BAB I PENDAHULUAN. informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik, yaitu hak untuk mengetahui

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ghia Giovani, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan penyelenggaraan operasional pemerintahan. Bentuk laporan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka reformasi di bidang keuangan, pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Dengan semakin maju dan terbukanya sistem informasi dewasa ini, isu-isu

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam pengelolaan keuangan dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan seiring

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mulai menerapkan otonomi daerah setelah berlakunya Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Mardiasmo (2004) mengatakan, instansi pemerintah wajib melakukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dengan Good Government Governance (GGG). Mekanisme. penyelenggaraan pemerintah berasaskan otonomi daerah tertuang dalam

BAB I PENDAHULUAN. menjadi isu yang sangat penting di pemerintahan Indonesia. Salah satu kunci

BAB I PENDAHULUAN. Penyusunan laporan keuangan merupakan salah satu kriteria dalam sistem reward. yang dapat menunjukkan kondisi sebenarnya.

BAB I PENDAHULUAN. Good Government Governance di Indonesia semakin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini masyarakat Indonesia semakin menuntut pemerintahan untuk

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara periodik (Mardiasmo, 2006, hal 17). Pemerintah harus mampu untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Pergantian Pemerintahan dari orde baru ke orde reformasi yang. dimulai pertengahan tahun 1998 menuntut pelaksanaan otonomi daerah

I. PENDAHULUAN. Perubahan paradigma pengelolaan keuangan baik pemerintah pusat maupun

BAB I PENDAHULUAN. manusia, sistem pengendalian internal (Windiatuti, 2013). daerah adalah (1) komiten pimpinan (Management Commitment) yang kuat

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertimbangan yang

BAB I PENDAHULUAN. keuangan pemerintah masih menemukan fenomena penyimpangan informasi laporan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam rangka mendukung terwujudnya tata kelola yang baik

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 pasal 32 ayat 1 dan 2 tentang keuangan

BAB 1 PENDAHULUAN. hal pengelolaan keuangan dan aset daerah. Berdasarkan Permendagri No. 21 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah daerah selaku penyelenggara urusan pemerintahan daerah

BAB I PENDAHULUAN. governance) ditandai dengan diterbitkannya Undang undang Nomor 28 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan dan pertanggungjawaban, maka dalam era otonomi daerah sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan tugas dan fungsi yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah mengeluarkan Undang Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. melalui UU No. 22 Tahun Otonomi daerah memberikan Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, pemerintah Indonesia berusaha untuk mewujudkan tata kelola

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Seiring dengan adanya perubahan masa dari orde baru ke era

BAB I PENDAHULUAN. Akuntanbilitas publik merupakan kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah daerah diberi kewenangan untuk penyelenggaraan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan keuangan, pemerintah melakukan reformasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang baik (good governance government), telah mendorong pemerintah pusat dan

I. PENDAHULUAN. melakukan pengelolaan keuangan serta mempertanggungjawabkan pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang

BAB I PENDAHULUAN. krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis ekonomi yang terjadi pada awal

BAB I PENDAHULUAN. Pergantian pemerintahan dari orde baru kepada orde reformasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Akuntansi merupakan suatu aktivitas yang memiliki tujuan (purposive

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan sejak tahun 1981 sudah tidak dapat lagi mendukung kebutuhan Pemda

BAB I PENDAHULUAN. telah direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 menyatakan bahwa setiap

BAB I PENDAHULUAN. kolusi, nepotisme, inefisiensi dan sumber pemborosan negara. Keluhan birokrat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pemeriksaan laporan keuangan/auditing secara umum adalah suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Artinya bahwa pemerintah pusat memberikan wewenang untuk

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. Setelah penulis menggali dan mengganalisis data temuan BPK RI Perwakilan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. baru menjadi era reformasi, pengelolaan keuangan daerah juga. mengalami perubahan. Pengelolaan keuangan daerah yang dulunya

BAB I PENDAHULUAN. Susilawati & Dwi Seftihani (2014) mengungkapkan bahwa perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. yang mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan sejak adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan tata kelola yang baik (good governance),

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. dan fungsinya yang didasarkan pada perencanaan strategis yang telah ditetapkan.

