BAB IV HUBUNGAN GOLPUT DALAM PEMILU MENURUT ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILU

dokumen-dokumen yang mirip
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR : 5 TAHUN : 2007

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2006 NOMOR 9 SERI E NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2006 T E N T A N G

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 9 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA

BAB II TINDAK PIDANA YANG TERDAPAT DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BUPATI KEPULAUAN MERANTI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI TANA TORAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PP 33/1999, PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1999 TENTANG PEMILIHAN UMUM. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 3 0TAHUN 2007 T E N T A N G TATACARA PEMILIHAN, PENCALONAN, PELANTIKAN DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DESA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SEKILAS PEMILU PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

No. Pasal Kualifikasi Delik Unsur Tindak Pidana Sanksi Setiap orang. kehilangan hak Menyebabkan orang lain

PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO D E S A P A D I Jln. Raya Padi Pacet No.26 Kec. Gondang Tlp PERATURAN DESA PADI NOMOR : 06 TAHUN 2002

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1985 TENTANG REFERENDUM. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH [LN 2004/125, TLN 4437]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN, PELANTIKAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI SRAGEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BAB V PENUTUP. penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG

NOMOR 2 TAHUN 1999 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

MEKANISME PENYELENGGARAAN PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR JATENG DAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI KUDUS TAHUN 2018

BAB I PENDAHULUAN. Simbol manifestasi negara demokrasi adalah gagasan demokrasi dari

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PENGISIAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bab III Keanggotaan. Bagian Kesatu. Umum

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA TAHUN 2006 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA NOMOR : 11 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1999 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1999 TENTANG PEMILIHAN UMUM

UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN [LN 2008/176, TLN 4924]

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

L E M B A R AN D A E R A H KABUPATEN BALANGAN NOMOR 07 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 07 TAHUN 2007 T E N T A N G

B U P A T I T A N A H L A U T PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT

: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

PASANGAN CALON TUNGGAL DALAM PILKADA, PERLUKAH DIATUR DALAM PERPPU? Oleh: Zaqiu Rahman *

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1999 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1999 TENTANG PEMILIHAN UMUM

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

- 3 - : Keputusan Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum pada tanggal 20 Maret 2013; MEMUTUSKAN :

PEMILIHAN UMUM. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008

Tabulasi Ketentuan Pidana Pemilihan Umum Undang undang nomor 7 tahun 2017 ===

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 4 TAHUN 2007 T E N T A N G PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN, PELANTIKAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA

BUPATI PACITAN PERATURAN BUPATI PACITAN NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem

SALINAN L E M B A R AN D A E R A H KABUPATEN BALANGAN NOMOR 07 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 07 TAHUN 2007 T E N T A N G

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

1 of 5 02/09/09 11:52

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENCALONAN, PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN

PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

Transkripsi:

BAB IV HUBUNGAN GOLPUT DALAM PEMILU MENURUT ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILU A. Golput Dalam Pemilu Menurut Islam Pemilu beserta hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraannya pada dasarnya merupakan aktifitas politik (siyasah). Perlakuan Islam terhadap urusan politik berbeda dengan perlakuannya dengan perlakuannya terhadap urusan Aqidah dan Ibadah. Urusan politik, karena sifatnya yang bisa berubah dan selaras dengan perkembangan zaman diatur oleh Islam dengan pola pengaturan yang sifatnya hanya berupa garis-garis besar. Ketika Nabi SAW wafat, kaum Muslim tidak mendapatkan wasiat apapun dari beliau tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik kaum muslimin sepeninggal beliau, dan tidak juga wasiat tentang bagaimana prosedur pemilihan pengganti beliau itu. Agaknya beliau menyerahkan urusan tersebut kepada proses-proses pemecahan masalah yang harus dilakukan oleh kaum muslimin sendiri melalui jalan yang telah diajarkan oleh agamanya, yaitu jalan musyawarah. Prinsip musyawarah dimuat dalam al-qur an Q.S Syura:38; æóãóãúñõåõãú ÔõæÑóì Èóíúäóåõãú Artinya : Urusan Mereka Dimusyawarahkan Diantara Mereka. 63

