BAB I PENDAHULUAN. secara terperinci menyatakan sebagai berikut :

dokumen-dokumen yang mirip
JURNAL. Diajukan Oleh : ALBERTO CHANDRA

BAB III PENUTUP. a. Kesimpulan. Berdasarkan Pembahasan maka dapat penulis simpulkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pidana penjara atau pemasyarakatan merupakan salah satu bagian dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan narkotika pada akhir-akhir tahun ini dirasakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Setelah adanya Keputusan Konferensi Dinas Para

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial, untuk. mewujudkannya diperlukan upaya perlindungan terhadap anak.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu melindungi segenap

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

BAB I PENDAHULUAN. berhak untuk mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. Internasional. Tidak mustahil peredaran narkotika yang sifatnya telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Istilah narkoba muncul sekitar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah Negara yang berdiri berlandaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. Law adalah Equality before the Law. Asas ini dituangkan dalam peraturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik,

BAB I PENDAHULUAN. mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi hanya sekedar penjeraan bagi narapidana,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan. Salah satu ciri negara hukum Indonesia yaitu adanya. yang bertugas mengawal jalannya pemeriksaan sidang pengadilan.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. sebutan penjara kini telah berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan

BAB I PENDAHULUAN. Para pelaku tindak pidana tersebut,yang memperoleh pidana penjara

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

satunya diwujudkan kedalam Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Nomor 14 tahun 1970 dan diganti oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum, bukan

BAB I PENDAHULUHAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) adalah melindungi

BAB I PENDAHULUAN. tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan. 1 Anak adalah amanah

BAB I PENDAHULUAN. terbendung lagi, maka ancaman dahsyat semakin mendekat 1. Peredaran

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik

BAB I PENDAHULUAN. dalam kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana tertuang dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemidanaan terhadap Pecandu Narkotika merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap

BAB I PENDAHULUAN. sosial dimana mereka tinggal.

BAB I PENDAHULUAN. mengikat maka Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. penerapannya dilakukan secara kumulatif.

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A PALU IRFAN HABIBIE D ABSTRAK

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ingin meningkatkan pencapaian di berbagai sektor. Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

persepsi atau mengakibatkan halusinasi 1. Penggunaan dalam dosis yang 2

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB III PENUTUP. disimpulkan dalam penelitian ini bahwa dengan dikeluarkannya Peraturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah generasi penerus suatu bangsa. Baik ataupun buruknya masa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. diperbincangkan dan dilansir media massa di seluruh dunia saat ini. Definisi terorisme

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

BAB I PENDAHULUAN. terus menerus termasuk derajat kesehatannya. dengan mengusahakan ketersediaan narkotika dan obat-obatan jenis tertentu

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. aka dikenakan sangsi yang disebut pidana. mempunyai latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda, sehingga dalam

BAB I PENDAHULUAN. merupakan tempat atau kediaman bagi orang-orang yang telah dinyatakan bersalah oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan juga adalah untuk

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Positif Indonesia mengenal berbagai macam sanksi pidana dan salah satunya yakni pidana penjara. Sanksi pidana merupakan penjatuhan hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dinyatakan bersalah dalam melakukan perbuatan pidana. Jenis-jenis pidana ini sangat bervariasi, seperti pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara sementara waktu, pidana kurungan dan pidana denda yang merupakan pidana pokok, dan pidana pencabutan hak-hak tertentu, perampasan baran-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan. Tujuan dari sanksi pidana menurut Van Bemmelen adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat, dan mempunyai tujuan kombinasi untuk menakutkan, memperbaiki dan untuk kejahatan tertentu membinasakan. 1 Eksistensi pidana penjara dituangkan dalam KUHP, yang secara terperinci menyatakan sebagai berikut : Sanksi Pidana dalam Pasal 10 KUHP terdiri atas: a. Pidana pokok : 1. Mati, 2. Penjara, 3. Kurungan, 4. Denda. b. Pidana tambahan 1 J.M van Bemmelen, 1987, Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum), Terjemahan Hasnan, Bina Cipta, Bandung, hlm. 128, dalam Mahrus Ali, 2008, Kejahatan Korporasi Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, hlm. 137. 1 1

