BAB I PENDAHULUAN. Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. besar. Masalah perbaikan gizi masuk dalam salah satu tujuan MDGs tersebut.

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Faktor yang berkontribusi terhadap kejadian BGM di Provinsi Lampung

BAB 1 PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Masyarakat (IPM). IPM terdiri dari tiga aspek yaitu pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. yakni gizi lebih dan gizi kurang. Masalah gizi lebih merupakan akibat dari

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesehatan termasuk dalam hal gizi. Hal ini terbukti dari

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menurunkan prevalensi kurang gizi sesuai Deklarasi World Food Summit 1996

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB I PENDAHULUAN. balita yang cerdas. Anak balita salah satu golongan umur yang rawan. masa yang kritis, karena pada saat itu merupakan masa emas

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan berat

BAB I PENDAHULUAN. dan dewasa sampai usia lanjut. Dari seluruh siklus kehidupan, program perbaikan

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Status gizi yang baik merupakan

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan gizi masih menjadi masalah yang serius. Kekurangan gizi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Stunting merupakan salah satu indikator masalah gizi yang menjadi fokus

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI

BAB 1 PENDAHULUAN. normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita adalah masa yang membutuhkan perhatian lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG KADARZI DENGAN ASUPAN ENERGI DAN STATUS GIZI ANAK BALITA DI DESA JAGAN KECAMATAN BENDOSARI KABUPATEN SUKOHARJO

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam hal perkembangan otak dan pertumbuhan fisik yang baik. Untuk memperoleh

Kartu Menuju Sehat (KMS)

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan gizi yang sering terjadi di seluruh negara di dunia adalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 : PENDAHULUAN. terutama dalam masalah gizi. Gizi di Indonesia atau negara berkembang lain memiliki kasus

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Masalah Gizi di Indonesia dan Posisinya secara Global

BAB 1 PENDAHULUAN. cerdas dan produktif. Indikatornya adalah manusia yang mampu hidup lebih lama

PENDAHULUAN Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Balita merupakan kelompok masyarakat yang rentan gizi. Kelompok

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional bertujuan untuk meningkatkan Sumber Daya

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

JURNAL ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PEMANTAUAN PERTUMBUHAN BALITA DI POSYANDU

Nurlindah (2013) menyatakan bahwa kurang energi dan protein juga berpengaruh besar terhadap status gizi anak. Hasil penelitian pada balita di Afrika

PEMERINTAH KOTA SURABAYA DINAS KESEHATAN KOTA UPTD PUSKESMAS SEMEMI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan salah satu unsur penting sebagai penentu dalam peningkatan kualitas

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN STATUS GIZI BERDASARKAN INDEKS ANTROPOMETRI TUNGGAL DAN ANALISIS LANJUT DATA RISKESDAS 2007 YEKTI WIDODO & TIM

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya kesadaran,

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masa kehamilan merupakan masa periode awal kehidupan atau biasa disebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) ( ) adalah. mewujudkan bangsa yang berdaya saing, melalui pembangunan sumber

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI. Hari Anak-Anak Balita 8 April SITUASI BALITA PENDEK

BAB I PENDAHULUAN. gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

frekuensi kontak dengan media massa (Suhardjo, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. mengancam kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat diperlukan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 adalah mengumpulkan. dan menganalisis data indikator MDG s kesehatan dan faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Developments Program), Indonesia menempati urutan ke 111

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan karena konsumsi makanan yang tidak seimbang, mengkonsumsi

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari pembangunan kesehatan dan gizi masyarakat adalah terwujudnya

ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI SITUASI GIZI. di Indonesia. 25 Januari - Hari Gizi dan Makanan Sedunia

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat terpenuhi. Namun masalah gizi bukan hanya berdampak pada

Daya tahan rendah Mudah sakit Kematian

BAB I PENDAHULUAN. sering menderita kekurangan gizi, juga merupakan salah satu masalah gizi

BAB I PENDAHULUAN. rawan terhadap masalah gizi. Anak balita mengalami pertumbuhan dan. perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan suplai makanan dan

BAB I PENDAHULUAN. lebih dramatis dikatakan bahwa anak merupakan penanaman modal sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

Dinas Kesehatan Aceh 2016

RPJMN KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT

ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GIZI KURANG PADA BALITA DI DESA BANYUANYAR KECAMATAN KALIBARU BANYUWANGI

