Safrina No. 53, Th. XIII (April, 2011), pp. 135-151. PERANAN PENGADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL ROLE OF COURTS IN THE IMPLEMENTATION OF THE DECISIONS OF INTERNATIONAL ARBITRATION Oleh: Safrina *) ABSTRACT Arbitration is a forum for dispute resolution outside of court that has been chosen by the businesses. One of benefits and advantages has by the arbitration body is the force of law from a final decition (a decition the final level) and binding (binding both parties to the dispute). In the implementation of international award, Indonesia has ratified New York Convention in 1958 through Presidential Decree No. 34 of 1981 that authorizing the execution of foreign arbitration in Indonesia. In addition, through Act No. 30 of 1999, requires that the courts play an important role in the enforcement of international arbitration. The international award can be executed in Indonesia after it being eksekuatur from the chairman of the Central Jakarta District Court. Keywords: International Arbritation, Decision, Court. A. PENDAHULUAN Peranan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis nasional dan internasional semakin dibutuhkan. Arbitrase dianggap sebagai forum yang reliable, efektif dan efisien dalam penyelesaian sengketa jika dibandingkan dengan forum peradilan. 1 Melalui arbitrase para pihak diberi kebebasan untuk memilih hukum mana yang akan mereka terapkan dan juga menentukan arbiter (wasit) yang biasanya merupakan para ahli yang memahami masalah yang disengketakan, sehingga diharapkan para pihak akan mendapatkan keadilan substansial. Di samping itu, pemilihan arbitrase oleh para pihak juga disebabkan karena belum adanya pengadilan internasional yang dapat menyelesaikan sengketa-sengketa perdagangan internasional sehingga pelaku bisnis mencarai alternative penyelesaian lain dalam upaya untuk mendapatkan keadilan. Dewasa ini, perdagangan internasional semakin berkembang. Perdagangan internasional melahirkan perjanjian-perjanjian internasional yang umumnya memuat klausula arbitrase *) Safrina, Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh. 1 Linda Rachmainy, Arbitrase Untuk Keadilan, http://www.pikiran-rakyat.com/. ISSN: 0854-5499
No. 53, Th. XIII (April, 2011). Peranan Pengadilan dalam Pelaksanaan Putusan Arbritase Internasional Safrina sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Klausula arbitrase dapat dirumuskan di dalam perjanjian pokok sebelum terjadinya sengketa (pactum de compromittendo) atau diputuskan setelah terjadinya sengketa (akta kompromis). 2 Akan tetapi kedua cara tersebut memiliki kekuatan yang sama dimana para pihak wajib mematuhinya karena perjanjian tersebut dicapai melalui kesepakatan bersama. Dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional, tahapan yang terpenting adalah eksekusi putusan. Indonesia sebagai negara yang telah berkomitmen untuk ikut dalam perdagangan bebas, menjawab tantangan tersebut dengan meratifikasi Konvensi New York 1958, tentang Convention on the Recognition and enforcement of Foreign Arbitral Awards melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 34 Tahun 1981. Keputusan presiden tersebut menjadi dasar hukum bagi pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrasi internasional di Indonesia dengan memenuhi syarat-syarta yang ditetapkan di dalam undang-undang. Putusan arbitrase bersifat final dan binding. Final diartikan bahwa keputusan arbitrase tersebut merupakan keputusan tingkat akhir dalam artian terhadapnya tertutup upaya hukum baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Binding diartikan bahwa keputusan arbitrase tersebut mengikat kedua belah pihak yang bersengketa oleh karena itu para pihak wajib untuk melaksanakan keputusan arbitrase tersebut secara sukarela. 3 Dengan kata lain, putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat para pihak. Apabila para pihak mematuhi dan melaksanakan putusan secara sukarela maka tidak akan terjadi permasalahan dalam eksekusi. Akan tetapi jika salah satu pihak (biasanya pihak yang kalah) menolak untuk melaksanakan putusan tersebut maka permasalahan akan timbul sehingga keterlibatan pengadilan diperlukan. Di samping itu, peranan peradilan dalam eksekusi putusan arbitarse juga menjadi amanah undang-undang sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 3 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kehakiman, disebutkan bahwa penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui 2 Munir Fuadi, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 327. 136