2 1. Pencabutan hak-hak tertentu, 2. Perampasan barang-barang tertentu, 3. Pengumuman putusan hakim 2. Pidana penjara dalam pasal 10 KUHP juga dikenal dalam rancangan KUHP terbaru yang dengan sebutan lain yaitu pidana pemasyarakatan 3. Pidana penjara atau pemasyarakatan merupakan salah satu bagian dari hukuman yang dapat dijatuhkan kepada seorang terpidana yang telah divonis dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkraht). Fungsi pemidanaan pada saat ini tidak lagi sekedar penjeraan, tetapi pemidanaan dimaksudkan sebagai tempat atau sarana pembinaan, rehabilitasi dan reintegrasi warga binaan lembaga pemasyarakatan. Penjeraan dalam sistem pemidanaan memiliki unsur-unsur balas dendam di Lembaga Pemasyarakatan. Para warga binaan pemasyarakatan sering mengalami siksaan, untuk memperbaiki tingkah laku dan perbuatannya. Tindakan semena-mena atau kekerasan memang rentan sekali terjadi terhadap tersangka, terdakwa maupun narapidana. Manusia yang menjalani pidana penjara untuk tujuan penghukuman di negara manapun dalam sejarah pernah mengalami masa-masa suram. Negara-negara Eropa barat juga kerap kali melakukan kekerasan terhadap narapidananya, bahkan hingga abad ke -19, di Belanda masih berlaku tindakan memberi cap pada tubuh narapidana dengan besi panas yang membara 4. Kedua fungsi pemidanaan tersebut mengarahkan supaya narapidana tidak melakukan 2 Moeljatno,2005, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 5-6. 3 J.E. Sahetapy, 2007, Pidana Mati dalam Negara Pancasila, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 90. 4 R.N. Tubagus Ronny, 2001, Ketika Kejahatan Berdaulat, Peradaban, hlm. 76.

3 perbuatan pidana dan menyadarkan serta mengembalikan warga binaan pemasyarakatan tersebut ke dalam lingkungan masyarakat, menjadikan ia bertanggung jawab terhadap dirinya, keluarga dan masyarakat sekitar atau lingkungannya 5. Pemidanaan pada saat ini lebih ditujukan sebagai pemulihan konflik atau menyatukan terpidana dengan masyarakat 6. Warga binaan selaku terpidana yang menjalani pidana penjara memiliki hak-hak yang dilindungi oleh hak asasi manusia dan undang-undang Indonesia, salah satunya adalah dengan adanya pemberian remisi. Remisi pada hakekatnya adalah hak semua narapidana dan berlaku bagi siapapun sepanjang narapidana tersebut menjalani pidana sementara bukan pidana seumur hidup dan pidana mati. Hukum positif Indonesia yang mengatur mengenai remisi terdapat dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi, serta secara khusus terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang merupakan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 jo Peraturan Pemerintah 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Eksistensi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 terkait dengan pemberian remisi dewasa ini mengalami berbagai macam penolakan, 5 Samosir Djisman, 1992, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, hlm. 4. 6 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH.OT.02.02. tahun 2009 tentang cetak biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan.

4 hal ini karena adanya pengetatan pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 menimbulkan berbagai macam persoalan diantaranya adalah pandangan Yusril Mahendra bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 mengingkari asas kesamaan hak dihadapan hukum (equality before the law) yang membedakan pemberian remisi bagi terpidana kejahatan biasa dengan terpidana pelaku kejahatan luar biasa (extraordinary crime) terorisme, narkotika, psikotropika dan korupsi di Indonesia. Persoalan lainnya mengenai eksistensi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 lainnya muncul dari Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M. Mahfud MD. yang menegaskan, pembatasan remisi, pembebasan bersyarat, dan hak narapidana lain harus dilakukan dengan payung hukum undang-undang bukan dengan Peraturan Pemerintah (PP) 7 seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Uraian di atas menurut penulis menunjukkan bahwa pengetatan remisi bagi kejahatan luar biasa (extraordinary crime) terorisme, narkotika, psikotropika dan korupsi di Indonesia bertentangan dengan landasaan idiil negara Indonesia yaitu Pancasila, setidaknya pada prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab (sila 2) dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia 7 www.kompas.com/indra Akuntono, Deytri Robekka Aritonang, batasi remisi dengan undangundang, tanggal askes 13 september 2013.