BAB I PENDAHULUAN. keemasan, yang memiliki masa tumbuh kembangnya berbagai organ tubuh. Bila

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

BAB I PENDAHULUAN. penurunan tingkat kecerdasan. Pada bayi dan anak, kekurangan gizi akan menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 155/Menkes/Per/I/2010 TENTANG PENGGUNAAN KARTU MENUJU SEHAT (KMS) BAGI BALITA

BAB 1 : PENDAHULUAN. kembang. Gizi buruk menyebabkan 10,9 Juta kematian anak balita didunia setiap tahun. Secara

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Maka kesehatan adalah dasar

BAB I PENDAHULUAN. sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau

BAB I PENDAHULUAN. memasuki era globalisasi karena harus bersaing dengan negara-negara lain dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan

Food 1000 HPK. for Kids. Warisan untuk Anak Cucu. Asal... Luar Biasa! 1000 HPK. Kehamilan Usia 1 Tahun Usia 2 Tahun. GEN CERDAS Bisa Diturunkan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. indeks pembangunan manusia, oleh karena itu menjadi suatu keharusan bagi semua

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat diperlukan di masa mendatang (Depkes RI, 2007).

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang

HUBUNGAN ANTARA UMUR PERTAMA PEMBERIAN MP ASI DENGAN STATUS GIZI BAYI USIA 6 12 BULAN DI DESA JATIMULYO KECAMATAN PEDAN KABUPATEN KLATEN

PETUNJUK TEKNIS BANTUAN SOSIAL (BANSOS) PROGRAM PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT DIREKTORAT BINA GIZI MASYARAKAT

STUDI DETERMINAN KEJADIAN STUNTED PADA ANAK BALITA PENGUNJUNG POSYANDU WILAYAH KERJA DINKES KOTAPALEMBANG TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. masalah gizi utama yang perlu mendapat perhatian. Masalah gizi secara

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia menjadi salah satu negara yang belum memperlihatkan kemajuan signifikan dalam mencapai tujuan Milenium Development Goals (khususnya goal 1), padahal sasaran pembangunan pangan dan gizi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 dan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2011-2015 adalah menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada balita yang telah dioperasionalkan melalui beberapa program dan kegiatan pembangunan nasional yang diupayakan untuk mendukung sasaran tersebut (Bappenas, 2012). Strategi yang dilakukan berupa gerakan perbaikan gizi dengan fokus terhadap kelompok 1.000 hari pertama kehidupan pada tataran global yang disebut Scaling Up Nutrition (SUN) dan di Indonesia menggunakan istilah Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka 1.000 Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1.000 HPK). Scaling Up Nutrition (SUN) Movement merupakan upaya global dari berbagai negara dalam rangka memperkuat komitmen dan rencana aksi percepatan perbaikan gizi, khususnya penanganan gizi sejak 1.000 hari dari masa kehamilan hingga anak usia dua tahun dengan fokus pada indikator penurunan Bayi Berat Lahir Rendah/BBLR), anak balita pendek (stunting), kurus (wasting), gizi kurang (underweight) (A chadi, E.L., 2014).

2 Pada akhir perjalanan mencapai target MDGs 2010-2015 dan ternyata upaya yang telah dilakukan dapat dilihat dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas tahun 2010, dan 2013). Hasil Riskesdas 2010, fakta memperlihatkan target MDGs 2010-2015 persentase balita pendek kurus sebesar 2,1 %, kurus sebesar 13,3 %, gizi kurang sebesar 13 %, sedangkan untuk Provinsi Lampung, prevalensi gizi kurang 10 %, kurus 13,9 % dan pendek kurus 1,6 %. Hasil Riskesdas 2013, fakta memperlihatkan target MDGs 2010-2015 persentase balita gizi kurang sebesar 19,6 %, kurus sebesar 12,1 %, pendek sebesar 37,2 %, sedangkan untuk Provinsi Lampung, prevalensi gizi kurang 18,8 %, kurus 11,8 % dan pendek 42,6 %. Melihat hasil Riskesdas tersebut, maka masih diperlukan kerja keras dalam mencapai target MDGs yang diinginkan atau dapat dikatakan pemerintah masih belum berhasil menurunkan prevalensi masalah status gizi di Indonesia, termasuk Provinsi Lampung, yang memperlihatkan prevalensi gizi kurang dan pendek justru meningkat. Banyak teori menyatakan bahwa dampak yang sangat memprihatinkan terkait dengan tingginya prevalensi gizi kurang adalah kaitannya dengan tingginya angka kematian bayi dan balita karena keadaan gizi mempengaruhi status kesehatan yang memberikan ketahanan balita terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Kondisi kurang gizi inilah yang diduga berkontribusi signifikan menjadi penyebab tingginya angka kematian bayi dan balita Provinsi Lampung dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Kejadian gizi kurang tidak terjadi secara tiba-tiba, kekurangan gizi terjadi mulai dari tingkat ringan sampai tingkat berat secara perlahan-lahan dalam waktu cukup

