transek 31 13. Grafik nilai suhu air di tiap stasiun 34 14. Grafik nilai salinitas di tiap stasiun 35 15. Grafik nilai ph di tiap stasiun 36 16. Mosaic Citra ALOS sensor PRISM (Pankromatik) 37 17. (a) Citra SPOT-5 (b) Citra ALOS AVNIR hasil rektifikasi dengan citra SPOT-5 (c) Citra ALOS PRISM hasil rektifikasi dengan Citra ALOS AVNIR (RGB 123) 38 18. ALOS Pan-Sharpening antara citra sensor AVNIR dan PRISM (RGB 321)39 19. ALOS Pan-Sharpening antara citra sensor AVNIR dan PRISM (RGB 321) setelah diperbesar (zoom) 40 20. Klasifikasi terbimbing (supervised classification) 41

21. Tampilan tiap kombinasi kanal citra ALOS AVNIR 43 22. Tampilan tiap kombinasi kanal citra ALOS Pan-Sharpen 45 23. Citra komposit RGB 231 ALOS 47 24. Transformasi NDVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap 49 25. Transformasi GNDVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap 49 26. Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi GNDVI ALOS AVNIR 51 27. Transformasi IPVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap 52 28. Transformasi RVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap 53 29. Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi IPVI ALOS AVNIR 54 30. Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi RVI ALOS AVNIR 55 31. Transformasi DVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap 56 32. Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi DVI ALOS AVNIR 57 33. Grafik regresi linear tutupan mangrove terhadap nilai transformasi indeks vegetasi citra ALOS AVNIR 61 34. Transformasi NDVI Citra ALOS Pan-Sharpen daerah Cilacap 63 35. Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi NDVI ALOS Pan-Sharpen 65 36. Transformasi GNDVI Citra ALOS Pan-Sharpen daerah Cilacap 66 37. Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi GNDVI ALOS Pan-Sharpen 67 38. Transformasi IPVI Citra ALOS Pan-Sharpen daerah Cilacap 68 39. Transformasi RVI Citra ALOS Pan-Sharpen daerah Cilacap 69 40. Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi IPVI ALOS Pan-Sharpen 70 41. Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi RVI ALOS Pan-Sharpen 71 42. Grafik regresi linear tutupan mangrove terhadap nilai transformasi indeks vegetasi citra ALOS Pan-Sharpen 74

DAFTAR LAMPIRAN No. 1. Peta batas kawasan Cilacap, Jawa Tengah 81 2. Posisi titik tiap stasiun 81 3. Gambar peta posisi tiap stasiun 83 4. Foto wilayah mangrove Cilacap 84 5. Tabel uji annova tiap persamaan regresi ALOS Pan-Sharpen dan ALOS AVNIR. 85

1. PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang Wilayah pesisir merupakan salah satu zona yang banyak manfaatnya. Namun, sampai saat ini pengelolaannya masih belum optimal sehingga semakin banyak kerusakan yang terjadi, baik secara alami maupun oleh kegiatan manusia yang tidak bertanggung jawab. Ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang merupakan tiga ekosistem wilayah pesisir yang keberadaannya sangat berpengaruh terhadap aktivitas daratan di sekitarnya dengan berbagai manfaat yang bisa diambil dari ekosistem tersebut. Ketiga ekosistem tersebut dapat diketahui kondisinya dengan menggunakan pemetaan (penginderaan jauh) dan Sistem Informasi Geografis, dalam hal ini menggunakan Citra Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) dari Jepang. Pada umumnya wilayah pantai daerah tropika, termasuk Indonesia ditumbuhi vegetasi hutan mangrove seluas 3.806.119 Ha (Saparinto, 2007). Di muara-muara sungai yang besar areal mangrove ini dapat menjadi sangat luas. Mangrove merupakan salah satu ekosistem penting dan sebagian besar garis pantai Indonesia merupakan dataran rendah dan tertutupi hutan mangrove yang hidup di daerah antara level pasang naik tertinggi sampai level di sekitar atau di atas permukaan laut rata-rata (mean sea level). Menurut Saparinto tahun 2007, hutan mangrove di Cilacap, Jawa Tengah merupakan mangrove terluas di Pulau Jawa yang masih tersisa dengan keadaan rusak sekitar 18.931 ha di Pulau Jawa (34,65%).

Sehingga untuk mengetahui luasan wilayah pesisir pantai dan untuk mengoptimalkan pengelolaan hutan mangrove, dikembangkan sistem informasi yang berbasis teknologi tinggi, dalam hal ini sistem informasi yang digunakan untuk wilayah pesisir dan perairan yang mendeteksi hutan mangrove dengan menggunakan sistem penginderaan jauh melalui citra satelit yang kemudian dapat diinterpretasikan dalam bentuk peta. 1.2. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kemampuan Citra Satelit ALOS dalam mendeteksi mangrove dengan menggunakan berbagai indeks vegetasi (NDVI, IPVI, GNDVI, DVI, dan RVI).

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian ekosistem Suatu ekosistem adalah suatu unit fungsional dari berbagai ukuran yang tersusun dari bagian-bagian yang hidup dan tidak hidup, yang saling berinteraksi (Nybakken, 1992). Nybakken (1992) juga menambahkan bahwa bagian-bagian komponen dan sistem secara keseluruhan berfungsi berdasarkan suatu urutan kegiatan yang menyangkut energi dan pemindahan energi. Setiap individu memiliki pola penyebaran tertentu dalam suatu ekosistem. Di alam ada tiga pola penyebaran individu, yaitu penyebaran seragam, penyebaran mengelompok, dan penyebaran acak (Odum, 1971). Menurut Nybakken (1992), ekosistem ada yang terdiri dari satu komunitas dan ada yang terdiri dari banyak komunitas. Masing-masing komunitas terdiri dari banyak populasi produsen, konsumen, dan pengurai. Pemindahan energi suatu ekosistem dapat melalui berbagai jalur. Setiap jalur pemindahan energi dari suatu sumber tumbuhan melalui serangkaian konsumen tertentu disebut rantai makanan dan kombinasi dari semua rantai makanan dalam suatu ekosistem disebut jaringan makanan. Oleh karena itu, jaringan makanan adalah suatu ringkasan dari semua jalur yang dilalui oleh energi yang bergerak dari tingkatan ke tingkatan berikutnya melalui suatu komunitas atau ekosistem. 2.2. Ekosistem mangrove Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut, tumbuhan yang hidup di antara laut dan daratan. Sehingga hutan mangrove

dinamakan juga hutan pasang. Hutan mangrove dapat tumbuh pada pantai karang, yaitu pada karang koral yang mati yang diatasnya ditumbuhi lumpur atau pantai berlumpur (Saparinto, 2007). Komunitas ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang keras (Bengen, 2002). Mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga dalam 8 famili yang berbeda dengan genera paling penting atau dominan adalah genera Rhizophora, Avicennia, Bruguiera, dan Sonneratia (Nybakken, 1992). Ekosistem mangrove mempunyai beberapa peran baik secara fisik, kimia maupun biologi yang sangat menunjang pemenuhan kebutuhan hidup manusia yaitu : sebagai pelindung dan penahan pantai, sebagai penghasil bahan organik, sebagai habitat fauna mangrove, sebagai sumber bahan industri dan obatobatan, dan sebagai kawasan pariwisata dan konservasi. Mangrove bisa tumbuh dan berkembang di perairan asin dan di substrat yang terkadang anoksik, hal ini disebabkan mangrove memiliki kemampuan adaptasi yang baik. Hutchings dan Saenger (1987) menyebutkan tiga cara mangrove beradaptasi, yaitu: 1) Salt Extrusion/Salt Secretion; mangrove menyerap air bersalinitas tinggi kemudian mengekskresikan garam-garaman melalui sistem yang terdapat dalam salt gland di daun. 2) Salt Eclusion; akar mangrove mencegah garam-garaman masuk dengan cara menyaring garam-garaman tersebut. 3) Salt Accumulation; mangrove mengakumulasi garam-garaman (Na dan Cl) di daun, kulit kayu, dan akar. Daun penyimpan garam biasanya akan

gugur setelah akumulasi garam melewati batas karena kelebihan garam dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah mangrove. Mangrove juga dapat tumbuh dengan baik di substrat berlumpur dan perairan pasang yang menyebabkan kondisi anaerob, hal ini disebabkan mangrove memiliki akar-akar khusus yang berfungsi sebagai penyangga sekaligus penyerap oksigen dari udara di permukaan air secara langsung. Tipe perakaran mangrove menurut Aksornkoae (1993) adalah: 1) Akar tongkat (akar tunjang; akar egrang; prop root; stilt root), akar ini merupakan modifikasi dari cabang batang yang menancap pada substrat. 2) Akar lutut (knee root), akar ini adalah modifikasi dari akar kabel yang tumbuh ke arah substrat dan melengkung agar menancap pada substrat. 3) Akar cakar ayam (akar pasak; akar napas; pneumatophore), bentuknya berupa akar yang muncul dari akar kabel yang mencuat ke atas setinggi 10-30 cm dari permukaan substrat. 4) Akar papan (buttress root), akar ini mirip dengan akar tongkat akan tetapi bentuknya melebar dan melempeng. 5) Akar gantung (aerial root), akar gantung adalah akar yang tidak bercabang yang muncul dari batang atau cabang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat. Akar gantung terdapat pada Rhizophora, Avicennia, dan Acanthus. Pada umumnya genera mangrove mempunyai satu atau lebih tipe akar adaptasi. Keistimewaan mangrove lainnya adalah pada umumnya bersifat vivipari, artinya perkembangan calon embrio buah dimulai di dalam biji saat masih di pohon induk. Menurut Hutchings dan Saenger (1987) adaptasi tersebut

dapat mempercepat perakaran, pengaturan garam, keseimbangan ion, perkembangan daya apung, dan memperpanjang waktu untuk memperoleh nutrisi dari pohon induk (nutritional parasitism). Spesies yang ditemukan di tepi pantai (menuju ke darat) yang berelevasi lebih tinggi biasanya menghasilkan propagul berukuran lebih kecil. Kegiatan eksploitasi yang berlebihan dan alih fungsi hutan mangrove mengakibatkan degradasi kawasan hutan mangrove yang ditunjukkan secara nyata dengan semakin berkurangnya luasan hutan mangrove terutama di Pulau Jawa termasuk wilayah Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Eksploitasi dan degradasi hutan mangrove mengakibatkan terjadinya perubahan ekosistem kawasan pantai, seperti intrusi air asin, abrasi pantai, punahnya berbagai jenis flora, fauna dan biota tertentu, menurunnya keanekaragaman hayati serta kerusakan habitat yang meluas sampai daratan (Saparinto, 2007). 2.3. Sistem penginderaan jauh Penginderaan jauh adalah ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang berada di permukaan bumi melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa kontak langsung dengan objek atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Informasi tersebut didapat dari analisis data yang dikumpulkan oleh sensor dari jarak jauh yang dipasang pada wahana yang berupa pesawat terbang, satelit, pesawat ulang-alik atau wahana lainnya. Sensor yang dipergunakan memperoleh data kenampakan muka bumi melalui energi elektromagnetik yang merupakan hasil pemancaran dan pantulan

dari objek. Penginderaan jauh menggunakan gelombang elektromagnetik dari matahari sumber tenaga alamiah. Di samping itu juga kepekaan tiap sensor berbeda, dalam merekam objek terkecil yang masih dapat dikenali dan dibedakan terhadap objek lain atau terhadap lingkungan sekitarnya. Kemampuan sensor untuk menyajikan gambaran objek terkecil ini disebut Resolusi Spasial yang merupakan petunjuk bagi kualitas sensor. Semakin kecil objek yang direkam olehnya, semakin baik kualitas sensornya (Sutanto, 1986). Berdasarkan atas proses perekamannya, sensor dibedakan atas sensor fotografik dan sensor elektronik. Pada sensor fotografik proses perekamannya berlangsung dengan cara kimiawi. Tenaga elektromagnetik diterima dan direkam pada lapisan emulsi film yang bila diproses akan menghasilkan foto. Jika pemotretannya dilakukan dari pesawat udara atau wahana lainnya, fotonya disebut foto udara. Bila pemotretannya dilakukan di antariksa, fotonya disebut foto satelite atau foto orbital. Jadi, dalam proses ini film berfungsi sebagai penerima tenaga dan sekaligus sebagai alat perekamannya (Sutanto, 1986). Interpretasi citra satelite memerlukan delapan unsur interpretasi, yaitu : ukuran, bentuk, bayangan, panjang gelombang, warna, tekstur, pola objek dan keadaan. Data yang diperoleh dari penginderaan jauh bersifat multispektral (dari berbagai spektrum), multilevel (dari berbagai ketinggian) dan multi temporal (data yang diperoleh waktunya berurutan). Penginderaan jauh mempunyai beberapa komponen yang saling berhubungan (Lillesand dan Kiefer, 1990) yaitu: Sumber energi yang berupa energi elektromagnetik yang berasal dari matahari dan buatan.