Safrina No. 53, Th. XIII (April, 2011). arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa putusan arbitrase nasional maupun internasional pada prinsipnya tetap membutuhkan peradilan sebagai lembaga yang ditunjuk untuk mengakui dan melaksanakan putusan tersebut. Berdasarkan uraian diatas, menarik untuk dikaji bagaimana fungsi lembaga peradilan dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing dan sejauh mana keterlibatan peradilan terhadap hasil putusan tersebut? Tulisan ini akan memfokuskan pada pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase inetrnasional oleh pengadilan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Bagian pertama akan menjelaskan tentang lembaga arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa dan bagian kedua akan diuraikan peranan peradilan dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional. B. ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Keberadaan forum arbitrase di Indonesia telah dikenal sejak diberlakukannya Reglement op de Rechvordeling (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR), dimana arbitrase diatur dalam pasal 615-651 Rv. Keberadaan arbitrase semakin dikuatkan dengan dikeluarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesian Sengketa (selanjutnya disebut UU Arbitrase). Melalui undang-undang ini diharapkan dapat menjawab tantangan perkembangan ekonomi nasional dan internasional khususnya dalam menangani sengketa-sengketa perdagangan yang intensitasnya semakin kompleks. Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase, arbitrase diartikan sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Subekti mendefinisikan Arbitrase 3 Suleman Batubara, Penolakan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia, http://batubarasuleman.blogspot.com. 137
No. 53, Th. XIII (April, 2011). Peranan Pengadilan dalam Pelaksanaan Putusan Arbritase Internasional Safrina sebagai, suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut. 4 Menurut Purwosutjipto, arbitrase sebagai suatu peradilan perdamaian di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak. 5 Walaupun arbitrase telah diatur dalam undang-undang, akan tetapi undang-undang tidak menetapkan keberadaannya sebagai sebuah lembaga peradilan. Arbitrase hanyalah pilihan penyelesian sengketa oleh para pihak. Pada sistem peradilan di Indonesia, arbitrase adalah peradilan tambahan (extra judicial) atau peradilan semu (quasi judicial), sedangkan pengadilan negeri adalah pelaksana kekuasaan kehakiman. Akan tetapi tata cara pemerikasaan tata cara pemeriksaan arbitrase dan pengadilan memiliki kesamaan. Yang membedakannya adalah pengadilan menggunakan metode pertentangan (adversarial) sedangkan arbitrase mengedepankan penyelesaian masalah dengan itikad baik, kooperatif dan menghindari konfrontatif. Dalam arbitrase para pihak mengajukan argumentasi yang logis dan substansial dihadapan arbiter, berdasarkan argumentasi tersebut arbiter membuat putusan. 6 Objek perjanjian arbitrase juga dibatasi hanya pada sengketa dibidang perdagangan. Berdasarkan pasal 5 ayat 1 UU Arbitrase menyebutkan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Bidang perdagangan meliputi perniagaan, keuangan, perbankan, penanaman modal, industri, dan hak milik intelektual. Lebih lanjut diatur tentang sengketa-sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase, yaitu sengketa yang menurut peraturan perundang- 4 Subekti (1992), Arbitrase Perdagangan, Binacipta, Jakarta, 1992, hlm. 1. 5 Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 1. 6 Linda Rachmainy, Arbitrase Untuk Keadilan, http://www.pikiran-rakyat.com/. 138
Safrina No. 53, Th. XIII (April, 2011). undangan tidak dapat diadakan perdamaian, sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata Buku III Bab 18 Pasal 1851-1854. Arbitrase menjadi pilihan bagi pelaku bisnis, karena beberapa alasan, diantaranya: 1. Jaminan kerahasiaan sengketa para pihak. 2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif. 3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil. 4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase. 5. