Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan khususnya kehidupan ekonomi sangat besar baik itu

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB I PENDAHULUAN. menguntungkan, tetapi mungkin pula sebaliknya. Manusia mengharapkan

I. PENDAHULUAN. Asuransi pada dasarnya merupakan persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang

Asuransi Syariah. Insurance Goes To Campus. Oleh: Subchan Al Rasjid. Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 17 Oktober 2013

Lex Crimen Vol. V/No. 6/Ags/2016

BAB V PENUTUP. sebelumnya adalah sebagai berikut: 1. Bahwa Prinsip syariah yang di tuangkan dalam akad Dalam hal ini

BAB I PENDAHULUAN. lebih lagi menyangkut lembaga perekonomian umat Islam. Hal ini karena agama

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Sharing (berbagi resiko). Cara pembayarannya sesuai dengan kebutuhan

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. terjadi. Tidak hanya untuk kepentingan pribadi dan keluarga, tetapi

BAB V PENUTUP. syariah yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan investasi yang di selenggarakan sesuai dengan syariah.

S I L A B U S A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : KONTRAK PERBANKAN DAN PEMBIAYAAN STATUS MATA KULIAH : KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 73 /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN

Lex Privatum, Vol. III/No. 3/Jul-Sep/2015

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENGALIHAN DANA TABARRU UNTUK MENUTUP KREDIT MACET DI KJKS SARI ANAS SEMOLOWARU SURABAYA

Lex Privatum Vol. V/No. 5/Jul/2017

1. PENDAHULUAN. diberikan kepada masyarakat dalam mengatasi risiko yang terjadi di masa yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

3 Lihat UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa. Keuangan (Bab VI). 4 Lihat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.

BAB IV. oleh Baitul mal wat Tamwil kepada para anggota, yang bertujuan agar anggota

Sekretariat : Jl. Dempo No. 19 Pegangsaan - Jakarta Pusat Telp. (021) Fax: (021)

Mudharabah Musytarakah Asuransi

BAB I PENDAHULUAN. bersumber dari keinginan untuk mengatasi ketidakpastian (uncertainty).

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.05/2015 TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI

TESIS KEKUATAN MENGIKAT KONTRAK BAKU DALAM TRANSAKSI JUAL BELI TENAGA LISTRIK ANTARA PT PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA (PERSERO) DENGAN PELANGGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupan mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya.

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN

BAB V PENUTUP. Yogyakarta secara umum telah memenuhi ketentuan hukum syariah baik. rukun-rukun maupun syarat-syarat dari pembiayaan murabahah dan

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN KOMISI KEPADA AGEN PADA PRULINK SYARIAH DI PT. PRUDENTIAL LIFE ASSURANCE NGAGEL SURABAYA

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

BAB 1 PENDAHULUAN. Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 34, Edisi Revisi (Jakarta: Pradnya Paramita,1995), pasal 1233.

BAB IV HASIL PENELITIAN. A. Penerapan Prinsip Syariah Dalam Akad/Kontrak Pada Asuaransi. Jiwa Bersama (AJB) Syariah Cabang Yogyakarta.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, maka manusia mengingkari kodratnya sendiri. Manusia dengan

Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. PENGGELAPAN DANA SIMPANAN NASABAH SEBAGAI KEJAHATAN PERBANKAN 1 Oleh: Rivaldo Datau 2

BAB I PENDAHULUAN. tidak asing dikenal di tengah-tengah masyarakat adalah bank. Bank tersebut

BAB IV ANALISIS. A. Pelaksanaan Akad Tabarru Pada PT. Asuransi Takaful Keluarga

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL NO: 81/DSN-MUI/III/2011 Tentang

Lex Administratum, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus. Kata kunci: perbankan, syariah

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG POLIS ASURANSI JIWA DALAM AKAD WAKALAH BIL UJRAH PRODUK UNIT LINK SYARIAH

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1/POJK.07/2014 TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. hukum. Karakteristik hukum dalam Islam berbeda dengan hukum-hukum yang

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

4. Firman Allah SWT QS. al-baqarah (2):278 45)& %*('! Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang yang b

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. TAHAPAN DAN PROSES MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN 1 Oleh: Agung Akbar Lamsu 2

SALINAN NOMOR 18 /PMK.010/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP DASAR PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH

4. Firman Allah SWT QS. al-baqarah (2): dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba Firman Allah SWT QS. al-baqarah (2):27

BAB IV. pembiayaan-pembiayaan pada nasabah. Prinsip-prinsip tersebut diperlukan

BAB VI PENUTUP. Dari uraian pembahasan diatas, maka peneliti menyimpulkan dari hasil

MURA>BAH}AH DAN FATWA DSN-MUI

PRAKTIK ASURANSI SYARIAH DALAM PERSPEKTIF FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL-MAJELIS ULAMA INDONESIA DAN KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH

BAB IV. IMPLEMENTASI FATWA DSN-MUI No 52/DSN-MUI/III/2006 TENTANG AKAD WAKALAH BIL UJRAH PADA ASURANSI MOBIL

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERLAKUAN BANK MUAMALAT INDONESIA TERHADAP PEMBAYARAN KLAIM MUSNAHNYA BARANG JAMINAN DEBITUR OLEH PIHAK ASURANSI Sigit Somadiyono, SH.

BAB 1V REASURANSI PADA TABUNGAN INVESTASI DI BANK SYARIAH BUKOPIN SIDOARJO DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. provisi, ataupun pendapatan lainnya. Besarnya kredit yang disalurkan akan

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang kita ketahui sistem perekonomian negara-negara di dunia. Tidak lepas dari

Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016. Kata kunci: Perjanjian, Peserta, BPJS. Kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. Risiko akan selalu ada dan mengikuti kehidupan manusia. Salah satu. pembangunan, terbakarnya bangunan dan lain sebagainya.

TESIS. (Kajian Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan)

Batang Tubuh Penjelasan Tanggapan TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB IV ANALISIS APLIKASI PEMBERIAN UPAH TANPA KONTRAK DI UD. SAMUDERA PRATAMA SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KLAIM ASURANSI DALAM AKAD WAKALAH BIL UJRAH

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakannya dalam sebuah perjanjian yang di dalamnya dilandasi rasa

TINJAUAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN SETELAH TERBENTUKNYA OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI PEMBAYARAN DENGAN CEK LEBIH PADA TOKO SEPATU UD RIZKI JAYA

BAB I PENDAHULUAN. ialah meningkatnya kesadaran masyarakat tentang perencanaan dan kebutuhan

Kata Kunci : Asuransi Sosial, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

DAFTAR PUSTAKA. Amirudin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum,

BAB III TANGGUNG GUGAT BANK SYARIAH ATAS PELANGGARAN KEPATUHAN BANK PADA PRINSIP SYARIAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

POLIS ASURANSI DEMAM BERDARAH SYARIAH

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.04/2016 TENTANG AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lex Administratum, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki kelebihan dana dengan pihak-pihak yang kekurangan dan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seperti telah dimaklumi, bahwa dalam mengarungi hidup dan

Musha>rakah di BMT MUDA Kedinding Surabaya

Konversi Akad Murabahah

BAB I PENDAHULUAN. Kesempurnaan Islam diantaranya mengatur tentang syariat atau hukum,

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS PADANG

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Transkripsi:

PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DALAM PERASURANSIAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO. 40 TAHUN 2014 1 Oleh : Mohamad Fikri Mokoginta 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan prinsip syariah pada asuransi syariah dan bagaimana hubungan hukum dan akibat hukum pada asuransi syariah. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Perasuransian syariah merupakan bagian dari perasuransian pada umumnya yang menggunakan prinsip syariah, yakni prinsip yang dirumuskan dari Hukum Islam, khususnya Hukum Ekonomi Syariah, yang untuk pertama kalinya diatur secara tegas dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian sekaligus menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan perasuransian syariah di Indonesia.Perasuransian syariah menggunakan metode dan konsepsi berbeda dari perasuransian konvensional, antara lainnya karena dilandasi oleh sikap tolong menolong dan melindungi sehingga dalam pelaksanaannya peserta atau pemegang polis asuransi bekerjasama dengan perusahaan asuransi syariah dalam menyediakan dan mengelola dana (investasi dana) yang tidak ditemukan dalam konsepsi perasuransian konvensional. 2. Penyelesaian sengketa dalam hubungan hukum perjanjian asuransi pada perasuransian syariah, dapat ditempuh penyelesaian melalui pengadilan (litigasi), atau penyelesaian di luar pengadilan baik melalui arbitrase maupun alternatif penyelesaian sengketa seperti mediasi yang juga ditentukan pengaturannya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memiliki kewenangan pengaturan dan pengawasan terhadap semua kegiatan di sektor jasa keuangan, khususnya kegiatan sektor perasuransian syariah di Indonesia. Kata kunci: Penerapan prinsip, Syariah, Perasuransian A. Latar Belakang Permasalahan Perasuransian, juga memberikan rumusannya pada Pasal 1 angka 16, bahwa Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa syariah. 3 Asuransi dalam perkembangannya lebih dahulu berkembang perasuransian konvensional kemudian menyusul perasuransian syariah. Gemala Dewi menjelaskan bahwa: Di antara asuransi konvensional maupun asuransi syariah mempunyai persamaan yaitu asuransi hanya berfungsi sebagai fasilitator hubungan struktural antara peserta pemegang premi (penanggung) dengan peserta penerima pembayaran klaim (tertanggung). Secara umum asuransi Islam atau sering diistilahkan dengan takaful, dapat digambarkan sebagai asuransi yang prinsip operasionalnya didasarkan pada syariah Islam dengan mengacu kepada Al- Qur an dan As-Sunnah. 4 Asuransi syariah sebagai kegiatan perasuransian berdasarkan pada prinsip syariah, tentunya perihal prinsip syariah ini menjadi landasan hukum utamanya yang kemudian tercakup ke dalam pengaturan menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2014. Pengaturan asuransi syariah dalam Undang- Undang No. 40 Tahun 2014 memberikan pilihan, baik bagi perusahaan perasuransian maupun bagi masyarakat untuk memilih jenis asuransi konvensional atau jenis asuransi syariah. Asuransi syariah sebagai bagian dari ekonomi syariah telah lebih dahulu diatur dalam peraturan perundang-undangan dibandingkan dengan pengaturannya dalam Perasuransian. Substansi pengaturan asuransi syariah menurut Undang-Undang No. 50 Tahun 2014 berkenaan dengan penyelesaian sengketa perasuransian syariah yang menurut Pasal 54 PENDAHULUAN 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Telly Sumbu, SH, MH; Yumi Simbala, SH, MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 100711407 3 Lihat UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Pasal 1 angka 16). 4 Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Kencana, Cetakan ke-3, Jakarta, 2006, hlm. 136. 23

ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2014, dinyatakan bahwa: Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib menjadi sengketa lembaga mediasi yang berfungsi melakukan penyelesaian sengketa antara perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perumusan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dan pemegang polis, tertanggung, peserta, atau pihak lain yang berhak memperoleh manfaat asuransi. 5 Uraian tersebut telah menemukan konsepsi yang diinginkan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan, bahwa asuransi syariah berada dalam kompetensi peradilan agama dalam menyelesaikan perkara atau persengketaannya, namun upaya penyelesaian sengketa lebih mendahulukan upaya penyelesaian sengketa secara mediasi. Penerapan prinsip syariah dalam asuransi syariah bertolak dari ketentuan hukum Islam dalam aspek ekonomi syariah termasuk asuransi syariah. Konsep asuransi syariah menggunakan berbagi risiko (risk sharing) yang berbeda dari konsepsi asuransi konvensional. Penerapan prinsip syariah dalam asuransi syariah inilah yang ditempatkan pada bagian pertama pembahasan, kemudian tentang hubungan hukum dan akibat hukum dalam asuransi syariah. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana penerapan prinsip syariah pada asuransi syariah? 2. Bagaimana hubungan hukum dan akibat hukum pada asuransi syariah? C. Metodologi Penelitian Penelitian ini adalah tipe penelitian hukum normatif atau biasa disebut penelitian yuridis normative. PEMBAHASAN A. Penerapan Prinsip Syariah pada Asuransi Syariah Perasuransian, mengatur dan menentukan dua sistem perasuransian, yakni sistem perasuransian secara konvensional dan sistem perasuransian secara asuransi syariah. Kedua sistem perasuransian tersebut untuk pertama kalinya diperkenalkan dan diatur secara bersamaan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2014, sedangkan pengaturan sebelumnya berdasarkan KUHD dan Undang- Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, belum menampung sistem perasuransian syariah. Penjelasan Umum atas Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, menjelaskan antara lain dengan penetapan ketentuan baru maupun penyempurnaan ketentuan yang telah ada. Upaya tersebut diwujudkan antara lain dalam bentuk: 1. Penetapan landasan hukum bagi penyelenggaraan usaha asuransi syariah dan usaha reasuransi syariah; 2. Penetapan status badan hukum bagi perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan. 3. Penyempurnaan pengaturan mengenai kepemilikan perusahaan perasuransian yang mendukung kepentingan nasional; 4. Pemberian amanat lebih besar kepada perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah untuk mengelola kerjasama dengan pihak lain dalam rangka pemasaran layanan jasa asuransi dan asuransi syariah, termasuk kerjasama keagenan; dan 5. Penyempurnaan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga tata kelola perusahaan yang baik, kesehatan keuangan, dan perilaku usaha yang sehat. 6 Ketentuan pada angka 1 Penjelasan Umum atas Undang-Undang No. 40 Tahun 2014, perihal penetapan landasan hukum bagi penyelenggaraan usaha asuransi syariah dan usaha reasuransi syariah, menjadi dasar hukum perasuransian syariah di Indonesia. Dikaitkan dengan prinsip syariah sebagai sejumlah prinsip Hukum Islam, menurut penulis, sebenarnya dapat dikategorikan 5 Lihat UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Pasal 54 ayat (1)). 6 Lihat UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Penjelasan Umum). 24