Atmosfer, yang merupakan media lintasan dari energi elektromagnetik. Interaksi antara energi dan objek. Sensor, yaitu alat yang mendeteksi energi elektromagnetik dari suatu objek dan merubahnya ke dalam bentuk sinyal yang dapat diproses dan direkam. Perolehan data, dapat dilakukandengan cara manual yaitu dengan inerpretasi secara visual dapat pula dilakukan secara digital (menggunakan komputer). Pengguna data. Empat komponen dasar dari sistem penginderaan jauh adalah target, sumber energi, alur transmisi, dan sensor. Komponen dalam sistem ini berkerja bersama untuk mengukur dan mencatat informasi mengenai target tanpa menyentuh obyek tersebut. Sumber energi yang menyinari atau memancarkan energi elektromagnetik pada target mutlak diperlukan. Energi berinteraksi dengan target dan sekaligus berfungsi sebagai media untuk meneruskan informasi dari target kepada sensor. Sensor adalah sebuah alat yang mengumpulkan dan mencatat radiasi elektromagnetik. Setelah dicatat, data akan dikirimkan ke stasiun penerima dan diproses menjadi format yang siap pakai, diantaranya berupa citra. Citra ini kemudian diinterpretasi untuk menyarikan informasi mengenai target. Proses interpretasi biasanya berupa gabungan antara visual dan otomatis dengan bantuan komputer dan perangkat lunak pengolah citra.

Gambar 1. Komponen dasar penginderaan jauh Seluruh sistem penginderaan jauh memerlukan sumber energi baik aktif (misalnya, sistem penginderaan jauh radar) maupun pasif (misalnya, sistem penginderaan jauh satelit secara optik). Spektrum elektromagnetik merupakan berkas dari tenaga elektromagnetik yang meliputi sinar gamma, x, ultraviolet, tampak, inframerah, gelombang mikro, dan gelombang radio. Spektrum elektromagnetik yang biasa digunakan dalam penginderaan jauh adalah sebagian dari spektrum ultraviolet (0,3-0,4mm), spektrum tampak (0,4 0,7mm), spektrum inframerah dekat (0,7-1,3 mm), spektrum inframerah thermal (3-18 mm), dan gelombang mikro (1mm-1m). Interaksi tenaga dengan objek sesuai dengan asas kekekalan tenaga, maka terdapat tiga interaksi, yaitu dipantulkan, diserap, dan ditransmisikan / diteruskan. Besarnya tenaga yang dipantulkan, diserap, ditransmisikan akan berbeda pada tiap penutupan lahan. Hal ini mengandung pengertian bahwa apabila nilai tenaga yang dipantulkan pada suatu tempat sama dengan tempat lain maka dapat diasumsikan tempat tersebut memiliki karakteristik penutupan lahan yang sama.

Gambar 2. Mekanisme reflektansi dalam penginderaan jauh (www.geocities.com) 2.4. Penginderaan jauh vegetasi mangrove Penginderaan jauh vegetasi mangrove didasarkan atas dua sifat penting yaitu bahwa mangrove tumbuh di daerah pesisir dan mempunyai zat hijau daun (klorofil). Sifat optik menyerap spektrum sinar merah dan sangat kuat memantulkan spektrum inframerah. Klorofil fitoplankton yang berada di laut dapat dibedakan dari klorofil mangrove karena sifat air yang menyerap spektrum inframerah. Tanah, pasir dan batuan juga memantulkan inframerah tapi bahanbahan ini tidak menyerap sinar merah sehingga tanah dan mangrove secara optik juga dapat dibedakan. Cara membedakan vegetasi mangrove dan non-mangrove dengan melihat jaraknya dengan pantai. Vegetasi keduanya kadang terpisah oleh objek lain seperti perumahan, tambak, tanah kosong (Susilo, 2000). Berdasarkan sifat hasil pantulan gelombang elektromagnetik pada objek, maka untuk pengamatan vegetasi dengan satelit menggunakan band-band yang bekerja pada panjang gelombang elektromagnetik dengan nilai pantulan yang tinggi.

Vegetasi merupakan salah satu struktur penyangga terbesar di dalam unit ekologis biosfer. Penginderaan jauh saat ini menjadi perangkat penting untuk memantau perubahan yang sangat cepat di dalam biosfer termasuk perubahan tutupan vegetasi. Salah satu sensor yang dapat digunakan untuk memantau perubahan tutupan vegetasi adalah MODIS (Moderate resolution imaging spectrometer). Pemantauan vegetasi dapat dilakukan dengan jalan transformasi spektral melalui pembuatan citra NDVI (normalized difference vegetation index). Interpretasi citra merupakan perbuatan atau kegiatan yang mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti penting objek tersebut. Interpretasi citra dalam pemetaan species pohon, kerapatan dan ukuran pohon serta penentuan umur. Studi citra yang sistematik akan melibatkan pertimbangan karakteristik dasar citra yaitu : bentuk, ukuran, pola bayangan, rona, tekstur, dan situs (Sutanto, 1986). Lillesand dan Kiefer (1990) menerangkan bahwa dimensi pohon yang dapat diukur dengan citra adalah : tinggi pohon total, penutupan tajuk, dan jumlah pohon per hektar. Dimensi ini hanya bisa diukur apabila pohon tampak pada citra, baik pohon yang dominan maupun yang kodominan. Kerapatan tajuk didefinisikan sebagai proporsi dari areal yang ditutupi oleh tajuk pohon. 2.5. Analisis indeks vegetasi Analisis indeks vegetasi dilakukan untuk mengetahui tingkat kerapatan kanopi mangrove yang didasarkan pada adanya respon objek penginderaan jauh pada kisaran spektrum radiasi merah dengan inframerah dekat. Indeks vegetasi merupakan persentase pemantulan radiasi matahari oleh daun yang berkorelasi dengan konsentrasi klorofil. Indeks vegetasi yang diperoleh merupakan nilai-

nilai yang memberikan gambaran tentang tingkat kehijauan vegetasi. Analisis indeks vegetasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah NDVI atau Normalized Difference Vegetation Index. NDVI atau Normalized Difference Vegetation Index merupakan metoda standar dalam membandingkan tingkat kehijauan vegetasi pada data satelit. NDVI dapat digunakan sebagai indikator biomasa dan tingkat kehijauan (greenness) relatif. Formula untuk menghitung nilai NDVI adalah: NDVI = (kanal NIR - kanal Red) / (kanal NIR + kanal Red) Nilai index mempunyai rentang -1,0 hingga 1,0. Nilai yang mewakili vegetasi pada rentang 0,1 hingga 0,7, diatas nilai ini menggambarkan tingkat kesehatan tutupan vegetasi. Data dari bermacam sensor satelit yang dapat digunakan dalam formulasi ini, antara lain: * Landsat TM/ETM kanal 3 (0,63-0,69 µm) dan 4 (0,76-0,90 µm) * NOAA AVHRR kanal 1 (0,58-0,68 µm) dan 2 (0,72-1,0 µm) * Terra MODIS kanal 1 (0,62-0,67), dan 2 (0,841-0,876) Perilaku vegetasi tergantung dari interaksinya dengan radiasi matahari dan faktor cuaca lainnya, serta ketersediaan unsur hara kimiawi dan air dalam tanah (atau air dalam lingkungan perairan laut). Daun tumbuhan berwarna hijau memantulkan dan meneruskan radiasi sangat rendah pada panjang gelombang visible (0,4 0,7 µm) karena sebagian besar telah diserap oleh klorofil untuk proses fotosintesis. Sebaliknya radiasi yang dipantulkan dan dipancarkan akan me-ningkat pada panjang gelombang near infrared-nir (0,7 and 1,0 µm) karena kurangnya penyerapan partikel atau pigmen seluler dan juga karena adanya

hamburan pada interface dinding sel mesofil. Intensitas radiasi yang dipantulkan oleh vegetasi umumnya lebih besar daripada radiasi yang dipantulkan oleh kebanyakan material anorganik, sehingga vegetasi nampak lebih terang pada panjang gelombang near-infrared. Perbedaan yang mencolok pada jumlah radiasi yang dipantulkan dan di pancarkan di antara panjang gelombang visible dan near-infrared inilah yang mendasari pemanfaatan teknologi penginderaan jauh secara kontinyu untuk memantau perubahan-perubahan komunitas vegetasi secara kuantitatif. Hasil identifikasi dan pemantauan ini merupakan informasi yang sangat bermanfaat untuk pengelolaan hutan mangrove. Spectral signature kanopi tanaman lebih kompleks dan tidak sama dengan spectral signature dimiliki oleh daun hijau tunggal yang diukur pada kondisi iluminasi yang di kontrol. Ketika properti spektral daun tetap konstan dalam satu musim, spektral kanopi dapat berubah secara dramatis dengan berubahnya proporsi tanah dan vegetasi serta bervariasinya susunan arsitektur komponen tanaman itu sendiri. Indeks Vegetasi (IV) dapat memberikan informasi tentang tingkat kehijauan vegetasi (termasuk tanaman dengan spektral kanopi yang kompleks) berdasarkan biomassa tanaman. Secara visual IV dapat membedakan objek vegetasi dan non vegetasi (contoh-nya tanah) dengan cara menghitung perbedaan, ratio atau kombinasi linear panjang gelombang visible dan NIR yang dipantulkan. Menurut Schowengerdt, 1997 dalam Arhatin, 2007 menyebutkan bentuk sederhana dari rasio antara kanal near-infrared dan red adalah Ratio Vegetation

Index (RVI) = NIR/Red dan Normalised Difference Vegetation Index (NDVI) = (NIR-red)/(NIR+Red) dengan nilai indeks vegetasi tinggi memberi gambaran bahwa di areal yang diamati memiliki tingkat kehijauan tinggi, seperti areal hutan rapat dan lebat. Sebaliknya nilai indeks vegetasi yang rendah mengindikasikan bahwa di areal tersebut memiliki tingkat kehijauan yang rendah atau lahan vegetasi rendah atau kemungkinan bukan objek vegetasi. 2.6. Citra satelite ALOS (Advanced Land Observing Satellite) ALOS singkatan dari Advanced Land Observing Satellite adalah satelit milik Jepang yang merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. ALOS yang diluncurkan pada tahun 2006 adalah satelit pemantau lingkungan yang biasa dimanfaatkan untuk kepentingan kartografi, observasi wilayah, pemantauan bencana alam, dan survey sumber daya alam. Selain Indonesia, Jepang juga mengajak Thailand sebagai mitra proyek ALOS di Asia. Satelit ALOS ini membawa 3 jenis sensor, yaitu PALSAR, PRISM dan AVNIR-2. Khususnya sensor Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) mempunyai keistimewaan dapat menembus awan, sehingga informasi permukaan bumi dapat diperoleh setiap saat, baik malam maupun siang hari (Gambar 3). Resolusi untuk high resolusion mode dan ScanSAR masingmasing 10 meter dan 100 meter. Data PALSAR ini dapat digunakan untuk pembuatan DEM (Digital Elevation Model), Interferometry untuk mendapatkan informasi pergeseran tanah, kandungan biomass, monitoring kehutanan, pertanian, tumpahan minyak (oil spill), soil moisture, mineral, pencarian pesawat dan kapal yang hilang, untuk dapat bekerja dengan ketiga instrumen diatas, ALOS

dilengkapi dengan dua teknologi yang lebih maju : pertama teknologi yang mampu mengerjakan data dalam kapasitas yang sangat besar dengan kecepatan tinggi, dan selanjutnya kapasitas untuk menentukan posisi satelit dan ketinggian yang lebih tepat. ALOS diluncurkan dari Pusat Ruang Angkasa Tanagashima, Jepang pada tahun 2006. Gambar 3. Satellite ALOS Berikut merupakan karakteristik dari Satelit ALOS: Tabel 1. Karakteristik satelit ALOS Alat Peluncuran Roket H-IIA Tempat Peluncuran Pusat Ruang Angkasa Tanagashima Berat Satelit 4000 Kg Power 7000 W Waktu Operasional 3 sampai 5 Tahun Orbit Sun-Synchronous Sub-Recurr Orbit Recurrent Period 46 hari sub-cycle 2 hari Tinggi Lintasan 692 km di atas equator Inclinasi 98,2 Sumber : JAXA