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. (Tinjauan Umum Penjelasan Undang-Undang Arbitrase) Faktor kerahasiaan menjadi salah satu alasan penggunaan arbitrase oleh para pihak yang bersengketa, dengan pemikiran bahwa ketiadaan publikasi dapat menjaga nama baik para pihak. Bagi dunia usaha nama baik sangat penting karena terkait dengan kepercayaan dari konsumen yang juga berhubungan dengan keuntungan yang akan diperoleh oleh pelaku bisnis. Di samping itu keuntungan lain yang juga menjadi alasan pemilihan arbitrase adalah, pemilihan arbiter (wasit) yang paham dengan substansi masalah sehingga para pihak diharapkan mendapat keadilan. Walaupun kenyataan putusan arbitrase tidak selalu memberi kepuasan terutama bagi pihak yang kalah, akan tetapi setidaknya mereka telah sepakat untuk memilih penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase dan sebagai konsekuensi, putusan tersebut harus dijalankan. Adapun pemilihan hukum yang digunakan oleh arbiter dalam penyelesaikan sengketa dipilih oleh para pihak sebagaimana yang disebutkan dalam perjanjian. Akan tetapi jika para pihak tidak secara terang-terangan menentukan hukum yag diterapkan, maka yang akan 139
No. 53, Th. XIII (April, 2011). Peranan Pengadilan dalam Pelaksanaan Putusan Arbritase Internasional Safrina digunakan adalah hukum berlaku dimana perjanjian dibuat. 7 Pemilihan hukum inilah yang sering menimbulkan permasalahan ketika dihadapkan pada sistem hukum yang berbeda dari para pihak yang memiliki perbedaan kewarganegaraan. Hal ini membutuhkan penafsiran dan penyesuaian terutama ketika eksekusi akan dilakukan. Dalam perkembangannya, terdapat dua jenis arbitrase, yaitu arbitrase ad hoc yang dibentuk khusus untuk menangani kasus-kasus tertentu, dan arbitrase kelembagaan (institusional) yaitu lembaga arbitrase yang pembentukannya untuk menyelesaikan berbagai sengketa bisnis. Arbitrase kelembagaan di Indonesia diantaranya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang dapat menyelesaikan sengketa perdagangan nasional dan internasional. Di tingkat international terdapat lembaga-lembaga arbitrase internasional, diantaranya arbitrase dari The International Chamber of Commerce (ICC) yang berpusat di Paris dan The International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID) yang berada di Washington, Amerika Serikat yang khusus menangani sengketa penanaman modal. 8 Menurut pedoman yang diberikan oleh United Nation Commission on International Trade Law (UNICITRAL), yang termasuk ruang lingkup arbitrase internasional jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Jika pada saat menandatangani kontrak yang menjadi sengketa, para pihak mempunyai tempat bisnis di negara yang berbeda. 2. Jika tempat arbitrase sesuai dengan kontrak arbitrase berada diluar tempat bisnis para pihak. 3. Jika pelaksanaan sebagian besar dari kewajiban dalam kontrak berada di luar kontrak bisnis para pihak atau pokok sengketa sangat terkait dengan tempat yang berada di luar tempat bisnisnya para pihak. 7 Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 49. 8 Sanusi Bintang, Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 119. 140
Safrina No. 53, Th. XIII (April, 2011). 4. Para pihak dengan tegas telah menyetujui bahwa pokok persoalan dalam kontrak arbitrase berhubungan dengan lebih dari satu negara (Munir Fuadi, 2005:329). C. PERANAN PERADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN LEMBAGA ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA Tahapan penting dalam proses penyelesaian sengketa dengan forum arbitrase adalah pelaksanaan (eksekusi) keputusan. Pada prinsipnya, eksekusi putusan arbitrase dapat dilakukan secara sukarela oleh para pihak tanpa harus melibatkan peradilan tetapi seringkali permasalahan timbul karena salah satu pihak tidak mau melaksanakan putusan sehingga dalam hal ini keterlibatan pengadilan diperlukan. Menurut Rene David, alasan penolakan pelaksanaan putusan disebabkan oleh alasan sebagai berikut, kontrak disepakati oleh kedua belah pihak sehingga untuk melaksanakannya tidak menjadi masalah, sedangkan putusan arbitrase dibuat oleh pihak ketiga (arbiter) sehingga keberatan untuk melaksanakan putusan tersebut akan selalu ada. 9 Walaupun pada kenyataannya pemilihan penyelesaian dengan forum arbitrase juga berdasarkan kesepakatan para pihak. Menurut pasal 1 ayat 1 Konvensi New York 1958, putusan arbitrase internasional adalah Arbitral award made in the territory of a state other than the state where the recognition and enforcement of such awards are sought. (Putusan arbitrase yang dibuat dalam wilayah suatu negara di mana pengakuan dan penegakan putusan tersebut di cari). 10 Konvensi New York mengatur tentang pelaksanaan (enforcement) dan juga mengatur tentang pengakuan (recognition) suatu keputusan arbitrase sehingga terlihat lebih komprehensif daripada hukum nasional pada umumnya. 11 Bandingkan dengan pengertian yang diberikan dalam pasal 1 UU Arbitrase dimana putusan arbitrase internasional diartikan sebagai putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga 9 Rene David, diambil dari Huala Adolf, hlm. 361. 10 Sanusi Bintang, Dahlan, hlm. 122. 11 Huala Adolf, hlm. 107. 141