5 (sila 5). Hak non diskriminasi ini ini kembali dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 d ayat (1) dan Pasal 28 h ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 dan bertentangan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan khususnya Pasal 5 yang mengatur tentang hak-hak yang sama para napi didalam pembinaannya baik perlakuan maupun pelayanan. Hak tersebut juga melanggar Pasal 7 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) serta Pasal 20 International Covenant of Cultur and Politic Right (ICCPR) yang pada intinya menyatakan persamaan hak dimuka hukum. Berdasarkan uraian diatas jelas Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 memiliki problematik. Persoalan mengenai eksistensi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tersebut memuncak pada tanggal 11 juli 2013 dengan munculnya kasus kerusuhan Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Selatan 8, hal tersebut sebagai akibat dari besar narapidana yang menolak Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis membahas lebih mendalam dalam penelitian yang berjudul tinjauan yuridis terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang pengetatan pemberian remisi terhadap kejahatan luar biasa korupsi, narkotika dan terorisme. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka diajukan rumusan masalah : Apakah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 8 http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/07/12/6/167628/kerusuhan-lp-tanjung- Gusta-Terkait-PP-Nomor-99-tahun-2012, M.Harizal, kerusuhan LP Tanjung Gusta terkait PP No 99 Tahun 2012, tanggal askes 13 september 2013.

6 tentang pengetatan pemberian remisi terhadap kejahatan luar biasa korupsi, narkotika dan terorisme bertentangan dengan asas equality before the law? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang hendak diacapai adalah untuk mengetahui Apakah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang pengetatan pemberian remisi terhadap kejahatan luar biasa korupsi, narkotika dan terorisme bertentangan dengan asas equality before the law. D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan perkembangan peradilan serta penyelesaian sengketa hukum pada khususnya. 2. Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi: a. Mahasiswa sebagai persyaratan dalam penulisan skripsi. b. Pembentuk Undang-undang sebagai saran dalam membentuk undangundang yang selalu berkembang. c. Aparat penegak hukum di Indonesia agar lebih memahami remisi sebagai suatu hak bagi narapidana. d. Narapidana kejahatan luar biasa agar memiliki pengetahuan mengenai eksistensi remisi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.

7 e. Masyarakat agar memiliki pengetahuan seputar remisi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang merupakan hak bagi narapidana. E. Keaslian Penelitian Penelitian/skripsi dengan judul Tinjauan Yuridis terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dalam Hal Pengetatan Pemberian Remisi Terhadap Tindak Pidana Luar Biasa Korupsi, Narkotika Dan Terorisme. Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah untuk mengetahui Apakah Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 dalam hal pengetatan pemberian remisi terhadap tindak pidana luar biasa korupsi, narkotika dan terorisme bertentangan dengan asas equality before the law. Ada beberapa skripsi yang temanya sama yaitu: 1. Richard R. Matondang, No. Mahasiswa 000507199, Fakultas Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Tahun 2005, menulis skripsi dengan judul tentang Pemberian Remisi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, rumusan masalah yang diajukan adalah Bagaimanakah prosedur pemberian remisi bagi narapidana terorisme? Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui bagaimanakah Prosedur Pemberian Remisi terhadap narapidana terorisme sehingga dapat menjamin pelaku tindak pidana terorisme untuk tidak melakukan perbuatan itu lagi. Hasil penelitian yang diperoleh adalah skripsi yang ditulis oleh penulis berbeda dengan skripsi Richard R Matondang baik melalui