2.6.1. Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) Panchromatic Remote-sensing Instrumen for Stereo Mapping (PRISM) adalah instrumen penginderaan jauh pada satelit ALOS dengan sensor pankromatik dengan resolusi spasial 2,5 m dan memiliki kemampuan untuk mengambil obyek yang sama pada permukaan bumi dari 3 posisi yang berbeda dengan lintasan yang sama, yaitu miring-maju ke depan, tegak, dan miringmundur ke belakang sehingga terbentuk pengamatan stereoskopis yang ditunjukkan pada gambar 4. Gambar 4. Pencitraan dan satelit sensor PRISM Berikut merupakan tabel informasi karakteristik dari satelit PRISM : Tabel 2. Karakteristik sensor PRISM Panjang Gelombang 0,52-77 µm Banyaknya optik 3 buah (Forward, Nadir, Backward) Base To High Ratio 1,0 (Forward dengan Backward) S/N Di atas 70 MTF 0,2 lebih Resolusi Spasial 2,5 m Lebar Cakupan 35 km (Triplet Mode 70 km (hanya pengambilan tegak) Jumlah Detektor 28.000/kanal (lebar cakupan 70 km) 14.000/kanal (lebar cakupan 35 km) Sudut Pengambilan 1,5 Derajat Panjang Bit 8 Bit Sumber : JAXA

2.6.2. Advanced Vicible and Near-Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) Advanced Vicible and Near-Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) merupakan instrumen pada satelit ALOS yang dilengkapi kanal multispektral untuk pengamatan permukaan daratan dan wilayah pesisir dengan resolusi spasial lebih baik dari AVNIR-ADEOS. Sensor ini digunakan untuk tujuan pemetaan dan klasifikasi penutup/penggunaan lahan skala regional, dengan memiliki kemampuan cross track pointing untuk pemantauan bencana alam yang gambarannya dapat dilihat pada gambar 5. Gambar 5. Pencitraan dan satelit sensor AVNIR Berikut merupakan tabel dari karakteristik sensor AVNIR pada ALOS: Tabel 3. Karakteristik sensor AVNIR Kanal Observasi Kanal 1: 0,42 0,50 µm Kanal 2: 0,52 0,60 µm Kanal 3: 0,61 0,69 µm Kanal 4: 0,76 0,89 µm S/N > 200 MTF Kanal 1-3 : > 0,25 Kanal 4 : > 0,20 Resolusi 10 m (Nadir) Lebar cakupan 70 km (Nadir) Jumlah Detektor 7000 / Kanal Sudut Pengambilan -44 to +44 Derajat Panjang Bit 8 Bit Sumber : JAXA

2.6.3. Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) PALSAR merupakan salah satu literature ALOS dengan sensor aktif untuk pengamatan cuaca dan permukaan daratan pada siang dan malam hari dengan sistem yang lebih maju dari JERS-1 SAR. Sensor PALSAR yang diperlihatkan pada Gambar 6 mempunyai sebuah beam literatur dalam elevasi dan scan SAR mode. ALOS: Gambar 6. Pencitraan dan satelit sensor PALSAR Berikut merupakan tabel yang menggambarkan sensor PALSAR citra Tabel 4. Karakteristik sensor PALSAR Mode Fine ScanSAR Polarimetric (Experimental mode) Frekuensi 1270 MHz (L-BAND) Lebar Kanal 28 / 14 MHz Polarisasi HH atau VV/HH +HV atau VV+VH HH atau VV HH+HV+VH+VV Resolusi Spasial 10 m (2 look)/20 m (4 look) 100 m (multi look) 30 m Lebar Cakupan 70 km 250-350 km 30 km Incidence Angle 8-60 derajat 18-43 derajat 8-30 derajat NE Sigma 0 < - 23 db (70 km) < - 25 db < - 29 db < - 25 db (60 km) Panjang Bit 3 bit / 5 bit 5 bit 3 bit / 5 bit Ukuran Antena AZ : 8,9 m x EL : 2,9 m Sumber : JAXA

2.7. Citra Satelit SPOT-5 Satelit SPOT-5 (System Pour I Observation de la Terre) merupakan kelanjutan dari program seri satelit remote sensing komersial Perancis. Satelit yang dikembangkan oleh CNES (Centre National d Etude Spatials) suatu badan keruang-angkasaan Perancis yang bekerjasama dengan beberapa organisasi di Eropa ini diluncurkan pada tanggal 3 Mei 2002 dengan orbit Sun-synchronous, ketinggian 832 km di atas equator, ukuran scene 60 km x 60 km, sudut inklinasi 98, periode orbit 101 menit, dan repeat cycle setiap 26 hari yang satellitenya ditampilkan pada Gambar 7. Gambar 7. Satellite SPOT-5 (www.image.search.yahoo.com) Satelit ini dilengkapi dengan beberapa sensor (Prahasta, 2008) : Tabel 5. Sensor HRG (High Resolution Geometric) Band Keterangan Domain Spectral Resolusi Spasial 1 Hijau 0,50-0,59 µm 10 meter 2 Merah 0,61-0,68 µm 10 meter 3 NIR 0,79-0,89 µm 10 meter 4 SWIR 1,58-1,75 µm 20 meter Pan Visible (hijau-merah) (mode P) 0,48-0,71 µm 5 atau 2,5 meter Tabel 6. Sensor HRS (High Resolution Stereoscopic) Band Keterangan Domain Spectral Resolusi Spasial Pan Visible (hijau-merah) (mode P) 0,49-0,69 µm 10 meter

Sensor ini dilengkapi dengan kemampuan untuk mendapatkan citra-citra digital stereopair secara simultan untuk produksi Digital Elevation Model (DEM) Tabel 7. Sensor Vegetasi Band Keterangan Domain Spectral Resolusi Spasial 1 B0, Biru 0,43-0,47 µm 1165 meter 2 B2, Merah 0,61-0,68 µm 1165 meter 3 B3, NIR 0,79-0,89 µm 1165 meter 4 SWIR 1,58-1,75 µm 1165 meter Berikut merupakan perbedaan karakteristik spectral citra satelit ALOS dengan citra satelit lainnya : Sumber : JAXA Gambar 8. Karakteristik spectral citra satelit ALOS dan citra lainnya

III. METODE PENELITIAN 3.1. Keadaan umum lokasi penelitian 3.1.1. Kondisi geografis Wilayah kabupaten Cilacap merupakan wilayah potensi pertanian dengan ketinggian tanah antara 6-9 m di atas permukaan laut. Luas wilayah kabupaten Cilacap secara keseluruhan adalah 225.360.840 hektare meliputi 24 Kecamatan yang terdiri dari 282 Desa dengan batas wilayah sebelah utara adalah kabupaten Banyumas dan kabupaten Brebes, sebelah timur adalah kabupaten Kebumen, sebelah selatan adalah Samudera Hindia, sebelah barat adalah kabupaten Ciamis dan kota Banjar, Jawa Barat. Daerah utara kabupaten Cilacap merupakan daerah perbukitan yang merupakan lanjutan dari rangkaian Bogor, Jawa Barat dengan puncaknya Gunung Pojoktiga (1.347 m), bagian selatan merupakan dataran rendah termasuk Pulau Nusa Kambangan yang memiliki Cagar Alam di dalamnya. Kondisi iklim pada umumnya termasuk beriklim tipe B ( Smith dan Ferguson ) curah hujan 10 tahun terakhir adalah 2711,65 mm/th, dengan jumlah hari hujan 147,4 hari, bulan basah dengan curah hujan lebih dari 200 mm / bulan, bulan lembab dengan curah hujan antara 100-200 mm / bulan, bulan kering dengan curah hujan kurang dari 100 mm /bulan,temperatur diwilayah bagian barat bervariasi sesuai dengan ketinggian tempat, yaitu antara 20 0 C 28 0 C, sedangkan temperatur udara di wilayah cilacap bagian tengah, timur dan selatan antara 28 0 C 31 0 C, Serta banyak di pengaruhi udara laut. 33

Gambar 9. Peta lokasi penelitian Penelitian lapangan (ground check) dilakukan pada tanggal 08 14 Mei 2008 di tiga lokasi yang berada di Desa Tritih, Desa Sapuregel dan Desa Motehan. Tiap lokasi mengambil 9 titik stasiun kecuali di desa motehan sebanyak 12 stasiun. Peta lokasi penelitian tiap lokasi ditunjukkan pada lampiran 3 dan peta batas kawasan pada Lampiran 1, serta foto saat di lapangan pada Lampiran 4. 3.2. Alat dan bahan Alat-alat yang digunakan meliputi : seperangkat Personal Computer (PC), flashdisk, printer, perangkat lunak (software) untuk pemrosesan data (image processing), interpretasi dan layout data, Global Positioning System (GPS), data citra satelit SPOT-5, data citra Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) sensor PRISM yang diakuisisi 05 Mei 2007 dan sensor AVNIR pada tanggal 04

35 Januari 2007 dari LAPAN-JAXA (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), dan Peta Rupa Bumi wilayah Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Alat-alat dan bahan yang diperlukan dalam pengambilan data lapangan meliputi : Peta lokasi pengambilan data, Spherical Densiometer, Global Positioning System (GPS), Refraktometer, ph-meter, thermometer, transek, Perahu motor untuk menjangkau daerah pengambilan data, dan binokuler dengan titik pengambilan data pada Lampiran 2. 3.3. Metode Pengumpulan data menggunakan data primer maupun sekunder dan pengolahan data citra vegetasi mangrove. Dalam penelitian ini dilakukan integrasi data penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Alur kegiatan penelitian ini meliputi pemasukan data (input data), penyusunan data baik spasial maupun analisis. Input data berasal dari pengukuran lapangan, data citra, peta-peta dan data sekunder yang telah dikumpulkan.