No. 53, Th. XIII (April, 2011). Peranan Pengadilan dalam Pelaksanaan Putusan Arbritase Internasional Safrina arbitrase atau arbiter perorangan diluar wilayah hukum Republik Indonesia atau keputusan lembaga arbitrasi atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional. Pengertian tersebut hanya menyebutkan tentang keputusan yang diputuskan oleh arbiter internasional tanpa menyebutkan tentang pengakuan terhadap putusan tersebut. Pada umumnya setiap negara anggota Konvensi New York 1958 harus mengakui bahwa putusan arbitrase asing sebagai putusan yang mengikat dan oleh karenanya mempunyai daya eksekusi bagi para pihak. 12 Namun dalam beberapa putusan arbitrase asing ada yang tidak dapat dilaksanakan atau ditolak maupun dibatalkan oleh pengadilan di negara tempat arbitrase dimohonkan pengakuan dan pelaksanaannya. Berdasarkan Undang-Undang Arbitrase, wewenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional berada pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Adapun syarat-syarat putusan arbitrase internasional yang diakui dan dapat dilaksanakan di Indonesia diatur dalam pasal 66, yaitu: 1. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pangakuan dan palaksanaan putusan Arbitrase Internasional. 2. Putusan Arbitrase Internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. 3. Putusan Abitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. 4. Putusan Abitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakart Pusat. 12 Gunawan Wijaya & Ahmad Yani, hlm. 130. 142
Safrina No. 53, Th. XIII (April, 2011). 5. Putusan Arbitrase Internasional yang menyangkut Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada PN Jakarta Pusat. Permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada PN Jakarta Pusat. Adapun tata cara pelaksanaan putusan arbitrase sebagai berikut: (1) Permohonan pelaksanaan putusan harus disertai dengan lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase internasional dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia, (2) Dilengkapi juga dengan lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar putusan arbitrase, (3) Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat putusan arbitrase internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional (Pasal 67 Undang-undang Arbitrase). Persyaratan keterangan diplomatik terkait dengan persyaratan aksesi (mengikatkan diri) yang ditetapkan dalam konvensi New York 1958. Terdapat dua persyaratan yang diberikan dalam proses aksesi konvensi tersebut, yaitu persyaratan resiprositas (reciprocity-reservation) dan persyaratan komersial (commercial-reservation). Dalam persyaratan pertama, negara akan menerapkan ketentuan konvensi jika keputusan arbitrase dibuat di negara yang juga anggota Konvensi New York. Sedangkan persyaratan komersial maksudnya adalah negara yang telah meratifikasi Konvensi New York hanya akan menerapkan ketentuan konvensi pada sengketasengketa komersial menurut hukum nasionalnya. Indonesia hanya mengajukan persyaratan resiprositas (asas timbal balik) untuk mengikatkan diri terhadap Konvensi New York 1958. Dengan demikian putusan arbitrase internasional yang dapat dimintai pengakuan dan pelaksanaan di Indonesia hanyalah putusan yang terikat pada perjanjian, baik secara bilateral 143