64 Berdasarkan prinsip penyelesaian masalah bersama melalui jalan musyawarah. Islam meletakkan tanggungjawab kepada kaum muslimin untuk mengelola urusan mereka yang penting melalui prosedur-prosedur yang melibatkan aspirasi segenap anggota masyarakat. Melalui musyawarah, setiap masalah yang menyangkut kepentingan umum dapat ditemukan jalan keluar yang sebaik-sebaiknya setelah semua pihak mengemukakan pandangan dan pikirannya. Pemilu tidak lain adalah bentuk musyawarah yang diikuti oleh orang banyak, yang diselenggarakan untuk membentuk lembaga-lembaga penting dalam negara dan pemerintahan, yakni lembaga kepemimpinan atau kepresidenan dan lembaga perwakilan atau parlemen. Tentang pembentukan pemerintah atau penegakan kepemimpinan negara, para ulama hukum Islam sepakat bahwa hal ini merupakan kewajiban kifayah bagi umat Islam, yakni kewajiban yang tuntutan pelaksanaannya dihadapkan pada komunitas muslimin secara kolektif. Jika ada sebagian mereka yang melaksanakan kewajiban itu, maka seluruh anggota komunitas dipandang sudah melaksanakan kewajiban itu, maka seluruh anggota komunitas dipandang sudah melaksanakan. Tetapi jika tidak ada yang melaksanakannya, maka mereka semuanya berdosa. Berdasarkan pandangan ini, maka kondisi kekosongan pemerintah tidak boleh terjadi di dalam komunitas muslimin. Jika membentuk pemerintah menurut Islam adalah fardu qifayah, sedangkan pemilu adalah wasilah (media) untuk membentuk pemerintah itu, maka hukum menyelenggarakan pemilu adalah juga fardu kifayah. Jika

65 pemilu itu fardu kifayah, maka yang pokok adalah bagaimana pemilu itu terselenggarakan dengan sah, maka gugurlah kewajiban kifayah itu dari perspektif Islam, sikap sebagaimana pemilu untuk Golput atau sengaja tidak melibatkan dari dalam pemilu untuk memberikan suara adalah boleh dan bisa toleransi sepanjang hal itu tidak membawa akibat pada gagalnya penyelengaraan pemilu. Akan tetapi, jika sampai menyebabkan kegagalan dalam pemilu, yang berarti pula menyebabkan gagalnya upaya pembentukan pemerintahan, maka Golput seperti itu dilarang. Bisa juga Golput dari perspektif Islam ini didekati dari sisi yang lain. Seperti telah dikemukakan, Islam tidak mengatur soal-soal politik dengan pola pengaturan yang rinci. Islam menyerahkan pengaturannya kepada kaum muslimin melalui jalan musyawarah. Aturan-aturan yang melalui musyawarah bersifat mengikat dan wajib dipatuhi, termasuk aturan-aturan teknis tentang ihwal penyelenggara pemilu. Dengan kata lain, peraturan perundang-undangan tentang pemilu yang dihasilkan melalui kesepakatan dalam forum musyawarah merupakan hukum atau norma yang berlaku bagi masyarakat untuk dijalankan sebagai kontrol sosial. Dengan pendekatan ini, hukum Golput dalam perspektif Islam adalah tergantung bagaimana ketentuan-ketentuan pelaksanaan pemilu yang dihasilkan melalui musyawarah. Jika menurut ketentuan yang disepakati itu Golput dibolehkan, maka bolehlah Golput menurut Islam. Begitu juga kalau menurut ketentuan yang disepakati itu Golput dilarang, maka haramlah Golput menurut Islam.