Pengumpulan data lapangan Analisis data % Penutupan kanopi mangrove 1. Data ALOS AVNIR 2.Data fusion (pan-sharpening PRISM & AVNIR) Klasifikasi Supervised Citra satelit ALOS lokasi penelitian Koreksi geometrik, koreksi radiometrik Formula (NDVI, GNDVI, IPVI, DVI, RVI) 1. Analisis spasial peta tematik 2. Analisis regresi Peta keberadaan ekosistem Mangrove Gambar 10. Diagram alir tahap penelitian

37 Data Training Area 1. Darat 2. Laut 3. Mangrove Klasifikasi Supervised Formula (ALOS) Formula if i1>= a and i1< b then 1 else if i1>= b and i1< c then 2 else if i1>= c and i1< d then 3 else if i1>= d and i1< e then 4 else if i1>= e then 5 else null (pemberian nilai pada kelas tergantung pada rentang nilai histogram dan kebutuhan) 1= sangat jarang, 2=jarang, 3=sedang, 4=lebat, 5=sangat lebat Penggabungan citra: Band1=hasil klasifikasi supervised Band2=hasil formula kelas 1. Darat 2. Laut 3.Mangrove sangat jarang 4. Mangrove jarang 5. Mangrove sedang 6. Mangrove lebat 7. Mangrove sangat lebat Layout Gambar 11. Diagram alir pengolahan citra untuk tutupan vegetasi mangrove

3.4. Pengolahan citra satelit Pengolahan citra satelit terdiri dari tiga tahapan, yaitu pre processing, penajaman citra dari vegetasi mangrove dan klasifikasi. 3.4.1. Pre-processing Citra satelit ALOS yang telah diperoleh tidak sepenuhnya digunakan dalam analisis, untuk itu perlu dilakukan pemotongan citra (cropping). Pemotongan citra ini bertujuan untuk membatasi daerah sesuai lokasi penelitian. Setelah pemotongan citra, dilakukan pemulihan citra yang terdiri atas dua proses yaitu koreksi radiometrik dan koreksi geometrik. Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan faktor faktor yang menurunkan kualitas citra. Metode koreksi radiometrik yang digunakan adalah penyesuaian histogram (histogram adjustment). Koreksi geometrik bertujuan untuk memperbaiki distorsi posisi atau letak objek. Distorsi ini dihasilkan oleh faktor seperti variasi tinggi satelit, ketegakan dan kecepatan satelit (Lillesand and Kiefer, 1990). Setelah koreksi geometrik dilakukan maka didapat citra yang sesuai dengan posisi sebenarnya di bumi. 3.4.2 ALOS data fusion 3.4.2.1 Pan-Sharpenning Image fusion merupakan kombinasi dua atau lebih dari image/citra yang berbeda untuk menghasilkan image baru dengan menggunakan berbagai algorithma. Pan-Sharpenning merupakan salah satu jenis image data fusion. Data citra berwarna dengan resolusi rendah digabungkan dengan data monokrom yang beresolusi tinggi yang hasilnya adalah sebuah image data citra berwarna dengan resolusi tinggi.

39 Menurut Prahasta (2008) data fusion merupakan menggabungkan atau mengkombinasikan (fusi) data (dengan cakupan wilayah yang sama) yang berasal dari berbagai/rekaman sensor satelit (dan dengan resolusi-resolusi spasial yang berbeda) merupakan cara yang sangat efektif dan efisien dalam memberdayakan sumber-sumber basis data spasial secara optimal. Salah satu dari sekian banyak bentuk dari aktifitas ini adalah Pan-sharpen yang mengkombinasikan citra digital pankromatik (band tunggal yang beresolusi spasial lebih tinggi) dengan citra digital multi-spektral (beberapa band berwarna tetapi memiliki resolusi spasial lebih rendah). Hasil yang diharapkan dari proses ini adalah citra digital mutispektral dengan resolusi yang sama dengan pankromatik. Hasilnya digunakan sebagai alat bantu pada interpretasi citra digital secara visual. Image data sebaiknya tercatat dengan akurasi level tinggi terlebih dahulu menggunakan fusion algorithma, diantaranya : 1. HSV (or HSI) Sharpenning Hue Saturation Intensity (Hue Saturation Value) menggunakan resolusi rendah image RGB (Red Green Blue). Band pankromatik disesuaikan dan diganti untuk intensity band. Gambar HSI di convert kembali ke tempat RGB. 2. Color Normalized (Brovey) Sharpenning Digunakan untuk mendapatkan teknik Sharpenning dengan menggunakan kombinasi matematika image berwarna dan data resolusi tinggi. Fusion i = (MULTi/MULTi Sum)x PAN Dimana i (=1,2,3..) merupakan band particular dalam MS Image dan MULTi SUM = MULTi1 + MULTi2 + MULTi3 (3.1)

Setiap band di Image Color dikalikan dengan rasio data resolusi tinggi dibagi dengan jumlah color bands. Fungsi otomatis dari color bands sampai ukuran pixel dengan resolusi tinggi menggunakan nearest neighbor, bilinnear, atau cubic convolution technique. Hasil keluaran gambar RGB akan mendapatkan nilai pixel dari input data resolusi tinggi. 3. PC Spectral Sharpenning Digunakan untuk Sharpen Spectral Image data dengan data resolusi tinggi menggunakan prinsip transformasi komponen hasil data multispectral. PC band 1 digantikan dengan band resolusi tinggi dengan skala yang sesuai dengan PC band 1 sehingga tidak ada distorsi informasi spectral. Kemudian, digunakan untuk transform kembali. Data multispectral otomatis memperbaiki nilai pixel resolusi tinggi menggunakan nearest neighbor, bilinnear, atau cubic convolution technique. 4. Gram Schmidt Algoritm Merupakan Kodak/ RSI yang memiliki algoritma Sharpenning. Algorithma ini merupakan dasar dalam persamaan rotasi di alam untuk PCA. Hasilnya sama dengan PCA melihat khusus nilai bobot vegetasi. Pada penelitian ini menggunakan algoritma Gram Schmidt. (3.2) Dalam penelitian ini digunakan Gram Schmidt Algoritm karena algoritma ini digunakan untuk melihat khusus vegetasi, dalam hal ini vegetasi mangrove.

41 3.4.3. Penajaman Citra Proses penajaman citra merupakan proses penggabungan informasi dari dua citra secara spektral melalui band rationing (menghitung perbandingan nilai digital piksel setiap saluran). 3.4.3.1 Optimum Index Factor (OIF) Penajaman citra dengan metode ini dilakukan untuk mengetahui tiga kombinasi kanal yang bagus untuk kenampakan mangrove secara visual. OIF yang dipilih merupakan kombinasi kanal yang memiliki nilai OIF paling tinggi, karena akan menampilkan lebih banyak warna yang lebih banyak memberikan informasi. Algorithma untuk OIF adalah (Chavez et al,1982 in Arhatin, 2007): Dimana : OIF = ΣS k / ΣAbs (rj) (3.3) S k = standar deviasi untuk kanal k Abs (rj) = nilai absolut koefisien korelasi antara dua dari tiga kanal 3.4.3.2 Penajaman citra untuk vegetasi mangrove Pengolahan citra untuk mendapatkan nilai kerapatan mangrove menggunakan transformasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) yang prinsipnya memisahkan spektral reflektansi vegetasi dari spektral reflektansi tanah dan air yang melatarbelakanginya. Formula NDVI pada ALOS yang peka terhadap vegetasi dan kanal 3 yang peka terhadap tanah dengan persamaan sebagai berikut: NDVI = (IR-R)/(IR+R) (3.4) Keterangan: IR : Nilai digital pada citra kanal Inframerah dekat R : Nilai digital pada citra kanal Merah

Nilai kerapatan mangrove ditentukan berdasarkan nilai indeks vegetasi (NDVI) sedangkan penetapan selang kelas kerapatan vegetasi mangrove ditampilkan pada tabel 8 berikut : Tabel 8. Pengelompokkan kerapatan vegetasi mangrove berdasarkan NDVI (Kadi, 1996 dalam Susilo, 2000) <0,1 Vegetasi sangat jarang 0,1 0,2 Vegetasi jarang 0,2 0,3 Vegetasi sedang 0,3 0,4 Vegetasi lebat >0,4 Vegetasi sangat lebat Selain NDVI, transformasi lain yang digunakan dalam penelitian ini ditampilkan pada tabel 9. Tabel 9. Transformasi indeks vegetasi No Formula Tipe Indeks Vegetasi Referensi 1 NIR Ratio Vegetation RVI = Red Index 2 DVI = 2.4 NIR Re d Difference Vegetation Index 3 Green normalized NIR Green GNDVI = difference vegetation NIR + Green index 4 Infrared Percentage 1 IPVI = ( NDVI + 1) Vegetation Index 2 5 NDVI = NIR Red NIR+ Red Normalized difference vegetation index Tucker, 1979 in Arhatin, 2007 Richardson and Wiegand in Arhatin, 2007 Kadi, 1996 in Susilo 2000

43 3.4.4 Klasifikasi citra Citra yang telah ditransformasikan dengan algoritma-algoritma tersebut selanjutnya diklasifikasi. Klasifikasi merupakan suatu proses pengelompokkan nilai reflektansi dari setiap objek ke dalam kelas-kelas tertentu sehingga mudah dikenali. Dalam penelitian ini klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi terbimbing (Supervised classification). 3.5 Analisis data lapangan Analisis data yang diambil adalah data yang diambil langsung dari lapangan dan analisis data di komputer dengan rumus. 3.5.1 Pengambilan data penutupan kanopi mangrove Pengambilan data penutupan kanopi mangrove dilakukan secara manual dengan alat Spherical Densiometer, dengan mengukur persentase penutupan mangrove di setiap titik pengambilan data. 1 2 3 4 5 Gambar 12. Titik pengambilan data tutupan mangrove di dalam transek Tiap titik pengambilan data/ stasiun diambil 5 titik untuk mengambil nilai persentasenya, kemudian jumlah persentase keseluruhannya dibagi 5 untuk diperoleh nilai persentase dari tiap stasiun. Nilai persentase yang dihasilkan kemudian akan dikorelasikan dengan nilai tutupan dari citra.

3.6 Analisis korelasi data citra terhadap data lapangan Analisis yang digunakan dalam mengetahui korelasi antara data citra terhadap data lapangan adalah menggunakan analisis regresi linear dengan persamaan : Y = β 0 + β 1 X+ β 2 X 2 +... + β q X q + ε (3.5) Dimana : Y = Nilai digital indeks kehijauan pada citra X = Nilai tutupan mangrove β 0 = variable intersep β ι ; i= 1,2,3, q adalah parameter pengaruh variable bebas (X) kuantitatif terhadap variable respons (Y). ε = error, yang diasumsikan berdistribusi secara bebas normal, dengan nilai rata-rata nol, dan ragam σ 2 Analisis ragam dengan hipotesis: H0 H1 : nilai data citra = data lapangan : nilai data citra data lapangan α : 0.5 Pengujian model regresi dilakukan dengan analisis ragam dengan uji F.

45 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik fisik dan kimia perairan Suhu, salinitas dan ph merupakan parameter-parameter yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove. Suhu dan salinitas termasuk karakteristik fisik dan data yang diambil untuk kimianya adalah ph. Nilai parameter-parameter tersebut pada saat di lapangan disajikan pada tabel 10 : Tabel 10. Nilai karakteristik fisik dan kimia Stasiun Suhu Air Salinitas ph tanah 1 31 25 5,73 2 30 28 5,65 3 30 23 6,99 4 29 28 6,77 5 28 25 8,74 6 28 25 8,82 7 28 30 8,36 8 28 29 8,54 9 27 28 6,69 10 27 25 5,55 11 27 25 5,5 12 28 24 5,12 13 28 26 4,76 14 29 24 4,98 15 29 24 5,18 16 30 25 5,7 17 29 25 5,47 18 31 25 5,83 19 30 21 5,34 20 27 22 4,79 21 29 21 5,29 22 28 19 5,12

23 28 19 5,08 24 29 18 5,15 25 29 25 5,26 26 29 21 5,44 27 29 23 5,51 28 29 20 5,55 29 30 20 5,45 30 29 21 5,46 4.1.1 Suhu air Suhu merupakan faktor fisik yang penting untuk mangrove. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu air dari tiap stasiun berkisar antara 27-31 o C (Gambar 12). Kisaran suhu ini masih baik untuk mangrove karena umumnya mangrove di daerah tropic dapat bertahan dengan rata-rata temperature di atas 25 o C. Suhu air di Indonesia umumnya berkisar antara 28-38 o C, suhu dekat pantai biasanya lebih tinggi dibandingkan suhu di lepas pantai karena dipengaruhi oleh radiasi matahari, posisi matahari, letak geografis, musim, kondisi awan, serta proses interaksi air dan udara seperti alih panas, penguapan dan hembusan angin (Saparinto, 2007).

47 Gambar 13. Grafik nilai suhu air di tiap stasiun 4.1.2 Salinitas Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan salinitas air di tiap stasiun berkisar antara 18-30 o / oo (Gambar 13). Mangrove tumbuh baik di daerah dengan salinitas berkisar 10-30 o / oo. Salinitas di Cilacap memiliki nilai yang berbeda dari tiap titik pengambilan data, perbedaan salinitas ini terjadi karena adanya massa air tawar yang berasal dari Sungai Citandui menuju muara sekitar segara anakan. Sehingga, sebagian massa air bersalinitas rendah pada saat menuju Samudera Hindia dalam jumlah besar (Tim ekosistem mangrove, 1986). Peta lokasi penelitian menunjukkan letak pengambilan data di stasiun 3 dekat dengan muara Sungai Citandui tersebut. Sehingga nilai salinitas di sekitar wilayah tersebut menurun dibanding di stasiun lainnya.