BAB I PENDAHULUAN. pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik yang disebut. dengan laporan keuangan (Mardiasmo, 2006).

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya pelaksanaan otonomi daerah menuntut pemerintah harus memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi di Indonesia setidaknya telah mengeluarkan dua undangundang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat luas. Laporan keuangan merupakan salah satu bentuk hasil pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Tata kelola pemerintahan yang baik (Good Government Governance)

BAB I PENDAHULUAN. pertanggungjawaban yang dilakukan kepada masyarakat luas (Mardiasmo:

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. arah dan tujuan yang jelas. Hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah,

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap terselenggaranya

BAB I PENDAHULUAN. pun berlaku dengan keluarnya UU No. 25 tahun 1999 yang telah direvisi UU No. 33 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi pengelolaan negara diawali dengan bergulirnya Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. Konsep good governance memiliki arti yang luas dan sering dipahami

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang menitik beratkan pada pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Laporan keuangan pemerintah merupakan komponen penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. pasti membutuhkan pemerintahan yang baik atau yang sering disebut good

BAB.I PENDAHULUAN. Perkembangan sektor publik di Indonesia dewasa ini ditandai dengan menguatnya

BAB I PENDAHULUAN. Good governace merupakan function of governing, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. untuk menerapkan akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik dapat diartikan sebagai bentuk

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dapat dinilai kurang pesat, pada saat itu yang lebih mendapat perhatian

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. yang dapat dijadikan milik Negara (UU no 17 pasal1 ayat1). Undang undang

BAB I PENDAHULUAN. yang menyajikan laporan keuangan diharuskan memberi pernyataan

BAB I PENDAHULUAN. pertanggungjawaban keuangan pemerintah. Pemerintah daerah diwajibkan

BAB I PENDAHULUAN. atau memproduksi barang-barang publik. Organisasi sektor publik di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. bersih dan berwibawa. Paradigma baru tersebut mewajibkan setiap satuan kerja

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi sektor publik adalah organisasi yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. telah mendorong pemerintah untuk menerapkan akuntabilitas publik.

AKUNTABILITAS PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN INSTANSI PEMERINTAH

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah melakukan reformasi pengelolaan keuangan dengan. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah di Indonesia, Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. dalam satu periode. Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) No.1

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi birokrasi bertujuan untuk menciptakan birokrasi pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. pasti membutuhkan pemerintahan yang baik atau yang sering disebut Good

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki kualitas kinerja, transparansi dan akuntabilitas pemerintahan di

BAB I PENDAHULUAN. organisasi, baik organisasi privat maupun organisasi publik. Governance) yang berbasis pada aspek akuntabilitas, value for money,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. menunjukan kualitas yang semakin baik setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah yang menyelenggarakanpemerintahan yang baik (good. governance) dan pemerintahan yang bersih (clean goverment), dituntut

ANALISIS HASIL AUDIT LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIAN/LEMBAGA

BAB I PENDAHULUAN. Nasution (2007) menyatakan beberapa kelemahan yang ditemukan pada

BAB I PENDAHULUAN. sebagai dasar pengambilan keputusan. Oleh karena itu pemerintah diharuskan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang selanjutnya undang-undang tersebut diganti dan disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dan undang-undang Nomor 33 tahun 2004 telah membawa dampak perubahan pada pola pengelolaan keuangan di sektor publik termasuk pemerintahan yang berimplikasi pada tuntutan otonomi yang lebih luas dan akuntabilitas publik yang nyata yang harus diberikan kepada pemerintah daerah. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus bisa menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik, yaitu hak untuk mengetahui (right to know), hak untuk diberi informasi (right to be informed), serta hak untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to). (Mardiasmo, 2002:31) Pada dasarnya, akuntabilitas publik adalah pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja finansial pemerintah daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Salah satu dimensi akuntabilitas publik adalah akuntabilitas keuangan (mardiasmo, 2006). Akuntabilitas keuangan

