BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

PENDAHULUAN Latar Belakang Memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan tantangan, bangsa Indonesia dituntut untuk meningkatkan Sumber

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi ( Mengenyam pendidikan pada

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional melalui Undang-undang Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi perbaikan perilaku emosional. Kematangan emosi merupakan

I. PENDAHULUAN. Peserta didik Sekolah Menengah Pertama (SMP ) berada dalam masa

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan suatu periode yang disebut sebagai masa strum and drang,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa yang sangat penting. Masa remaja adalah

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi manusia terjadi semenjak manusia itu berada. dalam kandungan hingga akhir masa hidupnya. Hal ini sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. dengan perubahan pesat dalam setiap aspek kehidupan. Salah satu aspek yang

BAB I PENDAHULUAN. Masa peralihan atau masa transisi di mana para remaja belum bisa sungguh-sungguh

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

BAB I PENDAHULUAN. Kecerdasan merupakan anugerah Allah Subhanahuwatallah yang tidak ternilai

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi dalam dirinya seorang remaja sehingga sering menimbulkan suatu hal yang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan negara di segala bidang. Agar mendapatkan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Giska Nabila Archita,2013

I. PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam kehidupannya. Pendidikan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena remaja tidak terlepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku, pergaulan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

BAB I PENDAHULUAN. manusia dan masyarakat Indonesia yang maju, modern, dan sejajar dengan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB 1 PENDAHULUAN. sebenarnya ada dibalik semua itu, yang jelas hal hal seperti itu. remaja yang sedang berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. Kecerdasan awalnya dianggap sebagai kemampuan general manusia untuk

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik, karena masa ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau. perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui sampai

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. cenderung bereaksi dan bertindak dibawah reaksi yang berbeda-beda, dan tindakantindakan

BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa pemerintah sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. melakukan pengembangan pendidikan, seperti dengan perbaikan kurikulum. seperti dari Inggris, Singapura dan sebagainya.

BAB I PENDAHULUAN. daya yang terpenting adalah manusia. Sejalan dengan tuntutan dan harapan jaman

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. sangat mudah untuk diakses dan dibaca oleh masyarakat luas. Dalam menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sebagai makhul sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupannya akan melalui beberapa tahap perkembangan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sangat cepat. Seiring dengan perkembangan zaman, siswa selaku peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,

LAMPIRAN 1 KUESIONER KEMANDIRIAN

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang ingin berhasil dalam hidupnya dan semua orang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang banyak menarik perhatian karena sifatsifat

BAB 1 PENDAHULUAN. berusia kurang lebih anam tahun (0-6) tahun, dimana biasanya anak tetap tinggal

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Peristiwa merosotnya moral di kalangan remaja, akhir-akhir ini

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu tahapan yang harus dilalui seorang individu untuk bergerak ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. resiko (secara psikologis), over energy dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan potensi yang dimilikinya.oleh karena itu, sangat diperlukan adanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan para mahasiswa yang tanggap akan masalah, tangguh, dapat di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Kesuksesan (keberhasilan, keberuntungan) yang berasal dari dasar kata sukses yang berarti berhasil, beruntung (Kamus Bahasa Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan pelatihan. Bahkan sejak kecil pun, anak-anak sudah mengenal kata ini dan menjadikannya sebagai unsur dari cita-cita mereka. Oleh karena itu kata ini menjadi begitu familiar di telinga kita sampai hari ini. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mencapai kesuksesan dalam hidup ini, salah satunya adalah melalui pendidikan. Bahkan Pemerintah pun mencanangkan program wajib belajar sembilan tahun yaitu dengan mewajibkan setiap anak untuk menempuh pendidikan sampai tingkat IX atau SMP kelas 3, dimana pada jenjang SMP ini, para siswa memasuki masa yang disebut masa remaja. Pada masa remaja ini merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada tahap ini, siswa/i SMP memiliki karakteristik serta tugas perkembangan sendiri. Tugas perkembangan yang dapat diselesaikan sesuai dengan tahapan perkembangannya akan membantu menyelesaikan tugas perkembangan berikutnya. Pada masa ini, tugas perkembangan dipusatkan