Maisir dan dapat dibandingkan dengan Prinsip Syariah pada Perbankan Syariah menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang pada Penjelasan Pasal 2 menjelaskan bahwa, kegiatan usaha yang berazaskan Prinsip Syariah, antara lain adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan. 7 Prinsip syariah pada asuransi syariah dirumuskan berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Umum Indonesia (DSN-MUI) dalam beberapa fatwa berkaitan dengan asuransi syariah, misalnya Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah, Prinsip Syariah dirumuskan berdasarkan Al-Qur an yang tercantum dalam Konsiderans Mengingat pada Fatwa tersebut, berdasarkan Firman Allah SWT, antara lain: 1) QS. An-Nisaa (4):9, terjemannya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan pekerjaan yang benar. 2) QS Al-Nasyr (59):18, terjemahannya: Hai orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikannya apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. 3) QS. Shad (38):24, terjemahannya:..dan sesungguhnya kebanyakan dari orangorang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan 7 Lihat UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Penjelasan Pasal 2 sub b). mengerjakan amal saleh, dan amat sedikitlah mereka itu, 4) QS. Al-Maidah (5):1, terjemahannya Hai orang yang beriman! Tunaikan akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu (yang demikian itu) dengan tidak berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukumhukum menurut yang dikehendaki-nya. 5) QS An-Nisaa (4):29, terjemahannya: Hai orang yang beriman! Janganlah kalian memakan (mengambil) harta orang lain secara batil, kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi atas sukarela diantara kalian. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. 6) QS An-Nisaa (4):58, terjemahannya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. 7) QS Al-Maidah (5):2, terjemahannya: Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-nya. 8 Fatwa DSN-MUI tersebut berkaitan dengan Mudharabah Muyitarakah yang menetapkan produk asuransi syariah yang mengandung unsur tabungan dan non-tabungan, dengan melibatkan perusahaan asuransi menyertakan modal atau dana investasi bersama dana peserta. Konsep ini pada penerapannya berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, ditemukan dalam pengertian Asuransi Syariah (Pasal 2 sub b) pada frasa dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau berdasarkan pada hasil pengelolaan dana. 8 Lihat Fatwa DSN-MUI No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah (Konsiderans Mengingat ). 25