2 pemerintahan baik pusat maupun daerah telah menjadi isu sentral yang mendapat sorotan dari berbagai pihak. Akuntabilitas keuangan merupakan pertanggungjawaban mengenai integritas keuangan, pengungkapan dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Sasarannya adalah laporan keuangan yang mencakup penerimaan, penyimpanan dan pengeluaran keuangan instansi pemerintah (LAN dan BPKP, 2001). Akuntabilitas keuangan yang berkualitas memuat informasi yang akurat/handal dan valid yang menggambarkan kinerja instansi pemerintah, sekaligus sebagai perwujudan pertanggungjawaban pengelolaan dan pengendalian sumber daya yang digunakan untuk pelaksanaan kegiatan pada instansi pemerintah yang bersangkutan (Ismail Mohamad, 2004:278). Dengan demikian, tingkat akuntabilitas laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) yang dibuat oleh pemerintah daerah menggambarkan tingkat akuntabilitas keuangan pemerintah daerah. Salah satu indikator kualitas akuntabilitas keuangan dilihat dari opini auditor eksternal (BPK) atas penyajian laporan keuangan pemerintah, yang terdiri dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan Kementrian/Lembaga (LKKL), dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang komponennya meliputi: Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Opini BPK secara bertingkat terdiri dari: Tidak Wajar (TW), Tidak Memberikan Pendapat (TMP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), dan yang terbaik adalah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

3 Adapun perkembangan opini LKPD tahun 2008 sampai dengan 2012 dalam IHPS semester II 2013 tergambar dalam grafik 1.1 sebagai berikut: Sumber: IHPS II Tahun 2013 Grafik 1.1 Perkembangan Opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2008-2012 Berdasarkan grafik di atas dapat kita lihat bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini terdapat peningkatan jumlah LKPD yang mendapat opini kategori paling baik yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan yang mendapat opini kategori paling buruk yaitu Tidak Memberikan Opini (TMP) mengalami penurunan. Walaupun demikian, selain menunjukan kemajuan terdapat pula LKPD yang mengalami penurunan kualitas opini dari opini WDP menjadi TW yaitu Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten Kotabaru, dan Kabupaten Minahasa. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) RI mengungkapkan potret akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah belum menggembirakan karena target mengacu pada RPJM 2014 mencapai 60% daerah sudah mendapatkan opini WTP, sementara hasil peneliaian dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2012 baru 120 Pemerintah Daerah atau 23% yang mendapat opini WTP dari 523 Pemerintah Daerah. (BPKP, 2013)

4 LKPD yang memperoleh Opini WDP, pada umumnya laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan akun yang dikecualikan. Belum diperolehnya opini WTP dari BPK menunjukkan bahwa pelaporan keuangan Pemerintah daerah masih belum sepenuhnya dapat diyakini kewajarannya oleh BPK yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: 1. Adanya kelemahan sistem pengendalian intern; 2. Belum tertatanya barang milik negara/daerah dengan tertib; 3. Tidak sesuainya pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dengan ketentuan yang berlaku; 4. Penyajian laporan keuangan yang belum sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP); 5. Kelemahan dalam sistem penyusunan laporan keuangan; 6. Kurang memadainya kompetensi SDM pengelola keuangan pada pemerintah daerah. Selama lima tahun terakhir dari tahun 2008 sampai dengan 2012, Pemerintah Kabupaten Bandung mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Salah satu penyebab Pemerintah Kabupaten Bandung tidak mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian yaitu ditemukan kelemahan sistem pengendalian intern serta ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian daerah serta permasalahan mengenai aset daerah (IHPS I Tahun 2013). Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK atas 108 LKPD tahun 2012 menunjukkan terdapat 1.367 kasus kelemahan sistem pengendalian intern (SPI) yang meliputi kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan sebanyak 568 kasus atau 42% (568/1.367 x 100%), kelemahan sistem pengendalian