2 pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan serta mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa (Hurlock, 1999). Salah satu tugas perkembangan yang dihadapi oleh siswa/i SMP adalah mengenai kematangan emosi, seperti mencapai kemandirian emosional dan memiliki hubungan yang matang dengan siswa/i SMP lainnya. Ciri perilaku yang muncul pada masa ini, gejolak emosi sedang meninggi karena mereka sedang berada di bawah tekanan sosial, dimana mereka diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan lawan jenis dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Tanpa disadari mereka dituntut untuk matang secara emosi, dimana emosinya tidak meledak di hadapan orang lain disaat mereka kesal, melainkan dapat menahan reaksi emosional ini, menunggu sampai saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima oleh orang lain di lingkungan. Petunjuk kematangan emosi yang lain adalah pada saat siswa/i dapat menilai situasi secara kritis terlebih dahulu dimana ia berada sebelum bereaksi secara emosional, sehingga mereka dapat memahami hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat berada pada situasi tersebut (Santrock, 2002). Penjelasan di atas, memperlihatkan bahwa pencapaian suatu kematangan emosi membuat siswa/i dapat lebih diterima secara sosial. Untuk mencapai kematangan emosi, mereka harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional,

3 sehingga mereka mampu mengidentifikasi apa yang menjadi kebutuhan orang lain. Untuk dapat mengidentifikasi, siswa/i perlu memiliki banyak pengalaman dalam melakukan interaksi dengan orang lain. Di dalam interaksi, mereka harus belajar bagaimana menyesuaikan perasaannya dengan perasaan orang lain; yaitu saat berinteraksi dengan teman sebaya, adik dan kakak kelas di sekolah, anggota keluarga yang ada di rumah (termasuk orang tua), teman di luar rumah dan di luar sekolah, maupun guru. (Hurlock, 1999). Interaksi dengan teman sebaya menjadi sangat penting bagi siswa/i dan sangat berpengaruh pada keputusan-keputusan yang diambil (Santrock, 2002). Teman sebaya dinilai dapat memberikan dukungan dan satu-satunya yang dapat memahami pikiran dan perasaan sesama mereka. Oleh karena itu, mereka membutuhkan banyak teman dan membutuhkan juga diterima keberadaannya oleh teman-temannya. Sekolah merupakan salah satu sarana yang mudah bagi siswa/i untuk memperoleh teman. Selain berteman dengan teman sebaya, mereka juga dapat menemukan teman sebagai adik kelas maupun kakak kelas. Di samping itu, mereka juga mendapat kesempatan untuk menjalin interaksi dengan guru-guru. Kemampuan seseorang untuk dapat berinteraksi sesuai dengan tuntutan lingkungan membutuhkan keterampilan pemberian respon pada saat berinteraksi dengan orang lain, baik dengan teman sebaya, adik dan kakak kelas, maupun dengan guru, sehingga dapat tercipta suatu hubungan yang harmonis. Siswa/i yang tidak terampil membina relasi sosial memiliki

4 kecenderungan untuk bertingkah laku agresif, menarik diri, atau gabungan keduanya yang lama-kelamaan akan dijauhi oleh teman-temannya atau membentuk geng tersendiri yang biasanya menimbulkan banyak masalah di dalam maupun di luar sekolah (Singgih D. Gunarsa, 2003). Menurut hasil penelitian dari Universitas Gunadarma yang dipublikasikan tanggal 2 Maret 2010 tentang kenakalan siswa/i SMP dengan sampel dari 30 siswa/i (27 siswa dan 3 siswi ) di daerah Pondok Pinang kota metropolitan Jakarta, diperoleh hasil sebagai berikut: 17 siswa/i (56,7 %) terlibat perkelahian dengan teman, 21 siswa (70 %) melakukan tindakan kebut-kebutan dengan kendaraan bermotor tanpa memiliki SIM dimana 19 siswa diantaranya termasuk ke dalam geng motor, dan 30 siswa/i (100 %) pergi keluar rumah tanpa pamit (http://4ld1.wordpress.com/2010/03/02/kenakalan-remaja). Mereka yang kurang mempunyai teman, akan kurang mendapat kesempatan dan pengalaman dalam membina interaksi baik dengan teman sebaya, adik dan kakak kelas, guru serta anggota masyarakat lainnya. Perkembangan keterampilan dalam memberi reaksipun menjadi terhambat karena kurang terbiasa memberi reaksi secara spontan, kurang cepat paham terhadap perasaannya sendiri dan perasaan temannya ketika harus memberikan suatu reaksi. Artinya, ia belum bisa memenuhi tugas perkembangannya yaitu mencapai kematangan emosi, sehingga akan menghambat tugas perkembangan pada fase berikutnya. Seperti beberapa fenomena yang terjadi belakangan ini yaitu kita mendengar di beberapa sekolah terjadi peristiwa bunuh diri yang dilakukan siswa/i hanya karena hal