No. 53, Th. XIII (April, 2011). Peranan Pengadilan dalam Pelaksanaan Putusan Arbritase Internasional Safrina maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional berdasarkan Konvensi New York 1958. Keputusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum dan mengikat para pihak. Undangundang Arbitrase juga mengatur bahwa terhadap putusan PN Jakarta Pusat yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional (yang telah memperoleh eksekuatur dari PN Jakarta Pusat) tidak dapat diajukan banding atau kasasi. Sedangkan terhadap putusan PN Jakarta Pusat yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, dapat diajukan kasasi. Terhadap putusan yang telah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung, undang-undang mengatur tidak dapat diajukan upaya perlawanan. Dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada pasal 4 ditentukan bahwa eksekuatur tidak akan diberikan apabila putusan arbitrase internasional bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia (asas ketertiban umum). Dengan demikian maka putusan arbitrase internasional tidak dapat diterapkan jika diduga akan mengganggu ketertiban umum, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana yang dimaksud dengan ketertiban umum? Ketertiban umum dikenal dalam berbagai istilah seperti order pulic dalam bahasa Prancis, public policy (dalam Anglo Saxon). Selain istilahnya yang berbeda di masing-masing negara, pengertian dari kepentingan umum ini juga berbeda di suatu Negara dengan di negara lain karena hal ini dipengaruhi oleh falsafah bangsa, sistem politik, pemerintahan serta kepribadian suatu bangsa. 13 Ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar putusan arbitrase asing bertentangan dengan kepentingan umum, yaitu: 13 Dedi Harianto, beberapa Faktor Penghambat Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing di Indonesia, http://repository.usu.ac.id 144
Safrina No. 53, Th. XIII (April, 2011). 1. Suatu putusan arbitrase dapat dikatakan bertentangan dengan kepentingan umum, jika dalam proses pemeriksaannya salah satu pihak tidak diberikan kesempatan untuk didengar dengan cukup sebelum keputusan diambil. 2. Arbiter atau majelis arbitrase dalam memberikan putusannya ternyata bersifat berat sebelah atau impartiality. 3. Arbiter atau majelis arbitrase dalam memberikan putusannya tidak disertai dengan alasan-alasan ataupun dasar-dasar hukum yang menjadi pertimbangannya. 4. Apabila dalam prosedur pengambilan putusan arbitrase tidak sesuai dengan hukum acara yang disepakati para pihak atau putusan diambil dengan melanggar hukum acara arbitrase yang telah disepakati oleh para pihak. 14 Asas ketertiban umum sering dijadikan salah satu alasan pembatalan eksekusi putusan arbitrase asing. Dalam PERMA No. 1 Tahun 1990, menyebutkan secara jelas bahwa suatu putusan arbitrase asing hanya dapat diakui dan dilaksanakan di Negara Indonesia sebatas putusan arbitrase yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Demikian juga dalam perjanjian-perjanjian internasional, pada umumnya menggunakan asas tersebut sebagai salah satu syarat untuk menentukan pembatalan suatu putusan arbitrase. Salah satu perjanjian internasional yang memuat syarat tersebut adalah The Unicitral Law on International Commercial Arbitration. 15 Dari uraian di atas dapat disimpulkan, pengaturan tentang syarat ketertiban umum dapat menghambat pengakuan terhadap putusan arbitrase internasional karena pengetian ketertiban umum dapat diartikan sangat luas sesuai dengan falsafah bangsa, sistem politik dan pemerintahan serta kepribadian suatu bangsa. Di samping itu undang-undang juga tidak memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai pengertian dari ketertiban umum. Undang-undang Arbitrase di Indonesia secara jelas mengatur mengenai alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase internasional sebagaimana yang terdapat dalam pasal 70, para 14 Suleman Batubara, Penolakan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia, http://batubarasuleman.blogspot.com. 145
No. 53, Th. XIII (April, 2011). Peranan Pengadilan dalam Pelaksanaan Putusan Arbritase Internasional Safrina pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan jika putusan tersebut mengandung unsurunsur sebagai berikut: 1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu. 2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan. 3. Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Dalam penjelasan pasal dijelaskan bahwa permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini yang digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. Walaupun Undang-undang Arbitrase memberikan kemungkinan pembatalan putusan arbitrase internasional, akan tetapi terlihat ada pembatasan penafsiran pada penjelasan umum pasal tersebut. Lebih lanjut, berdasarkan aturan tersebut pembatalan putusan arbitrase asing juga hanya dapat dilakukan jika putusan tersebut memenuhi unsur-unsur pidana yang harus dibuktikan oleh pihak yang mengajukan pembatalan, dan peryaratan permohonan pembatalan arbitrase diajukan paling lambat 30 hari sejak pendaftaran. Ketentuan ini membuat pengajuan permohonan pembatalan putusan bukanlah pekerjaan mudah bagi para pihak, karena kenyataannya akan sangat sulit bagi pihak yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan putusan pengadilan terkait unsur pidana dalam waktu 30 hari. Adapun permohonan pembatalan dapat diajukan kepada Ketua PN yang kemudian akan menentukan akibat dari pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. Ketua PN diberi 15 Huala Adolf, hm. 127. 146