3 lama. Balita kurang gizi ditemukan di posyandu yang sekarang disebut pemantauan pertumbuhan balita dengan program yang dikenal dengan surveilens gizi. Balita yang mengalami masalah gizi akan terlihat dari hasil plot titik pertumbuhannya dengan grafik yang menurun (tidak naik) pada grafik di KMS, dimulai dari tidak naik satu kali kemudian tidak naik dua kali sampai dengan titik pertumbuhan pada Kartu Menuju Sehat (KMS) berada pada Garis Merah (Depkes RI, 2009 b). Balita ini sudah memiliki masalah gizi sehingga perlu mendapatkan perhatian dan segera ditindaklanjuti sebagai respon cepat agar kejadian gizi kurang yang lebih parah dapat dicegah (Depkes RI, 2008). Status pertumbuhan balita menentukan status gizi yang akan menentukan keadaan fisik balita ketika memasuki usia bulan berikutnya, sehingga balita lebih siap berkembang dan bertumbuh secara fisik, kecerdasan, daya tahan dan produktivitas secara optimal. Balita dengan kurang gizi merupakan salah satu gangguan pertumbuhan fisik balita yang sering dialami oleh balita yang tentunya akan mengganggu kesehatan dan gizi balita yang dapat berakibat serius yang berdampak pada kualitas hidup Balita. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa gangguan pertumbuhan yang ditandai dengan balita dengan kurang gizi sangat tidak menguntungkan bagi balita ketika memasuki siklus kehidupan berikutnya. Dimulai dari bayi dengan kurang gizi periode siklus berisiko mengalami kurus dan atau pendek ketika memasuki masa balita, demikian seterusnya (Berg A., 1986; Berger SG dkk., 2007; Engle PL dkk., 2007). Balita dengan keadaan seperti ini tentu akan

4 memiliki fisik, tingkat produktivitas, kecerdasan, dan ketahanan penyakit yang lebih rendah dibandingkan dengan balita yang tidak pernah mengalami kurang gizi. Permasalahan tersebut di atas, oleh Jahari (2008), dijelaskan bahwa balita kurang gizi akan berisiko mengalami stunting/pendek dan wasting/kurus. Gizi kurang pada masa bayi dan balita mengakibatkan kelainan yang sulit atau tidak dapat disembuhkan dan menghambat perkembangan selanjutnya. Gizi kurang berpengaruh terhadap perkembangan otak yang sangat erat hubungannya dengan perkembangan mental dan kemampuan berpikir. Jaringan otak anak yang tumbuh normal akan mencapai 80% berat otak orang dewasa sebelum berumur tiga tahun. Gangguan gizi kurang yang terjadi pada masa tersebut dapat menimbulkan kelainan-kelainan fisik dan mental. Pertumbuhan badan yang terhambat biasanya disertai dengan kurang kemampuan imunologik yang dapat berakibat kematian. Kelaparan dapat secara permanen menghambat pertumbuhan fisik dan mental (Meadow R, 2005). Beberapa hasil penelitian menyimpulkan faktor risiko penyebab BGM adalah faktor balita dan ibu. Faktor balita disebabkan oleh kekurangan zat gizi. Sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhannya, balita membutuhkan zat gizi makro seperti energi, protein, dan lemak yang adekuat yang akan digunakan oleh tubuh balita sebagai fungsi energi, pembangun dan pengatur (Pudjiati S, 1997; Putra I dkk, 2007; Sunita A, 2005). Balita yang tidak mengonsumsi makanan yang memenuhi syarat gizi seimbang, secara berangsur-angsur grafik pertumbuhan berat badan balita pada KMS menuju titik di bawah garis normal sehingga kemudian dinyatakan sebagai balita BGM (Depkes RI, 2009 a). Penyebab lainnya adalah penyakit infeksi