8 identitas, judul, rumusan masalah, dan tujuan dari skripsi yang samasama membahas tentang remisi. 2. Martinus Agung Budi Susanto, No. Mahasiswa 050509090, Fakultas Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Tahun 2005, menulis skripsi dengan judul Upaya Polri Dalam menanggulangi tindak pidana terorisme di wilayah DIY. Rumusan masalah yang diajukan adalah Apa langkahlangkah Polri dalam menanggulangi tindak pidana terorisme di wilayah DIY? dan Hambatan apa saja yang dihadapi polro dalam menanggulangi tindak pidana terorisme. Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui dan memperoleh data tentang : 1. Langkah-langkah polri dalam mengantisipasi tindak pidana terorisme di wilayah DIY. 2. Hambatan yang dihadapi Polri dalam mengantisipasi tindak pidana terorisme di wilayah DIY. Hasil penelitian yang diperoleh adalah skripsi yang ditulis oleh penulis berbeda dengan skripsi Martinus Agung Budi Susanto ini baik melalui identitas, judul, rumusan masalah, dan tujuan dari skripsi yang sama-sama membahas tentang Tindak Pidana Terorisme Terorisme. 3. Marthinus Eko Frengki Rirarno, No. Mahasiswa 04058891, Fakultas Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Tahun 2004, menulis skripsi dengan judul Efektifitas Pembinaan Narapidana Tindak Pidana Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Sleman.

9 Rumusan masalah yang diajukan adalah Bagaimanakah efektifitas pembinaan terhadap narapidana tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh para petugas atau tenaga pembina di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Sleman, dan kendala-kendala apa saja yang dapat menghambat pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sleman?. Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui Bagaimanakah Efektifitas Pembinaan terhadap narapidana tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh para petugas atau tenaga pembina di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Sleman, dan kendala-kendala apa saja yang dapat menghambat pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sleman. Hasil penelitian yang diperoleh adalah skripsi yang ditulis oleh penulis berbeda dengan skripsi Marthinus Eko Frengki Rirarno baik melalui identitas, judul, rumusan masalah, dan tujuan dari skripsi yang sama-sama membahas tentang tindak pidana korupsi. F. Batasan Konsep 1. Tinjauan Yuridis Tinjauan yuridis adalah cara memandang, mengamati sesuatu melalui suatu cara tertentu, atau membuat suatu gambaran 9 terhadap aspek hukum Peraturan Perundang-undangan dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. 9 Ibid

10 2. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan merupakan Perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 diundangkan pada tanggal 12 November 2012 dengan lembaran negara Republik Indonesia tahun 2012 Nomor 225. Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 dikeluarkan dengan salah satu pertimbangan yaitu untuk memperketat syarat dan tata cara pemberian Remisi, Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat bagi pelaku tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat demi keadilan masyarakat. 3. Pengetatan Pengetatan adalah berbuatan (cara, hal) mengetatkan atau menjadikan ketat 10. 4. Remisi Remisi yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang 10 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit., hlm. 587.

11 memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan. 5. Kejahatan Luar Biasa Kejahatan luar biasa berasal dari kata kejahatan dan luar biasa. Kejahatan adalah sifat yang jahat; perbuatan yang jahat (seperti mencuri, membunuh); dosa. Luar biasa adalah tidak seperti yang biasa; tidak sama dengan yang lain; istimewa: penyanyi itu mendapat sambutan 11. Jadi kejahatan luar biasa adalah perbuatan yang jahat yang tidak biasa atau istimewa. 6. Korupsi Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, menyatakan bahwa yang termaksud dalam tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 7. Narkotika Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan tindak pidana narkotika adalah yang termaksud dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 129. Narkotika sendiri adalah zat atau obat yang 11 http://kamusbahasaindonesia.org/luar%20biasa/mirip#ixzz2fapd45nm, kamus bahasa indonesia online, tanggal askes 13 september 2013.

12 berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 8. Terorisme Terorisme atau Tindak Pidana Terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 1 dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang adalah Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, yang berfokus pada norma hukum positif. Penelitian menggunakan data sekunder. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah berupa data sekunder yang terdiri dari : a. Bahan hukum primer :

13 1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), dan Pasal 28 h ayat (2) yang intinya mengenai persamaan hak dihadapan hukum. 2) Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan khususnya Pasal 5 dimana disana diatur tentang hak-hak yang sama para napi didalam pembinaannya baik perlakuan maupuun pelayanan 3) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang merupakan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 junto Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 4) International Covenant of Cultur and Politic Right (ICCPR) sebagai mana telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang kovenan internasional hak-hak sipil dan politik, khususnya Pasal 20 yang pada intinya menyatakan persamaan hak dimuka hukum. 5) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 7 mengenai persamaan di muka hukum sebagaimana telah diratifikasi dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 3 mengenai persamaan sabagai manusia dimuka hukum.