Safrina No. 53, Th. XIII (April, 2011). kewenangan untuk memeriksa permohonan pembatalan berdasarkan permintaan para pihak dan mengatur akibat dari pembatalan secara seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase tersebut. Ketua PN dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase (Penjelasan pasal 72 UU Arbitrase). Terhadap putusan PN mengenai pembatalan putusan sebagaimana yang diatur dalam pasal 70 dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung (MA) yang akan memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Sebaliknya, Konvensi New York 1958 tidak mengatur mengenai pembatalan putusan arbitrase, melainkan hanya mengatur tentang penolakan pelaksanaan keputusan arbitrase, dengan syarat bahwa pihak yang mengajukan keberatan harus membuktikan alasan-alasan penolakan. Adapun alasan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase yang diatur dalam Pasal 7, yaitu: 1. Bahwa para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut ternyata menurut hukum nasionalnya tidak mampu atau menurut hukum yang mengatur perjanjian tersebut atau menurut hukum negara dimana keputusan tersebut dibuat apabila tidak ada petunjuk hukum mana yang berlaku. 2. Pihak terhadap mana keputusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang sepatutnya tentang penunjukan arbiter atau persidangan arbitrase atau tidak dapat mengajukan kasusnya. 3. Keputusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk diputuskan oleh arbitrase, atau keputusan tersebut mengandung hal-hal yang berada di luar dari hal-hal yang seharusnya diputuskan. 4. Komposisi wewenang arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan persetujuan para pihak, atau tidak sesuai dengan hukum nasional tempat arbitrase berlangsung. 147
No. 53, Th. XIII (April, 2011). Peranan Pengadilan dalam Pelaksanaan Putusan Arbritase Internasional Safrina 5. Keputusan tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau dikesampingkan atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di negara dimana keputusan dibuat. Paragraf dua (2) konvensi mengatur alasan lain penolakan putusan arbitrase internasional, yaitu apabila pejabat yang berwenang di negara dimana pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase tersebut menemukan: 1. Materi yang disengketakan tdak dapat diselesaikan oleh arbitrase menurut hukum negara tempat arbitrase berlangsung. 2. Pengakuan dan pelaksanaan keputusan tersebut bertentangan dengan public policy (kebijakan public) negara tersebut. Walaupun Konvensi New York telah secara jelas mengatur mengenai alasan-alasan pengajuan penolakan terhadap putusan arbitrase internasional, akan tetapi konvensi tersebut tidak mengatur mengenai upaya hukum apa yang dapat digunakan oleh para pihak terhadap penolakan tersebut. Berdasarkan kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya Konvensi New York hanya memuat aturan-aturan secara umum, dengan pemikiran bahwa pelaksanaan putusan arbitrase diserahkan pada negara-negara anggota untuk membuat peraturan pelaksana secara lebih mendetail sesuai dengan hukum nasional masing-masing. Konvensi hanya menegaskan bahwa setiap negara harus memulai dengan tindakan pengakuan terhadap putusan arbitrase internasional yang sifatnya mengikat Dari pasal-pasal dalam Konvensi New York, maka dapat disimpulkan 5 prinsip diantaranya: 1. Prinsip pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase internasional dan menempatkan keputusan tersebut sama dengan keputusan peradilan nasional. 2. Prinsip keputusan arbitrase yang mengikat. 3. Prinsip menghindari proses pelaksanaan ganda. 148