Konsep menurut Fatwa DSN-MUI tersebut berkaitan dengan istilah kontribusi dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2014, yang pada Pasal 1 angka 30, dirumuskan bahwa, Kontribusi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah dan disetujui oleh Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian Asuransi Syariah untuk memperoleh manfaat dari Dana Tabarru dan/atau dana investasi peserta dan untuk membayar biaya pengelolaan atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat. 9 B. Hubungan Hukum dan Akibat Hukum pada Asuransi Syariah Kegiatan usaha perasuransian pada umumnya dan perasuransian syariah pada khususnya, senantiasa tidak terlepas dari adanya suatu hubungan hukum berupa perjanjian atau kontrak, yang dinamakan dengan perjanjian asuransi, dan dikualifikasikan sebagai perjanjian khusus. 10 Hubungan hukum perjanjian asuransi terjalin antara tertanggung dengan penanggung sebagai subjek-subjek perjanjian asuransi, yang di dalamnya berisikan kesepakatan bersama pada pokoknya, meliputi: a. Benda yang menjadi objek asuransi; b. Pengalihan risiko dan pembayaran premi; c. Evenemen dan ganti kerugian; d. Syarat-syarat khusus asuransi; e. Dibuat secara tertulis yang disebut polis. 11 Berdasarkan pengertian asuransi pada Pasal 1 angka 1 serta pengertian asuransi syariah pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, yang masing-masing pada frasa Asuransi adalah perjanjian, dan frasa Asuransi syariah adalah kumpulan perjanjian, maka hubungan hukum penyelenggaraan perasuransian merupakan hukum perjanjian. 9 Lihat UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Pasal 1 angka 30). 10 Abdulkadir Muhammad, Op Cit, hlm. 49. 11 Loc Cit. Pembahasan ini yang lebih menitikberatkan pada penerapan prinsip syariah pada perasuransian, dengan demikian menggunakan ketentuan di dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang menggunakan terminologi akad yang berarti pula sebagai perjanjian atau kontrak. Pasal 21 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, menentukan bahwa Akad dilakukan berdasarkan asas: 12 a. Ikhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain. b. Amanah/menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cedera-janji. c. Ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat. d. Lazuzm/tidak berubah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktek spekulatif atau maisir. e. Saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulatif dan merugikan salah satu pihak. f. Taswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. g. Transparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka. h. Kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan. i. Taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan. 12 Lihat PERMA No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Pasal 21). 26

j. Itikad baik; akan dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya. k. Sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram. Intisari beberapa asas pada akad syariah tersebut tidak jauh berbeda dengan asas-asas perjanjian, sebagaimana tercantum dalam KUHPerdata, yang menurut Munir Fuady, terdiri atas asas-asas sebagai berikut: 1. Asas kebebasan berkontrak; 2. Asas hukum perjanjian sebagai hukum yang bersifat mengatur; 3. Asas facta sunt servanda; 4. Asas konsensual dari suatu perjanjian; 5. Asas obligatoir dari suatu perjanjian; 6. Asas keterikatan kepada perjanjian yang sama dengan keterikatan kepada undang-undang. 13 Hubungan hukum yang terjalin di antara para pihak dalam perjanjian atau akad menimbulkan akibat hukum tertentu. Akibat hukum sebagai akibat yang timbul dari suatu perbuatan atau peristiwa hukum di dalam pelaksanaan perjanjian menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ditentukan pada Pasal 28 ayat-ayatnya, bahwa: (1) Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. (2) Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat. (3) Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan/atau syarat-syaratnya. Pemenuhan atau pelaksanaan akad atau perjanjian penting sekali oleh karena tidak dilaksanakannya akad atau perjanjian, berarti timbul wanprestasi, artinya, tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam perikatan atau perjanjian. 14 Munir Fuady menjelaskan, bahwa dalam wanprestasi tidak menjalankan/memenuhi isi perjanjian yang bersangkutan, untuk istilah wanprestasi ini dalam Hukum Inggris disebut dengan istilah 13 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Op Cit, hlm. 181. 14 Djaja S. Meliala, Op Cit, hlm. 99. default, atau non-fulfillment, atau breach of contract. 15 Istilah tersebut pada dasarnya dimaksudkan terhadap kegagalan membayar, atau kegagalan memenuhi kewajiban baik dalam membayar premi asuransi maupun membayar klaim asuransi pada hukum perasuransian. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, menentukan pada Pasal 38 bahwa, Pihak dalam akad yang melakukan ingkar janji dapat dijatuhi sanksi: a. Membayar ganti rugi; b. Pembatalan akad; c. Peralihan risiko; d. Denda; dan/atau e. Membayar biaya perkara. 16 Hubungan hukum antara tertanggung dengan penanggung dalam Hukum Asuransi berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2014, merupakan hukum perjanjian dan manakala timbul persengketaan antara tertanggung dengan penanggung, upaya penyelesaian sengketa yang dianjurkan serta ditentukan dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2014, ialah secara mediasi, sebagaimana ditentukan pada Pasal 54 ayat-ayatnya, sebagai berikut: (1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah wajib menjadi anggota lembaga mediasi yang berfungsi melakukan penyelesaian sengketa antara perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dan pemegang polis, tertanggung, peserta, atau pihak lain yang berhak memperoleh manfaat asuransi. (2) Lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen dan imparsial. (3) Lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan tertulis dari otoritas jasa keuangan. (4) Kesepakatan mediasi bersifat final dan mengikat bagi para pihak. 15 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Op Cit, hlm. 207. 16 Lihat PERMA No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Pasal 38). 27