5 sepele. Berikut ini adalah beberapa data mengenai kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri siswa/i SMP di beberapa sekolah: tanggal 22 Mei 2007, siswi SMP 14 tahun dengan inisial NES (di kota Jogyakarta) mencoba bunuh diri dikarenakan malu belum melunasi uang pembayaran piknik sekolah sebesar 155 ribu rupiah. Tanggal 5 April 2010, siswa SMP di Jakarta Utara dengan inisial R berusia 15 tahun, bunuh diri karena ditolak keinginannya untuk mengikuti kejar Paket C oleh orang tuanya. Tanggal 17 Juni 2010, seorang siswi SMP di Probolinggo-Jawa Timur nekat mencoba bunuh diri dengan jalan meminum bensin pada saat jam istirahat sekolah oleh karena patah hati. Uraian di atas menggambarkan bahwa pencapaian kematangan emosi itu sangat penting dan tidak mudah bagi setiap siswa/i SMP untuk mencapai kematangan tersebut. Seperti halnya dengan keluhan yang disampaikan oleh guru Bimbingan dan Penyuluhan SMP X Bandung, yang mengatakan bahwa ada kasus prestasi siswa/i menurun drastis yang ternyata disebabkan putus dengan pacarnya, dan ada juga yang disebabkan oleh hubungan dengan guru dari mata pelajaran tertentu tidak baik. Bukanlah hal yang aneh bila melihat dan mendengar keluhan dari guru-guru bahwa siswanya tidak memperhatikan atau tidak memperdulikan guru yang sedang mengajar di depan kelas. Teguran yang disampaikan guru tidak membuat siswa menjadi memperhatikan, melainkan menjadi marah dan menggerutu atau mengejek guru tersebut di belakangnya. Kondisi ini menampilkan siswa yang kurang dapat memahami bagaimana harus

6 memberi reaksi kepada gurunya karena ia kurang paham perasaan guru sebagai orang yang seharusnya ia hargai. Ia kurang dapat mengantisipasi perasaan guru bila muridnya melakukan tindakan seperti itu, sehingga tingkah laku yang ditampilkan murid tersebut menjadi kurang sesuai dengan tuntutan lingkungan. Keluhan lain adalah perkataan dari siswa yang dinilai kurang sopan terhadap guru, berani membantah dengan nada suara yang tinggi. Kemudian guru BP tersebut juga menceritakan sebuah cerita yang cukup menarik yang dikeluhkan oleh salah satu siswanya. Ia mengatakan bahwa teman-temannya terkadang tidak menghiraukan perasaannya. Pagi itu, di saat jam istirahat pertama, ia duduk menyendiri dan hampir menangis, teman-temannya datang dan bertanya mengenai apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia kemudian menceritakan bahwa pagi tadi sebelum ia berangkat ke sekolah, ia dimarahi oleh kakaknya yang sudah kuliah, namun teman-temannya malah meledeknya dengan mengatakan bahwa ia anak yang cengeng, baru segitu saja sudah menangis. Padahal sebenarnya siswa tersebut sedang merasa marah terhadap kakaknya, tidak terima atas perlakuan kakaknya, merasa karena kakaknya sudah jauh lebih tua maka bisa seenaknya saja memarahi dirinya. Oleh karena itu reaksi yang diungkapkan oleh teman-temannya membuat ia bertambah marah sehingga ia pergi meninggalkan mereka. Ia merasa bahwa teman-temannya tidak mau memahami perasaannya. Sementara teman-temannya tidak mengerti apa yang membuat siswa tersebut pergi meninggalkan mereka. Keluhan lain yang berbeda datang dari

7 siswa yang lain yang mengatakan bahwa ia seringkali merasa kesal karena sering bermasalah dengan teman-temannya dan apapun masalahnya ia merasa bahwa semua itu tidak ada yang salah dengan dirinya karenanya ia tidak mau meminta maaf dan menuntut orang lain yang meminta maaf pada dirinya. Menurut pengamatan guru BP SMP X ini, keluhan-keluhan serupa seperti yang disebutkan diatas, terutama datang dari siswa-siswi kelas 1. Keluhan-keluhan tersebut menggambarkan bahwa siswa/i masih belum dapat mengenali reaksi emosi yang ditampilkan orang lain dan berempati; mengelola dan memanfaatkan emosi untuk memotivasi diri; serta belum mampu bereaksi sesuai tuntutan lingkungan. Sebagaimana kita ketahui bahwa siswa/i kelas 1 SMP memerlukan sebuah penyesuaian baru sebagai hasil peralihan tingkat sekolah yaitu dari tingkat SD ke SMP, dimana terdapat peraturan-peraturan yang berbeda, tuntutan-tuntutan atau tanggung jawab yang lebih besar daripada saat mereka masih berada di tingkat SD. Proses penyesuaian ini tidak terjadi begitu saja, perlu adanya pembelajaran dan mencoba cara-cara berperilaku tertentu yang sesuai dengan tuntutan tugas perkembangan yang sedang berlangsung pada masa ini. Proses pembelajaran ini tidak selalu berjalan mulus, bahkan terkadang dapat menimbulkan masalah, baik bagi siswanya sendiri maupun bagi orang lain atau lingkungan di sekitarnya. Secara teoritis, kondisi tersebut dapat dijelaskan melalui aspek-aspek kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Salovey (1997, dalam Daniel