Gambar 14. Grafik nilai salinitas di tiap stasiun 4.1.3 ph Berdasarkan hasil pengukuran ph di lapangan menunjukkan bahwa ph di tiap stasiun berkisar antara 4,76 8,82 (Gambar 14). nilai ph tersebut masih sesuai dengan ph untuk pertumbuhan mangrove, dimana ekosistem mangrove akan tumbuh baik pada ph dengan kisaran 5,0 9,0 (Saparinto, 2007). Gambar 15. Grafik nilai ph di tiap stasiun Ditunjukkan dari ketiga kondisi perairan di atas, dapat diketahui bahwa mangrove di perairan Cilacap berkondisi normal pada saat diadakan penelitian, sehingga penelitian dapat dilakukan tanpa asumsi-asumsi khusus. 4.2 Pengolahan Citra

49 Data Citra yang digunakan merupakan data citra satelit ALOS (Advanced Land Observing Satelite) yang terdiri dari dua citra dengan sensor yang berbeda, yaitu citra satelit dengan sensor AVNIR yang memiliki resolusi 10 x 10 m dan sensor PRISM yang memiliki resolusi 2,5 x 2,5 m. Citra ALOS dengan sensor PRISM untuk wilayah Cilacap terdiri dari dua Scene, yaitu bagian kiri dan kanan sehingga perlu dilakukan mosaic (Gambar 16). (a) (b) (c) Gambar 16. Mosaic Citra ALOS sensor PRISM (Pankromatik) Citra pada scene (a) di mosaic dengan citra scene (b) menghasilkan gabungan keduanya yang kemudian dilakukan Cropping (pemotongan) citra untuk membatasi daerah sesuai dengan lokasi penelitian (c). 4.3 Pre processing Proses awal sebelum pengolahan data, dilakukan dahulu langkah-langkah koreksi citra : 4.3.1 Koreksi geometrik Koreksi geometrik dilakukan dengan mengoreksi citra sensor AVNIR yang mengacu pada Citra Satelit SPOT-5 yang memiliki resolusi citra yang sama yaitu 10x10 m dan multispectral. Citra SPOT-5 ini sudah terkoreksi sebelumnya

terhadap Peta Rupa Bumi (RBI) wilayah Cilacap dari BAKOSURTANAL Skala 1: 50.000 pada Proyeksi SUTM 49 dengan DATUM WGS 84. Koreksi ini bertujuan untuk memperbaiki distorsi posisi atau letak objek (Lillesand and Kiefer, 1990) seperti terlihat pada gambar 16. (a) (b) (c) Gambar 17. (a) Citra SPOT-5 (b) Citra ALOS AVNIR hasil rektifikasi dengan citra SPOT-5 (c) Citra ALOS PRISM hasil rektifikasi dengan Citra ALOS AVNIR (RGB 123) 4.4 ALOS Pan-Sharpening ALOS Pan-Sharpening merupakan salah satu proses dalam image data fusion. Menurut Prahasta (2008) data fusion ini merupakan mengkombinasikan (fusi) data berbagai rekaman sensor satelit, salah satunya adalah dengan

51 mengkombinasikan antara citra multispektral dan citra pankromatik (Gambar 18 dan Gambar 19). Dalam hal ini AVNIR merupakan citra multispectral yang memiliki 4 band/kanal (berwarna) dan PRISM merupakan citra pankromatik. Sehingga dihasilkan satu citra yang memiliki resolusi tinggi dan multispektral. Gambar 18. ALOS Pan-Sharpening antara citra sensor AVNIR dan PRISM (RGB 321, NIR-Red-Green) Berikut pada Gambar 19 diperlihatkan tidak adanya perubahan nilai spektral citra ALOS pada saat sebelum dan sudah dilakukan fusion (Pan-Sharpen)

dengan nilai spektral yang ditunjukkan pada nomor : 1 = 40, 2= 220, 3=25, dan 4= 110. Gambar 19. ALOS Pan-Sharpening antara citra sensor AVNIR dan PRISM (RGB 321, NIR-Red-Green) setelah di perbesar (zoom) 4.5 Klasifikasi terbimbing (Supervised Classification)

53 Klasifikasi terbimbing ini dilakukan terhadap Citra ALOS yang sudah di fusi. Hasil klasifikasi tersebut dibagi menjadi 3 kelas yang berbeda yaitu kelas darat, laut dan mangrove yang ditampilkan pada Gambar 20. Gambar 20. Klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) Keterangan : Laut Darat Mangrove 4.6 Penajaman citra untuk vegetasi mangrove Penajaman citra untuk mengetahui vegetasi mangrove menggunakan analisis vegetasi mangrove dengan algorithma dan menggunakan Optimum Index Factor (OIF). 4.6.1 Optimum Index Factor (OIF) Metode ini merupakan salah satu cara dalam penajaman citra (image enhancement) yang dilakukan untuk menajamkan objek dalam citra. OIF ini merupakan metode pemilihan kanal untuk pembuatan komposit citra yang membutuhkan tiga kanal pada filter red, green dan blue. Pemilihan kanal ini

dilakukan untuk mempermudah interpretasi secara visual dari citra dengan kombinasi kanal untuk diklasifikasi secara digital. Hasilnya didapatkan tampakan yang lebih jelas pada citra sehingga dapat lebih mudah untuk diinterpretasikan kemudian. Nilai OIF tertinggi akan memperlihatkan tampakan warna yang lebih banyak, sehingga diharapkan dapat memberikan banyak informasi pada citra. OIF yang didapatkan untuk ALOS AVNIR terdiri dari 6 kombinasi yang sama yaitu kombinasi dari kanal 1, kanal 2 dan kanal 3 dengan kombinasi kanal: 123, 132, 213, 231, 312 dan 321 dengan tabel matrik korelasi dan standar deviasi ditampilkan pada Tabel 11 dan Tabel 12. Tabel 11. Matriks korelasi antar kanal pada citra ALOS AVNIR Correlation matriks Kanal 1 Kanal 2 Kanal 3 Kanal 1 1,000 0,500 0,984 Kanal 2 0,500 1,000 0,518 Kanal 3 0,984 0,518 1,000 Tabel 12. Standar deviasi tiap kanal pada citra ALOS AVNIR Std. Deviasi Kanal 1 Kanal 2 Kanal 3 Citra ALOS 49,228 39,524 50,457 AVNIR : Berikut merupakan tampilan hasil tiap kombinasi kanal pada citra ALOS

55 123 132 213 231 312 321 Gambar 21.Tampilan tiap kombinasi kanal citra ALOS AVNIR Keterangan : kanal 1 = Green (λ 0,42 0,50 µm); kanal 2 = Red (λ 0,61 0,69 µm); kanal 3 = Near-Infrared (λ 0,76 0,89 µm).

Tabel 13 berikut menunjukkan nilai hasil OIF pada tiap kombinasi kanal ALOS AVNIR : Tabel 13. Nilai OIF tiap kombinasi kanal citra ALOS AVNIR No. Kombinasi Kanal Nilai OIF 1 123 69.5350 2 132 69.5350 3 213 69.5350 4 231 69.5350 5 312 69.5350 6 321 69.5350 Tabel nilai matrik korelasi dan standar deviasi pada citra ALOS Pan- Sharpen disajikan pada Tabel 14 dan 15 berikut : Tabel 14. Matriks korelasi antar kanal pada citra ALOS Pan-Sharpen Correlation matriks Kanal 1 Kanal 2 Kanal 3 Kanal 1 1,000 0,660 0,977 Kanal 2 0,660 1,000 0,656 Kanal 3 0,977 0,656 1,000 Tabel 15. Standar deviasi tiap kanal pada citra ALOS Pan-Sharpen Std. Deviasi Kanal 1 Kanal 2 Kanal 3 Citra ALOS 31,288 41,354 31,156 Berdasarkan tabel matriks korelasi dan standar deviasi di atas, dapat diketahui 6 kombinasi kanal dari citra ALOS untuk menentukan nilai OIF yaitu

57 kombinasi dari kanal 1, kanal 2 dan kanal 3 dengan kombinasi kanal: 123, 132, 213, 231, 312 dan 321 dengan tampilan tiap kombinasi kanal terlihat pada Gambar 21. 123 132 213 231 312 321 Gambar 22.Tampilan tiap kombinasi kanal citra ALOS Pan-Sharpen Keterangan : kanal 1 = Green (λ 0,42 0,50 µm); kanal 2 = Red (λ 0,61 0,69 µm); kanal 3 = Near-Infrared (λ 0,76 0,89 µm).

Tampilan gambar tiap kombinasi kanal pada citra ALOS di atas, kombinasi kanal RGB 231 merupakan kombinasi yang menunjukkan terlihatnya vegetasi mangrove yang ditunjukkan dengan warna merah gelap, hal ini menunjukkan adanya pantulan dari air juga yang membuat tampilannya lebih gelap daripada vegetasi di daratan yang ditunjukkan dengan warna merah yang lebih terang, kemudian warna laut yang menunjukkan warna kebiruan sesuai dengan panjang gelombang yang memantulkan nilai pada spectrum biru pada kanal 1 (λ 0,42 0,50 µm). Tabel 16. Nilai OIF tiap kombinasi kanal citra ALOS Pan-Sharpen No. Kombinasi Kanal Nilai OIF 1 123 45.2673 2 132 45.2673 3 213 45.2673 4 231 45.2673 5 312 45.2673 6 321 45.2673 Berdasarkan rumus untuk mencari nilai OIF, OIF yang tinggi tersebut merupakan hasil dari nilai standar deviasi yang tinggi dan korelasi antar kanal yang rendah, dengan korelasi antar kanal yang rendah tersebut diharapkan akan mendapatkan informasi yang saling melengkapi (Arhatin, 2007). Berdasarkan Tabel 13 dan Tabel 16 didapatkan hasil OIF untuk citra ALOS AVNIR dan ALOS Pan-Sharpen yang memiliki nilai OIF sama pada tiap citra. Hal ini menunjukkan pada kombinasi tersebut citra ALOS AVNIR dan

59 ALOS Pan-Sharpen tidak dapat menyajikan lebih banyak warna dan dapat memberikan informasi lebih banyak dengan metode OIF. Apabila kombinasi kanal pada citra pada suatu objek dengan memasukkan kombinasi yang berbeda, maka objek tersebut akan berubah dan menunjukkan warna yang kontras pada kanal tertentu dan menunjukkan warna yang berlainan. Kanal citra ALOS untuk mangrove, selain dengan menggunakan metode OIF ini bisa ditunjukkan dengan kombinasi komposit 321 dimana kanal 1 (λ 0,42 0,50 µm) yang menunjukkan nilai kehijauan pada vegetasi, kanal 2 (λ 0,61 0,69 µm), untuk pemisahan vegetasi yaitu membedakan antara vegetasi dengan tanah/ non vegetasi, kanal 3 (λ 0,76 0,89 µm) untuk mendefinisikan batas airdaratan dan tipe/kelas vegetasi. mangrov laut daratan awan Gambar 23. Citra komposit RGB 231 ALOS Berdasarkan gambar di atas didapatkan informasi secara visual bahwa dari Citra ALOS dengan komposit RGB 231 menunjukkan bahwa warna merah tua

merupakan vegetasi mangrove dan letaknya dekat dengan laut yang ditunjukkan dengan warna gelap kebiruan, untuk daratan diinterpretasikan dengan warna merah lebih terang yang menunjukkan adanya vegetasi di daratan, kemudian warna putih menunjukkan objek awan. Selain objek yang tidak terdeteksi di bawahnya, awan disini juga mempengaruhi nilai digital dari objek, dimana nilainya akan lebih rendah dari yang seharusnya (Arhatin, 2007). 4.6.2 Analisis vegetasi mangrove Dalam hal ini dilakukan dua penajaman Citra Vegetasi Mangrove untuk Citra Satelit ALOS sensor AVNIR dan untuk Citra ALOS yang sudah di Pan- Sharpen dengan transformasi formula NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), GNDVI (Green Normalized Difference Vegetation Index), IPVI (Infrared Percentage Vegetation Index), DVI (Difference Vegetation Index), dan RVI (Ratio Vegetation Index). Transformasi formula NDVI ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kerapatan mangrove di lapangan dengan NDVI dari citra. Tingkat kerapatan kanopi mangrove dilakukan dengan analisis NDVI ini yang didasarkan pada adanya respon objek penginderaan jauh pada kisaran spectrum radiasi merah dan inframerah dekat yang memberikan gambaran tingkat kehijauan vegetasi mangrove (Arhatin, 2000). yaitu kanal 3 untuk merah dan kanal 4 untuk inframerah.