5 karena balita terkena infeksi membutuhkan energi protein sebagai pengganti energi yang dibutuhkan untuk menyembuhkan infeksi yang diderita (Riyadi, H. dkk., 2011; Rudolf, M. dan Levene, M., 2006). Selain itu, balita yang mengalami infeksi mengalami gangguan selera makan yang berdampak pada penurunan berat badan balita. Keadaan gizi atau status gizi masyarakat menggambarkan tingkat kesehatan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan asupan zat- zat gizi yang dikonsumsi seseorang. Anak yang kurang gizi akan menurun daya tahan tubuhnya, sehingga mudah terkena penyakit infeksi, dan anak yang menderita penyakit infeksi akan mengalami gangguan nafsu makan dan gangguan penyerapan zat-zat gizi sehingga menyebabkan kurang gizi. Anak yang sering terkena infeksi dan gizi kurang akan mengalami gangguan tumbuh-kembang yang akan mempengaruhi tingkat kesehatan, kecerdasan, dan produktivitas di masa dewasa (Shakir, A., 1975; Alisyahbana, A., 1985; Erni dkk., 2008). Tidak seperti penyakit menular, kejadian balita gizi kurang tidak dapat diprediksi waktunya. Kasus balita gizi kurang dapat terjadi sepanjang waktu selama faktor risiko tidak diantisipasi sebagai faktor penyebab terjadinya BGM gizi kurang (Siagian, 2010). Faktor ibu mencakup umur, pendidikan, pengetahuan (And erson, F, 1986; Khomsan, A. dkk, 2009; Damanik, M.R. dkk., 2010; Durmus, U. dkk., 2011) membuktikan bahwa tingkat kematangan ibu dalam memberikan perhatian pelayanan kesehatan dan gizi berhubungan dengan umur, pengetahuan, dan pendidikan ibu. Jumlah anak dengan jarak kelahiran yang sangat dekat membutuhkan ketersediaan

6 pangan dengan kualitas dan kuantitas yang baik dan perhatian pelayanan kesehatan yang optimal bagi seorang ibu, demikian juga dengan tingkat pendapatan dan pola asuh (Black, R.E. dkk., 2013; Campbell, A.A. dkk., 2008; Khomsan, A. dkk, 2009; Murashima, M. dkk., 2012; Suhardjo, 1989). Penyakit infeksi seperti diare, ISPA, cacingan, HIV/AIDS, dan TBC sangat sering dialami oleh balita di negara berkembang termasuk Indonesia. Pada dasarnya, penyakit ini terjadi akibat perilaku positif masyarakat yang masih rendah terhadap kesehatan dan gizi (Norton, M., 2003; Rudolf, M. dan Levene, M., 2006; Koethe, J.R. dan Heimburger, D.C., 2010; Sengupta, P. dkk., 2010). Kealpaan pengelola program selama ini adalah masalah gizi yang dianggap sebagai tanggung jawab sektor kesehatan semata. Sementara itu, hanya 30% masalah gizi yang bisa diselesaikan oleh sektor kesehatan, sedangkan 70% lainnya oleh sektor lainnya (Achadi, E.L., 2014). Upaya program perbaikan gizi yang dilaksanakan untuk mencapai kesepakatan global melalui SUN atau gerakan HPK tidak hanya menjadi tanggung jawab dan dilakukan oleh pemerintah, tetapi perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang terdiri dari kementerian dan lembaga, dunia usaha, mitra pembangunan internasional, lembaga sosial kemasyarakatan, dan didukung oleh organisasi profesi, perguruan tinggi, serta media. Selama ini alat yang digunakan untuk memantau pertumbuhan balita adalah KMS tanpa rekomendasi tertulis yang harus dilakukan oleh kader atau petugas kesehatan jika balita sudah mengalami tidak naik satu kali, dua kali, bahkan BGM.