8 Goleman, 2007), yaitu kemampuan individu untuk menangkap perasaan serta reaksi emosi yang dirasakan, baik oleh diri sendiri maupun orang lain, mampu membedakan antara perasaan serta reaksi emosi yang dirasakan kemudian memanfaatkan informasi tersebut untuk mengarahkan pikiran dan tindakan yang akan dilakukan. Kecerdasan emosional bukanlah sesuatu yang ada begitu saja dalam diri seseorang melainkan dapat terbina melalui suatu proses interaksi. Bahkan, menurut Goleman, kekurangan-kekurangan di dalam keterampilan emosional ini dapat diperbaiki sampai tingkat yang setinggi-tingginya di mana masing-masing wilayah menampilkan bentuk kebiasaan dan respon yang, dengan upaya yang tepat, dapat dikembangkan. Konsep yang dikemukakan oleh Daniel Goleman (2007) ini membawa suatu harapan baru bagi para siswa/i kelas 1 SMP yang secara tugas perkembangannya harus melampaui suatu kematangan emosi dan membangun hubungan sosial yang positif dengan orang lain, dimana saat yang bersamaan mereka juga dihadapkan dengan suatu gejolak emosi yang meninggi karena sedang berada di bawah tekanan sosial yaitu mereka diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan lawan jenis dan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah (Hurlock, 1999). Berdasarkan pandangan Daniel Goleman (2007) mengenai kecerdasan emosional serta wawancara dengan guru BP diatas, peneliti tertarik untuk melihat taraf kecerdasan emosional para siswa/i kelas 1 SMP X Bandung ini secara lebih mendalam. Peneliti melakukan assessment kebutuhan dengan dua tahapan. Tahapan pertama adalah melalui wawancara

9 dengan guru BP dan para wali kelas. Berdasarkan hasil wawancara didapatlah 20 siswa/i yang memiliki ciri-ciri kecerdasan emosional yang rendah. Dari kedua puluh siswa/i ini lalu dijaring lebih lanjut untuk mengetahui taraf kecerdasan emosionalnya. Dari 20 siswa/i kelas 1 SMP ini, tampak bahwa 4 orang (20%) memiliki kecerdasan emosional yang berada pada taraf di atas rata-rata (tinggi), 8 orang (40%) memiliki kecerdasan emosional yang berada pada taraf rata-rata (sedang), 8 orang (40%) memiliki kecerdasan emosional yang berada pada taraf di bawah rata-rata (rendah). Dari 8 siswa/i yang tergolong rendah taraf kecerdasan emosionalnya, terdapat dua orang (25%) masih belum mampu mengenali dan merasakan emosinya dengan baik, kurang memahami penyebab dari perasaan yang timbul dan kurang dapat mengenali perbedaan antara perasaan dan tindakan (aspek 1 dari kecerdasan emosional). Empat orang (50%) belum mampu mengelola emosi dengan baik, kurangnya toleransi terhadap masalah dan ketegangan jiwa yang terjadi (aspek kedua dari kecerdasan emosional). Enam orang (75%) kurang mampu memanfaatkan emosi secara produktif, mereka kurang dapat menguasai diri dan memanfaatkan emosi mereka menjadi sesuatu yang membangkitkan energi untuk bangkit kembali dan menjadikan kegagalan menjadi sesuatu pembelajaran untuk hal berikutnya (aspek ketiga dari kecerdasan emosional). Tujuh orang (87,5%) kurang mampu dalam mengenali emosi orang lain (berempati), kurang mampu menjadi pendengar yang baik (aspek keempat dari kecerdasan emosional).