14 6) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 junto Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 200 yang merupakan perubahanm kedua Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 7) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 8) Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang remisi. b. Bahan hukum sekunder : 1. Pendapat hukum dan pendapat non hukum yang diperoleh dari buku, hasil penelitian, jurnal hukum, majalah, surat kabar, internet, dan makalah. 2. Narasumber yaitu Kasubsi Registrasi Lapas Kelas IIA Pakem. c. Bahan Hukum Tersier Berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. 3. Cara Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan untuk mempelajari bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan, dan bahan hukum sekunder yang berupa pendapat hukum dan pendapat non hukum dari buku, internet, buku, hasil penelitian, jurnal hukum, majalah, surat kabar, internet, dan makalah. b. Wawancara

15 Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal. Penulis mengadakan wawancara langsung dengan hakim yang bertujuan untuk memperoleh informasi. Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh bahan hukum sekunder dengan melakukan tanya jawab terhadap Kasubsi Registrasi Lapas Kelas IIA Pakem. Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan terbuka. 4. Analisis Data Langkah-langkah dalam melakukan analisis : - Data sekunder a. Bahan hukum primer Dianalisis sesuai dengan lima tugas hukum normatif : 1) Deskripsi hukum positif Sesuai dengan bahan hukum primer tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Dalam Hal Pengetatan Pemberian Remisi Terhadap Tindak Pidana Luar Biasa Korupsi, Narkotika Dan Terorisme. 2) Sistematisasi hukum positif Secara vertikal tidak terdapat sinkronisasi antara Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 27 ayat 1 mengenai persamaan hak dihadapan hukum dan Pasal 28 h ayat 2 mengenai persamaan pelayanan yang dinyatakan kembali dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

16 tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 3 mengenai perasmaan dihadapan hukum dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang merupakan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 jo PP 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Karena tidak ada sinkronisasi, prinsip penalaran hukum yang digunakan adalah derogasi dengan asas berlakunya peraturan perundang undangan yaitu Lex Superiori Derogat Legi Generali. 3) Analisis hukum positif Bahwa norma itu open system, terbuka untuk dievaluasi, dikritiki. 4) Interpretasi hukum positif Interprestasi hukum positif dilakukan secara gramatikal yakni mengartikan suatu terminologi hukum atau suatu bagian kalimat bahasa sehari-hari atau bahasa hukum. Interprestasi sistematis yakni dengan titik tolak dari sistem aturan mengartikan suatu ketentuan hukum dan interprestasi secara teleologis yakni undang-undang yang ditetapkan berdasarkan tujuan dari Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Dalam Hal Pengetatan Pemberian Remisi Terhadap Tindak Pidana Luar Biasa Korupsi, Narkotika Dan Terorisme.

17 5) Menilai hukum positif Menilai hukum positif merupakan gagasan yang ideal tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Dalam Hal Pengetatan Pemberian Remisi Terhadap Tindak Pidana Luar Biasa Korupsi, Narkotika Dan Terorisme. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yang berupa pendapat hukum akan diperbandingkan dengan pendapat lain dan perbedaan pendapat. Pendapat dari narasumber akan dideskripsikan dan diperbandingkan dengan berbagai pendapat hukum juga dengan bahan hukum primer apakah ada persamaan ataukah ada perbedaan. Dokumen yang diperoleh akan dideskripsikan, dan diperbandingkan dengan berbagai pendapat hukum serta norma hukum positif. 5. Proses Berfikir Langkah terakhir dalam menarik kesimpulan dilakukan dengan proses berpikir atau prosedur bernalar deduktif. Proses berpikir deduktif berawal dari proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini/alsiomatik), berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat khusus.