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), diatur dalam peraturan otoritas jasa keuangan. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 54 tersebut, meskipun penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat ditempuh melalui jalur pengadilan (litigasi), tetapi ditentukan dan dianjurkan penyelesaian sengketanya berdasarkan alternatif penyelesaian sengketa, yakni secara mediasi. Munir Fuady menjelaskan beberapa keunggulan mediasi sebagai berikut: 1. Relatif lebih murah dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain. 2. Adanya kecenderungan dari pihak yang bersengketa untuk menerima dan adanya rasa memiliki putusan mediasi. 3. Dapat menjadi dasar bagi para pihak yang bersengketa untuk menegosiasi sendiri sengketa-sengketanya di kemudian hari. 4. Terbukanya kesempatan untuk menelaah masalah-masalah yang merupakan dasar dari suatu sengketa. 5. Membuka kemungkinan adanya saling percaya diantara pihak yang bersengketa sehingga dapat dihindari rasa bermusuhan dan dendam. 17 Ketentuan Pasal 54 Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 yang mengatur dan mengarahkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara mediasi tersebut dalam konteks penyelesaian sengketa perasuransian syariah, dengan demikian tidak menggunakan jalur penyelesaian sengketa melalui peradilan agama sebagaimana dimaksud oleh Pasal 49 dan penjelasannya dari Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, melainkan menggunakan penyelesaian berdasarkan kewenangan dari Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Terdapat perbedaan konsepsi penyelesaian sengketa asuransi syariah yakni adanya kelembagaan DSN-MUI bernama Basyarnas) yang berintikan mekanisme penyelesaian sengketa syariah secara arbitrase syariah dibandingkan dengan ketentuan Pasal 54 17 Munir Fuady, Arbitrase, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Op Cit, hlm. 50. Perasuransian, mengingat dalam Pasal 54 tersebut tercakup pula persengketaan pada Asuransi Umum Syariah, Asuransi Jiwa Syariah serta Reasuransi Syariah dengan menggunakan mekanisme mediasi. Beberapa Fatwa DSN-MUI di bidang perasuransi syariah, menentukan penyelesaian sengketa melalui basyarnas, sebagaimana tertera pada Fatwa DSN-MUI No. 51/DSN- MUI/III/2006 tentang Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah, pada ketentuan keenam, huruf a menyatakan Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Redaksi yang bermakna sama juga tercantum dalam fatwa DSN-MUI No. 53/DSN- MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi dan Reasuransi Syariah, yang pada ketentuan ketujuh huruf a, ditentukan bahwa Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Penyelesaian sengketa perasuransian syariah menurut Pasal 54 Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 ditentukan melalui mediasi, dan pada Pasal 54 ayat (5) dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, maka Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang dimaksud ialah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, yang pada Pasal 1 angka 1, merumuskan bahwa Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan pelaku usaha jasa keuangan adalah bank umum, bank perkreditan rakyat, perusahaan efek, penasihat investasi, bank ustodian, dana pensiun, perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, lembaga pembiayaan, perusahaan gadai, dan perusahaan penjaminan, baik yang 28

melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah. 18 Penyelesaian sengketa perasuransian syariah secara mediasi tersebut menempatkan mekanisme mediasi sebagai pilihan yang dipandang tepat sekaligus menemukan adanya tarik-tarikan kepentingan dalam kelembagaan dan kewenangan menyelesaikan persengketaan perasuransian syariah di antara basyarnas dengan otoritas jasa keuangan, tetapi juga tidak dapat disangkal bahwa kewenangan pengaturan dan pengawasan oleh otoritas jasa keuangan terhadap kegiatan perasuransian pada umumnya, dan perasuransian syariah dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, sangat kuat dan menonjol. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Perasuransian syariah merupakan bagian dari perasuransian pada umumnya yang menggunakan prinsip syariah, yakni prinsip yang dirumuskan dari Hukum Islam, khususnya Hukum Ekonomi Syariah, yang untuk pertama kalinya diatur secara tegas dalam Undang- Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian sekaligus menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan perasuransian syariah di Indonesia. Perasuransian syariah menggunakan metode dan konsepsi berbeda dari perasuransian konvensional, antara lainnya karena dilandasi oleh sikap tolong menolong dan melindungi sehingga dalam pelaksanaannya peserta atau pemegang polis asuransi bekerjasama dengan perusahaan asuransi syariah dalam menyediakan dan mengelola dana (investasi dana) yang tidak ditemukan dalam konsepsi perasuransian konvensional. 2. Penyelesaian sengketa dalam hubungan hukum perjanjian asuransi pada perasuransian syariah, dapat ditempuh penyelesaian melalui pengadilan (litigasi), atau penyelesaian di luar 18 Lihat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (Pasal 1 angka 1). pengadilan baik melalui arbitrase maupun alternatif penyelesaian sengketa seperti mediasi yang juga ditentukan pengaturannya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memiliki kewenangan pengaturan dan pengawasan terhadap semua kegiatan di sektor jasa keuangan, khususnya kegiatan sektor perasuransian syariah di Indonesia. B. Saran 1. Berlakunya Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, sebagai peraturan perundangan baru dan memiliki perbedaan mendasar dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, membutuhkan pemahaman secara mendalam bagi para pihak, baik pelaku bisnis perasuransian, kalangan akademisi, kalangan tokoh agama, serta kalangan warga masyarakat, sehingga dibutuhkan upaya sosialisasinya secara terus menerus. 2. Dibutuhkan kesatuan pandangan dan sikap manakala berhadapan dengan sengketa perasuransian syariah, oleh karena kewenangan basyarnas dan kewenangan otoritas jasa keuangan dalam penyelesaian sengketa serta mekanismenya terjadi perbenturan. DAFTAR PUSTAKA Adolf Huala, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama, Cetakan Pertama, Bandung, 2007. Ali Muhammad Daud, Hukum Islam. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. RajaGrafindo Persada, Cetakan ke-6, Jakarta, 2002. Ali Zainuddin, Hukum Ekonomi Syariah, Sinar Grafika, Cetakan Pertama, Jakarta, 2008., Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Cetakan ke-5, Jakarta, 2014. Anshori Abdul Ghofur, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008), Refika Aditama, Cetakan Pertama, Bandung, 2009. 29

Badrulzaman Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Cetakan Pertama, Bandung, 1994. Dewi Gemala, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Kencana, Cetakan ke-3, Jakarta, 2006. Fuady Munir, Arbitrase Nasional. Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-2, Bandung, 2003., Konsep Hukum Perdata, RajaGrafindo Persada, Cetakan ke-2, Jakarta, 2015. Kansil C.S.T. dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Cetakan ke- 11, Jakarta, 2000. Marwan M. dan Jimmy P., Kamus Hukum, Reality Publisher, Cetakan Pertama, Surabaya, 2009. Marzuki Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana, Cetakan ke-6, Jakarta, 2010. Meliala Djaja S., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Cetakan ke-2, Bandung, 2008. Muhammad Abdulkadir, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-5, Bandung, 2011. Muhammad, Paradigma, Metodologi dan Aplikasi Ekonomi Syariah, Graha Ilmu, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2008. Naja H.R. Daeng, Akad Bank Syariah, Pustaka Yustisia, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2011. Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-6, Bandung, 2006. Rahmadi Takdir, Mediasi. Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, RajaGrafindo Persada, Cetakan ke-2, Jakarta, 2011. Subekti R. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang- Undang Hukum Dagang dan Undang- Undang Kepailitan, Pradnya Paramita, Cetakan ke-16, Jakarta, 1985., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Cetakan ke- 32, Jakarta, 2002. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Cetakan ke-22, Jakarta, 1989. Usman Rachmadi, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-2, Bandung, 2013. Sumber-sumber Lain: Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Perasuransian. Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah (Konsiderans Mengingat ). Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Tabarru pada Asuransi Syariah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. PERMA No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. PERMA No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. 30