10 Delapan orang (100%) kurang mampu dalam menyelesaikan pertikaian dengan kata-kata dan cara yang tepat, kurang memikirkan kepentingan orang lain dalam membina hubungan dengan sesama (aspek kelima dari kecerdasan emosional). Data tersebut menunjukkan bahwa terdapat 8 siswa/i kelas 1 SMP X memiliki kecerdasan emosional yang rendah sehingga perlu dibantu untuk mengoptimalkan kecerdasan emosionalnya. Berangkat dari fenomena-fenomena yang terjadi beberapa waktu belakangan ini serta data-data yang diperoleh peneliti mengenai keluhankeluhan yang disampaikan oleh guru BP dan assessment kebutuhan akan kecerdasan emosional para siswa/i kelas 1 SMP X Bandung, serta konsep teori yang disampaikan oleh Daniel Goleman (2007) ini, peneliti bermaksud melakukan penelitian dengan merancang suatu modul pelatihan kecerdasan emosional yang merupakan salah satu bentuk tipe pembelajaran pengalaman dalam experiental learning. Pemilihan tipe pembelajaran ini dilakukan karena perubahan yang diharapkan terjadi bukan hanya sampai pada pemahaman kognitif (siswa/i mengetahui aspek-aspek kecerdasan emosional) melainkan sampai dengan afektif (dimana siswa/i menunjukkan kepekaan pada kebutuhan orang lain dan mengakui perbedaan setiap individu). Materi pelatihan yang diberikan mengacu pada konsep kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Daniel Goleman (2007) dan disesuaikan dengan assessment kebutuhan yang telah dilakukan terhadap siswa/i kelas 1 SMP X Bandung.

11 1.2. IDENTIFIKASI MASALAH Berdasarkan data-data yang diperoleh peneliti mengenai keluhankeluhan yang disampaikan oleh guru BP dan assessment kebutuhan akan kecerdasan emosional para siswa/i kelas 1 SMP X Bandung dimana terdapat 8 siswa/i kelas 1 yang taraf kecerdasan emosionalnya tergolong rendah, maka peneliti bermaksud melakukan intervensi terhadap keluhankeluhan atau masalah yang ada. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak kepala sekolah SMP X ini, diketahui bahwa belum pernah ada pelatihan kecerdasan emosional terhadap siswa/i kelas 1 sebelumnya. Oleh karena itu intervensi yang akan dilakukan dalam hal ini akan berupa sebuah pelatihan kecerdasan emosional. Untuk melakukan sebuah pelatihan kecerdasan emosional, sebelumnya dibutuhkan sebuah rancangan modul pelatihan itu sendiri. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dirancang suatu modul pelatihan kecerdasan emosional pada siswa/i kelas 1 di SMP X Bandung. 1.3. MAKSUD, TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah membuat sebuah rancangan modul pelatihan kecerdasan emosional yang disusun untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa/i kelas 1 SMP X Bandung dan menguji coba modul.

12 1.3.2. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan rancangan modul pelatihan kecerdasan emosional setelah dilakukan uji coba modul kepada siswa/i kelas 1 SMP X Bandung. 1.3.3. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Kegunaan Teoritis Memberikan informasi bagi ilmu Psikologi, khususnya bidang Psikologi Pendidikan tentang rancangan modul pelatihan kecerdasan emosional khususnya bagi siswa/i kelas 1 SMP X Bandung. Sebagai landasan informatif untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kecerdasan emosional bidang Psikologi Pendidikan khususnya bagi siswa/i kelas 1 SMP X Bandung. 2. Kegunaan Praktis Bagi pihak sekolah agar terbantu dalam mencerdaskan siswasiswinya untuk dapat menjadi individu yang lebih baik lagi bukan hanya dari sisi akademiknya saja, tetapi juga dari sisi kecerdasan emosionalnya.

13 Bagi guru BP dan guru-guru lainnya di SMP X Bandung, diharapkan dapat dilanjutkan secara berkesinambungan sebagai salah satu program dari program pengembangan character building dari siswa-siswi kelas 1 SMP X. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat membantu para siswa/i kelas 1 SMP X Bandung untuk lebih menyadari emosinya dan juga emosi orang lain di sekitarnya; mengelola, memanfaatkan dan mengekspresikan emosinya dengan lebih baik, sehingga proses penyesuaian sosial mereka dengan orang lain dapat menjadi lebih baik. 1.4. METODOLOGI Rancangan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Melakukan assessment awal untuk mengetahui kebutuhan dasar siswa/i kelas 1 SMP pada jenjang kelas 1 SMP X Bandung akan kecerdasan Menyusun rancangan modul pelatihan kecerdasan emosional Melakukan pelatihan berdasarkan rancangan modul pelatihan kecerdasan emosional Melakukan evaluasi terhadap perancangan modul pelatihan kecerdasan emosional Gambar 1.1. Bagan Metodologi