66 Terkait dengan ini, Undang-Undang tentang pemilu di Indonesia, yang merupakan hasil musyawarah para wakil rakyat di parlemen, membolehkan pada pemegang hak pilih untuk memilih menjadi Golput dalam pemilu. Berhubungan putusan musyawarah itu mengikat, maka dari perspektif Islam Golput dalam pemilu di Indonesia pada dasarnya adalah boleh. Tentu saja, sebagaimana telah dikemukakan, kebolehan ini adalah sebatas manakala sikap Golput tersebut tidak menyebabkan gagalnya upaya pembentukan pemerintah melalui pemilu. Dari sudut pandang yang lain, Sudarmadji (ketua pengurus pusat dewan masjid Indonesia), mengharamkan umat Islam bersikap Golput dalam pemilihan pemimpin, karena dua alasan. Pertama, pemilu adalah media untuk memilih pemimpin yang wajib ditaati. Dua, sikap Golput itu akan merugikan umat Islam sendiri karena sama artinya membiarkan orang lain memilih pemimpin sesuai dengan keinginannya yang dapat berakibat tampilnya pemimpin yang ditindak sesuai dengan keinginan kaum muslim. 1 Pertimbangan yang dikemukakan oleh Sudarmadji diatas dapat diletakkan sebagai batas atau qayyid tambahan dalam menentukan hukum Golput, yakni pertimbangan tentang terealisasinya kemaslahatan kaum muslim. Sebab, kewajiban kolektif kaum muslim untuk membentuk pemerintahan tidak lain adalah dalam rangka untuk menegakkan kemaslahatan mereka. Dengan demikian, sepanjang tidak mengakibatkan lahirnya pemimpin yang tidak sesuai kriteria hukum Islam, maka sikap Golput dalam itu 1 Badri Khaeruman-Deden Efendi, Islam dan demokrasi, 105

67 dibolehkan. Tetapi kalau tidak, misalnya bagi komunitas muslim di negaranegara bangsa (nation state), yang dari segi kualitas mereka bukan merupakan loyalitas mutlak, maka Golput bagi mereka tidak dibolehkan. Sebab, seperti telah dikemukakan oleh Sudarmadji, sikap Golput mereka itu bisa membuka peluang tampilnya pemimpin yang tidak sesuai dengan aspirasi mereka yang pada gilirannya akan membuka peluang pada karang terurusnya kemaslahatan kaum muslim. Jadi, dengan ringkas dapat dikemukakan bahwa dari perspektif Islam sikap Golput dengan pemilu dibolehkan dengan dua syarat. Pertama, pemilu adalah media untuk memilih pemimpin yang wajib ditaati. Dua, sikap Golput itu akan merugikan umat Islam sendiri karena sama artinya membiarkan orang lain memilih pemimpin sesuai dengan keinginannya yang dapat berakibat tampilnya pemimpin yang ditindak sesuai dengan keinginan kaum muslim. B. Golput Dalam Pemilu Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun2008 Tentang Pemilu Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa pemilu adalah wahana politik bagi rakyat untuk menyatakan kehendaknya dalam memilih pemimpin mereka dan atau memilih anggota-anggota parlemen yang akan mewakili dan berbicara atas nama mereka. Namun demikian dalam kenyataannya selalu ada sebagian dari rakyat yang tidak mengambil bagian dalam pemilu dalam arti tidak memberikan hak suara. Kenyataan ini dimungkinkan karena terjadinya banyak faktor.

68 Diantaranya boleh jadi karena figur-figur calon yang ada tidak sesuai atau tidak cocok dengan kriteria yang diinginkan oleh pemilih. Bisa juga karena faktor sikap pemilih yang apatis, tidak mau ambil pusing dengan yang namanya pemilu. Bisa juga karena sistem atau mekanisme penyelenggaraan pemilu itu sendiri yang tidak tertib atau tidak jujur sehingga ada sebagian orang yang tidak terdaftar / didaftar sebagai pemilih. Bisa juga karena hambatan lainnya, misalnya pemilih tidak bisa datang ke tempat pemungutan suara karena sakit, atau karena sedang tidak di tempat tinggal, dan sebagainya. Mereka yang sudah resmi terdaftar sebagai pemilih dalam pemilu lalu dengan kehendak sendirinya, dan bukan karena faktor seperti yang disebutkan diatas yaitu, memilih untuk tidak mengambil bagian dalam pemberiankan hak suara, lazim disebut dengan GOLPUT (Golongan Putih). Golput dalam pemilu merupakan manifestasi dari sikap politik, sedangkan urusan penyelenggaraan pemilu secara yuridis sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilu, maka timbul persoalan tentang bagaimana sikap Golput para pemilih apabila dilihat dari prespektif undang-undang pemilu. Walau pun terkesan sederhana permasalahan Golput, perlu dikemukakan lebih dahulu dalam pasal 19 dalam Undang-Undang pemilu No 10 Tahun 2008 yang menyatakan, Warga Negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. 2 Sedangkan pada Undang-Undang pemilu No 23 Tahun 2003 Pasal 8, ayat 1 2 Departemen kehakiman Republik Indonesia, UU RI Nomor 10 Tahun 2008, 12