5 pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja sebanyak 549 kasus atau 40% (549/1.367 x 100%) dan kelemahan struktur pengendalian intern sebanyak 250 kasus atau 18% (250/1.367 x 100%). Presentase kelemahan SPI yang terjadi pada LKPD disajikan dalam grafik 1.2 Sumber: IHPS II Tahun 2013 Grafik 1.2 Presentase Kelemahan SPI pada Pemeriksaan LKPD Tahun 2012 Temuan BPK atas kelemahan sistem pengendalian intern di Pemerintah Kabupaten Bandung dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semeter I dapat dilihat dalam tabel 1.1 Tabel 1.1 Kelompok Temuan SPI pada Pemeriksaan Keuangan Pemerintah Kabupaten Bandung No Temuan Jumlah Kasus 1 Kelemahan Sistem Pengendalian Akuntansi dan Pelaporan 6 2 Kelemahan Sistem Pengendalian Pelaksanaan Anggaran dan 2 Belanja 3 Kelemahan Struktur Pengendalian Intern 3 Jumlah 11 Sumber: IHPS I Tahun 2013 Kasus-kasus kelemahan SPI tersebut diantaranya megenai pencatatan tidak/belum dialakukan atau tidak akurat, proses penyususnan laporan tidak sesuai

6 dengan ketentuan, sistem informasi akuntansi dan pelaporan tidak memadai, perencanaan kegiatan tidak memadai, entitas tidak memiliki Standard Operating Procedure (SOP) yang formal untuk suatu prosedur atau keseluruhan prosedur, serta kelemahan SPI lainnya seperti pelaksanaan belanja di luar mekanisme APBD, SOP yang ada pada entitas tidak berjalan secara optimal atau tidak ditaati dan satuan pengawas intern yang tidak memadai atau tidak berjalan optimal. Sistem Pengendalian Intern menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2008 adalah Proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Konsep pengendalian dan pengawasan itu sendiri telah lama ada di pemerintahan Indonesia dan telah mengalami banyak perkembangan. Perkembangan terkini mengenai sistem pengendalian intern pada pemerintahan sesuai dengan Pasal 58 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja, tranparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaran sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah salah satunya adalah untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan

7 keuangan, maka semakin baik penerapan sistem pengendalian intern akan semakin baik pula kualitas akuntabilitas keuangan. Dalam pemeriksaan laporan keuangan, BPK RI menyoroti permasalahan mengenai pengelolaan barang milik daerah dalam akun yang dikecualikan untuk opini atas pemeriksaan LKPD. Pengelolaan barang milik daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan keuangan dan secara umum terkait dengan administrasi pembangunan daerah khususnya yang berkaitan dengan nilai aset, pemanfaatan aset, pencatatan nilai aset dalam neraca maupun dalam penyususnan prioritas dalam pembangunan. Bupati Bandung Dadang M Naser mengakui, persoalan aset membuat Pemerintah Kabupaten Bandung kesulitan meraih opini sempurna dari BPK. Rumitnya persoalan aset tidak bisa dilepaskan dari kepindahan ibu kota Kabupaten Bandung dari Balonggede ke Baleendah dan Soreang. Begitu juga hasil pemekaran Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Bandung Barat yang masih meninggalkan permasalahan aset. Belum lagi persoalan aset lahan Arcamanik dari hasil pemekaran Kabupaten Bandung dengan Kota Bandung. Berdasarkan catatan BPK, persoalan aset itu menyangkut aset tetap yang belum tertib, penyajian aset tetap yang belum didukung dengan daftar rincian, pencatatan ganda, dan penomoran atau kodefikasi yang belum dilakukan. (Koran-sindo.com, 2011) Banyaknya kasus-kasus seperti di atas sangat jelas menggambarkan lemahnya pengelolaan barang milik daerah. Terkait dengan masalah tersebut