61 4.6.2.1. Analisis vegetasi mangrove ALOS AVNIR Gambar 24.Transformasi NDVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap Nilai NDVI pada Citra ALOS AVNIR berkisar antara 0.003663 sampai dengan 0.977273 (ditunjukkan pada Gambar 24). Namun, eksekusi transformasi untuk NDVI ini tidak berhasil. Gambar 25.Transformasi GNDVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap

Nilai transformasi untuk GNDVI pada citra ALOS AVNIR berkisar antara 0.0044 sampai dengan 0.9714 yang ditunjukkan oleh Gambar 26 dengan nilai histogram tiap kelas disajikan pada Tabel 17. Pengkelasan GNDVI berdasarkan nilai histogram ini dilakukan dengan melihat beberapa puncak kelas yang berada di dalam histogram, tiap satu puncak kelas menunjukkan range nilai yang berbeda yang menunjukkan satu kelas objek pada citra, dalam hal ini untuk membedakan kelas objek mangrove berdasarkan tutupan mangrove. Nilai yang mewakili vegetasi pada rentang 0,1 hingga 0,7, nilai ini menggambarkan tingkat kesehatan tutupan vegetasi (Arhatin, 2007). Tabel 17. Nilai histogram tiap kelas transformasi GNDVI ALOS AVNIR Kelas Nilai Histogram 1 0,004 0,2 2 0,2 0,3 3 0,3 0,5 4 0,5 0,7 5 > 0,7

Gambar 26. Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi GNDVI ALOS AVNIR 63

Gambar 27.Transformasi IPVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap Nilai IPVI pada Citra ALOS AVNIR berkisar antara 0.037037 sampai dengan 0.988636 yang dibagi dalam lima kelas berdasarkan nilai histogram dari transformasi IPVI (Gambar 27). Dengan melihat beberapa puncak kelas yang berada di dalam histogram, tiap satu puncak kelas menunjukkan range nilai yang berbeda yang menunjukkan satu kelas objek pada citra, dalam hal ini untuk membedakan kelas objek mangrove berdasarkan tutupan mangrove. Nilai yang mewakili vegetasi pada rentang 0,1 hingga 0,7. Tabel 18 menunjukkan rentang nilai tiap kelas mangrove pada citra ALOS AVNIR transformasi IPVI. Tabel 18. Nilai histogram tiap kelas transformasi IPVI ALOS AVNIR Kelas Nilai Histogram 1 (-0.1) - (-0.3) 2 (-0.3) - (-0.5) 3 (-0.5) - 0.7 4 0.7-0.85 5 > 0.85

65 Gambar 28.Transformasi RVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap Nilai RVI pada Citra ALOS AVNIR berkisar antara 0.011494 sampai dengan 26 yang dapat dilihat pada Gambar 28 berdasarkan range nilai tiap kelas pada gambar, untuk tiap satu puncak histogram menunjukkan satu objek di citra dengan nilai rentang histogram tiap kelas mangrove terlihat pada Tabel 19. Tabel 19. Nilai histogram tiap kelas transformasi RVI ALOS AVNIR Kelas Nilai Histogram 1 0,01-1 2 1-2 3 2-10 4 10-25 5 > 25

Gambar 29. Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi IPVI ALOS AVNIR

Gambar 30. Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi RVI ALOS AVNIR 67

Gambar 31.Transformasi DVI Citra ALOS AVNIR daerah Cilacap Nilai DVI pada Citra ALOS AVNIR berkisar antara 2.4 sampai dengan 255 yang dibagi menjadi lima kelas juga berdasarkan transformasi DVI yang dilihat dari nilai histogramnya pada Gambar 31 dengan range tiap kelas berdasarkan satu puncak histogram yang manunjukkan satu objek pada citra dalam hal ini objek mangrove, nilai transformasi tiap kelas mangrove pada transformasi ini ditunjukkan pada Tabel 20. Tabel 20. Nilai histogram tiap kelas transformasi DVI ALOS AVNIR Kelas Nilai Histogram 1 0-12 2 12-30 3 30-71 4 71-203

5 > 203 69

Gambar 32. Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi DVI ALOS AVNIR

71 Berdasarkan gambar hasil klasifikasi mangrove tiap transformasi indeks vegetasi pada citra ALOS AVNIR (NDVI, GNDVI, IPVI, RVI, dan DVI) dapat dilihat bahwa kelas mangrove yang paling mendominasi di wilayah Cilacap, Jawa Tengah ini merupakan mangrove rapat yang ditunjukkan dengan warna merah pada legenda peta, sehingga mangrove di Cilacap ini dikategorikan masih bagus. Tabel 21 menunjukkan nilai hasil indeks vegetasi dari tiap algoritma indeks vegetasi di tiap stasiun pada citra ALOS AVNIR.

Tabel 21. Nilai hasil indeks vegetasi ALOS AVNIR dari algorithma tiap stasiun Stasiun NDVI GNDVI IPVI DVI RVI 1 0.4783 0.5068 0.7746 93.5999 2.8824 2 0.3939 0.4154 0.6984 62.3999 2.3158 3 0.5294 0.4462 0.7231 86.3999 3.25 4 0.7647 0.6386 0.8272 156 7.5 5 0.7556 0.6632 0.8778 132 4.7999 6 0.7228 0.5325 0.8495 175.2 6.2143 7 0.6092 0.5556 0.8046 127.2 6.25 8 0.7442 0.6484 0.8721 158.4 5.3846 9 0.7363 0.6596 0.8864 163.2 6.75 10 0.3182 0.234 0.5 33.5999 1 11 0.3846 0.1 0.3182 47.9999 0.3999 12 0.3499 0.1837 0.2857 33.5999 0.3999 13 0.6842 0.5904 0.8462 124.8 5.3333 14 0.6267 0.5904 0.8462 112.8 4.3571 15 0.5493 0.5493 0.7746 93.5999 3.4375 16 0.1429 0.2593 0.6939 69.5999 0.7143 17 0.5821 0.5696 0.8378 139.2 3.7857 18 0.7727 0.575 0.84 163.2 7.7999 19 0.7027 0.5999 0.8675 124.8 5.7273 20 0.1351 0.0243 0.5676 11.9999 1.3125 21 0.1905 0.0869 0.3793 19.9999 0.6471 22 0.7876 0.6557 0.8938 213.6 8.4167 23 0.7455 0.629 0.8739 225.6 6.9286 24 0.7719 0.629 0.886 211.2 7.7692 25 0.7447 0.6719 0.7705 88.7999 3.8461 26 0.8305 0.697 0.918 235.2 11.7999 27 0.8393 0.6999 0.9196 225.6 11.4444 28 0.7864 0.5294 0.8228 194.4 8.3636 29 0.1707 0.5294 0.5854 16.7999 1.4118 30 0.1707 0.1 0.3333 50 0.5294

Analisis yang digunakan untuk mengetahui seberapa erat korelasi antara data citra ALOS AVNIR dan data saat di lapangan adalah dengan menggunakan analisis ragam yang gambar dari regresi linear tiap transformasi indeks vegetasi ditampilkan pada Gambar 33. Semakin tinggi nilai koefisien determinasi (R 2 ) maka semakin erat juga korelasi antara nilai indeks kehijauan pada citra dengan tutupan mangrove di lapangan. Grafik pada Gambar 33 menunjukkan bahwa transformasi indeks vegetasi dengan GNDVI memiliki nilai R 2 paling tinggi dibandingkan transformasi indeks vegetasi lainnya dengan persamaan y = 0,007x + 0,060 dimana y merupakan nilai GNDVI AVNIR dan x merupakan nilai tutupan mangrove (%) dengan R 2 sebesar 0,475 yang artinya nilai tutupan mangrove (x) mempengaruhi nilai NDVI (y) sebesar 47,5%.

Fitted Line Plot NDVI = 0.1118 + 0.007892 densio Fitted Line Plot IPVI = 0.4020 + 0.005784 densio 0.9 0.8 S 0.179672 R-Sq 43.1% R-Sq(adj) 41.1% 1.0 0.9 S 0.158541 R-Sq 34.3% R-Sq(adj) 32.0% 0.7 0.8 0.6 0.7 NDVI 0.5 IPVI 0.6 0.4 0.5 0.3 0.4 0.2 0.3 0.1 10 20 30 40 50 60 densio 70 80 90 100 0.2 10 20 30 40 50 60 densio 70 80 90 100 Fitted Line Plot GNDVI = 0.06056 + 0.007366 densio Fitted Line Plot DVI = - 5.59 + 2.171 densio 0.8 0.7 0.6 S 0.153210 R-Sq 47.6% R-Sq(adj) 45.7% 250 200 S 54.5319 R-Sq 38.4% R-Sq(adj) 36.2% GNDVI 0.5 0.4 0.3 DVI 150 100 0.2 0.1 50 0.0 10 20 30 40 50 60 densio 70 80 90 100 0 10 20 30 40 50 60 densio 70 80 90 100 Fitted Line Plot RVI = - 0.717 + 0.09372 densio 12 10 S 2.71391 R-Sq 31.9% R-Sq(adj) 29.5% 8 RVI 6 4 2 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 densio Gambar 33. Grafik regresi linear tutupan mangrove terhadap nilai transformasi indeks vegetasi citra ALOS AVNIR

Nilai uji analisis ragam untuk tiap transformasi indeks vegetasi pada citra ALOS AVNIR disajikan pada Tabel 22 dengan hasil uji analisis ragam tiap indeks vegetasi dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 22. Hasil analisis ragam transformasi indeks vegetasi citra satelit ALOS AVNIR No. Transformasi indeks vegetasi P value α keterangan 1 NDVI 0,2922 0,5 P value < α 2 GNDVI 0,5000 0,5 P value < α 3 IPVI 0,0002 0,5 P value < α 4 DVI 0,8611 0,5 P value > α 5 RVI 0,6522 0,5 P value > α Tabel di atas menunjukkan bahwa hasil analisis uji annova yang diperoleh dari transformasi indeks vegetasi NDVI, GNDVI, IPVI, DVI, dan RVI untuk persamaan regresi yang diujikan untuk citra ALOS AVNIR memiliki P value < α sehingga tolak H0 dan terima H1 yang artinya bahwa peubah penjelas (NDVI, GNDVI, IPVI, DVI, dan RVI) memiliki kontribusi yang nyata terhadap peubah respon, yaitu nilai persentase penutupan kanopi mangrove. Nilai R 2 untuk transformasi indeks vegetasi pada citra satelit ALOS Pan- Sharpen dan hasil analisis uji annova menunjukkan bahwa Green Normalized Difference Vegetation Index (GNDVI) merupakan transformasi indeks vegetasi paling baik untuk melihat penutupan kanopi mangrove di Cilacap.

4.6.2.2 Analisis vegetasi mangrove ALOS Pan-Sharpen Berikut merupakan gambar hasil transformasi NDVI dengan histogram actual input to limit beserta nilai kelasnya : Gambar 34. Transformasi NDVI Citra ALOS Pan-Sharpen daerah Cilacap Nilai NDVI Citra ALOS Pan-Sharpen berkisar antara -1 sampai dengan 1. Nilai-nilai di sekitar negatif dan nol merepresentasikan unsur-unsur non-vegetasi seperti lahan kosong, es, awan dan lain sejenisnya. Sedangkan nilai yang lebih dari nol merepresentasikan darat dan vegetasi (Prahasta, 2008). Tabel 23 berikut menunjukkan nilai histogram yang digunakan dalam pengkelasan untuk transformasi NDVI ALOS Pan-Sharpen pada vegetasi mangrove dengan tutupannya yang pengkelasannya berdasarkan kelas objek yang ditunjukkan tiap puncak histogram pada Gambar 34.