69 menyatakan, Untuk dapat menggunakan hak memilihnya, warga Negara Republik Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih, ayat 2 menyatakan, untuk dapat didaftarkan sebagai pemilih, warga Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat, yakni nyata-nyata tidak terganggu jiwa atau ingatannya; tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 3 Kalimat mempunyai hak memilih pada pasal 19 di atas dengan sangat tegas menunjukkan bahwa ketertiban rakyat untuk memberikan suara dalam pemilu adalah bukan kewajiban, melainkan hak. Walau pun demikian, memberikan suara dalam pemilu itu hak tidak secara otomatis rakyat dapat menggunakan hak memilihnya karena untuk itu Undang-Undang menetapkan syarat administratif, yakni harus terdaftar sebagai pemilih. Artinya, jika rakyat tidak terdaftar secara resmi sebagai pemilih, maka ia tidak dapat menggunakan haknya untuk memberikan suara dalam pemilu walau pun dengan suka rela ia berkehendak melaksanakan. Tidak individu bisa didaftar sebagai pemilih sebagai dalam pemilu karena itu Undang-Undang menetapkan dua syarat. Pertama, syarat yang menyangkut kecakapan untuk dapat memangku hak politik tersebut secara bertanggungjawab. Dalam pertalian ini parameter yang digunakan oleh Undang-Undang pemilu adalah usia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin dan tidak sedang dalam keadaan terganggu jiwa atau ingatannya. Kedua, syarat yang berkenaan dengan tingkat loyalitas politik yang ditandai 3 Departemen kehakiman Republik Indonesia, UU RI Nomor 23 Tahun 2003,9

70 dengan keadaan bahwa yang bersangkutan tidak sedang dicabut hak politiknya untuk memilih berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena memilih itu hak, maka dalam perspektif Undang-Undang pemilu para pemilih diberi kebebasan untuk memilih untuk menggunakan hak atau tidak menggunakannya. Selanjutnya, oleh karena memilih itu hak, maka tidak boleh untuk siapa pun memaksa pemilih hak itu untuk memilih menggunakan haknya atau untuk pemilih tidak menggunakannya. Terkait dalam ini dalam pasal 260 Undang-Undang Pemilu Nomor 10 tahun 2008 yang menegaskan larangan melakukan tindakan seperti itu dan mengancam pelakunya dengan sanksi pidana, yang bunyi sebagai tersebut: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan menghalang-menghalangi. seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, diancam dengan hukuman penjara paling singkat dua belas bulan (12 bulan) atau paling lama dua puluh empat tahun (24 bulan) dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah), dan paling banyak Rp. 24..000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). 4 Larangan seperti itu malah bukan hanya ditunjukkan pada tindakan pemaksaan, melainkan juga pada tindakan-tindakan yang berbau politik uang. Dalam pasal 265, ditegaskan: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan memberikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh 4 Departemen kehakiman Republik Indonesai, UU RI Nomor 10 Tahun 2008, 106