Safrina No. 53, Th. XIII (April, 2011). 4. Prinsip penyederhanaan dokumen dari pihak yang mencari pengakuan dan pelaksanaan putusan, diantaranya dokumen dokumen keputusan yang asli atau copynya yang sah dan dokumen perjanjian yang asli atau copynya yang sah. 5. Prinsip pengakuan dan pelaksaan keputusan arbitrase internasional. 16 Berdasarkan tata cara pelaksanaan putusan arbitrase internasional menurut hukum Indonesia, maka terlihat bahwa pengadilan memegang peranan yang besar dalam eksekusi putusan. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah peranan tersebut tidak melemahkan kedudukan arbitrase, karena kenyataanya pengadilan juga dapat membatalkan putusan arbitrase dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. D. KESIMPULAN Indonesia mengakui pelaksanaan putusan arbitrase internasional dengan meratifikasi Konvensi New York 1958 malalui Kepres nomor 34 tahun 1981 dan dikeluarkan PERMA No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Secara hukum kedudukan arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan semakin kuat setelah diundangkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan semua aturan hokum tersebut, negara Indonesia terikat untuk mau mengakui serta melaksanakan suatu putusan arbitrase internasional yang dimohonkan pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia, tentunya harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan dan ketentuan sebagaimana ng diatur oleh undang-undang. Pengakuan terhadap kekuatan mengikat suatu putusan arbitrase internasional umumnya telah diterima oleh negara-negara, terutama yang telah meratifikasi Konvensi New York 1958. Akan tetapi tahapan pelaksanaan (eksekusi) putusan arbitrase asing menjadi tantangan tersendiri bagi para pihak yang bersengketa. Permasalahan timbul ketika pihak yang kalah merasa keberatan untuk melaksanakan putusan dan pengadilan di dalam negeri yang diharapkan dapat 16 Huala Adolf, hlm. 106-107. 149
No. 53, Th. XIII (April, 2011). Peranan Pengadilan dalam Pelaksanaan Putusan Arbritase Internasional Safrina memperlancar pelaksanaan eksekusi juga kurang memberi tanggapan yang konstruktif. Namum demikian, undang-undang Arbitrase sebagai dasar hukum pelaksanaan arbitrase di Indonesia menentukan bahwa pengadilan sangat berperan dalam upaya pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Dalam tata cara pelaksanaan putusan sebagaimana yang diatur dalan UU Arbitrase, tergambar adanya peranan lembaga peradilan yang sangat dominan, dimana eksekusi putusan arbitrase internasional harus melalui pengadilan negeri. Di samping itu, adanya peluang pembatalan putusan arbitrase internasional oleh lembaga pengadilan. Di satu sisi hal ini menujukkan adanya pengawasan terhadap kepentingan dalam negeri Indonesia, dengan pemikiran bahwa putusan arbitrase internasional memberi dampak negatif bagi ketertiban umum. Di sisi lain, aturan tersebut juga menujukkan ketidakmandirian lembaga arbitrase dalam melaksanakan putusannya. Lembaga arbitrase masih dianggap mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari lembaga peradilan sehingga membutuhkan bantuan pengadilan untuk melaksanakan putusan. Permasalahan lain terkait dengan pembatalan putusan arbitrase dalah perbedaan sistem hukum dari para pihak, walaupun mereka telah menentukan pilihan hukum yang akan diterapkan. Hal ini membutuhkan penafsiran dan penyesuaian terutama ketika eksekusi akan dilakukan sehingga tujuan pemilihan arbitrase yaitu unntuk mendapatkan keadilan hukum bagi para pihak dapat tercapai. DAFTAR PUSTAKA Dedi Harianto, beberapa Faktor Penghambat Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing di Indonesia, http://repository.usu.ac.id Gunawan Wijaya & Ahamad Yani (2000), Hukum Arbitrase, Rajawali Pers, Jakarta. Huala Adolf (2003), Arbitrase Komersial Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Linda Rachmainy, Arbitrase Untuk Keadilan, http://www.pikiran-rakyat.com/. 150
Safrina No. 53, Th. XIII (April, 2011). Mariam Darus, Beberapa Pemikiran Mengenai Penyelesaian Sengketa Dibidang Ekonomi Dan Keuangan Diluar Pengadilan, http://www.lfip.org/english/pdf/bali/seminar/ Munir Fuadi (2005), Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung. Purwosutjipto (1992), Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta. Suleman Batubara, Penolakan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia, http://batubarasuleman.blogspot.com. Subekti (1992), Arbitrase Perdagangan, Binacipta, Jakarta. Sanusi Bintang, Dahlan (2000), Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung. Yahya Harahap (1991), Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta. 151