Pengkelasan NDVI berdasarkan nilai histogram ini dilakukan dengan melihat beberapa puncak kelas yang berada di dalam histogram, tiap satu puncak kelas menunjukkan range nilai yang berbeda yang menunjukkan satu kelas objek pada citra, dalam hal ini untuk membedakan kelas objek mangrove berdasarkan tutupan mangrove. Nilai yang mewakili vegetasi pada rentang 0,1 hingga 0,7, nilai ini menggambarkan tingkat kesehatan tutupan vegetasi (Arhatin, 2007). Tabel 23. Nilai histogram tiap kelas transformasi NDVI ALOS Pan-Sharpen Kelas Nilai Histogram 1 (- 0.8) - (-0.1) 2 (-0.1) - 0.03 3 0.03-0.3 4 0.3-0.6 5 > 0.6

Gambar 35. Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi NDVI ALOS Pan-Sharpen

Gambar 35 menunjukkan sebaran tutupan mangrove berdasarkan hasil klasifikasi, yaitu kelas laut, darat, mangrove sangat jarang, mangrove jarang, mangrove sedang, mangrove rapat dan mangrove sangat rapat. Transformasi mangrove GNDVI (Green Normalized Difference Vegetation Index) memiliki nilai antara 0 sampai 1 untuk ALOS yang sudah di Pan-Sharpen dengan histogram (Gambar 36 ), namun untuk nilai dan hasil transformasi citra untuk transformasi DVI tidak berhasil dilakukan. Gambar 36. Transformasi GNDVI Citra ALOS Pan-Sharpen daerah Cilacap Nilai transformasi GNDVI Citra ALOS Pan-Sharpen berkisar antara 0 sampai dengan 1 dimana nilai setiap kelas pada transformasi dalam histogramnya ditunjukkan oleh tabel 24. Tabel 24. Nilai histogram tiap kelas transformasi GNDVI ALOS Pan-Sharpen Kelas Nilai Histogram 1 0.07-0.09 2 0.09-0.2 3 0.2-0.5 4 0.5-0.6 5 > 0.6

Gambar 37. Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi GNDVI ALOS Pan-Sharpen

Gambar 38. Transformasi IPVI Citra ALOS Pan-Sharpen daerah Cilacap Pengkelasan IPVI berdasarkan nilai histogram ini dilakukan dengan melihat beberapa puncak kelas yang berada di dalam histogram, tiap satu puncak kelas menunjukkan range nilai yang berbeda yang menunjukkan satu kelas objek pada citra, dalam hal ini untuk membedakan kelas objek mangrove berdasarkan tutupan mangrove. Nilai yang mewakili vegetasi pada rentang 0,1 hingga 0,7. Tabel 25. Nilai histogram tiap kelas transformasi IPVI ALOS Pan-Sharpen Kelas Nilai Histogram 1 0.06-0.45 2 0.45-0.49 3 0.49-0.51 4 0.51-0.60 5 > 0.60

Nilai transformasi untuk IPVI pada Citra ALOS Pan-Sharpen berkisar antara 0 sampai 1, sedangkan nilai transformasi untuk RVI memiliki nilai transformasi yang berkisar antara 0 sampai 255 dengan masing-masing histogram ditunjukkan oleh Gambar 38 dan Gambar 39. Gambar 39. Transformasi RVI Citra ALOS Pan-Sharpen daerah Cilacap Kelas vegetasi mangrove pada transformasi RVI ALOS Pan-Sharpen ditunjukkan oleh Tabel 26 dengan dibagi menjadi lima kelas tutupan mangrove. Tabel 26. Nilai histogram tiap kelas transformasi RVI ALOS Pan-Sharpen Kelas Nilai Histogram 1 10-20 2 20-40 3 40-100 4 100-150 5 > 150

Gambar 40. Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi IPVI ALOS Pan-Sharpen

Gambar 41. Peta klasifikasi mangrove Cilacap transformasi RVI ALOS Pan-Sharpen

Nilai-nilai indeks vegetasi menunjukkan tingkat kehijauan dari vegetasi mangrove, semakin tinggi nilai indeks vegetasinya, maka wilayah tersebut mempunyai tingkat kehijauan yang tinggi atau wilayah yang mempunyai kerapatan vegetasi yang lebat atau rapat. Tabel hasil indeks vegetasi dengan beberapa algorithma (tabel 27). Analisis regresi yang ditunjukkan oleh Gambar 42 merupakan metode yang digunakan untuk mencari hubungan antara persentase penutupan mangrove dengan nilai hasil transformasi indeks vegetasi dengan nilai determinasi dari kedua peubah tersebut merupakan hasil analisis regresi antara persentasi tutupan mangrove (peubah respon) dengan hasil transformasi indeks vegetasi (peubah bebas).

Tabel 27. Nilai hasil indeks vegetasi ALOS Pan-Sharpen dari algorithma tiap stasiun Stasiun NDVI GNDVI IPVI DVI RVI 1 64.840 0.594 0.823 96.000 4.636 2 57.030 0.519 0.732 63.000 2.733 3 59.770 0.535 0.767 76.800 3.286 4 70.310 0.455 0.766 156.000 9.125 5 71.090 0.772 0.911 132.000 10.286 6 61.330 0.519 0.790 124.800 3.889 7 53.910 0.361 0.710 69.600 2.450 8 65.230 0.625 0.844 129.600 6.700 9 69.920 0.744 0.938 168.000 15.000 10 29.300 0.500 0.375 50.000 0.609 11 30.860 0.500 0.381 50.000 0.654 12 28.510 0.500 0.366 50.000 0.577 13 72.270 0.676 0.899 132.000 7.000 14 60.160 0.552 0.813 115.200 7.000 15 61.720 0.639 0.820 93.600 6.333 16 42.190 0.500 0.544 50.000 0.654 17 69.530 0.667 0.903 93.600 4.000 18 30.470 0.708 0.925 163.200 14.600 19 54.690 0.590 0.810 57.600 1.483 20 32.810 0.727 0.420 50.000 0.750 21 33.200 0.329 0.422 50.000 0.731 22 72.660 0.784 0.979 213.600 233.000 23 76.560 0.776 0.967 204.000 17.800 24 74.610 0.760 0.969 220.800 31.667 25 78.120 0.798 1.000 216.000 255.000 26 78.120 0.958 1.000 228.000 255.000 27 78.120 0.957 1.000 213.600 255.000 28 76.170 0.864 0.977 192.000 17.400

citra ndvi 90 80 70 60 50 40 30 29 42.970 0.331 0.550 14.400 1.222 30 30.860 0.300 0.383 50.000 0.621 Fitted Line Plot citra ndvi = 15.80 + 0.7239 densio S 10.7301 R-Sq 64.1% R-Sq(adj) 62.8% IPVI 1.1 1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 Fitted Line Plot IPVI = 0.2917 + 0.008103 densio S 0.156701 R-Sq 51.2% R-Sq(adj) 49.5% 20 10 20 30 40 50 60 densio 70 80 90 100 0.3 10 20 30 40 50 60 densio 70 80 90 100 Fitted Line Plot GNDVI = 0.3075 + 0.005379 densio Fitted Line Plot DVI = - 4.70 + 2.116 densio 1.0 0.9 0.8 S 0.145238 R-Sq 35.0% R-Sq(adj) 32.7% 250 200 S 52.1720 R-Sq 39.3% R-Sq(adj) 37.1% GNDVI 0.7 0.6 DVI 150 100 0.5 0.4 50 0.3 10 20 30 40 50 60 densio 70 80 90 100 0 10 20 30 40 50 60 densio 70 80 90 100 300 200 Fitted Line Plot RVI = - 92.24 + 2.273 densio S 73.0636 R-Sq 27.6% R-Sq(adj) 25.0% RVI 100 0-100 10 20 30 40 50 60 densio 70 80 90 100

Gambar 42. Grafik regresi linear terhadap nilai transformasi indeks vegetasi citra ALOS Pan-Sharpen

Grafik di atas memiliki menunjukkan bahwa transformasi indeks vegetasi dengan NDVI memiliki nilai R 2 paling tinggi dibandingkan transformasi indeks vegetasi lainnya dengan persamaan y = 0,723x + 15,79 dimana y merupakan nilai NDVI Pan-Sharpen dan x merupakan tutupan mangrove (%) dengan R 2 sebesar 0,641 yang artinya nilai tutupan mangrove (x) mempengaruhi nilai NDVI (y) sebesar 64,1%. Tabel 28. Hasil analisis ragam transformasi indeks vegetasi citra satelit ALOS Pan-Sharpen No. Transformasi indeks vegetasi P value α keterangan 1 NDVI 0,0169 0,5 P value < α 2 GNDVI 0,0011 0,5 P value < α 3 IPVI 0,0033 0,5 P value < α 4 DVI 0,8777 0,5 P value >α 5 RVI 0,0381 0,5 P value < α Berdasarkan tabel di atas, ditunjukkan bahwa hasil analisis ragam yang diperoleh dari transformasi indeks vegetasi NDVI, GNDVI, IPVI, DVI, dan RVI untuk persamaan regresi yang diujikan memiliki P value < α sehingga tolak H0 dan terima H1 yang artinya bahwa peubah penjelas (NDVI, GNDVI, IPVI, DVI, dan RVI) memiliki kontribusi yang nyata terhadap peubah respon, yaitu nilai persentase penutupan kanopi mangrove. Nilai R 2 untuk transformasi indeks vegetasi pada citra satelit ALOS Pan- Sharpen dan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa Normalized Difference

Vegetation Index (NDVI) merupakan transformasi indeks vegetasi paling baik untuk melihat penutupan kanopi mangrove di Cilacap. Hasil transformasi indeks vegetasi yang ditunjukkan dengan nilai R 2 dan analisis uji annova menunjukkan bahwa transformasi indeks vegetasi lebih baik menggunakan citra satelit ALOS yang sudah di Pan-Sharpen terlebih dahulu karena memiliki nilai R 2 dan analisis uji annova yang lebih baik dibandingkan dengan citra satelit ALOS dengan sensor AVNIR saja, hal ini terjadi karena citra satelit ALOS yang sudah di Pan-Sharpen memiliki resolusi yang lebih tinggi dibandingkan citra ALOS dengan sensor AVNIR saja. Sehingga pada saat pemantulan spektrum gelombang pada citra Pan-Sharpen lebih baik dibanding AVNIR.

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Hasil pengamatan lapangan untuk parameter kimia dan fisika untuk suhu air berkisar antara 27-31 o C, suhu udara berkisar antara 25-33 o C, Salinitas berkisar antara 18-30 o / oo, dan ph berkisar antara 4,76 8,82. semua parameter berada pada kisaran yang masih cukup baik untuk pertumbuhan mangrove. Optimum Index Factor (OIF) untuk kedua citra memiliki nilai yang sama pada tiap kombinasi kanal sehingga dilakukan analisis secara visual terhadap vegetasi mangrove dengan citra ALOS pada kombinasi 231 (NIR-Red-Green). Deteksi ekosistem mangrove dengan citra satelit ALOS untuk transformasi pada tiap indeks vegetasi pada ALOS Pan-Sharpen, paling baik menggunakan komposit citra transformasi NDVI (Normalized Difference Vegetation index) dengan R 2 paling tinggi dibandingkan transformasi indeks vegetasi lainnya dengan persamaan y = 0,723x + 15,79, sedangkan untuk ALOS AVNIR paling baik menggunakan GNDVI (Green Normalized Difference Vegetation index) dengan persamaan y = 0,007x + 0,060. 33

5.2 Saran Diperlukan kajian selanjutnya dengan menggunakan transformasi vegetasi lainnya untuk pembanding dan mendapatkan hasil yang lebih baik. Dilakukan kajian mangrove (data lapangan) secara temporal atau perbedaan musim untuk melihat perbedaan spektralnya. Dilakukan kajian deteksi ekosistem mangrove dengan menggunakan sensor PALSAR pada citra satelit ALOS sebagai perbandingan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. http://id.images.search.yahoo.com/search/images?p=satellite+spot&y=sea rch&fr=megaup&ei=utf-8&js=1&x=wrt.