71 dukungan bagi pencalonan anggota DPD dalam pemilu sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit RP. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak RP. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). 5 Diatas telah menggambarkan sangat jelas bahwa Golput atau kesenjangan pemilih untuk tidak memilih oleh Undang-Undang pemilu No 10 Tahun 2008 di letakkan dalam posisi yang sama dengan kesenjangan memilih untuk memilih, yakni sama diletakkan sebagai hak dari setiap pemilih yang dilindungi oleh Undang-Undang. Perlindungan diberikan sedemikian rupa sehingga Undang-Undang mengancam sanksi pidana kepada pihak-pihak yang melakukan perbuatan pemaksaan terhadap pemilih untuk menggunakan hak pilihnya atau tidak menggunakannya. Demikian juga untuk sanksi pidana diancamkan terhadap pihak-pihak yang berupaya mempengaruhi pemilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya dengan janji-janji imbalan financial. Ringkasnya jika dilihat dari perspektif Undang-Undang No 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum, sikap Golput atau sikap memilih untuk tidak memberikan suara dalam pemilu adalah hak para pemilih yang dihormati dan bahkan dilindungi oleh Undang-Undang. Dengan demikian, Golput menurut Undang-Undang no 10 tahun 2008 tentang pemilu dibolehkan. 5 Ibid, 107

72 C. Hubungan Golput dalam pemilu menurut Islam dan Undang-Undang No10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Dalam Islam sesungguhnya tidak ada dikotomi antara rakyat dengan negara, karena negara didirikan justru untuk kepentingan mengatur kehidupan rakyat dengan syariat Islam. Kepentingan tersebut yaitu tegaknya syariat Islam secara keseluruhan di segala lapangan kehidupan. Adapun peran rakyat dalam negara Islam ada tiga, pertama melaksanakan syariat Islam yang wajib ia laksanakan, ini adalah pilar utama tegaknya syariat Islam, yakni kesediaan masing-masing individu tanpa pengawasan orang lain karena dorongan taqwa semata, untuk taat pada aturan Islam, kedua, mengawasi pelaksanaan syariat Islam oleh negara dan jalannya penyelenggaraan negara, ketiga, rakyat berperan sebagai penopang kekuatan negara secara fisik maupun intelektual, agar menjadi negara yang maju, kuat, disegani di tengah-tengah percaturan dunia. 6 Melaksanakan syariat Islam merupakan kewajiban umat Islam untuk dilaksanakannya. Sebagai umat Islam yang berpedoman pada syariat Islam maka hendaknya menjauhi larangan-nya dan melaksanakan perintah-nya. Rakyat berperan sebagai penompang kekuatan negara secara fisik maupun intelektual, agar menjadi negara yang maju, kuat, serta busa disegani di tengah-tengah pencitraan dunia maka haruslah menjadi warga negara Republik Indonesia yang baik hendaknya ikut serta dalam berbagai kegiatan yang dilakukan negara atau pemerintah. Setiap 5 tahun sekali negara Indonesia 6 Riyandana, Sistem Politik Dan Pemerintahan Islam, www.riyandana.glogspot.com (13-03-2010)

73 telah melaksanakan yang namanya pemilu, dimana rakyat memiliki hak mutlak untuk memilih wakilnya sebagai orang di pemerintahan yang nantinya bisa menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran. Akan tetapi, menyesalkan adanya kelompok masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu atau biasa disebut sebagai kelompok Golput. Menurut Nurul, Golput bukanlah pilihan bijak. Mengapa? Pertama, pilihan untuk tidak memilih (Golput) merupakan bentuk pemborosan terhadap anggaran belanja Negara (untuk pemilu) dan APB daerah (untuk pilkada). Padahal, dalam momentum pemilu maupun pilkada, tidak sedikit dana yang dikeluarkan. Kedua, Golput juga akan menguntungkan calon yang belum tentu berkualitas atau disukai. Artinya, calon bisa menang hanya dengan perolehan suara rendah atau hanya mempunyai basis massa sedikit karena lebih banyak masyarakat yang Golput. Ini mengakibatkan legitimasi kekuasaan calon terpilih akan berkurang. Dalam pemilihan secara langsung seperti saat ini, maka calon yang terpilih akan merasa bahwa ia pilihan rakyat dan bebas melakukan apa yang dikehendakinya. Justru hal ini menjadi bumerang bagi Golput. 7 Fenomena-fenomena yang bisa menimbulkan rakyak memilih untuk Golput. Pertama, ketidakpercayaan pada kader parpol. Fenomena Golput juga dapat menjadi simbol warning bagi setiap parpol, karena dari beberapa survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei nasional menunjukkan bahwa kondisi parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. 7 Nurul Arifin, Fenomena Golput Di Indonesia, (copyright.com, 2008, 04-03-2010)