8 maka pemerintah perlu menyiapkan pengelolaan/manajemen barang daerah tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang pedoman teknis pengelolaan barang milik daerah. Siklus pengelolaan barang milik daerah menurut Permendagri ini meliputi: perencanaan kebutuhan dan penganggaran; pengadaan; penerimaan, penyimpanan dan penyaluran; penggunaan; penatausahaan; pemanfaatan; pengamanan dan pemeliharaan; penilaian; penghapusan; pemindahtanganan; pembinaan, pengawasan dan pengendalian; pembiayaan; dan tuntutan ganti rugi. Pengelolaan barang milik daerah ditujukan untuk menjamin keberlanjutan dari pemerintah daerah, maka pemerintah dituntut untuk dapat mengembangkan dan mengoptimalkan pengelolaan aset/barang milik daerah. Sehingga pengelolaan barang daerah yang baik dapat menciptakan kualitas laporan keuangan yang baik dan akan berdampak pada peningkatan kualitas akuntabilitas keuangan pemerintah itu sendiri. Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan pengelolaan barang milik daerah, sistem pengendalian intern dan akuntabilitas keuangan. Seperti penelitian yang dilakukan Maya Maulidia Wiraputri (2012) yang menunjukkan bahwa pengelolaan berpengaruh pada kualitas laporan keuangan, namun pengelolaan barang milik daerah terhadap akuntabilitas dengan kualitas laporan keuangan sebagai variabel intervening tidak berpengaruh signifikan. Kemudian penelitian Deden Taesar Noor Ikhsan (2011) yang menunjukkan adanya pengaruh positif antara Sistem Pengendalian Intern

9 Pemerintah terhadap Akuntabilitas Publik Pemerintah Kabupaten Bandung Barat. Sedangkan pnelitian Aristanti Widyaningsih (2009) menunjukkan hubungan yang kuat antara efektivitas sistem akuntansi keuangan daerah dan pengendalian intern dengan kualitas akuntabilitas keuangan. Berdasarkan penjelasan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji melalui penelitian dengan judul: Pengaruh Pengelolaan Barang Milik Daerah dan Sistem Pengendalian Intern Terhadap Kualitas Akuntabilitas Keuangan (Studi Kasus Pada SKPD Pemerintah Kabupaten Bandung). 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah untuk penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh pengelolaan barang milik daerah terhadap kualitas akuntabilitas keuangan di Pemerintah Kabupaten Bandung? 2. Bagaimana pengaruh sistem pengendalian intern terhadap kualitas akuntabilitas keuangan di Pemerintah Kabupaten Bandung? 3. Bagaimana pengaruh pengelolaan barang milik daerah dan sistem pengendalian intern secara simultan terhadap kualitas akuntabilitas keuangan di Pemerintah Kabupaten Bandung?

10 1.3 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pengaruh Pengelolaan Barang Milik Daerah dan Sistem Pengendalian Intern terhadap kualitas Akuntabilitas Keuangan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Pemerintah Kabupaten Bandung. 1.4 Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Pengaruh pengelolaan barang milik daerah terhadap kualitas akuntabilitas keuangan di Pemerintah Kabupaten Bandung 2. Pengaruh sistem pengendalian intern terhadap kualitas akuntabilitas keuangan di Pemerintah Kabupaten Bandung. 3. Pengaruh pengelolaan barang milik daerah dan sistem pengendalian intern secara simultan terhadap kualitas akuntabilitas keuangan di Pemerintah Kabupaten Bandung. 1.5 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna dan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, baik kegunaan teoritis maupun kegunaan praktis. 1. Kegunaan Teoritis

11 Memberikan bukti empiris yang berguna bagi pengembangan keilmuan, yakni sebagai bahan kajian dan menambah referensi dalam penelitian akuntansi mengenai pengaruh pengelolaan barang milik daerah dan sistem pengendalian intern terhadap kualitas akuntabilitas keuangan. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah agar memperhatikan pelaksanaan pengelolaan barang milik daerah dan sistem pengendalian intern sehingga dapat meminimalisir masalah-masalah yang berhubungan dengan pengelolaan barang milik daerah dan kelemahan sistem pengendalian intern sebagai bentuk upaya peningkatan kualitas akuntabilitas keuangan.