Arhatin, R. E. 2007. Pengkajian algorithma indeks vegetasi dan metode klasifikasi mangrove dari data satelit LANDSAT-5 TM dan LANDSAT-7 ETM+ (studi kasus di kabupaten Berau, Kalimantan Timur). Tesis (tidak dipublikasikan). Sekolah pascasarjana. IPB. Bogor. Aksornkoae, S. 1993. Ecology and management of mangrove. IUCN. Bangkok. Bengen, D. G. 2002. Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut serta prinsip pengelolaannya. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. English, S., C. Wilkinson, dan V. Baker. 1994. Survey manual for tropical marine resources. Australia Institute of Marine Science. Townsville. Australia. Hutchings, P., dan P. Saenger. 1987. Ekologi mangrove. Terjemahan oleh: Yunasfi, A. Muin, Hamzah, T. Rostiwati, Delvian. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. JAXA. 2006. ALOS User handbook. Earth Observation Research Center Japan Aerospace Exploration Agency. Japan Lillesand,T. M. Kiefer FW. 1990. Penginderaan jauh dan interpretasi citra. Alih Bahasa: R. Dulbahri. Yogyakarta: Gama University Press. Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut: Suatu pendekatan ekologis (alih bahasa dari buku Marine Biology : An Ecological Approach, oleh M. Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, M. Hutomo, dan S. Sukarjo). Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Odum, E. P. 1971. Fundamentals of ecology. 3 rd ed. W. B. Sounders Company. Philadelphia. Prahasta, E. 2008. Remote sensing: praktis penginderaan jauh dan pengolahan citra dijital dengan perangkat lunak ER Mapper. Bandung : Informatika. Susilo, S. B. 2000. Penginderaan jauh kelautan terapan. Jurusan manajemen sumberdaya perairan. FPIK. IPB. Sutanto. 1986. Penginderaan jauh jilid I. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. Gama University Press. Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan ekosistem mangrove. Semarang: Dahara Prize. Sutanto. 1986. Penginderaan jauh jilid II. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. Gama University Press.

Tim Ekosistem Mangrove : MAB-LIPI dan PERUM PERHUTANI. 1986. Sumberdaya mangrove dalam kaitannya dengan prospek pengembangan desa pantai di segara anakan, Cilacap. MAB-LIPI. Jakarta. Lampiran 1. Peta batas kawasan Cilacap, Jawa Tengah

Lampiran 2. Posisi titik tiap stasiun No. Stasiun Easting Northing Wilayah 1 Stasiun 1A 1A1 0278864 E 9152096 N Tritih 1A2 0278888 E 9152100 N Tritih 1A3 0278905 E 9152094 N Tritih Stasiun 1B 1B1 0279670 E 9151736 N Tritih 1B2 0279667 E 9151760 N Tritih Hutan Mahoni 0279651 E 9151790 N Tritih Stasiun 1C 1C1 0279193 E 9151528 N Tritih 1C2 0279181 E 9151532 N Tritih 1C3 0279166 E 9151550 N Tritih 2 Stasiun 2A 2A1 0275061 E 9150718 N Sapuregel 2A2 0275044 E 9150738 N Sapuregel

2A3 0275028 E 9150748 N Sapuregel Stasiun 2B 2B1 0275034 E 9150216 N Sapuregel 2B2 0275050 E 9150224 N Sapuregel 2B3 0275068 E 9150224 N Sapuregel Stasiun 2C 2C1 0274788 E 9150124 N Sapuregel 2C2 0274767 E 9150122 N Sapuregel 2C3 0274749 E 9150120 N Sapuregel 3 Stasiun 3A 3A1 0267772 E 9147332 N Motehan 3A2 0267771 E 9147348 N Motehan 3A3 0267776 E 9147368 N Motehan Stasiun 3B 3B1 0267291 E 9146816 N Motehan 3B2 0267314 E 9146820 N Motehan 3B3 0267334 E 9146826 N Motehan Stasiun 3C 3C1 0267212 E 9147192 N Motehan 3C2 0267229 E 9147192 N Motehan 3C3 0267243 E 9147196 N Motehan Stasiun 3D 3D1 0266771 E 9147276 N Motehan 3D2 0266768 E 9147248 N Motehan 3D3 0266776 E 9147228 N Motehan Lampiran 3. Gambar peta posisi tiap stasiun Desa Tritih

Desa Sapuregel Desa Motehan Lampiran 4. Foto wilayah mangrove Cilacap

Lampiran 5. Tabel uji annova tiap persamaan regresi ALOS Pan-Sharpen dan ALOS AVNIR Pan-Sharpen Regression Analysis: citra ndvi versus densio

The regression equation is citra ndvi = 15.8 + 0.724 densio Predictor Coef SE Coef T P Constant 15.799 6.222 2.54 0.017 densio 0.7239 0.1023 7.07 0.000 S = 10.7301 R-Sq = 64.1% R-Sq(adj) = 62.8% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 5762.5 5762.5 50.05 0.000 Residual Error 28 3223.8 115.1 Lack of Fit 24 3202.9 133.5 25.53 0.003 Pure Error 4 20.9 5.2 Total 29 8986.3 23 rows with no replicates Regression Analysis: GNDVI versus densio The regression equation is GNDVI = 0.307 + 0.00538 densio Predictor Coef SE Coef T P Constant 0.30746 0.08422 3.65 0.001 densio 0.005379 0.001385 3.88 0.001 S = 0.145238 R-Sq = 35.0% R-Sq(adj) = 32.7% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 0.31824 0.31824 15.09 0.001 Residual Error 28 0.59064 0.02109 Lack of Fit 24 0.51168 0.02132 1.08 0.535 Pure Error 4 0.07896 0.01974 Total 29 0.90888 23 rows with no replicates Regression Analysis: IPVI versus densio The regression equation is IPVI = 0.292 + 0.00810 densio Predictor Coef SE Coef T P Constant 0.29167 0.09086 3.21 0.003 densio 0.008103 0.001494 5.42 0.000 S = 0.156701 R-Sq = 51.2% R-Sq(adj) = 49.5%

Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 0.72209 0.72209 29.41 0.000 Residual Error 28 0.68755 0.02456 Lack of Fit 24 0.49823 0.02076 0.44 0.910 Pure Error 4 0.18932 0.04733 Total 29 1.40964 23 rows with no replicates Regression Analysis: DVI versus densio The regression equation is DVI = - 4.7 + 2.12 densio Predictor Coef SE Coef T P Constant -4.70 30.25-0.16 0.878 densio 2.1163 0.4975 4.25 0.000 S = 52.1720 R-Sq = 39.3% R-Sq(adj) = 37.1% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 49256 49256 18.10 0.000 Residual Error 28 76214 2722 Lack of Fit 24 67435 2810 1.28 0.451 Pure Error 4 8779 2195 Total 29 125470 23 rows with no replicates Regression Analysis: RVI versus densio The regression equation is RVI = - 92.2 + 2.27 densio Predictor Coef SE Coef T P Constant -92.24 42.37-2.18 0.038 densio 2.2734 0.6967 3.26 0.003 S = 73.0636 R-Sq = 27.6% R-Sq(adj) = 25.0% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 56840 56840 10.65 0.003 Residual Error 28 149472 5338 Lack of Fit 24 121116 5046 0.71 0.738 Pure Error 4 28356 7089 Total 29 206312 23 rows with no replicates

AVNIR Regression Analysis: NDVI versus densio The regression equation is NDVI = 0.112 + 0.00789 densio Predictor Coef SE Coef T P Constant 0.1118 0.1042 1.07 0.292 densio 0.007892 0.001713 4.61 0.000 S = 0.179672 R-Sq = 43.1% R-Sq(adj) = 41.1% PRESS = 1.04175 R-Sq(pred) = 34.44% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 0.68505 0.68505 21.22 0.000 Residual Error 28 0.90390 0.03228 Lack of Fit 24 0.70983 0.02958 0.61 0.803 Pure Error 4 0.19406 0.04852 Total 29 1.58895 23 rows with no replicates No evidence of lack of fit (P >= 0.1). Regression Analysis: IPVI versus densio The regression equation is IPVI = 0.402 + 0.00578 densio Predictor Coef SE Coef T P Constant 0.40198 0.09193 4.37 0.000 densio 0.005784 0.001512 3.83 0.001 S = 0.158541 R-Sq = 34.3% R-Sq(adj) = 32.0% PRESS = 0.803735 R-Sq(pred) = 25.00% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 0.36790 0.36790 14.64 0.001 Residual Error 28 0.70379 0.02514 Lack of Fit 24 0.58297 0.02429 0.80 0.681 Pure Error 4 0.12082 0.03020 Total 29 1.07169 23 rows with no replicates No evidence of lack of fit (P >= 0.1).

Regression Analysis: GNDVI versus densio The regression equation is GNDVI = 0.0606 + 0.00737 densio Predictor Coef SE Coef T P Constant 0.06056 0.08884 0.68 0.501 densio 0.007366 0.001461 5.04 0.000 S = 0.153210 R-Sq = 47.6% R-Sq(adj) = 45.7% PRESS = 0.759045 R-Sq(pred) = 39.47% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 0.59665 0.59665 25.42 0.000 Residual Error 28 0.65725 0.02347 Lack of Fit 24 0.51536 0.02147 0.61 0.806 Pure Error 4 0.14189 0.03547 Total 29 1.25391 23 rows with no replicates No evidence of lack of fit (P >= 0.1). Regression Analysis: DVI versus densio The regression equation is DVI = - 5.6 + 2.17 densio Predictor Coef SE Coef T P Constant -5.59 31.62-0.18 0.861 densio 2.1706 0.5200 4.17 0.000 S = 54.5319 R-Sq = 38.4% R-Sq(adj) = 36.2% PRESS = 97009.5 R-Sq(pred) = 28.18% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 51815 51815 17.42 0.000 Residual Error 28 83264 2974 Lack of Fit 24 69242 2885 0.82 0.670 Pure Error 4 14022 3506 Total 29 135080 23 rows with no replicates No evidence of lack of fit (P >= 0.1).

Regression Analysis: RVI versus densio The regression equation is RVI = - 0.72 + 0.0937 densio Predictor Coef SE Coef T P Constant -0.717 1.574-0.46 0.652 densio 0.09372 0.02588 3.62 0.001 S = 2.71391 R-Sq = 31.9% R-Sq(adj) = 29.5% PRESS = 240.152 R-Sq(pred) = 20.70% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 96.603 96.603 13.12 0.001 Residual Error 28 206.228 7.365 Lack of Fit 24 168.566 7.024 0.75 0.716 Pure Error 4 37.662 9.416 Total 29 302.831 23 rows with no replicates No evidence of lack of fit (P >= 0.1).

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cianjur pada Tanggal 15 Oktober 1986. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Aban Muhamad Subandi dan Ibu Siti Hamidah Achmad. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Sukanagara, Cianjur. Pada Tahun yang sama penulis di terima di Program Studi Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada Tahun 2006 penulis mengikuti kegiatan Stock Assisment terumbu karang dan lamun di Kep. Seribu dengan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI), kemudian pada Tahun 2007 penulis melaksanakan Praktek Laut di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Penulis juga selama perkuliahan aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) Departemen Penelitian dan Kebijakan sebagai sekretaris Departemen LITJAK pada periode 2005-2006 dan periode 2006-2007 pada departemen yang sama, Pengurus BPH Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan Indonesia (HIMITEKINDO) Bidang Penelitian dan Pengembangan TAHUN 2005-2007, Paduan suara fakultas Endevour periode 2005-2006, Marine Instrument and Telemetri (MIT) Club sebagai Bendahara tahun 2006. Di bidang seni penulis merupakan salah satu anggota Lingkung Seni Sunda (LISES) Gentra Kaheman IPB pada tahun 2006. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan, Penulis melaksanakan kegiatan Skripsi dengan judul Deteksi Ekosistem Mangrove di Cilacap, Jawa Tengah dengan Citra Satelit ALOS dibawah bimbingan Dr. Ir. Vincentius Paulus Siregar, DEA dan Ir. Ita Carolita, M.Si (LAPAN).