74 Kedua, calon tidak memenuhi harapan masyarakat. Ada yang diakibatkan oleh alasan ideologis, atau ada yang dengan alasan kapok karena calon yang ada dianggap tidak capable, tidak dapat dipercaya, melanggar janjinya, dan sebagainya. Ketiga, persoalan ekonomi. Masyarakat lebih mengutamakan pekerjaannya, tidak mau meninggalkan pekerjaannya untuk mencoblos. Karena merasa satu sisi jenuh, tidak mau terlibat politik, pada sisi lain juga dihadapkan dengan persoalan domestik yang sangat mendesak. Yakni bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keempat, alasan teknis. Proses pendaftaran pemilih yang masih belum tertib. Yang penting adalah melakukan gerakan kultural untuk mengembalikan semangat memilih, menggunakan hak pilih dalam pemilu maupun pilkada untuk melawan budaya Golput. Bisa dilakukan kampanye besar-besaran, melibatkan semua kelompok dalam masyarakat. Kedua, pendidikan dan sosialisasi politik kepada pemilih pemula untuk tidak menjadi Golput. Terkait dengan ini, Undang-Undang No 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu di Indonesia, yang merupakan hasil musyawarah para wakil rakyat di Parlemen, membolehkan pada pemegang hak pilih untuk memilih menjadi Golput dalam pemilu. Berhubungan putusan musyawarah itu mengikat, maka dari perspektif Islam Golput dalam pemilu di Indonesia pada dasarnya adalah tidak boleh. Tentu saja, sebagaimana telah dikemukakan, ketidakbolehan ini adalah sebatas manakala sikap Golput tersebut tidak menyebabkan gagalnya upaya pembentukan pemerintah melalui pemilu. Dari sudut pandang yang lain,

75 Sudarmadji (Ketua Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia), mengharamkan umat Islam bersikap Golput dalam pemilihan pemimpin, karena dua alasan. Pertama, pemilu adalah media untuk memilih pemimpin yang wajib ditaati. Dua, sikap Golput itu akan merugikan umat Islam sendiri karena sama artinya membiarkan orang lain memilih pemimpin sesuai dengan keinginannya yang dapat berakibat tampilnya pemimpin yang ditindak sesuai dengan keinginan kaum muslim. 8 Kita lihat, hubungan Golput dalam pemilu menurut Islam dengan Undang-Undang No 10 Tahun 2008 menggambarkan bahwa dari perspektif Islam sikap Golput dengan pemilu tidak dibolehkan dengan dua syarat. Pertama, pemilu adalah media untuk memilih pemimpin yang wajib ditaati. Dua, sikap Golput itu akan merugikan umat Islam sendiri karena sama artinya membiarkan orang lain memilih pemimpin sesuai dengan keinginannya yang dapat berakibat tampilnya pemimpin yang ditindak sesuai dengan keinginan kaum muslim. Sedangkan dari perspektif Undang-Undang No 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum, sikap Golput atau sikap memilih untuk tidak memberikan suara dalam pemilu adalah hak para pemilih yang dihormati dan bahkan dilindungi oleh Undang-Undang. Dengan demikian, Golput menurut Undang-Undang pemilu dibolehkan. Kesimpulannya, hubungan Golput menurut Islam dan Undang-Undang No 10 Tahun 2008 tentang pemilu, keduanya merupakan tata cara atau aturan atau ajaran yang harus ditaati oleh setiap manusia. Sebab keduanya memiliki 8 Badri Khaeruman-Deden Efendi, Islam dan Demokrasi, 105

76 sangsi yang harus ditanggung oleh setiap pelakunya. Serta dibolehkan karena Golput merupakan hak dari setiap pemilih untuk memilih pemimpinnya, dan dibatasi dengan prosedur-prosedur yang sudah ditentukan.