7 Instrumen lain yang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan RI hanya untuk menentukan status gizi adalah Antropometri WHO 2005 dan program Nutriclin untuk memprediksi masalah gizi yang terkait dengan diet yang harus diberikan kepada pasien yang memerlukan konseling gizi (Kemkes RI, 2012). Instrumen surveilens gizi, Antropometri WHO 2005, dan Nutriclin belum dalam digunakan untuk memprediksi balita BGM. Kegiatan bulanan di posyandu sangat efektif untuk mencegah masalah gizi kurang. Selain kegiatan pemberian makanan tambahan, penyuluhan gizi, konsultasi gizi, dan pemberian vitamin A, di posyandu juga dilaksanakan pelayanan KIA, KB, penanganan diare, dan imunisasi. Penanganan dan pencegahan gizi kurang (BGM) sudah dilaksanakan sejak tahun 1974 (Tampubolon, E., 2008) dengan melakukan intervensi secara sistem paket. Artinya, balita yang diketahui BGM dari hasil penimbangan dikonfirmasi untuk diputuskan apakah mengalami gizi buruk atau tidak, lalu dilakukan intervensi dengan pemberian asupan makanan yang adekuat dengan mempertimbangkan penurunan berat badan terhadap grafik pertumbuhan pada KMS (Kemkes RI, 2012). Kartu Menuju Sehat (KMS) digunakan sebagai alat untuk memantau secara dini dalam kurun waktu bulanan melalui kegiatan penimbangan bulanan di posyandu. Alat ini tentu masih kurang peka atau kurang dini untuk mendeteksi adanya gangguan pertumbuhan balita karena baru diketahui setelah genap bulan melalui penimbangan di posyandu. Ternyata intervensi yang dilakukan terhadap balita BGM mengalami kendala karena balita yang dinyatakan BGM, setelah diintervensi, sangat lambat mencapai grafik pertumbuhan berat badan normal. Kondisi ini membuat kader dan pelaksana kegiatan di tingkat puskesmas frustasi.

8 Untuk itu, diperlukan alat pemantauan pertumbuhan balita sebagai surveilens terhadap masalah gizi pada balita yang dapat memprediksi secara lebih dini balita yang mengalami masalah gizi, yaitu sebelum berat badan balita turun satu kali, dua kali, atau BGM yang dapat dilakukan setiap saat ketika balita kontak dengan kader atau petugas kesehatan di mana saja dan kapan saja. Selama ini, respon terhadap balita BGM baru dapat dilakukan setelah kasus ditemukan. Belum ada metode yang dikembangkan untuk memprediksi balita berisiko BGM. Memprediksi risiko BGM menjadi sangat perlu mengingat balita BGM berisiko lost generation lebih besar dibandingkan dengan melakukan intervensi ketika risiko BGM akan dialami oleh balita bahkan membutuhkan biaya yang lebih besar. Sampai sekarang belum pernah ada instrumen yang dapat dijadikan standar praktis untuk memprediksi BGM balita. Risiko balita BGM hanya dianalisis berdasarkan berat badan balita yang tidak naik ketika ditimbang. Dalam kondisi sekarang, dengan keterbatasan anggaran dalam penanganan dan pencegahan gizi kurang, diperlukan sebuah instrumen yang diharapkan dapat memberikan kesimpulan akan peluang terjadinya BGM pada balita setelah faktorfaktor risiko dimasukan kedalam alat simulator untuk dianalisis. Alat simulator ini diberi nama Permata Bunda berupa grafik gambar/grafis seorang balita duduk menghadap kedepan. Alat ini dapat digunakan baik di tingkat puskesmas maupun desa oleh tenaga gizi puskesmas, kader, dan ibu sebagai upaya memprediksi balita yang dikonsultasikan oleh orang tuanya dan diberi nasihat gizi dan kesehatan oleh petugas gizi puskesmas. Novelty penelitian ini memberikan solusi terhadap

9 permasalahan tersebut di atas karena alat ini tentunya akan murah, cepat memberikan informasi intervensi, tepat dalam memberikan keputusan, dapat digunakan secara massal, dan mudah digunakan terutama bagi petugas kesehatan di tingkat kecamatan dan desa. Diharapkan instrumen ini menjadi salah satu model yang sangat bermanfaat untuk penentuan pertumbuhan balita dan alternatif pemecahan masalahnya secara tepat bagi ibu balita. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, dibuat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah faktor asupan gizi (asupan energi, asupan protein, ASI eksklusif, MP- ASI), faktor riwayat infeksi (diare, ISPA, kecacingan, TBC, HIV/AIDS), faktor Balita (umur, jenis kelamin, BBLR, pemantauan pertumbuhan/menimbang, status imunisasi dan pola makan), serta faktor Ibu (umur, pendidikan, pengetahuan, Indeks Masa Tubuh (IMT), jumlah anggota keluarga, paritas, pendapatan, dan pola asuh) secara bersama-sama berkontribusi terhadap risiko terjadinya BGM? 2. Apakah faktor paling dominan yang mempengaruhi risiko terjadinya balita BGM di Provinsi Lampung? 3. Apakah faktor asupan gizi (asupan energi, asupan protein, ASI eksklusif, MP- ASI), faktor riwayat infeksi (diare, ISPA, kecacingan, TBC, HIV/AIDS), faktor balita (umur, jenis kelamin, BBLR, pemantauan pertumbuhan/menimbang, status imunisasi dan pola makan), serta faktor ibu (umur, pendidikan, pengetahuan, IMT, jumlah anggota keluarga, paritas, pendapatan, dan pola asuh) dapat

10 membentuk instrumen simulasi risiko BGM dengan program komputer yang dapat diterima penggunaannya oleh kader, tenaga pelaksana gizi di puskesmas, dan ahli gizi untuk memotivasi orang tua dalam memperhatikan kesehatan dan gizi Balita? 4. Apakah model simulator Permata Bunda yang berdasarkan faktor peluang untuk terjadinya BGM dapat menjadi model penentuan status pertumbuhan balita? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menyusun simulator risiko BGM berupa instrumen simulasi dengan program komputer bagi balita berdasarkan faktor risiko yang terbukti berpengaruh. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui kontribusi faktor asupan gizi (asupan energi, asupan protein, ASI eksklusif, MP-ASI), faktor riwayat infeksi (diare, ISPA, kecacingan, TBC, HIV/AIDS), faktor balita (umur, jenis kelamin, BBLR, pemantauan pertumbuhan/menimbang, status imunisasi dan pola makan), serta faktor Ibu (umur, pendidikan, pengetahuan, IMT, jumlah anggota keluarga, paritas, pendapatan, dan pola asuh) terhadap risiko terjadinya BGM; 2. Mengetahui faktor paling dominan yang mempengaruhi risiko terjadinya balita BGM di Provinsi Lampung;

11 3. Mengetahui faktor asupan gizi (asupan energi, asupan protein, ASI eksklusif, MP-ASI), faktor riwayat infeksi (diare, ISPA, kecacingan, TBC, HIV/AIDS), faktor balita (umur, jenis kelamin, BBLR, pemantauan pertumbuhan/menimbang, status imunisasi dan pola makan), serta faktor Ibu (umur, pendidikan, pengetahuan, IMT, jumlah anggota keluarga, paritas, pendapatan, dan pola asuh) untuk membentuk instrumen simulasi risiko BGM dengan program komputer dan atau manual yang dapat diterima penggunaannya oleh kader, tenaga pelaksana gizi di puskesmas dan ahli gizi untuk memotivasi orang tua dalam memperhatikan kesehatan dan gizi balita; 4. Menyusun model simulator Permata Bunda yang berdasarkan faktor peluang untuk terjadinya BGM sebagai model penentuan status pertumbuhan balita. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan 1. Menjelaskan peran sektor kesehatan dan pemangku kepentingan; 2. Menjelaskan faktor risiko BGM yang berpengaruh pada balita; 3. Memberikan informasi yang berguna untuk pengembangan keilmuan; 4. Mengembangan alat ukur penilaian risiko BGM. 1.4.2 Manfaat bagi Program dan Pembuat Kebijakan 1. Memudahkan penilaian risiko BGM untuk setiap balita; 2. Menghasilkan instrumen simulasi risiko BGM bagi balita;

12 3. Intervensi dapat dilakukan lebih efektif dan efisien; 4. Meningkatkan partisipasi ibu balita dalam memantau pertumbuhan balita di posyandu; 5. Mengefektifkan identifikasi risiko BGM; 6. Membuat dokumentasi perjalanan risiko tiap Balita; 7. Memudahkan pemantauan dan evaluasi; 8. Untuk pengatur kebijakan tingkat nasional; 9. Sebagai metode ini dapat direplikasi di posyandu, BKB, PAUD. 10. Bahan hasil rekomendasi lebih tepat sasaran sehingga dapat menurunkan angka lebih jauh dari BGM pada balita. 1.4.3 Manfaat bagi Praktisi dan Masyarakat 1. Menemukan indeks komposit tingkat risiko BGM bagi balita di posyandu; 2. Menemukan faktor dominan BGM yang terjadi pada balita; 3. Menentukan urutan prioritas balita untuk dilakukan intervensi; 4. Memotivasi perubahan perilaku pada ibu balita; 5. Sebagai Indikator perubahan faktor risiko setiap balita; 6. Saran intervensi menurut kelompok faktor risiko yang dimiliki setiap Balita.